NovelToon NovelToon

Edinburgh

Mysterious Man, No Sugar

Edinburgh adalah sebuah kota yang menyuguhkan keindahan dengan nuansa negeri dongeng, serta berhiaskan bangunan-bangunan bergaya arsitektur era Victoria yang menjulang dan terlihat luar biasa. Atmosfir kota itu begitu tenang, membuat siapa pun yang mengunjunginya akan terhanyut dan seolah dimanjakan dalam suasana romansa manis penuh cinta.

Tepat di salah satu sudut kota tersebut, pada sebuah kawasan pemukiman yang begitu asri dan hening, tinggal seorang gadis cantik berambut pirang dengan sepasang matanya yang berwarna hijau.

Blaire Shuterland. Dia adalah gadis berusia dua puluh tiga tahun. Gadis itu menjalani hidupnya hanya berdua dengan sang ibu, yaitu Viktorija Shuterland yang merupakan seorang janda cantik berusia empat puluh tujuh tahun. Dia adalah pemilik dari sebuah kedai kopi sederhana dan berjarak sekitar lima belas menit dari kediaman mereka.

"Blaire, kenapa kerjamu lamban sekali? Ini adalah akhir pekan. Kau tahu biasanya kita selalu kebanjiran banyak pengunjung. Ayo, cepat selesaikan tugasmu, lalu bantu aku menyiapkan hal lain!" tegur Viktorija setengah berseru dari bagian dalam kedai dengan ukuran tidak terlalu besar itu. Dia merasa heran atas sikap anak gadisnya yang sejak tadi hanya berdiri di luar, dan seperti tengah asyik memperhatikan sesuatu.

"Iya, Bu. Aku sudah selesai," sahut gadis cantik berambut pirang tersebut. Blaire biasa menggulung rambutnya yang panjang dengan asal-asalan menggunakan sebuah jepitan kecil. Walaupun tidak terlihat rapi, tapi hal itu tak membuat kecantikan gadis dengan postur 170 cm tersebut menjadi berkurang.

Sesaat kemudian, Blaire memasukkan lap yang baru digunakan untuk membersihkan kaca ke dalam saku apronnya. Namun, sebelum kembali ke dalam kedai dan melanjutkan pekerjaan, gadis itu menyempatkan diri untuk menoleh lagi pada toko barang antik yang berada di sebelah kedai milik ibunya. Tak terlihat si pemilik toko sebelah keluar dari sana. Blaire pun memutuskan untuk masuk.

"Apa Ibu tahu kenapa tuan MacKenzie menjual toko barang antik miliknya?" tanya Blaire sambil membantu sang ibu menyiapkan segala hal sebelum mereka membuka kedai.

"Tuan MacKenzie memutuskan untuk ikut bersama anaknya yang tinggal di Dundee. Lagi pula, dia sudah tua dan hidup seorang diri di kota ini," jelas Viktorija, wanita dengan rambut sebahu yang juga berwarna pirang seperti sang putri.

"Ya. Kau benar, Bu. Kurasa usianya sudah hampir tujuh puluh tahun saat ini." Blaire menanggapi ucapan sang ibu tanpa menoleh padanya, hingga dia menyelesaikan pekerjaan. Setelah itu, gadis cantik tersebut kembali ke depan untuk membalik tulisan yang menunjukkan bahwa kedai mereka telah buka.

Sedangkan Viktorija kembali ke dapur. Dia tengah menyiapkan bahan makanan di sana. Namun, tak berselang lama wanita itu muncul lagi untuk sekadar memastikan agar Blaire melakukan tugasnya dengan baik. Dia tahu benar karakter putrinya. Blaire selalu mengerjakan segala sesuatu dengan tenang, tak peduli meskipun mereka sedang kebanjiran pengunjung.

"Apa pekerjaanmu sudah selesai?" tanya Viktorija sambil berdiri di ambang pintu yang menghubungkan dapur dengan ruang utama kedai. Dia lalu menghampiri putrinya yang berdiri di balik meja pemesanan.

