Menikmati Masa Libur

Addara hanya mematung di tempatnya, masih menatap pintu yang kini telah tertutup rapat.

Secara perlahan, dia menurunkan tatapan ke arah tangannya, di mana ada sebuah kartu yang baru saja Calvin berikan untuknya, merasa tidak ada gunanya menolak.

Dia pun memutuskan untuk menyimpan kartu itu, entah akan digunakan atau tidak, lihat saja nanti.

Addara mulai bangkit dari sofa, membawa bekas makanannya dan gelas, lalu mencucinya, karena hari sudah siang, dia pun memutuskan untuk pergi jalan-jalan sebentar karena dia butuh udara segar.

Setelah selesai berganti pakaian, Addara mengambil kunci mobil dan melangkah keluar dari kamar.

"Kenapa Calvin tau kalau aku bisa mengemudi, bukankah sebelumnya dia tidak bertanya terlebih dahulu?" gumamnya sambil menutup pintu kamar.

Jika dipikirkan kembali, itu memang cukup aneh. Padahal mereka tidak saling kenal sebelumnya, tapi Calvin bisa tahu kalau dia bisa mengemudi.

"Mungkin dia hanya asal nebak aja kali," gumamnya lagi mengangkat bahunya.

"120312, kayak sebuah tanggal, kalau itu beneran tanggal, berarti itu tanggal yang cukup penting, sampai dijadiin sandi apartement, bahkan hal penting lainnya."

Addara terus berbicara sambil berjalan keluar apartement, salah satu kebiasaan dirinya adalah, dia terkadang tanpa sadar suka berbicara sendiri.

Apa saja yang menurutnya sedikit mengganggu pikirannya, dia selalu tanpa sadar berbicara sendiri, bahkan tidak peduli ketika dia berbicara sendiri ada orang lain yang menganggapnya aneh.

Addara menjalankan kendaraan beroda empat itu dengan tenang, dia ingin menikmati harinya selagi masih memiliki hari libur, karena mulai besok dia harus kembali bekerja, menyibukkan dirinya dengan rentetan pekerjaan lagi.

Awalnya dia meminta cuti selama dua minggu, karena rencananya dia akan pergi berbulan madu setelah pernikahannya, tapi rencana ya tetap rencana.

Ketika semesta tidak mendukung, maka berbagai rencana yang telah disusun pun harus dia kubur dalam-dalam.

Jadi dia akhirnya meminta untuk membatalkan cutinya pada atasannya di kantor dan dia harus kembali kerja lagi mulai besok.

Di tengah-tengah perjalanannya itu, dia mendengar vibrasi dari ponselnya yang ada di dalam tas yang dia simpan di kursi samping.

"Ya, Ze."

" .... "

"Baiklah, bilang ke Papa, kalau aku akan ke sana, kebetulan ini juga aku lagi di jalan."

Addara kemudian menyimpan ponselnya ke tempat semula, ketika sambungan telepon dengan adiknya itu terputus.

Dia segera menjalankan kendaraan beroda empat itu menuju ke rumahnya, karena adiknya baru saja mengatakan jika papanya ingin bertemu dengannya.

Sepertinya, pria yang menjadi sosok ayah sekaligus ibu semenjak mamanya meninggal itu masih mengkhawatirkan dirinya. Dia tentu dapat memahami kekhawatiran pria itu, atas apa yang telah terjdi padanya.

Apalagi, kemarin dia dan Calvin langsung pergi ke tempat pemuda itu tinggal sebelum dia dan papanya sempat berbincang banyak, karena kemarin dia masih merasa gamang dengan kejadian? tanpa diduga itu.

"Aku harap, apa pun yang terjadi pada kehidupanku ini, semua ini adalah yang terbaik untukku, Tuhan," gumamnya penuh harap.

Kini dia tidak lagi banyak merencanakan apa pun dalam hidupnya, kejadian kemarin memberikan dirinya pelajaran, jika dia terlalu banyak berencana dan berharap pada apa yang belum tentu terjadi, maka dia akan sangat merasa kecewa, ketika apa yang terjadi, tidaklah sesuai dengan apa yang diharapkan, juga yang direncanakan.

Sekarang dia hanya akan pasrah, menjalani apa yang ada di depannya, baik buruknya. Semua akan coba dia hadapi dengan ikhlas dan tenang.

*****

Hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit, kini kendaraan beroda empat yang dikendarainya itu telah sampai di komplek perumahan papanya.

Addara mulai turun dari mobil dan langsung memasuki rumahnya, keadaan rumah seperti biasanya, yaitu tampak sepi karena memang hanya ada empat orang yang menghuni rumah yang tidak terlalu luas itu

Dikurangi dirinya yang kini sudah tinggal terpisah, menjadi tiga orang yang saat ini menghuni rumah itu, papa dan adiknya, juga seorang Art.

Dia tahu, jika sedang berada di rumah, di jam-jam seperti itu, papanya biasanya sedang ngopi di teras belakang sambil melihat kolam ikan yang sengaja dibuatnya.

"Pa," panggilnya, ketika mendapati papanya tengah asyik memberikan makanan pada ikan-ikannya.

"Kamu sudah datang, Nak." Wirga menengok sekilas tanpa menghentikan kegiatannya.

"Iya," sahut Addara, lalu berjongkok di samping papanya sambil melihat beragam ikan yang kini tengah berebut makanan yang papanya berikan.

"Gimana keadaan kamu?"

Addara tersenyum tipis. "Seperti yang Papa liat, aku baik-baik saja."

"Gimana pemuda itu?" tanya Wirga lagi yang kini sudah menghentikan kegiatannya dan menoleh padanya.

Dia menatap putri sulungnya dengan sebuah kekhawatiran yang tampak jelas di raut wajahnya yang terdapat sedikit kerutan itu.

"Dia baik-baik aja kok, Pa."

"Apa dia melakukan hal yang membuatmu tidak nyaman? Atau apa gitu?"

Addara kembali tersenyum pada papanya, meyakinkan pria itu, jika dia benar-benar baik-baik, begitu pun pemuda yang saat ini berstatus suaminya.

"Tidak, Pa. Calvin benar-benar pemuda yang baik, sopan juga pengertian. Meskipun aku cukup canggung karena belum terlalu kenal, tapi aku merasa cukup nyaman beberapa waktu ini bersamanya," terang Addara apa adanya.

Wirga menarik napas dalam, dia kemudian mengangguk paham mendengar jawaban dari putrinya, dengan perasaan sedikit perasaan lega yang menyelinap ke hatinya.

"Papa senang mendengarnya, semoga saja sikapnya bukan sikap sementara, tapi dia tetap bersikap baik terhadapmu," doa Wirga.

"Iya, semoga saja, Pa." Angguk Addara yang juga berharap demikian.

Setelah beberapa saat terdiam, dengan pikiran masing-masing, Wirga pun mengajak Addara untuk masuk ke rumah.

"Zemi udah berangkat?" tanya Addara ketika mereka melangkah memasuki rumah.

"Sudah, tadi setelah nelepon kamu, dia langsung berangkat, katanya ada kelas jam 10."

"Papa kapan mulai ke kantor lagi?"

"Paling lusa, Papa masih mau istirahat dulu."

Addara mengangguk paham, papanya pasti masih merasa kecapean karena belakangan ini, dia sibuk dengan urusan pekerjaan juga dengan persiapan acara pernikahannya itu.

"Kamu sendiri? Kapan mulai kerja lagi, apa masuknya sesuai dengan jadwal sebelumnya?"

Addara lebih dulu mendudukkan dirinya di sofa, ketika mereka telah sampai di ruang keluarga rumah itu.

"Besok, aku sudah membatalkan cuti kerjaku dan akan mulai kerja lagi besok."

"Kamu kenapa gak bantuin papa aja sih, ngapain kerja di tempat orang lain," ucap Wirga dengan nada rajukan seperti biasanya.

"Biar nanti Zemi aja yang bantuin Papa ya, Addara udah nyaman dengan kerjaan Addara sekarang," sahut Addara seperti biasanya.

Dia memang tidak memiliki minat membantu usaha papanya yang bergerak di bidang travel itu.

Dia lebih suka menjadi desain interior, di tempat kerjanya sekarang, bekerja di perusahaan yang memang bergerak sesuai dengan kemampuan dan minatnya.

"Nunggu adik kamu masih lama, dia baru saja semester satu sekarang," sahut Wirga memutar mata.

"Suruh aja dia kuliah sambil bantu Papa, kan bisa?"

"Mending kalau dia mau."

"Coba dulu aja kali, Pa. Kalau belum dicoba siapa tau, lagian selain aku udah nyaman dengan pekerjaanku, aku juga saat ini sudah berstatus sebagai seorang istri, jadi aku tidak mungkin handle terlalu banyak pekerjaan."

Wirga tidak menyahutinya lagi, dia tahu apa yang menjadi ucapan terakhir putrinya itu, hanya sebatas alibinya saja.

Addara memang dari dulu tidak berminat, membantunya dalam menjalankan bisnisnya, dia selalu beralibi jika dia membahas masalah itu pada putrinya.

Obrolan antara anak dan ayah itu terus berlanjut, hingga waktu ke waktu, cukup banyak hal yang mereka bahas dari mulai pembahasan santai sampai pembahasan serius, hingga waktu pagi berganti ke siang dan berganti lagi ke sore.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!