Young Husband

Young Husband

Kebenaran Pahit di Hari Pernikahan

"Gimana? Apa sudah bisa dihubungi?" tanya seorang pria berumur 50 tahun lebih pada wanita yang tengah mengenakan baju pengantin itu.

Pria itu menatap wanita yang tidak lain adalah anaknya dengan cemas, begitu pula dengan wanita yang kini tengah bergerak gelisah sambil berusaha menghubungi seseorang.

"Masih tidak diangkat, Pa."

Addara, wanita yang kini tengah mengenakan baju pengantin lengkap dengan pernak-perniknya itu, menatap papanya dengan gusar

"Terus gimana? Acaranya sudah mau dimulai, bagaimana bisa dia belum bisa dihubungi juga."

"Aku juga gak tau, Pa. Aku udah mencoba menghubunginya dari semalam, tapi tidak ada jawaban. Bahkan keluarganya pun, tidak ada yang bisa dihubungi."

Addara benar-benar tidak tahu, apa yang terjadi pada pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Dari kemarin pria itu tiba-tiba saja menghilang, tidak bisa dihubungi sama sekali.

"Di luar sudah banyak tamu yang berdatangan, Papa harus menyapa mereka dulu," ucap Wirga.

"Baiklah, Pa." Angguk Addara tanpa menatap papanya karena sibuk dengan ponselnya.

"Kamu terus hubungi Jefrey atau keluarganya, siapa tau mereka saat ini sedang dalam perjalanan," ucap Wirga yang hanya dijawab anggukan kepala oleh Adara, sambil fokus menghubungi nomor calon suami dan keluarganya.

"Kamu temanin Kakak kamu dulu di sini," sambung Wirga pada anak bungsunya.

"Iya, Pa." Angguk Zemi yang sedari hanya diam sambil duduk di sofa panjang yang tidak jauh dari posisi kakanya.

Wirga berjalan ke arah pintu, bermaksud untuk keluar menuju ke tempat acara, tapi belum sempat tangannya menyentuh knop pintu, pintu itu terlebih dahulu diketuk dari luar.

"Ada apa?" tanyanya pada Art yang mengetuk pintu ruangan itu.

"Itu, Tuan. Orang-tua dari calon suami Non Dara sudah sampai."

"Benarkah, Bi?" tanya Addara, menatap Art-nya itu dengan senyuman lebar.

"Iya, Non. Tapi–"

"Ayo kita turun, Pa. Ini pasti kerjannya Jefrey yang sengaja mengerjaiku dengan tidak bisa dihubungi dan datang secara tiba-tiba."

Tanpa menunggu Art-nya menyelesaikan ucapannya, Addara sudah lebih dulu berjalan keluar dari kamar dengan ekspresi bahagianya.

Wirga hanya mengangguk pasrah dan langsung mengikuti Addara, dia kemudian mengapit tangan Addara untuk menuju ke tempat acara yang sengaja diadakan di sebuah gedung yang sengaja mereka sewa untuk acara sakral itu, begitu pun dengan Zemi yang mengapit tangan calon pengantin itu di sisi lainnya.

Melihat para atasannya sudah pergi, tanpa membiarkan dia menyelesaikan ucapannya, Art-nya hanya bisa menghela napas pasrah dan juga mengikuti para majikannya.

"Dia emang kebiasaan, selalu ngerjain aku dan senang banget bikin aku panik," decak Addara karena berpikiran, jika calon suaminya itu sengaja mengerjainya.

Calon suaminya itu, memang paling suka memberikan kejutan-kejutan yang kadang membuat dia kesal terlebih dahulu, jadi dia beranggapan jika saat ini, pria itu juga mengerjainya.

Papa dan adiknya, tidak menimpali ucapannya itu, mereka fokus melihat ke tempat acara, di mana orang-tua dari mempelai pria sudah berada di sana.

Kedua orang-tua mempelai kini berdiri di samping meja yang sudah diduduki oleh penghulu yang sudah menunggu sedari tadi.

Meja yang seharusnya menjadi tempat Jefrey, mengucapkan janji suci untuk mengikat Addara dalam sebuah ikatan pernikahan.

Di jajaran kursi dan meja yang disediakan khusus untuk para tamu undangan sudah hampir terisi semua, hanya beberapa meja saja yang masih kosong.

"Ma, Pa. Mana Jef?" tanya Addara dengan heran, tapi masih mempertahankan senyuman di bibirnya.

Dia melihat ke sekeliling tempat itu, tidak mendapati keberadaan Jefrey. Addara masih berpikiran positif, jika pria itu saat ini tengah pergi ke toilet terlebih dahulu karena gugup, hingga dia harus bolak-balik ke toilet.

Memikirkan tentang perasaan gugup, dia pun tentu saja mengalami hal itu, bahkan saat ini tubuhnya terasa berkeringat dingin.

Sementara Wirga, melihat ke sekelilingnya dengan heran, karena melihat yang ada di sana hanyalah kedua orang-tua mempelai pria saja, tidak ada rombongan yang mengikuti mereka.

Namun, Wirga pun sama, dia berusaha untuk berpikiran positif, meskipun sebenarnya dari kemarin, dia sudah merasa janggal setelah anaknya memberi tahu jika calon memantaunya tidak bisa dihubungi.