"Sedikit lagi, Bu," sahut Blaire seraya menurunkan tubuh. Entah apa yang tengah dia cari dari deretan pintu kecil meja di bagian bawah. Sedangkan Viktorija memilih untuk kembali ke dalam dapur. Dia juga harus menyelesaikan pekerjaannya, dan membiarkan Blaire berada di depan seorang diri.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara pintu depan dibuka oleh seseorang. Sepertinya ada pengunjung yang masuk. Blaire pun segera berdiri untuk menyambut pembeli pertama mereka siang itu.

"Selamat siang," sapa gadis cantik bermata hijau tadi dengan ramah. Senyumannya terlihat amat sempurna dan juga tulus. Namun, perlahan Blaire mengulum bibirnya, saat dia mendapati seorang pria dengan postur tegap disertai tatapan serta ekspresi dingin dan datar. Tidak tampak sama sekali keramahan dari sorot matanya. "Ada yang bisa kubantu?" tanya Blaire ragu. Sikap yang selalu dia tunjukkan saat berhadapan dengan pria tersebut.

"Kopi," jawab pria itu singkat. "Seperti yang kemarin," ucapnya lagi setelah beberapa saat terdiam.

"Oh iya," sahut Blaire seraya kembali memamerkan senyumannya yang manis, meskipun terpaksa. Dia sudah mengetahui maksud dari pria di hadapannya, berhubung itu adalah kesekian kalinya si pria memesan kopi yang sama secara berturut-turut setiap hari. "Silakan tunggu sebentar," ucap Blaire dengan tangan terarah pada salah satu bangku khusus untuk menunggu pesanan.

"Baik," balas pria dengan mata abu-abu tadi. Tanpa berbasa-basi lagi, dia berlalu dari hadapan Blaire kemudian duduk dengan posisi setengah membungkukkan badan. Sesekali, pria itu menyentuh permukaan bibir dengan jemarinya yang tampak kuat. Pada jari manis dan telunjuk, terdapat cincin berwarna hitam dengan ukiran aneh. Sementara tatap matanya begitu tajam. Akan tetapi, entah apa yang tengah menjadi fokus dari si pria saat itu.

Blaire yang tengah menyiapkan pesanan, sesekali melirik padanya. Dia sudah beberapa kali bertemu dengan pria berkulit cokelat tersebut. Mereka bahkan kerap berpapasan ketika di jalan sekitar pemukiman tempat tinggal Blaire. Selain itu, pria tadi juga merupakan pemilik dari toko barang antik yang ada di sebelah kedai milik ibunya. “Pesanan Anda sudah siap.” Blaire sedikit berseru sambil meletakkan cup berisi kopi yang telah tertutup rapat.

Pria tampan tadi segera menoleh ke arahnya sambil berdiri. Dia berjalan mendekat dengan sikap yang terlihat begitu gagah di mata Blaire. “Pure black. No sugar,” ucapnya sambil tersenyum ramah. “As usual,” imbuhnya lagi.

“Thank you.” Satu tangan pria itu merogoh kantong dan mengeluarkan beberapa uang penny, sedangkan tangan lainnya meraih kopi panas tadi.

“Apa perlu kutuliskan nama atau kata-kata mutiara pada cup kopi Anda, Sir?” tawar Blaire mencoba berbasa-basi. Sepasang bola matanya yang indah bergerak dengan tidak beraturan.

Pria yang sudah hendak beranjak dari sana, kembali berbalik dan menatap Blaire dengan sorot aneh. “Untuk apa?” tanyanya dingin dan dengan intonasi yang terdengar begitu kaku.

“Entahlah. Mungkin sebuah kata-kata penyemangat untuk menyambut hari ini agar harimu jauh lebih ceria. Aku bisa menuliskan nama juga pesan dan kesan di sana. Um, sebutkan siapa namamu?” pinta Blaire dengan sikapnya yang terlihat akrab. Pada akhirnya, rasa penasaran yang telah dia pendam selama berhari-hari di dalam hati, dapat dia ungkapkan.

Blaire adalah tipe gadis yang ramah, ceria, dan pandai bergaul. Bertemu dengan orang baru merupakan salah satu hal yang sangat dia sukai. Namun, sayang sekali karena orang baru yang berdiri di hadapannya tersebut, seperti tak menyukai semua

kata-kata yang dia ucapkan. Hal itu terbukti dari sikapnya yang sama sekali tidak menanggapi Blaire. Pria itu lebih memilih pergi dan berlalu dari kedai dengan begitu saja.

