"Gimana? Apa sudah bisa dihubungi?" tanya seorang pria berumur 50 tahun lebih pada wanita yang tengah mengenakan baju pengantin itu.
Pria itu menatap wanita yang tidak lain adalah anaknya dengan cemas, begitu pula dengan wanita yang kini tengah bergerak gelisah sambil berusaha menghubungi seseorang.
"Masih tidak diangkat, Pa."
Addara, wanita yang kini tengah mengenakan baju pengantin lengkap dengan pernak-perniknya itu, menatap papanya dengan gusar
"Terus gimana? Acaranya sudah mau dimulai, bagaimana bisa dia belum bisa dihubungi juga."
"Aku juga gak tau, Pa. Aku udah mencoba menghubunginya dari semalam, tapi tidak ada jawaban. Bahkan keluarganya pun, tidak ada yang bisa dihubungi."
Addara benar-benar tidak tahu, apa yang terjadi pada pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Dari kemarin pria itu tiba-tiba saja menghilang, tidak bisa dihubungi sama sekali.
"Di luar sudah banyak tamu yang berdatangan, Papa harus menyapa mereka dulu," ucap Wirga.
"Baiklah, Pa." Angguk Addara tanpa menatap papanya karena sibuk dengan ponselnya.
"Kamu terus hubungi Jefrey atau keluarganya, siapa tau mereka saat ini sedang dalam perjalanan," ucap Wirga yang hanya dijawab anggukan kepala oleh Adara, sambil fokus menghubungi nomor calon suami dan keluarganya.
"Kamu temanin Kakak kamu dulu di sini," sambung Wirga pada anak bungsunya.
"Iya, Pa." Angguk Zemi yang sedari hanya diam sambil duduk di sofa panjang yang tidak jauh dari posisi kakanya.
Wirga berjalan ke arah pintu, bermaksud untuk keluar menuju ke tempat acara, tapi belum sempat tangannya menyentuh knop pintu, pintu itu terlebih dahulu diketuk dari luar.
"Ada apa?" tanyanya pada Art yang mengetuk pintu ruangan itu.
"Itu, Tuan. Orang-tua dari calon suami Non Dara sudah sampai."
"Benarkah, Bi?" tanya Addara, menatap Art-nya itu dengan senyuman lebar.
"Iya, Non. Tapi–"
"Ayo kita turun, Pa. Ini pasti kerjannya Jefrey yang sengaja mengerjaiku dengan tidak bisa dihubungi dan datang secara tiba-tiba."
Tanpa menunggu Art-nya menyelesaikan ucapannya, Addara sudah lebih dulu berjalan keluar dari kamar dengan ekspresi bahagianya.
Wirga hanya mengangguk pasrah dan langsung mengikuti Addara, dia kemudian mengapit tangan Addara untuk menuju ke tempat acara yang sengaja diadakan di sebuah gedung yang sengaja mereka sewa untuk acara sakral itu, begitu pun dengan Zemi yang mengapit tangan calon pengantin itu di sisi lainnya.
Melihat para atasannya sudah pergi, tanpa membiarkan dia menyelesaikan ucapannya, Art-nya hanya bisa menghela napas pasrah dan juga mengikuti para majikannya.
"Dia emang kebiasaan, selalu ngerjain aku dan senang banget bikin aku panik," decak Addara karena berpikiran, jika calon suaminya itu sengaja mengerjainya.
Calon suaminya itu, memang paling suka memberikan kejutan-kejutan yang kadang membuat dia kesal terlebih dahulu, jadi dia beranggapan jika saat ini, pria itu juga mengerjainya.
Papa dan adiknya, tidak menimpali ucapannya itu, mereka fokus melihat ke tempat acara, di mana orang-tua dari mempelai pria sudah berada di sana.
Kedua orang-tua mempelai kini berdiri di samping meja yang sudah diduduki oleh penghulu yang sudah menunggu sedari tadi.
Meja yang seharusnya menjadi tempat Jefrey, mengucapkan janji suci untuk mengikat Addara dalam sebuah ikatan pernikahan.
Di jajaran kursi dan meja yang disediakan khusus untuk para tamu undangan sudah hampir terisi semua, hanya beberapa meja saja yang masih kosong.
"Ma, Pa. Mana Jef?" tanya Addara dengan heran, tapi masih mempertahankan senyuman di bibirnya.
