Edinburgh
Edinburgh adalah sebuah kota yang menyuguhkan keindahan dengan nuansa negeri dongeng, serta berhiaskan bangunan-bangunan bergaya arsitektur era Victoria yang menjulang dan terlihat luar biasa. Atmosfir kota itu begitu tenang, membuat siapa pun yang mengunjunginya akan terhanyut dan seolah dimanjakan dalam suasana romansa manis penuh cinta.
Tepat di salah satu sudut kota tersebut, pada sebuah kawasan pemukiman yang begitu asri dan hening, tinggal seorang gadis cantik berambut pirang dengan sepasang matanya yang berwarna hijau.
Blaire Shuterland. Dia adalah gadis berusia dua puluh tiga tahun. Gadis itu menjalani hidupnya hanya berdua dengan sang ibu, yaitu Viktorija Shuterland yang merupakan seorang janda cantik berusia empat puluh tujuh tahun. Dia adalah pemilik dari sebuah kedai kopi sederhana dan berjarak sekitar lima belas menit dari kediaman mereka.
"Blaire, kenapa kerjamu lamban sekali? Ini adalah akhir pekan. Kau tahu biasanya kita selalu kebanjiran banyak pengunjung. Ayo, cepat selesaikan tugasmu, lalu bantu aku menyiapkan hal lain!" tegur Viktorija setengah berseru dari bagian dalam kedai dengan ukuran tidak terlalu besar itu. Dia merasa heran atas sikap anak gadisnya yang sejak tadi hanya berdiri di luar, dan seperti tengah asyik memperhatikan sesuatu.
"Iya, Bu. Aku sudah selesai," sahut gadis cantik berambut pirang tersebut. Blaire biasa menggulung rambutnya yang panjang dengan asal-asalan menggunakan sebuah jepitan kecil. Walaupun tidak terlihat rapi, tapi hal itu tak membuat kecantikan gadis dengan postur 170 cm tersebut menjadi berkurang.
Sesaat kemudian, Blaire memasukkan lap yang baru digunakan untuk membersihkan kaca ke dalam saku apronnya. Namun, sebelum kembali ke dalam kedai dan melanjutkan pekerjaan, gadis itu menyempatkan diri untuk menoleh lagi pada toko barang antik yang berada di sebelah kedai milik ibunya. Tak terlihat si pemilik toko sebelah keluar dari sana. Blaire pun memutuskan untuk masuk.
"Apa Ibu tahu kenapa tuan MacKenzie menjual toko barang antik miliknya?" tanya Blaire sambil membantu sang ibu menyiapkan segala hal sebelum mereka membuka kedai.
"Tuan MacKenzie memutuskan untuk ikut bersama anaknya yang tinggal di Dundee. Lagi pula, dia sudah tua dan hidup seorang diri di kota ini," jelas Viktorija, wanita dengan rambut sebahu yang juga berwarna pirang seperti sang putri.
"Ya. Kau benar, Bu. Kurasa usianya sudah hampir tujuh puluh tahun saat ini." Blaire menanggapi ucapan sang ibu tanpa menoleh padanya, hingga dia menyelesaikan pekerjaan. Setelah itu, gadis cantik tersebut kembali ke depan untuk membalik tulisan yang menunjukkan bahwa kedai mereka telah buka.
Sedangkan Viktorija kembali ke dapur. Dia tengah menyiapkan bahan makanan di sana. Namun, tak berselang lama wanita itu muncul lagi untuk sekadar memastikan agar Blaire melakukan tugasnya dengan baik. Dia tahu benar karakter putrinya. Blaire selalu mengerjakan segala sesuatu dengan tenang, tak peduli meskipun mereka sedang kebanjiran pengunjung.
"Apa pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Viktorija sambil berdiri di ambang pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang utama kedai. Dia lalu menghampiri putrinya yang berdiri di balik meja pemesanan.
"Sedikit lagi, Bu," sahut Blaire seraya menurunkan tubuh. Entah apa yang tengah dia cari dari deretan pintu kecil meja di bagian bawah. Sedangkan Viktorija memilih untuk kembali ke dalam dapur. Dia juga harus menyelesaikan pekerjaannya, dan membiarkan Blaire berada di depan seorang diri.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu depan dibuka oleh seseorang. Sepertinya ada pengunjung yang masuk. Blaire pun segera berdiri untuk menyambut pembeli pertama mereka siang itu.
"Selamat siang," sapa gadis cantik bermata hijau tadi dengan ramah. Senyumannya terlihat amat sempurna dan juga tulus. Namun, perlahan Blaire mengulum bibirnya, saat dia mendapati seorang pria dengan postur tegap disertai tatapan serta ekspresi dingin dan datar. Tidak tampak sama sekali keramahan dari sorot matanya. "Ada yang bisa kubantu?" tanya Blaire ragu. Sikap yang selalu dia tunjukkan saat berhadapan dengan pria tersebut.
"Kopi," jawab pria itu singkat. "Seperti yang kemarin," ucapnya lagi setelah beberapa saat terdiam.
"Oh iya," sahut Blaire seraya kembali memamerkan senyumannya yang manis, meskipun terpaksa. Dia sudah mengetahui maksud dari pria di hadapannya, berhubung itu adalah kesekian kalinya si pria memesan kopi yang sama secara berturut-turut setiap hari. "Silakan tunggu sebentar," ucap Blaire dengan tangan terarah pada salah satu bangku khusus untuk menunggu pesanan.