Blaire mengembuskan udara dari mulut sampai mengenai poninya hingga sedikit terangkat. Baru kali ini gadis itu menjumpai pria yang sama sekali tidak tertarik, bahkan hanya untuk sekadar bertegur sapa. Ingin rasanya dia mengejar dan mencekal pergelangan tangan si pria, lalu memaksanya untuk menyebutkan nama. Akan tetapi, angan-angan gila Blaire terpaksa harus dia hentikan, ketika serombongan gadis muda yang merupakan langganan kedainya memasuki tempat itu.

“Buatkan aku Macchiato, Blaire. Aku juga ingin cup bercorak panda itu sebagai wadahnya,” tunjuk salah seorang gadis yang Blaire kenal dengan nama Sandra.

“Aku ingin Latte saja,” ucap satu gadis lain yang bernama Eileen. “Hei, Blaire. Kulihat tadi pria pemilik toko barang antik yang baru, membeli kopi di tempatmu, ya?” tanyanya kemudian.

“Pria itu selalu datang kemari pada jam dan dengan pesanan yang sama setiap harinya. Itu berlangsung dari semenjak dia mengambil alih kepemilikan toko dari tuan MacKenzie. Sedikit asupan semangat untuk pekerjaanku yang membosankan," celoteh Blaire.

"Aku mendengarmu, Blaire!" seru Viktorija dari dalam dapur, membuat gadis bermata hijau itu segera menutup mulutnya. Sementara gadis-gadis tadi hanya tertawa.

"Ini semua gara-gara kalian!" protes Blaire sambil melotot. "Lagi pula, kenapa tiba-tiba kalian membahas tentang pria itu? Apakah kalian memiliki sedikit informasi tentangnya?” selidik gadis itu dengan setengah berbisik.

“Kudengar dari kakakku bahwa pria itu adalah seseorang yang sangat misterius. Dia bahkan sampai tak mau menyebutkan namanya, ketika ayahku mengajak untuk berkenalan,” terang Eileen. Nada bicaranya pelan tapi terdengar sangat menggebu.

“Benarkah itu?” sahut gadis-gadis yang datang bersama Eileen secara serempak.

“Ya," jawab Eileen, "bisa jadi bahwa dia adalah seorang agen mata-mata atau mungkin ... buronan,” desis gadis berambut cokelat sebahu tersebut dengan penuh percaya diri. Ucapannya tadi telah berhasil membuat gadis-gadis muda yang sedang berkerumun, langsung membelalakkan mata secara bersamaan.

Being Silly

"Jangan asal bicara, Lee. Kau sedang mempertaruhkan nama baik seorang pria tampan di sini," tegur Sandra setelah menerima pesanannya. Gadis-gadis itu terus berkerumun di meja pemesanan, sambil membahas si pria asing pemilik toko barang antik sebelah. Suara mereka riuh rendah dengan obrolan-obrolan yang disertai tawa riang. Sungguh mereka teramat menikmati masa muda yang sangat indah. Tak ada beban dan tanggung jawab apapun, tidak seperti Blaire yang harus selalu membantu sang ibu di kedai.

"Apa kalian tidak ingin duduk, Nona-nona?" tegur Viktorija yang sebenarnya sudah terbiasa mendapati pemandangan seperti tadi, setiap kali mereka datang ke sana.

"Kami akan langsung pulang, Nyonya Shuterland," sahut Eileen dengan segera.

"Kalau begitu, tolong beri kesempatan pengunjung lain untuk melakukan pemesanan," tegur Viktorija lagi. Dia berusaha terlihat sabar dan ramah kepada siapa pun yang masuk ke kedai itu.

Gadis-gadis tadi segera menoleh. Saking asyiknya memperbincangkan si pria misterius, mereka tak menyadari bahwa ada beberapa pengunjung yang sudah berdiri di antrian untuk melakukan pemesanan. Akhirnya, setelah masing-masing mendapatkan apa yang mereka inginkan, para gadis itu pun berpamitan kepada Blaire. Sementara Viktorija kembali ke dalam dapur.

"Sampai besok, Blaire. Ingat, jangan lupa untuk datang ke pesta di rumahku," pesan Eileen. Gadis itu berkata sambil terus berlalu keluar dari kedai, diikuti rekan-rekannya yang lain. Sedangkan Blaire tidak menjawab. Dia hanya mengacungkan ibu jari untuk menanggapi ucapan Elileen.

Akhir pekan yang terasa begitu sibuk dan melelahkan. Sesuai dengan apa yang Viktorja katakan sebelum membuka kedainya tadi, mereka memang kebanjiran pengunjung hari itu. Namun, Viktorija tetap menutup kedai tepat pukul lima sore. Dia harus pulang, dan menunaikan tugas untuk menyiapkan makan malam di rumah.

"Aku ingin ke perpustakaan dulu sebentar, Bu," ucap Blaire meminta izin setelah pintu kedai terkunci dari luar.

"Jangan mencari alasan. Aku tidak suka jika kau pulang terlambat," tegur Viktorija dengan setengah tak percaya.

"Astaga, Bu. Kau pikir aku akan ke mana?" protes Blaire seraya berdiri sambil memasukkan kedua tangan pada saku chesterfield coat cokelat yang dia kenakan.

"Aku janji akan pulang sebelum menu makan malam tersaji di meja," ucap gadis itu lagi untuk meyakinkan sang ibu. Blaire tersenyum manis dengan disertai lirikan matanya yang indah.

"Kau seperti mendiang ayahmu. Selalu saja membuatku tak bisa menolak." Viktorija mengempaskan napas pendek. "Sebelum makam malam," tegasnya lagi dengan telunjuk lurus ke atas, sebagai tanda menegaskan.

"Siap, Nyonya Shuterland," sahut Blaire tampak sumringah. Dia lalu mencium pipi sang ibu, sebelum mereka mengambil arah yang berlawanan. Gadis itu sempat melirik toko barang antik yang sudah lebih dulu tutup. Blaire pun melangkah dengan cepat. Dia hanya memiliki waktu setengah jam saja, untuk mencari buku yang hendak dia pinjam.

Akan tetapi, sepertinya Blaire tak akan mendapat apa-apa, setelah pandangannya tertuju pada pria berjaket hitam yang ternyata juga ada di perpustakaan. Bukannya memilih buku yang ingin dia pinjam, gadis itu justru sibuk memperhatikan si pria misterius yang sama sekali tak menyadari kehadirannya. Entah tak menyadari, atau memang sengaja mengabaikan. Pria itu baru menoleh, ketika Blaire sudah berdiri di rak yang sama.

"Marcus Aurelius. Kau membaca buku filsafat?" tanya Blaire berbasa-basi.

"Ya," jawab si pria yang hingga detik itu tak diketahui namanya.

"Aku juga. Itu adalah buku yang sangat bagus. Bukan kematian yang harus ditakuti seseorang, tetapi dia harus takut karena tidak pernah memulai hidup. Aku menyukai kata-kata itu dan semua kata-kata bijak lainnya yang ...."

"Aku sudah menghapalnya di luar kepala," potong si pria. Dia bergeser sedikit menjauh dari Blaire. Jelas sudah bahwa dirinya merasa terganggu, sehingga menghindar dari gadis berambut pirang tadi. Namun, Blaire tak putus asa. Dia pun ikut bergeser mengikuti pria itu. Blaire menjadi lupa dengan niatnya untuk mencari buku yang hendak dia baca, karena terlalu sibuk memperhatikan pria tampan misterius tersebut.

Bagaimana tidak, pria itu begitu berbeda. Dia memiliki postur tegap dan teramat sempurna bak seorang malaikat yang turun dari surga. Rambut hitamnya tersisir rapi dan kelimis. Dia juga memiliki kulit cokelat dengan sebuah tato berukuran kecil di dekat ibu jari. Sementara garis wajahnya begitu tegas dan menampilkan sisi maskulin seorang pria sejati. Selain itu, pria tadi juga memiliki mata abu-abu bercahaya, begitu indah serta memikat siapa pun yang menatapnya.

Satu lagi yang membuat Blaire merasa tertarik kepada tuan rupawan penuh pesona tersebut, yaitu karena betapa dia sangat misterius. Pembawaannya yang tenang dan terlihat begitu matang. Tak seperti pemuda-pemuda berisik yang selama ini selalu mengganggu serta berusaha menarik perhatian Blaire.

“Apa kau tak punya kesibukan lain selain mengikutiku?” tanya pria itu ketus pada Blair yang berdiri tak jauh darinya.

“Seperti yang kau lihat. Aku berada di perpustakaan. Itu artinya, aku juga tengah mencari buku. Kebetulan saja arah berjalan kita sama,” kilah Blaire dengan tenang.

Pria itu menggeleng pelan, kemudian berlalu menuju meja pustakawan sambil membawa beberapa buah buku yang dia ambil dari rak berbeda. Melihat hal itu, Blair buru-buru menarik satu buku secara acak dari rak paling dekat, lalu menyusul si pria dan ikut berdiri di sampingnya. Blair turut meletakkan buku tadi di hadapan pustakawan yang sudah dia kenal.

“Apa kau mengerti istilah ‘antri’, Blaire? Ambil kembali bukumu, karena aku harus melayani tuan ini lebih dulu,” tegas Mr. Harrison, sang pustakawan. Dia adalah pria paruh baya dengan rambut cokelat yang tersisir rapi ke samping.

Blaire meringis kecil saat menyadari sikap bodohnya. Dengan terpaksa, gadis itu pun bermaksud mengambil buku yang tergeletak di atas meja Mr. Harrison. Namun, alangkah terkejutnya ketika dia membaca judul buku yang telah dirinya pilih. “Se•x In Five Minutes?” gumamnya mengeja. Blaire tertegun sejenak dengan bola mata yang bergerak tak beraturan. Diliriknya si pria tampan nan misterius yang ternyata ikut membaca judul buku yang dia bawa.

Panik, Blair mengambil buku itu dan segera mendekapnya dengan erat di dada.

Dengan wajah yang memerah, gadis itu mundur beberapa langkah sambil menunduk. Setelah dirasa cukup jauh, Blaire membalikkan badan dan mengembalikan buku tadi ke tempatnya. Kacau dan memalukan. Dia tak sanggup lagi untuk bertemu pria tampan tadi.

“Kenapa kau bodoh sekali, Blaire?” Gadis cantik itu memukul kepalanya pelan. Dia bermaksud untuk segera pergi dari sana. Akan tetapi, Blaire teringat bahwa dirinya sudah terlanjur berpamitan pada sang ibu untuk meminjam buku. Andai dia pulang tanpa membawa apapun, pastilah Victorija akan mulai berubah profesi menjadi seorang detektif. Dia akan mencecar Blaire dengan berbagai macam pertanyaan.

Akhirnya, gadis itu memutuskan untuk kembali ke dalam dan mengambil apa yang tadi sempat dia pilih. Blaire juga meraih satu buku lain dari rak yang berbeda. Sebuah bacaan yang entah berjudul apa. Blaire lalu kembali menghadap pada Mr. Harrison, kemudian meletakkan dua buku itu di sana.

Sambil menunggu Mr. Harrison mencatat buku-buku yang akan dia pinjam, Blaire menyapu pandangannya ke setiap sudut perpustakaan yang luas dengan suasana remang-remang itu. Tampaklah si pria misterius berjalan menuju pintu keluar, dia serius menatap layar ponselnya.

“Ini saja?” tanya sang pustakawan, membuat Blaire segera mengalihkan perhatian pada pria paruh baya berambut cokelat itu.

“Ya. Itu saja,” sahut Blair pelan, kemudian menerima buku yang tadi dia pilih dari tangan Mr. Harrison. Kaki jenjang gadis tersebut mulai berjalan cepat menyusul si pria tampan yang sudah lebih dulu meninggalkan perpustakaan. Jalan yang dia lalui searah dengan si pria, karena mereka memang bertetangga. Pria misterius tadi, baru pindah ke daerah itu sekitar dua minggu yang lalu.

Sesampainya di depan rumah, pria itu tampak sibuk mencari kunci di dalam saku jaket dan berusaha membuka pintu.

Sedangkan Blaire ikut berhenti di depan rumah si pria sambil terus memperhatikan gerak-geriknya. “My name is Blaire Shuterland by the way. Aku tinggal tak jauh rumahmu,” seru gadis itu nekat, membuat si pria menoleh dan memandang heran ke arahnya.

“Yes, i know,” sahut pria itu datar, tanpa senyuman sama sekali. Dia juga sepertinya tak berniat untuk balas berbasa-basi dengan gadis cantik tadi. Pria tersebut malah melenggang masuk dan menutup pintu rumahnya sedikit keras, meninggalkan Blaire yang masih berdiri terpaku di depan pintu pagar yang terbuat dari kayu. Gadis itu benar-benar tak habis pikir karenanya.

Mr. Neighbour

Suara senandung riang berbaur dengan gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi. Blaire membasuh seluruh tubuh sambil menggosok perlahan, di bawah guyuran deras yang terasa hangat dari shower di atas kepala. Selagi itu berlangsung, Viktorija yang terlihat sudah rapi dengan mengenakan setelan blazer masuk ke kamar putrinya.

"Blaire?" Suara Viktorija tak terlalu nyaring di dalam ruangan bernuansa colelat dengan lantai kayu tersebut. Wanita berambut pirang itu mengedarkan pandangan pada setiap sudut kamar. Dia tak mendapati gadis itu di sana. Namun, Viktorija dapat mendengar suara sang putri dengan cukup jelas. Wanita itu pun tersenyum kecil. Blaire memang selalu ceria sejak dulu. Dia tak pernah mengeluh ataupun menunjukkan raut sedih, meskipun kini mereka harus hidup tanpa kehadiran Albert, sang kepala keluarga.

Viktorija kemudian melangkah ke dekat meja di sebelah tempat tidur, dengan ukuran sedang dan berlapis bed cover motif bunga.

Dia melihat dua buah buku di sana. Iseng, wanita empat puluh tujuh tahun itu mengambil buku yang paling atas. Viktorija pun mengernyitkan kening. Tak biasanya Blaire menyukai bacaan tentang politik. "Sejak kapan dia tertarik dengan ...." Viktorija seketika tertegun saat ekor matanya tertuju pada buku lain dengan judul yang lebih menggelitik, Se•x in Five Minutes.

"Astaga."

"Ibu? Kupikir kau sudah berangkat." Blaire keluar dengan hanya menggunakan handuk putih sebatas dada. Dia juga menggulung rambutnya yang basah. Perasaan gadis itu sudah gelisah, saat melihat Viktorija yang tengah memegangi buku pinjamannya dari perpustakaan kemarin. "Um ... itu ...." Blaire tak tahu harus berkata apa. Dia hanya mengusap lengannya yang masih dalam keadaan lembap.

"Tidak apa-apa. Usiamu sudah dua puluh tiga tahun. Sudah seharusnya kau mempelajari tentang hal ini," ujar Viktorija seraya kembali meletakkan buku yang dia pegang. "Aku tak akan mengekangmu sama sekali. Kau sudah dewasa dan juga waras. Kau pasti tahu mana yang baik dan tidak untuk hidupmu," ucapnya lagi.

"Aku ...." Blaire kembali terdiam.

"Ya sudah. Aku tidak ingin terlambat tiba di tempat seminar." Viktorija mengalihkan pembicaraan. "Ingat, jaga kedai dengan baik. Jangan sampai mendiang ayahmu merasa kecewa. Aku akan kembali sebelum makan malam," pesannya seraya berjalan ke dekat pintu.

"Belilah makanan di jalan, Bu," pesan Blaire membuat Viktorija tertegun dan menoleh. "Kau akan kehilangan selera makan saat melihat masakan yang kubuat," ringis gadis bermata hijau itu. Sedangkan Viktorija tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, kemudian berlalu dari sana.

Tak berselang lama, terdengar suara kendaraan yang dinyalakan. Blaire pun segera berpindah ke dekat jendela kaca. Dia menyibakkan tirai, lalu menatap keluar. Volkswagen Beetle biru milik sang ibu pun melaju pergi dari halaman rumahnya yang asri.

Tak ingin membuang waktu, Blaire segera berpakaian. Dia harus bersiap-siap untuk pergi ke kedai yang merupakan peninggalan sang ayah tercinta. Beberapa saat kemudian, gadis itu sudah rapi dengan mengenakan legging hitam yang dipadukan bersama mini dress floral warna senada. Tak lupa, Blaire juga memakai chesterfield coat cokelat kesayangan. Sepasang sepatu brouge warna merah bata pun ikut melengkapi penampilan manisnya hari itu.

Setelah selesai bersiap-siap, gadis berambut pirang tadi segera keluar. Tak lupa, dia mengunci pintu terlebih dahulu sebelum benar-benar meninggalkan rumah.

"Selamat pagi, Nyonya Clarkson," sapa Blaire pada seorang wanita tua yang tengah menyirami tanamam di halaman rumahnya.

Christy Clarkson, merupakan wanita dengan usia yang terbilang senior di lingkungan tempat tinggal mereka. Dia terkenal sebagai wanita yang tidak suka berbasa-basi. Lain halnya terhadap Blaire. Gadis cantik itu telah berhasil menaklukan wanita tua tersebut.

"Selamat pagi, Blaire." Christy menyapa balik. "Apa kau akan pergi ke kedai?" Wanita dengan rambut pirang sebahu itu menatap Blaire yang berdiri di seberang jalan kediamannya. Sebuah sikap yang memang sudah biasa Blaire lakukan, kepada siapa pun tetangga dekat yang dia temui. Gadis itu selalu menyapa dan memperlihatkan raut ceria yang begitu tulus. "Kenapa kau hanya berangkat sendirian?" tanya Christy lagi yang tak melihat keberadaan Viktorija.

"Ibuku harus menghadiri undangan untuk menjadi pembicara di acara seminar hari ini. Seperti biasa, dia akan membahas sesuatu tentang daur ulang sampah dan juga limbah," terang Blaire. Itulah profesi Viktorija yang sebenarnya. Dia merupakan seorang aktivis pemerhati lingkungan. Tak jarang dirinya juga menjadi dosen tamu, untuk memberikan kuliah pada salah satu universitas yang sudah ternama di kota Edinburgh.

"Ibumu sungguh luar biasa. Aku senang melihat wanita yang mandiri seperti dia," sanjung Christy terus berbincang dengan Blaire tanpa menghentikan pekerjaannya.

"Anda juga tak kalah luar biasa, Nyonya Clarkson," balas gadis berambut pirang itu tetap memasang senyuman hangat. "Aku ...." Belum sempat Blaire melanjutkan kata-katanya. Perhatian gadis dua puluh tiga tahun tadi lebih dulu tertuju pada seorang pria berjaket hitam yang baru keluar dari rumahnya. Blaire memperhatikan pria tersebut untuk beberapa saat. Namun, sayang sekali karena si pria tak menoleh sama sekali kepada dirinya.

"Aku permisi dulu, Nyonya Clarkson," pamit Blaire. Dia melambaikan tangan seraya berlalu dari tempatnya berdiri tadi.

Blaire melangkahkan kaki berbalut sepatu brouge berwarna merah bata dengan penuh percaya diri. Tatapan gadis itu terkunci pada pria yang berada beberapa langkah di depan. Entah pria tadi menyadari keberadaan dirinya atau tidak, karena si pria ternyata tak peduli sama sekali. Dia terus melangkah tanpa melihat ke lain arah.

"Hey, Mr. Neighbour!" seru Blaire dari belakang, membuat pria itu tertegun. Dia menoleh sejenak, lalu kembali melanjutkan langkah tanpa memberi tanggapan apapun. "Astaga." Gadis dengan rambut pirang tersebut bergumam pelan. Setengah berlari, Blaire menyusul dan menyejajari langkah pria tadi.

"Jangan mengikutiku," tegur si pria.

"Aku tidak mengikutimu. Aku berjalan di samping, bukan di belakang," sahut Blaire dengan enteng.

"Apa kau tidak punya pekerjaan lain?" Pria itu tak menoleh sedikit pun. Langkahnya tegap dengan tatapan tertuju lurus. Sedangkan kedua tangan berada di dalam saku jaket hitam yang dikenakannya.

"Aku akan ke kedai. Apa kau lupa bahwa kita bertetangga?" Blaire menoleh sambil tersenyum manis. "Tempat tinggalmu denganku hanya terhalang dua rumah. Sementara tokomu dengan kedai milik mendiang ayahku saling berdekatan. Apa menurutmu itu bukan sebuah pertanda?" Gadis itu kembali menoleh kepada si pria yang tak menanggapinya sama sekali. Pria tadi terus berjalan dengan langkah yang terasa begitu cepat bagi Blaire, sehingga membuat si gadis kewalahan.

"Kenapa kau berjalan dengan sangat cepat? Apa kau tidak lelah?" tanya Blaire terengah.

"Kau juga bicara tanpa henti," balas pria itu masih dengan tatapan yang tertuju ke depan.

"Aku banyak bicara karena kau diam terus. Jadi, kelihatannya tidak seimbang, seakan-akan akulah yang cerewet," protes Blaire tak terima, meskipun dalam hati dirinya mengakui hal itu.

"Itu memang kenyataannya. Berisik," balas si pria ketus.

"Jika aku diam, lalu kau diam, maka ... maka siapa yang akan bicara?" pikir gadis berambut pirang itu.

"Diam lebih baik," tutup si pria. Dia berhenti di depan toko barang antik miliknya dan mengeluarkan kunci dari dalam saku. Sementara Blaire masih berdiri tak jauh darinya sambil terus memperhatikan, bahkan ketika si pria sudah membuka pintu toko yang bercat hitam dengan hiasan lampu tempel di bagian atas. Lampu itu akan padam sendiri ketika hari sudah siang.

"Setidaknya kau sebutkan namamu," ucap Blaire lagi, membuat si pria yang hendak masuk kembali tertegun. Namun, sesuai perkiraan Blaire, pria itu tak menanggapinya sama sekali. Dia memilih untuk berlalu.

"Hey, Tuan? Aku akan membuatkan kopi kesukaanmu sebelum kau datang ke kedaiku. Dengan begitu, kau tidak perlu menunggu terlalu lama," seru Blaire lagi dari luar pintu.

"Terserah kau," jawab si pria yang telah melepas jaketnya. Untuk sesaat, Blaire terdiam memperhatikan bentuk tubuh atletis dalam balutan kaos hitam lengan panjang yang dikenakan si pria. Namun, Blaire tak bisa berlama-lama mengawasi seseorang yang sama sekali tak peduli padanya. Dia juga memiliki tugas yang harus dilakukan.

Setelah membuka pintu kedai, seperti biasa Blaire membersihkan tempat tersebut lebih dulu. Setelah itu, dia bergegas membuat kopi yang biasa dipesan oleh pria pemlilik toko antik di sebelah. Sambil menunggu pengunjung, Blaire mengambil buku yang kemarin dia pinjam. "Se•x in Five Minutes," gumam gadis itu, "ini lebih menghibur daripada politik." Akan tetapi, sebelum dirinya sempat membaca, pria tadi muncul di sana. Dengan segera, Blaire mengambil kopi yang sudah dia buat beberapa saat yang lalu. "Masih panas," ucapnya sambil menyodorkan kopi itu kepada si pria.

"Thank you," sahut pria itu. Dia merogoh uang dari saku celana jeans, kemudian meletakkannya di sebelah kopi yang belum diambil. Sesaat kemudian, ekor mata si pria yang terlihat tajam melirik pada buku yang sedang dibaca oleh Blaire. Judul menggelitik dan membuatnya menggaruk kening. Dia lalu meraih cup berisi kopi yang selalu menjadi pesanannya setiap hari. Tanpa berkata apa-apa, pria dengan kaos hitam lengan panjang itu berbalik hendak menuju pintu ke luar.

Blaire yang sedang berpura-pura membaca dan mencoba tak peduli, nyatanya tak bisa untuk membiarkan pria itu berlalu begitu aja. Entah kenapa dia merasa begitu tertarik dengan pria tersebut. Padahal, pria itu lebih sering membuatnya merasa bodoh dan konyol.

Gadis itu menutup bukunya. Dengan posisi setengah membungkuk, Blaire meletakkan kedua tangan lurus di atas meja sebagai penahan dada. Dia menatap lurus ke depan, pada tubuh tegap yang hendak melewati pintu keluar.

"Apa kau merasa nyaman dengan bersikap seperti itu, Mr. Neighbour?" tanyanya tiba-tiba, membuat si pria tertegun tanpa menoleh padanya.

"Aku tidak tahu apa yang menjadi masalahmu, tapi menurutku kau sangat aneh. Teman-temanku bahkan berpikir bahwa kau adalah agen mata-mata atau mungkin seorang buronan agen federal yang berbahaya," ucap Blaire lagi, membuat si pria seketika menoleh kepadanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!