Dia melihat ke sekeliling tempat itu, tidak mendapati keberadaan Jefrey. Addara masih berpikiran positif, jika pria itu saat ini tengah pergi ke toilet terlebih dahulu karena gugup, hingga dia harus bolak-balik ke toilet.
Memikirkan tentang perasaan gugup, dia pun tentu saja mengalami hal itu, bahkan saat ini tubuhnya terasa berkeringat dingin.
Sementara Wirga, melihat ke sekelilingnya dengan heran, karena melihat yang ada di sana hanyalah kedua orang-tua mempelai pria saja, tidak ada rombongan yang mengikuti mereka.
Namun, Wirga pun sama, dia berusaha untuk berpikiran positif, meskipun sebenarnya dari kemarin, dia sudah merasa janggal setelah anaknya memberi tahu jika calon memantaunya tidak bisa dihubungi.
"Apa dia ke toilet dulu?" tanyanya masih dengan seutas senyum, menatap pasangan yang sebentar lagi akan berstatus sebagai mertuanya.
Pasangan yang sedikit lebih tua dari papanya itu menggelengkan kepala, tatapan mata pasangan itu menyorot dengan tak nyaman padanya.
Seolah ada yang tengah mengganggu mereka saat ini, ketika berhadapan dengannya dan ditanyai tentang keberadaan calon suaminya itu.
"Oh, apa dia mengalami masalah diperjalanan, jadi agak telat ke sininya."
Addara menatap pasangan itu dengan dalam, entah kenapa perasaan cemas kembali melingkupinya. Pikiran negatif mulai bermunculan kembali di kepalanya, tapi sekuat tenaga dia berusaha mengenyahkan hal itu dan mencoba tetap berpikiran positif.
"Bukan itu juga," jawab Kaluna, mamanya Jefrey.
Wanita yang sudah dekat dengannya itu, menatapnya dengan sendu, seolah dia telah melakukan kesalahan dan kini tengah merasa bersalah.
"Maksud kedatangan kita ke sini, untuk menyampaikan permintaan maaf yang sebesar-besarnya, juga untuk memberikan ini pada Addara," timpal Efendi, Papanya Jefrey.
Addara menatap sebuah kertas yang Efendi sodorkan itu dengan tangan yang gemetar, senyuman di wajahnya berangsur menghilang, berganti dengan wajah yang memucat.
Seiring dengan matanya menelisik dan membaca setiap coretan yang dia yakini adalah tulisan tangan dari calon suaminya.
Wajahnya kian memucat, matanya mulai terasa panas, hingga penglihatan mulai mengabur, terhalang oleh embun yang secara perlahan memenuhi matanya.
Tubuhnya hampir saja merosot ke lantai, jika saja Wirga tidak menahannya dengan kuat. Setelah selesai membaca tulisan dari secarik kertas itu, kakinya seolah tak bertulang, terasa lemah.
"Ada apa?" Wirga menatapnya dengan heran.
"Jefrey–" bisik Adara yang tidak mampu meneruskan ucapannya. Dia tidak melihat ke arahnya, hanya menatap kosong di depannya.
Tidak ingin mempercayai apa yang dibacanya itu, dia masih menganggap pria yang dia cintai sejak lama itu hanya tengah mengerjainya.
Wirga mengambil kertas yang masih di genggamannya dan membacanya dengan seksama, raut wajahnya berubah menjadi suram seketika, setelah membaca seluruh isi surat itu.
"Sekali lagi kami minta maaf yang sebesar-besarnya, karena sudah membuat Addara juga pihak keluarga malu. Kami juga tidak dapat berbuat apa-apa, itu sudah menjadi keputusannya."
"Dan untuk Addara, maaf karena Jefrey telah mengecewakanmu, semoga ke depannya kamu bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik dari anak kami."
Kedua orang-tua Jefrey menatap Addara dan Wirga dengan penuh penyesalan, apalagi melihat Addara yang terlihat hancur.
Bagaimana tidak hancur, hari yang seharusnya menjadi hari paling membahagiakan dalam hidupnya, berubah menjadi hari yang paling menyedihkan.
Mimpi-mimpi indah akan pernikahan yang telah dia rangkai dengan indah, dia susun sedemikian rupa. Kini, hanya dalam hitungan detik saja, hancur tak bersisa.
"Karena tidak ada lagi yang ingin kami sampaikan, kalau begitu kami permisi dulu, Pak, Addara."
