Zion menahan lengan Luna saat wanita itu berpegangan pada tepi bak penampungan air untuk bangkit berdiri, tetapi sebuah tendangan yang mendarat di wajah Zion dari salah satu anak buah Miss. Rana membuat Zion melepaskan pegangannya pada lengan Luna. Pria itu kembali terjatuh ke dasar bak penampungan air.
"Jangan lakukan! plis, plis, Lun, jangan lakukan walau demi aku." Zion berteriak, suaranya tercekat. Ia sungguh merasa marah saat ini karena tidak dapat menyelamatkan Luna.
Rasa sedih dan rapuh mendadak menggelayuti diri Luna saat ia mendengar teriakan Zion. Ingin rasanya ia berlari menghampiri Zion dan memeluk pria itu agar ia dapat menangis dalam dekapan Zion seperti yang sudah-sudah. Namun, Luna sadar jika hal itu tidak mungkin. Ia sendiriq sekarang. Benar-benar sendiri, dan segala keputusan yang ia ambil akan menyelamatkan Zion dan ibunya dari kejahatan Miss. Rana.
Luna mendongak agar air matanya tidak menetes. Ia tahu jika semua ini pasti akan terjadi. Tidak peduli apa pun yang ia lakukan untuk menjaga tubuh dan mahkotanya, tetap saja seorang wanita pasti akan menjadi pelacur jika tinggal di tempat pelacuran.
"Cepatlah, aku rasa Pak Bimo tidak bisa menunggu lebih lama!" bentak Miss. Rana.
Luna menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya ia mengikuti langkah beberapa penjaga yang menuntunnya menuju sebuah kamar ganti sebelum ia bertemu langsung dengan Pak Bimo.
***
Bimo Arkana, adalah seorang pengusaha batu bara yang sudah lama menetap di ibu kota Jakarta. Pria itu terkenal sangat menyukai dunia malam dan hobi sekali menghambur-hamburkan uang. Tidak sedikit uang yang ia keluarkan setiap malamnya hanya untuk bersenang-senang. Usianya yang masih terbilang muda memang membuat hawa nafsunya selalu menggebu-gebu.
Seperti malam ini, ia mengeluarkan ratusan juta hanya demi merasakan bagaimana nikmatnya bergelut dengan tubuh sintal Luna. Ia pertama kali melihat Luna saat sedang bermain kartu sembari mencicipi minuman keras yang ditawarkan salah satu temannya di Rumah Merah. Melihat bodi Luna yang aduhai, ditambah dengan wajahnya yang cantik membuat Bimo ingin memiliki wanita itu walau hanya untuk satu malam. Toh, bagi Bimo hubungan cinta satu malam memang lebih mengasyikan dari pada hal apa pun di dunia ini.
Tok, tok, tok!
Bimo menegakkan duduknya sembari menanti kejutan yang akan hadir dari balik pintu yang sebentar lagi pasti akan terbuka. Dan benar saja, beberapa saat kemudian pintu terbuka dan Luna muncul dari baliknya.
"Wah, masuklah, Sayangku, masuklah." Bimo mengelus dagunya, matanya membelalak melihat tubuh Luna yang hanya ditutupi dengan pakaian minim berbahan tipis.
Luna menuruti perintah Bimo, ia masuk ke dalam kamar dengan ragu, lalu menutup pintu di belakangnya, dan tanpa peringatan Bimo tiba-tiba saja menerjangnya, menarik tubuhnya dengan paksa ke atas ranjang, mendorongnya dan merobek pakaiannya dengan kasar.
Seakan itu semua belum cukup mengejutkan bagi Luna, Bimo pun menamparnya hingga sudut bibir dan hidung Luna mengeluarkan darah.
Luna meringis, ia merasakan sakit yang luar biasa pada wajahnya karena ditampar dengan begitu keras. "Apa yang Anda lakukan, Pak?" tanya Luna.
Akan tetapi, Bimo tidak menjawab. Pria itu mulai menggerayangi tubuh Luna yang sekarang tidak tertutup oleh sehelai benang pun.
"Ah." Luna merintih, saat Bimo kembali menamparnya dan menyiksanya, tetapi di saat yang bersamaan pria itu juga mencu_mbunya.
