LUNA (WANITA PENGGANTI)
Plak!
Sebuah tamparan lagi-lagi mendarat di pipi Luna, saat wanita itu dengan berani menolak mentah-mentah sebuah tawaran yang datang padanya. Tawaran menyenangkan bagi separuh wanita yang ada di ruangan itu, tawaran yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah dalam waktu sekejap. Namun, tidak demikian bagi Luna. Bagi Luna, tidur dengan pria asing dan membiarkan tubuhnya diraba adalah pengalaman paling buruk dan menakutkan yang pernah ia rasakan, dan ia bertekad agar tidak harus mengalami hal demikian untuk kedua kalinya.
"Sialan kamu, Luna! Apa kamu tidak tahu kalau pria yang meminta pelayanan darimu adalah pria terhormat dan kaya raya. Seharusnya kamu terima. Seharusnya kamu senang karena kamu akan mendapatkan uang untuk pengobatan ibumu yang lumpuh." Miss Rana berteriak di depan wajah Luna.
Miss Rana adalah pemilik bar tempat Luna bekerja sebagai seorang pelayan siang dan malam. Wanita berusia awal 40-an itu berperawakan kurus, dengan mata sipit dan kulit kecokelatan. Rambutnya yang keriting selalu di ekor kuda tinggi hingga terlihat mengembang tak keruan.
Walaupun berperawakan kurus, tetapi kekuatannya melebihi kekuatan seorang petinju saat ia sedang marah dan menyiksa salah satu pekerjanya. Seperti saat ini, ia berhasil membuat darah keluar dari sudut bibir Luna saat ia menampar wajah Luna dengan keras tadi.
Luna menatap kedua mata Miss Rana dan berkata, "Aku tidak akan menjual diri," lirihnya.
Miss Rana tertawa terbahak-bahak begitu mendengar apa yang Luna katakan. "Dasar sok suci! Kamu sudah pernah menjual diri sekali waktu, saat kamu memutuskan untuk berhenti bukan berarti kamu kembali menjadi manusia yang bersih. Dasar munafik!" Miss Rana mendorong tubuh Luna hingga Luna jatuh tersungkur di lantai keramik. Merasa belum puas, Miss Rana meludah di atas tubuh Luna. "Pokoknya aku tidak mau tahu. Besok kamu harus bersedia melayani Pak Bimo. Dia tergila-gila padamu."
Luna bangkit berdiri dengan susah payah, kemudian segera keluar dari ruangan itu dan berlari menyusuri lorong berpencahayaan remang menuju gudang bawah tanah di mana ia dan ibunya tinggal menumpang di sana selama satu tahun terakhir.
"Bodoh kalian! Kenapa diam saja?! Kejar dia. Aku belum selesai bicara!" Miss. Rana berteriak kepada pengawal bertubuh besar yang berjaga di depan pintu ruangan.
Kedua pengawal segera berlari menyusul Luna. Namun, Luna adalah pelari yang cepat. Ia telah berada jauh di gudang bawah tanah sementara kedua pengawal masih berada di dalam bar.
Luna menutup pintu melengkung yang terbuat dari kayu, Lalu menguncinya dengan sepuluh gerendel yang ia buat sendiri demi keamanannya dan juga ibunya. Merasa belum cukup, Luna mendorong beberapa drum bekas dan meletakkannya di belakang pintu. Setelah itu ia menyusuri lorong gelap dengan bantuan cahaya dari ponselnya hingga ia tiba di ujung lorong yang diterangi oleh lampu gantung berwarna kekuningan.
"Ibu," ujar Luna, sembari mendorong pintu ganda yang ada di hadapannya.
Seketika Luna berada di dalam ruangan luas berdinding batu bata kasar yang belum diplaster. Ruangan itu hanya diterangi oleh lampu kekuningan yang tidak terlalu terang sehingga membuat segala yang ada di sana terlihat buram dan suram.