"Apa dia ke toilet dulu?" tanyanya masih dengan seutas senyum, menatap pasangan yang sebentar lagi akan berstatus sebagai mertuanya.

Pasangan yang sedikit lebih tua dari papanya itu menggelengkan kepala, tatapan mata pasangan itu menyorot dengan tak nyaman padanya.

Seolah ada yang tengah mengganggu mereka saat ini, ketika berhadapan dengannya dan ditanyai tentang keberadaan calon suaminya itu.

"Oh, apa dia mengalami masalah diperjalanan, jadi agak telat ke sininya."

Addara menatap pasangan itu dengan dalam, entah kenapa perasaan cemas kembali melingkupinya. Pikiran negatif mulai bermunculan kembali di kepalanya, tapi sekuat tenaga dia berusaha mengenyahkan hal itu dan mencoba tetap berpikiran positif.

"Bukan itu juga," jawab Kaluna, mamanya Jefrey.

Wanita yang sudah dekat dengannya itu, menatapnya dengan sendu, seolah dia telah melakukan kesalahan dan kini tengah merasa bersalah.

"Maksud kedatangan kita ke sini, untuk menyampaikan permintaan maaf yang sebesar-besarnya, juga untuk memberikan ini pada Addara," timpal Efendi, Papanya Jefrey.

Addara menatap sebuah kertas yang Efendi sodorkan itu dengan tangan yang gemetar, senyuman di wajahnya berangsur menghilang, berganti dengan wajah yang memucat.

Seiring dengan matanya menelisik dan membaca setiap coretan yang dia yakini adalah tulisan tangan dari calon suaminya.

Wajahnya kian memucat, matanya mulai terasa panas, hingga penglihatan mulai mengabur, terhalang oleh embun yang secara perlahan memenuhi matanya.

Tubuhnya hampir saja merosot ke lantai, jika saja Wirga tidak menahannya dengan kuat. Setelah selesai membaca tulisan dari secarik kertas itu, kakinya seolah tak bertulang, terasa lemah.

"Ada apa?" Wirga menatapnya dengan heran.

"Jefrey–" bisik Adara yang tidak mampu meneruskan ucapannya. Dia tidak melihat ke arahnya, hanya menatap kosong di depannya.

Tidak ingin mempercayai apa yang dibacanya itu, dia masih menganggap pria yang dia cintai sejak lama itu hanya tengah mengerjainya.

Wirga mengambil kertas yang masih di genggamannya dan membacanya dengan seksama, raut wajahnya berubah menjadi suram seketika, setelah membaca seluruh isi surat itu.

"Sekali lagi kami minta maaf yang sebesar-besarnya, karena sudah membuat Addara juga pihak keluarga malu. Kami juga tidak dapat berbuat apa-apa, itu sudah menjadi keputusannya."

"Dan untuk Addara, maaf karena Jefrey telah mengecewakanmu, semoga ke depannya kamu bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari anak kami."

Kedua orang-tua Jefrey menatap Addara dan Wirga dengan penuh penyesalan, apalagi melihat Addara yang terlihat hancur.

Bagaimana tidak hancur, hari yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan dalam hidupnya, berubah menjadi hari yang paling menyedihkan.

Mimpi-mimpi indah akan pernikahan yang telah dia rangkai dengan indah, dia susun sedemikian rupa. Kini, hanya dalam hitungan detik saja, hancur tak bersisa.

"Karena tidak ada lagi yang ingin kami sampaikan, kalau begitu kami permisi dulu, Pak, Addara."

Wirga menatap datar pasangan itu, tidak menyahuti setiap ucapan dari pria yang lebih tua darinya itu, karena kekesalan yang kini dirasakan.

Dia ingin sekali marah saat ini, tapi percuma dia marah kepada pasangan itu, karena dia yakin pasangan itu juga tidak bisa berbuat apa pun.

Kedua pasangan itu, memaklumi jika Wirga bersikap dingin pada mereka karena anak mereka telah melakukan kesalahan fatal, tapi mereka tidak bisa berbuat apa pun.

Bahkan untuk datang ke sana pun, mereka harus menyiapkan mental mereka, karena di sini anaknya tidak hanya membuat Addara dan keluarnya saja yang malu, tapi dia dan seluruh keluarga besarnya pun malu.

Wirga hanya beberapa kali menghela napas sedalam-dalamnya, berusaha menenangkan hatinya agar dapat berpikir dengan jernih.

Sementara Addara, mulai mengangkat kembali wajahnya, mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya dan melangkah pergi dari tempat itu ketika melihat raut bingung dari para tamu yang kini tengah menatap ke arah mereka.

...----------------...

Assalamu'alaikum semuanya, bagi yang sudah mampir ke ceritaku ini selamat datang ya, dan selamat tahun baru🎉🎉

Selamat membaca, semoga suka sama cerita kehaluanku ini🤗

Terpopuler

Comments

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

JANGAN SAMPAI BGITU ADDARA SDH MNIKAH DGN LKI2 LAIN, TU JEFREY DTG LAGI DLM KHIDUPAN ADDARA, DN GANGGU RMH TANGGA ADDARA..

2023-06-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!