Luna tidak lagi dapat menangis, hatinya sakit, hatinya terluka tak keruan saat ini. Harga dirinya benar-benar terinjak mendapat perlakuan yang sangat mengerikan dari Bimo. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa Miss. Rana memberikannya pada seorang pria pengidap sadomasokisme--sebuah penyimpangan seksual yang penderitanya akan mendapat kepuasan hanya jika dapat menyiksa pasangannya saat sedang bercinta.
***
Rumah Merah, 22.30
Luna meringkuk di sudut kamar dengan tubuh yang tertutup oleh selimut, tubuhnya penuh luka dan lebam. Bimo meninggalkannya begitu saja setelah mereka berdua menghabiskan waktu yang sangat lama.
Luna ingat saat memasuki kamar, jam yang menggelantung di dinding baru menunjukan pukul 06.00 pagi. Sekarang sudah pukul 22.00 malam, Luna berharap Zion merawat ibunya seharian, memberi ibunya makanan, minuman dan membantu ibunya berjalan ke kamar mandi jika memang dibutuhkan.
Luna mengatur napas, kemudian perlahan ia bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamar itu untuk mencari jubah mandi. Pakaiannya sudah sobek, tidak mungkin ia keluar hanya dengan mengenakan selimut.
Setiap langkah yang Luna ambil terasa menyakitkan. Ia meringis dan air matanya menetes saat kakinya melangkah. Luna merasakan nyeri yang luar biasa pada bagian di antara kedua pahanya. Namun, ia menahannya. Ia tetap melangkah menuju kamar mandi, mencuci muka, mengenakan jubah mandi dan segera keluar dari dalam kamar yang menjadi saksi betapa putus asanya seorang Luna menghadapi siksaan di setiap detiknya.
Suasana di luar kamar begitu ramai. Musik, lampu disko, minuman keras, dan gelak tawa yang berasal dari pria dan wanita berbaur menjadi satu, membuat Luna merasa muak. Ia kesal, bagaimana bisa orang-orang tertawa bahagia seolah semuanya baik-baik saja, padahal ia hampir mati tersiksa di dalam sebuah kamar dalam kuasa seorang pria gila yang kaya raya.
Luna melangkah menyeberangi ruangan menuju sebuah lorong yang akan menuntunnya menuju lantai satu. Saat ia melintas, seketika suara gelak tawa menghilang, digantikan dengan gumaman dari para tamu dan juga pekerja yang bekerja di Rumah Merah. Luna tidak peduli, ia tidak peduli pada tatapan orang-orang yang jatuh padanya. Ia terus melangkah perlahan dengan wajah menunduk.
Bagaimana Luna tidak menjadi pusat perhatian saat ini. Penampilan Luna sangat menyedihkan, wajahnya memar, berdarah, rambutnya berantakan dan ia hanya mengenakan jubah mandi. Luna benar-benar terlihat menyedihkan.
"Wanita itu terluka, tidakkah sebaiknya dia dibawa ke dokter?"
Suara seorang pria terdengar menembus gendang telinga Luna. Ia tersenyum sinis, tidak menyangka bahwa di tempat yang biadab ini masih ada manusia baik yang perhatian pada keadaan manusia lainnya.
"Tidak usah, Pak, hal seperti ini sudah menjadi pemandangan yang biasa. Santai saja." Suara seorang pria lainnya terdengar oleh Luna.
"Mana bisa begitu, lihatlah, dia terlihat akan pingsan. Cepat tolong dia!" Suara pria itu kembali terdengar, dan entah mengapa Luna merasa tenang saat suara itu terdengar. Mungkin karena pria itu sedang merasa khawatir padanya.
"Tidak apa-apa, Pak, Juna, sungguh tidak apa-apa. Tidak usah dipedulikan."
Luna berusaha mempercepat langkahnya hingga ia tiba di dekat tangga. Ia tidak ingin keadaannya menjadi perdebatan di antara tamu yang ada di ruangan itu.
Sesampainya di tangga, Luna menuruni anak tangga dengan perlahan. Namun, tubuhnya yang semakin lemah tidak mampu lagi untuk diajak bekerjasama, hingga akhirnya ia terjatuh dan tidak sadarkan diri.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Rihana.hana
lnjutt
2023-01-07
0