Wirga menatap datar pasangan itu, tidak menyahuti setiap ucapan dari pria yang lebih tua darinya itu, karena kekesalan yang kini dirasakan.
Dia ingin sekali marah saat ini, tapi percuma dia marah kepada pasangan itu, karena dia yakin pasangan itu juga tidak bisa berbuat apa pun.
Kedua pasangan itu, memaklumi jika Wirga bersikap dingin pada mereka karena anak mereka telah melakukan kesalahan fatal, tapi mereka tidak bisa berbuat apa pun.
Bahkan untuk datang ke sana pun, mereka harus menyiapkan mental mereka, karena di sini anaknya tidak hanya membuat Addara dan keluarnya saja yang malu, tapi dia dan seluruh keluarga besarnya pun malu.
Wirga hanya beberapa kali menghela napas sedalam-dalamnya, berusaha menenangkan hatinya agar dapat berpikir dengan jernih.
Sementara Addara, mulai mengangkat kembali wajahnya, mengusap air mata yang mulai mengalir di pipinya dan melangkah pergi dari tempat itu ketika melihat raut bingung dari para tamu yang kini tengah menatap ke arah mereka.
...----------------...
Assalamu'alaikum semuanya, bagi yang sudah mampir ke ceritaku ini selamat datang ya, dan selamat tahun baru🎉🎉
Selamat membaca, semoga suka sama cerita kehaluanku ini🤗
Janganlah menyimpan harapan terlalu tinggi pada sesama insan, karena itu adalah jalan menuju kekecewaan yang paling mudah. Seperti apa yang Addara alami saat ini, dia sudah salah karena terlalu berharap akan cintanya pada Jefrey.
Namun, kini yang terjadi adalah dia kecewa, pria yang dia harapkan akan selalu memberikan kebahagiaan untuknya, berujung kecewa yang diberikannya.
Cinta yang dia agung-agungkan, kini dengan mudahnya pria itu akhiri hanya dengan secarik kertas yang dia kirimkan padanya.
"Maaf, Pak. Apakah pernikahannya bisa dilakukan sekarang? Di mana calon pengantin laki-lakinya?"
Baru saja Addara melangkah beberapa langkah untuk pergi dari tempat itu, suara dari penghulu membuat langkahnya kembali terhenti.
Addara tidak dapat lagi membendung air mata yang sedari tadi sudah siap untuk terjun bebas di pipinya, dia kembali menagis hingga bahunya bergetar, ketika mendengar pertanyaan itu.
Bagaimana dia bisa menikah, jika mempelai prianya saja sudah mengakhiri hubungan mereka! Rasanya ingin sekali Addara berteriak mengatakan hal itu, untuk meluapkan rasa kecewanya.
Namun, semua itu hanya tertahan di kerongkongan, bahkan bibirnya tidak dapat terbuka untuk mengucapkan satu patah kata pun saat ini. Yang ada hanya air mata yang menjadi bukti, rasa sakit itu.
"Pernikahan bisa tetap dilaksanakan!"
Setiap orang menatap ke asal suara itu, begitu pun dengan Addara yang menatapnya dengan heran, entah siapa orang asing yang asal bicara itu.
"Saya yang akan menikahi mempelai wanitanya!"
Addara ternganga tak percaya dengan apa yang dikatakan pemuda yang diperkirakan seumuran dengan adiknya itu.
Pemuda yang entah dari mana asalnya itu, berjalan ke hadapannya dan menatapnya dengan yakin.
Kini bisik-bisik dari para tamu mulai terdengar di telinga Wirga dan Addara. Tidak ingin menjadi tontonan lebih lama lagi, Wirga akhirnya meminta Adara dan Zemi untuk meninggalkan tempat itu, tidak lupa juga dia meminta pemuda tadi untuk mengikutinya.
"Maaf Pak, dia anak kami, bisakah kami juga ikut?"
Pasangan paruh baya tiba-tiba saja mendekati mereka, dari barisan para tamu undangan yang turut hadir di sana.
Wirga menatap pasangan itu, dia tidak terlalu mengenal pasangan itu, tapi ingat jika pria yang diperkirakan sebagai ayah dari pria itu adalah salah satu koleganya.
Wirga hanya mengangguk sebagai jawaban, setelah itu berjalan memimpin meninggalkan tempat itu, memasuki sebuah ruangan yang sebelumnya digunakan untuk berganti pakaian.
"Maaf, bisa tolong tinggalkan dulu ruangan ini," pinta Wirga pada staf MUA yang masih berada di sana.
Staf yang sebelumnya membantu mereka bersiap itu pun, mulai meninggalkan ruangan itu, hingga kini tersisa Wirga beserta Addara dan Zemira, juga pemuda yang baru saja membuat orang bingung beserta kedua orang-tuanya.
Wirga tidak langsung bicara, tapi dia menatap satu persatu orang yang berada di sana, posisi mereka saat ini tengah berdiri. Hanya Addara saja yang duduk ditemani Zemira yang tengah mengusap punggungnya, berusaha untuk menenangkannya.
"Apa maksud dari ucapanmu tadi?" tanya Wirga dengan tatapan serius pada pemuda di depannya itu.
"Maaf untuk apa yang telah anak kami katakan barusan, dia memang belum cukup dewasa, hingga dia mengatakan hal yang asal, tanpa dipikirkan terlebih dahulu," sela sang ayah dari pemuda itu dengan tatapan tidak enaknya.
"Iya, maafkan anak kami, Pak," sahut ibu pemuda itu.
Wirga terlalu pusing dengan apa yang terjadi saat ini, dia saat ini hanya mengangguk, tidak bermaksud untuk memperpanjang masalah itu.
"Baiklah, saya tidak akan memperpanjang masalah ini, kalian bisa kembali ke tempat acara terlebih dahulu."
Addara menatap papanya dengan sedih, dia dapat melihat jika pria yang selalu menjaga dan berusaha melakukan yang terbaik untuknya itu, kini tengah tertekan dengan apa yang terjadi.
Lagi-lagi air mata kembali menetes di pipinya, kala mengingat apa yang Jefrey tulis untuknya. Semua itu karena pria itu, kini tidak hanya dia yang malu tapi juga papanya pasti malu dengan kejadian ini.
Ditambah dengan hatinya yang hancur mengingat cinta yang terjalin selama bertahun-tahun, kini hancur seketika dikala cinta itu akan mereka labuhkan di sebuah ikatan suci.
Setiap kata yang tertera di kertas putih, seperti sebuah silet yang menggores permukaan hatinya, hingga terasa ngilu sampai ke setiap syarafnya.
"Baiklah, jika begitu kami pamit dulu, Pak," pamit ayah si pemuda sambil menunduk hormat.
Wirga hanya mengangguk, sebagai jawaban. Sementara Addara hanya diam dengan tatapan kosong, adiknya masih dengan sabar mengusap punggungnya untuk menenangkan.
"Ayo," ajak ayah dari si pemuda, pada anak dan istrinya.
Pria itu menarik tangan anaknya yang dia anggap telah berbuat seenaknya, juga membuat suasana semakin runyam.
"Tunggu, Yah."
"Apalagi!" Ayah si pemuda menatap anaknya dengan sengit karena anaknya malah menghentikan langkah mereka.
"Saya benar-benar serius dengan apa yang saya ucapkan di luar tadi," ucap pemuda itu dengan wajah serius, menatap Wirga.
"Apa maksud kamu, berhentilah main-main," sahut ayahnya, masih menarik tangannya untuk membawanya pergi dari sana.
"Aku tidak main-main, Yah. Aku benar-benar ingin menikahi Mbak ini," ucapnya dengan sorot mata yang penuh dengan keyakinan.
Pemuda itu melangkah, hingga berhadapan dengan Wirga yang berdiri di samping sofa tempat Addara duduk.
"Sebelumnya, perkenalkan nama saya adalah Calvin Urfan Naransyah, saya adalah anak dari Bapak, Rainer Naransyah dan Elina Jovita. Saya ingin melamar anak Bapak."
Kedua orang-tua pemuda yang baru saja menyebutkan namanya dengan lengkap itu, melotot atas apa yang baru saja mereka dengar.
Tidak hanya mereka selaku orang-tuanya. Wirga, Addara juga Zemira pun semakin menatapnya tak percaya.
Rainer selaku ayah dari Calvin, kembali menarik tangan anaknya dengan kesal. Dia tidak menyangka anaknya akan mengatakan hal yang menurutnya konyol itu.
"Kamu mau menikahi anak Bapak, sementara kalian saja belum saling kenal." Wirga berusaha untuk tetap tenang, meskipun saat ini kepalanya terasa sudah pening.
"Kami memang tidak saling kenal," sahut Calvin menatap Addara dengan intens.
