Janganlah menyimpan harapan terlalu tinggi pada sesama insan, karena itu adalah jalan menuju kekecewaan yang paling mudah. Seperti apa yang Addara alami saat ini, dia sudah salah karena terlalu berharap akan cintanya pada Jefrey.
Namun, kini yang terjadi adalah dia kecewa, pria yang dia harapkan akan selalu memberikan kebahagiaan untuknya, berujung kecewa yang diberikannya.
Cinta yang dia agung-agungkan, kini dengan mudahnya pria itu akhiri hanya dengan secarik kertas yang dia kirimkan padanya.
"Maaf, Pak. Apakah pernikahannya bisa dilakukan sekarang? Di mana calon pengantin laki-lakinya?"
Baru saja Addara melangkah beberapa langkah untuk pergi dari tempat itu, suara dari penghulu membuat langkahnya kembali terhenti.
Addara tidak dapat lagi membendung air mata yang sedari tadi sudah siap untuk terjun bebas di pipinya, dia kembali menagis hingga bahunya bergetar, ketika mendengar pertanyaan itu.
Bagaimana dia bisa menikah, jika mempelai prianya saja sudah mengakhiri hubungan mereka! Rasanya ingin sekali Addara berteriak mengatakan hal itu, untuk meluapkan rasa kecewanya.
Namun, semua itu hanya tertahan di kerongkongan, bahkan bibirnya tidak dapat terbuka untuk mengucapkan satu patah kata pun saat ini. Yang ada hanya air mata yang menjadi bukti, rasa sakit itu.
"Pernikahan bisa tetap dilaksanakan!"
Setiap orang menatap ke asal suara itu, begitu pun dengan Addara yang menatapnya dengan heran, entah siapa orang asing yang asal bicara itu.
"Saya yang akan menikahi mempelai wanitanya!"
Addara ternganga tak percaya dengan apa yang dikatakan pemuda yang diperkirakan seumuran dengan adiknya itu.
Pemuda yang entah dari mana asalnya itu, berjalan ke hadapannya dan menatapnya dengan yakin.
Kini bisik-bisik dari para tamu mulai terdengar di telinga Wirga dan Addara. Tidak ingin menjadi tontonan lebih lama lagi, Wirga akhirnya meminta Adara dan Zemi untuk meninggalkan tempat itu, tidak lupa juga dia meminta pemuda tadi untuk mengikutinya.
"Maaf Pak, dia anak kami, bisakah kami juga ikut?"
Pasangan paruh baya tiba-tiba saja mendekati mereka, dari barisan para tamu undangan yang turut hadir di sana.
Wirga menatap pasangan itu, dia tidak terlalu mengenal pasangan itu, tapi ingat jika pria yang diperkirakan sebagai ayah dari pria itu adalah salah satu koleganya.
Wirga hanya mengangguk sebagai jawaban, setelah itu berjalan memimpin meninggalkan tempat itu, memasuki sebuah ruangan yang sebelumnya digunakan untuk berganti pakaian.
"Maaf, bisa tolong tinggalkan dulu ruangan ini," pinta Wirga pada staf MUA yang masih berada di sana.
Staf yang sebelumnya membantu mereka bersiap itu pun, mulai meninggalkan ruangan itu, hingga kini tersisa Wirga beserta Addara dan Zemira, juga pemuda yang baru saja membuat orang bingung beserta kedua orang-tuanya.
Wirga tidak langsung bicara, tapi dia menatap satu persatu orang yang berada di sana, posisi mereka saat ini tengah berdiri. Hanya Addara saja yang duduk ditemani Zemira yang tengah mengusap punggungnya, berusaha untuk menenangkannya.
"Apa maksud dari ucapanmu tadi?" tanya Wirga dengan tatapan serius pada pemuda di depannya itu.
"Maaf untuk apa yang telah anak kami katakan barusan, dia memang belum cukup dewasa, hingga dia mengatakan hal yang asal, tanpa dipikirkan terlebih dahulu," sela sang ayah dari pemuda itu dengan tatapan tidak enaknya.
"Iya, maafkan anak kami, Pak," sahut ibu pemuda itu.