"Baik," balas pria dengan mata abu-abu tadi. Tanpa berbasa-basi lagi, dia berlalu dari hadapan Blaire kemudian duduk dengan posisi setengah membungkukkan badan. Sesekali, pria itu menyentuh permukaan bibir dengan jemarinya yang tampak kuat. Pada jari manis dan telunjuk, terdapat cincin berwarna hitam dengan ukiran aneh. Sementara tatap matanya begitu tajam. Akan tetapi, entah apa yang tengah menjadi fokus dari si pria saat itu.
Blaire yang tengah menyiapkan pesanan, sesekali melirik padanya. Dia sudah beberapa kali bertemu dengan pria berkulit cokelat tersebut. Mereka bahkan kerap berpapasan ketika di jalan sekitar pemukiman tempat tinggal Blaire. Selain itu, pria tadi juga merupakan pemilik dari toko barang antik yang ada di sebelah kedai milik ibunya. “Pesanan Anda sudah siap.” Blaire sedikit berseru sambil meletakkan cup berisi kopi yang telah tertutup rapat.
Pria tampan tadi segera menoleh ke arahnya sambil berdiri. Dia berjalan mendekat dengan sikap yang terlihat begitu gagah di mata Blaire. “Pure black. No sugar,” ucapnya sambil tersenyum ramah. “As usual,” imbuhnya lagi.
“Thank you.” Satu tangan pria itu merogoh kantong dan mengeluarkan beberapa uang penny, sedangkan tangan lainnya meraih kopi panas tadi.
“Apa perlu kutuliskan nama atau kata-kata mutiara pada cup kopi Anda, Sir?” tawar Blaire mencoba berbasa-basi. Sepasang bola matanya yang indah bergerak dengan tidak beraturan.
Pria yang sudah hendak beranjak dari sana, kembali berbalik dan menatap Blaire dengan sorot aneh. “Untuk apa?” tanyanya dingin dan dengan intonasi yang terdengar begitu kaku.
“Entahlah. Mungkin sebuah kata-kata penyemangat untuk menyambut hari ini agar harimu jauh lebih ceria. Aku bisa menuliskan nama juga pesan dan kesan di sana. Um, sebutkan siapa namamu?” pinta Blaire dengan sikapnya yang terlihat akrab. Pada akhirnya, rasa penasaran yang telah dia pendam selama berhari-hari di dalam hati, dapat dia ungkapkan.
Blaire adalah tipe gadis yang ramah, ceria, dan pandai bergaul. Bertemu dengan orang baru merupakan salah satu hal yang sangat dia sukai. Namun, sayang sekali karena orang baru yang berdiri di hadapannya tersebut, seperti tak menyukai semua
kata-kata yang dia ucapkan. Hal itu terbukti dari sikapnya yang sama sekali tidak menanggapi Blaire. Pria itu lebih memilih pergi dan berlalu dari kedai dengan begitu saja.
Blaire mengembuskan udara dari mulut sampai mengenai poninya hingga sedikit terangkat. Baru kali ini gadis itu menjumpai pria yang sama sekali tidak tertarik, bahkan hanya untuk sekadar bertegur sapa. Ingin rasanya dia mengejar dan mencekal pergelangan tangan si pria, lalu memaksanya untuk menyebutkan nama. Akan tetapi, angan-angan gila Blaire terpaksa harus dia hentikan, ketika serombongan gadis muda yang merupakan langganan kedainya memasuki tempat itu.
“Buatkan aku Macchiato, Blaire. Aku juga ingin cup bercorak panda itu sebagai wadahnya,” tunjuk salah seorang gadis yang Blaire kenal dengan nama Sandra.
“Aku ingin Latte saja,” ucap satu gadis lain yang bernama Eileen. “Hei, Blaire. Kulihat tadi pria pemilik toko barang antik yang baru, membeli kopi di tempatmu, ya?” tanyanya kemudian.
“Pria itu selalu datang kemari pada jam dan dengan pesanan yang sama setiap harinya. Itu berlangsung dari semenjak dia mengambil alih kepemilikan toko dari tuan MacKenzie. Sedikit asupan semangat untuk pekerjaanku yang membosankan," celoteh Blaire.
"Aku mendengarmu, Blaire!" seru Viktorija dari dalam dapur, membuat gadis bermata hijau itu segera menutup mulutnya. Sementara gadis-gadis tadi hanya tertawa.
"Ini semua gara-gara kalian!" protes Blaire sambil melotot. "Lagi pula, kenapa tiba-tiba kalian membahas tentang pria itu? Apakah kalian memiliki sedikit informasi tentangnya?” selidik gadis itu dengan setengah berbisik.
“Kudengar dari kakakku bahwa pria itu adalah seseorang yang sangat misterius. Dia bahkan sampai tak mau menyebutkan namanya, ketika ayahku mengajak untuk berkenalan,” terang Eileen. Nada bicaranya pelan tapi terdengar sangat menggebu.
“Benarkah itu?” sahut gadis-gadis yang datang bersama Eileen secara serempak.
“Ya," jawab Eileen, "bisa jadi bahwa dia adalah seorang agen mata-mata atau mungkin ... buronan,” desis gadis berambut cokelat sebahu tersebut dengan penuh percaya diri. Ucapannya tadi telah berhasil membuat gadis-gadis muda yang sedang berkerumun, langsung membelalakkan mata secara bersamaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments
Weny
Salam kenal Kak, lama ga nulis di ente, nggak sengaja buka pf ini dan liat novel judulnya Edinburgh, kota favoritku, keren banget, semangat kaka udah jadiin kota favoritku sebagai judul 😍💕💙
2023-04-10
1
mamayot
kak ma'af melenceng, mau tanya biasa nya klau penarikan tgal 6. tanggal berapa gaji kita masuk ke Atm, tolong di jawab kak
2023-02-28
0
Mystera11
mampir thor...suka sm karakter tokoh pria yg dingin&misterius....😍
2023-01-24
1