"Tapi, aku cukup tau siapa wanita yang saat ini aku lamar itu," sambungnya.
Addara mulai tersadar dari lamunannya, dia menatap dalam mata Calvin yang juga tengah menatapnya itu.
Sedari tadi dia dapat melihat keseriusan dari sorot mata Calvin, tapi dia tidak dapat melihat ekspresi yang pemuda itu tunjukkan padanya.
Hanya ada ekspresi datar, seolah apa yang tengah diucapkannya bukanlah apa-apa. Entah apa maksud pemuda itu mengatakan hal itu, Addara berpikir mungkin pemuda di depannya itu hanya sedang ingin bermain-main.
Untuk beberapa detik tidak ada yang membuka suara lagi, hanya ada keheningan, sedangkan Addara dan Calvin sibuk dengan saling menatap satu sama lainnya.
"Maaf, Pak. Kami harus berbicara dulu dengan anak kami," ucap Rainer sambil menarik paksa Calvin untuk keluar dari ruangan itu.
Karena tarikan dari Rainer, kontak mata antara Addara dan Calvin pun terputus, seiring dengan menghilangnya bayangan ketiga orang itu dari ruangan.
Setelah hanya tersisa mereka bertiga, Wirga menghadap ke arah Addara, sedikit membungkuk dan memberikan usapan lembut padan punggung anaknya.
Tanpa mengatakan apa pun, Addara langsung memeluk papanya, menangis dalam pelukan papanya.
"Yang sabar ya, Nak. Mungkin kamu dan Jef, bukan jodoh."
Addara tidak menyahutinya, hanya menagis, meluapkan kesedihan yang tengah hatinya rasakan itu.
Sementara itu, di luar ruangan terjadi pembicaraan yang cukup sengit antara Calvin dan kedua orang-tuanya.
"Jangan main-main, Vin. Pernikahan bukanlah hal sederhana yang bisa dianggap enteng," ucap Elina berusaha memberikan pemahaman pada Calvin yang bersikeras dengan ucapannya itu.
"Bagaimana bisa kamu menikah, dengan wanita yang bahkan kamu sendiri pun tidak kenal!" timpal Rainer yang sudah kesal. sejak tadi.
"Aku sudah bilang kalau aku kenal dengannya," sahut Calvin dengan kukuh.
"Ingat! Umur kamu dan dia aja jauh beda," ucap Elina lagi.
"Bu, umur hanyalah angka, apa salahnya jika aku memiliki pasangan yang umurnya beberapa tahun dariku?"
"Yah, aku janji jika kalian mau restuin niat aku ini, aku tidak akan membebani kalian untuk menghidupi aku, aku akan bertanggung jawab untuk kehidupanku dan istriku nanti."
Mendengar apa yang dikatakannya itu, Rainer malah berdecak kesal.
"Bagaimana kamu bisa menghidupi keluargamu, kamu saja bahkan belum lulus."
"Tidak perlu lulus dulu untuk menghidupi keluargaku nantinya!" sahut Calvin dengan yakin dan tegas.
Melihat Calvin yang sepertinya tidak dapat dibantah lagi, membuat kedua orang-tuanya menghela napas dengan pasrah.
Akan percuma, terus menerus menentang keinginannya itu, dia tidak ingin anak satu-satunya, malah memberontak karena mereka tidak menyetujui keinginannya itu.
Akhirnya mereka bertiga pun masuk kembali ke dalam ruangan, tempat Addara dan keluarganya berada.
"Kami minta maaf, atas apa yang terjadi beberapa saat yang lalu, maksud kami kembali ke sini adalah untuk melamar anak Bapak, sesuai dengan apa yang anak kami sampaikan sebelumnya."
Wirga kaget dengan apa yang baru saja didengarnya itu, begitu pun dengan Addara dan Zemira, mereka bertiga saling tatap, tidak menyangka keluarga itu akan mengatakan hal itu.
Mereka pikir, sebelumnya jika keluarga itu sudah pergi dari sana, tapi siapa sangka. Mereka malah kembali dan mengatakan hal yang tidak mereka duga.
Wirga menatap Addara dengan ragu, dia mencoba meminta pendapat dari anaknya itu.
Entah apa yang ada dalam pikiran Addara saat ini, hingga dia mengangguk begitu saja, pertanda dia setuju dengan lamaran dadakan itu.
"Yakin?" tanya Wirga dengan pelan.
Lagi dan lagi Addara hanya mengangguk, baginya saat ini sudah tidak penting dengan siapa dia menikah dan akan bagaimana kehidupannya kelak.
Karena mimpi-mimpi yang telah dia susun dengan indah telah hancur seperti hatinya, dia tidak lagi memikirkan apakah keputusannya ini benar atau salah.
Addara menatap jalanan yang dilewatinya dengan tatapan kosong, dia masih belum mempercayai apa yang terjadi pada dirinya itu.
Masih belum percaya jika saat ini, dia telah resmi menjadi seorang istri. Namun, bukan istri dari pria yang dicintainya, tapi dari pria yang baru dia kenal beberapa jam lalu.
Sungguh ironis, hari ini seharusnya dia merasakan kebahagiaan yang dia impikan itu, tapi kenyataan yang kini ada di depannya tidaklah sesuai dengan ekspetasinya.
Entah apa rencana Tuhan untuknya, hingga dia harus mengalami hal yang sama sekali tidak pernah dia duga seperti itu.
"Mbak!" Panggilan itu membuyarkan lamunan kosongnya.
Dia menoleh ke sampingnya, di mana seorang pemuda tengah menatapnya, membuat dia terpaku pada mata coklat gelap itu.
"Kita sudah sampai, ayo kita turun," sambungnya, lalu dengan santai turun dari mobil.
Addara melihat ke sekelilingnya, ternyata dia saat ini sudah berhenti di basement sebuah apartement yang mulai saat ini akan menjadi tempatnya tinggal.
Setelah selesai acara, pemuda itu langsung mengatakan jika dia ingin mereka tinggal, di tempat yang sebelumnya dia tinggali. Addara hanya bisa menurut, tanpa bantahan sama sekali.
Dia kemudian turun dari mobil, matanya masih berkeliling melihat keadaan di sekitarnya dan berakhir pada pemuda yang entah kenapa, rasanya berat sekali hatinya untuk mengatakan jika dia adalah suaminya.
Perbedaan usia mereka yang cukup jauh membuat dia rasanya sulit menerima, kenyataan yang kini ada di depan mata.
Tujuh tahun adalah jarak yang cukup jauh, kini dia mulai berpikir. Apakah di telah salah mengambil keputusan, bagaimana bisa dia menikah dengan pemuda yang umurnya jauh di bawahnya.
Pemuda yang seharusnya masih bisa menikmati masa-masa bebasnya dengan teman sebayanya, bukannya terikat dalam pernikahan yang menurutnya belum cocok untuknya.
Lagi dan lagi Addara menarik napas sepenuh dadanya, mencoba melegakan hatinya yang terasa kosong.
"Ayo kita masuk," ajaknya lagi dengan membawa koper yang berisi barang-barangnya.
"Iya," sahutnya dengan nada pelan diiringi anggukan samar.
Mereka berjalan beriringan menuju unit apartment itu, Addara sesekali mencuri pandangan ke arah Calvin, dia melihat ekspresi pemuda itu yang terlihat datar.
Apa dia menyesal dengan pernikahan ini?
Addara menduga-duga, mungkin Calvin menyesali pernikahan itu, hingga sejak tadi dia hanya berbicara singkat, juga menatap lurus ke depannya.
"Di sini hanya ada satu kamar, tapi Mbak, tenang aja. Aku nanti bisa tidur di sofa," ucap Calvin ketika mereka sudah berada di dalam unit apartment.
Addara hanya bisa mengangguk sebagai jawaban, dia merasa bingung harus seperti apa, kecanggungan sangat terasa dalam dirinya dengan situasi itu.
Bagaimana tidak merasa canggung, harus berdampingan dengan orang asing, apalagi dengan ikatan yang serius seperti itu.
"Kalau gitu, aku mau bersih-bersih dulu," pamit Calvin yang langsung berlalu memasuki ruangan itu sambil membawa kopernya, tanpa menunggu jawabannya.
Addara menatap tempat itu, ruangan yang tidak terlalu luas, di sana juga hanya ada satu set sofa berwarna abu, dengan televisi yang berada di atas meja khusus.
Dinding di ruangan itu kosong, tidak ada satu pun foto atau penghias apa pun yang mengisi dinding berwarna putih polos di ruangan itu.
Setelah puas melihat-lihat, Addara memilih duduk terlebih dahulu di sofa, sambil menunggu Calvin membersihkan dirinya, sebelum dia pun membersihkan diri.