Luna melangkah menuju ranjang besi yang berkarat dan dilapisi oleh kasur kapuk yang telah koyak di beberapa bagian. Di atas ranjang terbaring seorang wanita paruh baya bertubuh kurus dan bermata cekung. Jika Miss Rana terlihat sehat dan kejam dengan tubuh kurusnya, berbeda dengan wanita yang tengah berbaring di atas ranjang itu. Wanita itu terlihat lemah tak berdaya dengan tatapan mata yang sedih dan pasrah seolah enggan untuk terus berada di dunia.
"Bu, bagaimana perasaanmu? Apa ada yang sakit hari ini?" tanya Luna. Ibu Luna memang kerap mengeluhkan sakit pada dadanya selama dua bulan terakhir, dan hal itu membuat Luna merasa amat terpukul karena ia tidak bisa membawa ibunya ke rumah sakit dan memberi pengobatan yang layak sebagaimana mestinya.
Ayura, ibu Luna tersenyum dan membelai wajah sang anak yang duduk di hadapannya. "Ibu tidak apa-apa, Nak."
Buk!
Buk!
Suara berisik yang berasal dari ujung lorong mengalihkan perhatian Ayura dari wajah sang anak yang terlihat lelah.
"Apa lagi kali ini? Mereka mengejarmu lagi?" tanya Ayura, sembari menyentuh sudut bibir Luna yang berdarah.
Luna mengangguk dan senyum sinis seketika mengembang di bibirnya yang pucat. "Ya, mereka mengejarku. Coba saja jika mereka berani masuk. Akan kuhajar habis-habisan mereka semua."
Ayura tertawa. "Ibu tahu jika putri ibu kuat. Mereka tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dirimu, Nak."
Luna memeluk tubuh Ayura dan meletakan kepalanya di atas dada wanita tua itu. "Ya, Ibu, aku kuat karena aku memilikimu. Teruslah berada di sisiku. Bersabarlah sedikit lagi, Bu, aku pasti akan segera mengeluarkan Ibu dari tempat yang suram ini."
Ayura mengigit bibir, berusaha agar tidak terisak di depan Luna yang juga berusaha untuk terus terlihat tegar. Ayura tahu jika Luna sangatlah menderita. Ia sering mendengar makian yang terlontar dari bibir Miss. Rana saat wanita itu turun ke gudang bawah tanah untuk memaksa Luna melakukan sesuatu, sesuatu yang kotor, sesuatu yang menjijikan.
Ayura membelai puncak kepala Luna. "Maafkan ibu yang selalu membebanimu, Nak."
"Jangan minta maaf, Bu. Ini takdir kita, kita jalani saja dengan semangat." Luna mengangkat wajah dan mengecup kening ibunya yang mulai keriput.
Bruk!
Suara di ujung lorong kembali terdengar. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Itu berarti para pengawal suruhan Miss. Rana telah berhasil mendobrak pintu bagian depan.
"Ah, sial. Mereka berhasil." Luna mengeluh, lalu bangkit berdiri dan mengambil alat kejut listrik yang ia simpan di lemari kecil yang ada di samping ranjang. "Tunggu di sini, Bu," ujar Luna.
Ayura mengangguk sembari tersenyum. Ia yakin kali ini putrinya pasti berhasil mengalahkan pengawal Miss. Rana yang bertubuh bagai petinju kelas dunia.
"Buka, Luna, sebelum kami mendobrak pintu dan menarikmu dengan paksa ke atas!" teriak seorang Pengawal dari luar pintu.
Luna yang sudah bersiap, berdiri di belakang pintu dengan siaga. Tangannya terulur ke depan, siap menyerang siapa pun yang akan masuk menerobos ke dalam kamarnya.
Bruk!
Pintu terbuka, menimbulkan suara bising yang memekakan telinga, karena pintu tersebut dibuka dengan cara ditendang.
"Argh!" Seorang pengawal terjatuh saat Luna berhasil menyengat pengawal itu dengan alat kejut listrik.
Sementara pengawal satunya lagi menatap Luna dengan mata melotot. "Aku pikir kamu akan menggunakan semprotan merica."
Luna tertawa, lalu ia melakukan tos dengan pengawal itu. "Lain kali akan aku pikirkan cara yang satu itu."
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments