Hidup Baru

Addara menatap jalanan yang dilewatinya dengan tatapan kosong, dia masih belum mempercayai apa yang terjadi pada dirinya itu.

Masih belum percaya jika saat ini, dia telah resmi menjadi seorang istri. Namun, bukan istri dari pria yang dicintainya, tapi dari pria yang baru dia kenal beberapa jam lalu.

Sungguh ironis, hari ini seharusnya dia merasakan kebahagiaan yang dia impikan itu, tapi kenyataan yang kini ada di depannya tidaklah sesuai dengan ekspetasinya.

Entah apa rencana Tuhan untuknya, hingga dia harus mengalami hal yang sama sekali tidak pernah dia duga seperti itu.

"Mbak!" Panggilan itu membuyarkan lamunan kosongnya.

Dia menoleh ke sampingnya, di mana seorang pemuda tengah menatapnya, membuat dia terpaku pada mata coklat gelap itu.

"Kita sudah sampai, ayo kita turun," sambungnya, lalu dengan santai turun dari mobil.

Addara melihat ke sekelilingnya, ternyata dia saat ini sudah berhenti di basement sebuah apartement yang mulai saat ini akan menjadi tempatnya tinggal.

Setelah selesai acara, pemuda itu langsung mengatakan jika dia ingin mereka tinggal, di tempat yang sebelumnya dia tinggali. Addara hanya bisa menurut, tanpa bantahan sama sekali.

Dia kemudian turun dari mobil, matanya masih berkeliling melihat keadaan di sekitarnya dan berakhir pada pemuda yang entah kenapa, rasanya berat sekali hatinya untuk mengatakan jika dia adalah suaminya.

Perbedaan usia mereka yang cukup jauh membuat dia rasanya sulit menerima, kenyataan yang kini ada di depan mata.

Tujuh tahun adalah jarak yang cukup jauh, kini dia mulai berpikir. Apakah di telah salah mengambil keputusan, bagaimana bisa dia menikah dengan pemuda yang umurnya jauh di bawahnya.

Pemuda yang seharusnya masih bisa menikmati masa-masa bebasnya dengan teman sebayanya, bukannya terikat dalam pernikahan yang menurutnya belum cocok untuknya.

Lagi dan lagi Addara menarik napas sepenuh dadanya, mencoba melegakan hatinya yang terasa kosong.

"Ayo kita masuk," ajaknya lagi dengan membawa koper yang berisi barang-barangnya.

"Iya," sahutnya dengan nada pelan diiringi anggukan samar.

Mereka berjalan beriringan menuju unit apartment itu, Addara sesekali mencuri pandangan ke arah Calvin, dia melihat ekspresi pemuda itu yang terlihat datar.

Apa dia menyesal dengan pernikahan ini?

Addara menduga-duga, mungkin Calvin menyesali pernikahan itu, hingga sejak tadi dia hanya berbicara singkat, juga menatap lurus ke depannya.

"Di sini hanya ada satu kamar, tapi Mbak, tenang aja. Aku nanti bisa tidur di sofa," ucap Calvin ketika mereka sudah berada di dalam unit apartment.

Addara hanya bisa mengangguk sebagai jawaban, dia merasa bingung harus seperti apa, kecanggungan sangat terasa dalam dirinya dengan situasi itu.

Bagaimana tidak merasa canggung, harus berdampingan dengan orang asing, apalagi dengan ikatan yang serius seperti itu.

"Kalau gitu, aku mau bersih-bersih dulu," pamit Calvin yang langsung berlalu memasuki ruangan itu sambil membawa kopernya, tanpa menunggu jawabannya.

Addara menatap tempat itu, ruangan yang tidak terlalu luas, di sana juga hanya ada satu set sofa berwarna abu, dengan televisi yang berada di atas meja khusus.

Dinding di ruangan itu kosong, tidak ada satu pun foto atau penghias apa pun yang mengisi dinding berwarna putih polos di ruangan itu.

Setelah puas melihat-lihat, Addara memilih duduk terlebih dahulu di sofa, sambil menunggu Calvin membersihkan dirinya, sebelum dia pun membersihkan diri.

Hanya perlu menunggu sekitar 15 menit, Calvin telah keluar dari kamar dengan rambut yang setengah basah dan wajahnya terlihat tampak lebih segar.

"Sekarang Mbak masuklah, saya akan membuatkan makanan untuk kita," ucap Calvin menatapnya sekilas, lalu pergi menuju ke dapur yang hanya disekat oleh tembok setengahnya, hingga dia dapat melihat dapur dari ruang tengah itu.