Hanya perlu menunggu sekitar 15 menit, Calvin telah keluar dari kamar dengan rambut yang setengah basah dan wajahnya terlihat tampak lebih segar.
"Sekarang Mbak masuklah, saya akan membuatkan makanan untuk kita," ucap Calvin menatapnya sekilas, lalu pergi menuju ke dapur yang hanya disekat oleh tembok setengahnya, hingga dia dapat melihat dapur dari ruang tengah itu.
Melihat Calvin sudah menyibukkan dirinya di depan kompor, Addara secara perlahan mulai melangkah menuju ke kamar.
Dia mengambil keperluan mandinya yang sudah dia persiapkan sebelumnya di dalam koper, niat awal adalah dia akan menghabiskan malam pertama di hotel yang sudah dia dan Jeffrey persiapkan.
Kamar yang akan menjadi saksi malam pertama mereka, bahkan mereka sengaja menyewa sebuah presiden suite untuk malam sakral itu.
Memikirkan apa yang terjadi padanya sekarang, membuat dadanya kembali terasa ngilu, di sudut hatinya yang terdalam, dia masih belum mempercayai semua itu.
Dia masih belum percaya, jika pria yang selama beberapa tahun menjadi kekasihnya, menunjukkan cinta yang teramat besar padanya, ternyata semua itu hanyalah sandiwara.
Cinta yang dia anggap hanya untuknya, ternyata hanyalah cinta semu yang dia bagi dengan hati lain, cinta yang awalnya selalu membuat dia merasa terbang di atas awan, kini telah melemparnya sampai ke dasar jurang yang teramat menyakitkan.
Pantulan dirinya di depan cermin yang masih berbalut baju pengantin yang beberapa jam lalu, terlihat berbinar bahagia, kini menjadi layu bagaikan bunga yang dipetik dan dibiarkan begitu saja.
"Apa salahku? Kenapa kamu melakukan ini, Jef?" gumamnya dengan rasa sakit yang teramat dalam dadanya.
Tidak mudah dirinya untuk ikhlas menerima semua ini, rasa sakit yang dia rasakan sama rata dengan rasa cinta yang sudah memenuhi setiap rongga dalam hatinya untuk pria itu.
Addara mulai melepaskan seluruh kain yang melekat di tubuh rampingnya, lalu mengguyur tubuhnya dengan air yang mengalir dari shower, berharap aliran air itu mampu membawa serta merta rasa sakit yang hanya bisa dirasakannya itu.
Setelah merasa cukup kedinginan, dia akhirnya mengakhiri sesi mandinya itu, lalu berpakaian dan keluar dari kamar.
Ketika dia keluar dari kamar dengan rambut yang masih setengah basah, aroma harum dari masakan langsung memenuhi indra penciumannya.
Ketika menginjakkan kakinya ke dapur, dia melihat beberapa menu makanan sudah tersaji di meja makan yang berbentuk segi empat dengan empat kursi itu.
Entah sudah berapa lama dia mandi, hingga pemuda itu sudah menyelesaikan masakan dengan menu yang sampai beberapa macam seperti itu.
"Ayo makanlah, Mbak," ucap Calvin sambil membawa dua gelas besar air putih dan menyimpannya di meja.
"Kamu masak sendiri?" tanya Addara tak percaya.
Hanya anggukan kepala yang Calvin berikan atas pertanyaan dari Addara itu, pemuda itu sudah duduk manis di kursi yang berada di samping Addara yang masih berdiri.
Karena perutnya memang terasa lapar, Addara pun mulai mendudukkan dirinya di kursi yang ada di samping Calvin. Dia memang belum memasukkan apa pun ke dalam mulutnya sejak pagi, jadi ketika melihat makanan, perutnya terasa meronta minta diisi.
Ketika suapan pertama masuk ke dalam mulutnya, dia cukup takjub karena ternyata makanan itu enak, ah ralat. Bukan enak, tapi itu benar-benar enak, tidak beda jauh dengan makanan yang biasa dia makan dari restoran mewah.
Saking enaknya makanan itu, dia sampai tanpa sadar terus memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya dengan sedikit terburu-buru tidak menyadari jika pemuda di sampingnya melirik ke arahnya.
Pemuda itu tampak makan dengan tenang, sedangkan matanya terus mencuri-curi lihat pada Addara, bibir pemuda itu tampak melengkung ke atas, hanya sedikit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!