Wirga terlalu pusing dengan apa yang terjadi saat ini, dia saat ini hanya mengangguk, tidak bermaksud untuk memperpanjang masalah itu.
"Baiklah, saya tidak akan memperpanjang masalah ini, kalian bisa kembali ke tempat acara terlebih dahulu."
Addara menatap papanya dengan sedih, dia dapat melihat jika pria yang selalu menjaga dan berusaha melakukan yang terbaik untuknya itu, kini tengah tertekan dengan apa yang terjadi.
Lagi-lagi air mata kembali menetes di pipinya, kala mengingat apa yang Jefrey tulis untuknya. Semua itu karena pria itu, kini tidak hanya dia yang malu tapi juga papanya pasti malu dengan kejadian ini.
Ditambah dengan hatinya yang hancur mengingat cinta yang terjalin selama bertahun-tahun, kini hancur seketika dikala cinta itu akan mereka labuhkan di sebuah ikatan suci.
Setiap kata yang tertera di kertas putih, seperti sebuah silet yang menggores permukaan hatinya, hingga terasa ngilu sampai ke setiap syarafnya.
"Baiklah, jika begitu kami pamit dulu, Pak," pamit ayah si pemuda sambil menunduk hormat.
Wirga hanya mengangguk, sebagai jawaban. Sementara Addara hanya diam dengan tatapan kosong, adiknya masih dengan sabar mengusap punggungnya untuk menenangkan.
"Ayo," ajak ayah dari si pemuda, pada anak dan istrinya.
Pria itu menarik tangan anaknya yang dia anggap telah berbuat seenaknya, juga membuat suasana semakin runyam.
"Tunggu, Yah."
"Apalagi!" Ayah si pemuda menatap anaknya dengan sengit karena anaknya malah menghentikan langkah mereka.
"Saya benar-benar serius dengan apa yang saya ucapkan di luar tadi," ucap pemuda itu dengan wajah serius, menatap Wirga.
"Apa maksud kamu, berhentilah main-main," sahut ayahnya, masih menarik tangannya untuk membawanya pergi dari sana.
"Aku tidak main-main, Yah. Aku benar-benar ingin menikahi Mbak ini," ucapnya dengan sorot mata yang penuh dengan keyakinan.
Pemuda itu melangkah, hingga berhadapan dengan Wirga yang berdiri di samping sofa tempat Addara duduk.
"Sebelumnya, perkenalkan nama saya adalah Calvin Urfan Naransyah, saya adalah anak dari Bapak, Rainer Naransyah dan Elina Jovita. Saya ingin melamar anak Bapak."
Kedua orang-tua pemuda yang baru saja menyebutkan namanya dengan lengkap itu, melotot atas apa yang baru saja mereka dengar.
Tidak hanya mereka selaku orang-tuanya. Wirga, Addara juga Zemira pun semakin menatapnya tak percaya.
Rainer selaku ayah dari Calvin, kembali menarik tangan anaknya dengan kesal. Dia tidak menyangka anaknya akan mengatakan hal yang menurutnya konyol itu.
"Kamu mau menikahi anak Bapak, sementara kalian saja belum saling kenal." Wirga berusaha untuk tetap tenang, meskipun saat ini kepalanya terasa sudah pening.
"Kami memang tidak saling kenal," sahut Calvin menatap Addara dengan intens.
"Tapi, aku cukup tau siapa wanita yang saat ini aku lamar itu," sambungnya.
Addara mulai tersadar dari lamunannya, dia menatap dalam mata Calvin yang juga tengah menatapnya itu.
Sedari tadi dia dapat melihat keseriusan dari sorot mata Calvin, tapi dia tidak dapat melihat ekspresi yang pemuda itu tunjukkan padanya.
Hanya ada ekspresi datar, seolah apa yang tengah diucapkannya bukanlah apa-apa. Entah apa maksud pemuda itu mengatakan hal itu, Addara berpikir mungkin pemuda di depannya itu hanya sedang ingin bermain-main.
Untuk beberapa detik tidak ada yang membuka suara lagi, hanya ada keheningan, sedangkan Addara dan Calvin sibuk dengan saling menatap satu sama lainnya.