Melihat Calvin sudah menyibukkan dirinya di depan kompor, Addara secara perlahan mulai melangkah menuju ke kamar.

Dia mengambil keperluan mandinya yang sudah dia persiapkan sebelumnya di dalam koper, niat awal adalah dia akan menghabiskan malam pertama di hotel yang sudah dia dan Jeffrey persiapkan.

Kamar yang akan menjadi saksi malam pertama mereka, bahkan mereka sengaja menyewa sebuah presiden suite untuk malam sakral itu.

Memikirkan apa yang terjadi padanya sekarang, membuat dadanya kembali terasa ngilu, di sudut hatinya yang terdalam, dia masih belum mempercayai semua itu.

Dia masih belum percaya, jika pria yang selama beberapa tahun menjadi kekasihnya, menunjukkan cinta yang teramat besar padanya, ternyata semua itu hanyalah sandiwara.

Cinta yang dia anggap hanya untuknya, ternyata hanyalah cinta semu yang dia bagi dengan hati lain, cinta yang awalnya selalu membuat dia merasa terbang di atas awan, kini telah melemparnya sampai ke dasar jurang yang teramat menyakitkan.

Pantulan dirinya di depan cermin yang masih berbalut baju pengantin yang beberapa jam lalu, terlihat berbinar bahagia, kini menjadi layu bagaikan bunga yang dipetik dan dibiarkan begitu saja.

"Apa salahku? Kenapa kamu melakukan ini, Jef?" gumamnya dengan rasa sakit yang teramat dalam dadanya.

Tidak mudah dirinya untuk ikhlas menerima semua ini, rasa sakit yang dia rasakan sama rata dengan rasa cinta yang sudah memenuhi setiap rongga dalam hatinya untuk pria itu.

Addara mulai melepaskan seluruh kain yang melekat di tubuh rampingnya, lalu mengguyur tubuhnya dengan air yang mengalir dari shower, berharap aliran air itu mampu membawa serta merta rasa sakit yang hanya bisa dirasakannya itu.

Setelah merasa cukup kedinginan, dia akhirnya mengakhiri sesi mandinya itu, lalu berpakaian dan keluar dari kamar.

Ketika dia keluar dari kamar dengan rambut yang masih setengah basah, aroma harum dari masakan langsung memenuhi indra penciumannya.

Ketika menginjakkan kakinya ke dapur, dia melihat beberapa menu makanan sudah tersaji di meja makan yang berbentuk segi empat dengan empat kursi itu.

Entah sudah berapa lama dia mandi, hingga pemuda itu sudah menyelesaikan masakan dengan menu yang sampai beberapa macam seperti itu.

"Ayo makanlah, Mbak," ucap Calvin sambil membawa dua gelas besar air putih dan menyimpannya di meja.

"Kamu masak sendiri?" tanya Addara tak percaya.

Hanya anggukan kepala yang Calvin berikan atas pertanyaan dari Addara itu, pemuda itu sudah duduk manis di kursi yang berada di samping Addara yang masih berdiri.

Karena perutnya memang terasa lapar, Addara pun mulai mendudukkan dirinya di kursi yang ada di samping Calvin. Dia memang belum memasukkan apa pun ke dalam mulutnya sejak pagi, jadi ketika melihat makanan, perutnya terasa meronta minta diisi.

Ketika suapan pertama masuk ke dalam mulutnya, dia cukup takjub karena ternyata makanan itu enak, ah ralat. Bukan enak, tapi itu benar-benar enak, tidak beda jauh dengan makanan yang biasa dia makan dari restoran mewah.

Saking enaknya makanan itu, dia sampai tanpa sadar terus memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya dengan sedikit terburu-buru tidak menyadari jika pemuda di sampingnya melirik ke arahnya.

Pemuda itu tampak makan dengan tenang, sedangkan matanya terus mencuri-curi lihat pada Addara, bibir pemuda itu tampak melengkung ke atas, hanya sedikit.

Terpopuler

Comments

Nuy Nuraeni

Nuy Nuraeni

othor,,boleh kata "itu" d'kurangi bca'y jd gmna gtu klo kbnyakan kata "itu"..itu ..itu.. itu.. jd ya itu lah

2023-09-21

0

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

BAGINDA RASULULLAH DGN UMMU SITI KHADIJAH BERJARAK 15 TH..

2023-04-01

0

Sulaiman Efendy

Sulaiman Efendy

BEDA TUJUH TAHUN MSH DEKAT,, KLO LO BACA NOVEL TANTE I LOVE U, SAMA NOVEL TUNGGU AKU TANTE, LBH JAUH JARAKNYA...

2023-04-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!