"Maaf, Pak. Kami harus berbicara dulu dengan anak kami," ucap Rainer sambil menarik paksa Calvin untuk keluar dari ruangan itu.
Karena tarikan dari Rainer, kontak mata antara Addara dan Calvin pun terputus, seiring dengan menghilangnya bayangan ketiga orang itu dari ruangan.
Setelah hanya tersisa mereka bertiga, Wirga menghadap ke arah Addara, sedikit membungkuk dan memberikan usapan lembut padan punggung anaknya.
Tanpa mengatakan apa pun, Addara langsung memeluk papanya, menangis dalam pelukan papanya.
"Yang sabar ya, Nak. Mungkin kamu dan Jef, bukan jodoh."
Addara tidak menyahutinya, hanya menagis, meluapkan kesedihan yang tengah hatinya rasakan itu.
Sementara itu, di luar ruangan terjadi pembicaraan yang cukup sengit antara Calvin dan kedua orang-tuanya.
"Jangan main-main, Vin. Pernikahan bukanlah hal sederhana yang bisa dianggap enteng," ucap Elina berusaha memberikan pemahaman pada Calvin yang bersikeras dengan ucapannya itu.
"Bagaimana bisa kamu menikah, dengan wanita yang bahkan kamu sendiri pun tidak kenal!" timpal Rainer yang sudah kesal. sejak tadi.
"Aku sudah bilang kalau aku kenal dengannya," sahut Calvin dengan kukuh.
"Ingat! Umur kamu dan dia aja jauh beda," ucap Elina lagi.
"Bu, umur hanyalah angka, apa salahnya jika aku memiliki pasangan yang umurnya beberapa tahun dariku?"
"Yah, aku janji jika kalian mau restuin niat aku ini, aku tidak akan membebani kalian untuk menghidupi aku, aku akan bertanggung jawab untuk kehidupanku dan istriku nanti."
Mendengar apa yang dikatakannya itu, Rainer malah berdecak kesal.
"Bagaimana kamu bisa menghidupi keluargamu, kamu saja bahkan belum lulus."
"Tidak perlu lulus dulu untuk menghidupi keluargaku nantinya!" sahut Calvin dengan yakin dan tegas.
Melihat Calvin yang sepertinya tidak dapat dibantah lagi, membuat kedua orang-tuanya menghela napas dengan pasrah.
Akan percuma, terus menerus menentang keinginannya itu, dia tidak ingin anak satu-satunya, malah memberontak karena mereka tidak menyetujui keinginannya itu.
Akhirnya mereka bertiga pun masuk kembali ke dalam ruangan, tempat Addara dan keluarganya berada.
"Kami minta maaf, atas apa yang terjadi beberapa saat yang lalu, maksud kami kembali ke sini adalah untuk melamar anak Bapak, sesuai dengan apa yang anak kami sampaikan sebelumnya."
Wirga kaget dengan apa yang baru saja didengarnya itu, begitu pun dengan Addara dan Zemira, mereka bertiga saling tatap, tidak menyangka keluarga itu akan mengatakan hal itu.
Mereka pikir, sebelumnya jika keluarga itu sudah pergi dari sana, tapi siapa sangka. Mereka malah kembali dan mengatakan hal yang tidak mereka duga.
Wirga menatap Addara dengan ragu, dia mencoba meminta pendapat dari anaknya itu.
Entah apa yang ada dalam pikiran Addara saat ini, hingga dia mengangguk begitu saja, pertanda dia setuju dengan lamaran dadakan itu.
"Yakin?" tanya Wirga dengan pelan.
Lagi dan lagi Addara hanya mengangguk, baginya saat ini sudah tidak penting dengan siapa dia menikah dan akan bagaimana kehidupannya kelak.
Karena mimpi-mimpi yang telah dia susun dengan indah telah hancur seperti hatinya, dia tidak lagi memikirkan apakah keputusannya ini benar atau salah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
amalia gati subagio
se7 sepakat, so jaga diri tetap waras, mencintai melampaui batas hati..mati! terima pinangan dgn bismillah, mencintai dgn nama Allah 😎
2023-01-18
2