Luna membuka mata dan bangkit secara perlahan. Suara isak tangis Ayura yang berada di sebelahnya segera menyapa gendang telinga Luna ketika ia kembali mendapatkan kesadaran.
"Bu," ujar Luna, dengan suara yang begitu pelan seperti bisikan.
Ayura membuka kedua lengannya, berharap Luna memeluknya. Luna tersenyum, lalu menggeser duduknya agar dapat memeluk tubuh kurus Ayura.
Seketika tangis Ayura semakin menjadi saat Luna memeluknya. "Maafkan ibu, Nak, maafkan ibu. Ibu macam apa aku ini? Ibu macam apa yang tidak bisa menyelamatkan putrinya dari kehancuran yang nyata. Semua terjadi di depan mataku, tetapi aku tidak bisa melakukan banyak hal."
Luna menenggelamkan wajahnya semakin dalam di dada sang ibu. Ia tidak dapat berkata apa pun sekarang, ia bahkan tidak lagi dapat menangis, seolah dirinya telah mati rasa.
"Maaf, Nak, maaf." Ayura masih menangis, tubuhnya berguncang tak terkendali, hingga akhirnya tubuh kurus itu tiba-tiba saja tak bergerak. Suara isa tangis Ayura tidak lagi bergaung di telinga Luna.
Luna menunggu beberapa saat, tetapi ia tetap tidak lagi mendengar suara sang ibu. Luna melepas pelukan Ayura dari tubuhnya, dan ia sedikit bingung saat melihat kedua mata Ayura terpejam.
"Bu," lirih Luna, kemudian membaringkan tubuh Ayura, lalu meraih minyak kayu putih yang terdapat di laci meja di samping ranjang besinya. Luna berpikir bahwa ibunya pingsan karena terlalu sedih. Namun, setelah beberapa saat berusaha membangunkan sang ibu yang tidak kunjung sadarkan diri, Luna mulai panik.
Di saat yang bersamaan Zion tiba. Pria itu segera berlari menghampiri Luna dan menarik Luna ke dalam pelukannya.
"Lun, kamu baik-baik saja? Kamu tidak apa-apa?" tanya Zion.
"Zi, ibuku. Dia kenapa, Zi?"
"Apa maksudmu?" Zion melepas pelukannya dari tubuh Luna, dan segera menghampiri Ayura yang terbaring di atas ranjang tanpa bergerak sedikit pun.
"Tadi ibu masih bicara padaku. Tapi kemudian dia diam tak bergerak. Aku pikir dia pingsan, tapi ... dia tidak kenapa-kenapa, 'kan?" tanya Luna, suaranya tetap terdengar tenang, walaupun hatinya merasakan sedih yang tak terkira.
Zion yang sedang memeriksa keadaan Ayura menoleh ke tempat di mana Luna berdiri. "Lun, ibu telah pergi."
Dahi Luna mengernyit. "Apa?"
"Ibu meninggal dunia."
Deg!
Waktu seolah berhenti berputar. Tidak ada yang lebih buruk dari kenyataan yang baru saja Zion ucapkan. Bahkan ketika tubuhnya mulai dilecehkan, kehormatannya direnggut, dan harga dirinya diinjak-injak, Luna tidak merasa begitu sedih dan hancur. Ya, Luna memang menangis dan marah atas semua Ketidakadilan yang menimpanya, tetapi ia tidak pernah sesedih sekarang ini dan semarah sekarang. Bagaimana bisa Tuhan merenggut ibunya setelah ia merelakan segala yang ada pada dirinya.
"Lun." Zion menghampiri Luna dan menyentuh pundak wanita itu.
Luna menatap langsung ke dalam mata Zion yang mulai berair. "Jangan menangis. Jangan menangis," gumam Luna, lalu ia menghampiri tubuh Ayura, menyentuh wajah keriput wanita tua itu dan mengecup keningnya. "Istirahatlah, Bu. Di sana akan lebih baik dari di sini," bisik Luna. Suaranya gemetar karena menahan air mata yang hendak tumpah.
"Aku akan mengatur pemakamannya," ujar Zion, sembari melangkah menuju pintu.
"Siapa yang mau memakamkan ibuku?" Luna menarik pergelangan tangan Zion saat pria itu hendak meninggalkannya. "Kita tinggal di dalam lubang neraka, Zi, di sini semuanya adalah iblis. Siapa yang peduli pada kematian ibuku? Siapa yang mau memakamkan ibuku?" Luna tidak tahan lagi, sekarang wanita itu menangis, air mata tidak mau berhenti mengalir dari kedua mata indahnya. Kepergian sang ibu menjadi pukulan berat baginya, tetapi kenyataan bahwa ia dikelilingi oleh manusia-manusia kotor membuatnya lebih terpukul, karena mengharapkan pemakaman yang layak untuk ibunya seolah sesuatu yang sulit digapai.
Zion mengusap air mata Luna. "Selalu ada orang baik untuk orang baik. Tunggulah di sini, aku akan kembali."
***
Pemakaman berlangsung dengan lancar. Tidak pernah terpikir oleh Luna bahwa ia akan memakamkan sang ibu di hari yang begitu cerah, seolah langit sedang menertawakannya. Bagaimana bisa langit terlihat begitu cerah di saat mendung abadi sedang menyelimuti hatinya.
"Nak Luna, ikhlaskan kepergian ibu Nak Luna. Doakan selalu beliau, agar tenang di alam sana dan segala kebaikannya diterima di sisiNya." Seorang pria tua yang memimpin pemakaman berucap pada Luna, sebelum pria itu pamit dan meninggalkan Luna juga Zion yang masih berada di pemakaman.
Luna tersenyum melihat kepergian pria tua berwajah ramah itu. "Dia baik sekali. Segala ucapannya terdengar begitu menenangkan. Dari mana kamu mengenalnya, Zi?"
Zion mengikuti arah pandang Luna. "Dia kenalanku. Kami tidak sengaja bertemu saat aku sedang mengikuti seorang wanita cantik berkerudung, dan ternyata wanita itu adalah cucunya.
"Wah, luar biasa. Kamu bisa menjadi manusia baik saat kalian menikah." Luna berkomentar sembari meraba gundukan tanah yang ada di hadapannya.
"Wanita itu tidak menyukaiku. Dia terang-terangan mengatakan kalau aku ini buka tipenya."
Luna berdecak. "Ck kasihan sekali."
Zion tersenyum. "Tidak, kan masih ada kamu." Dion menggoda Luna, agar wanita itu tidak lagi merasa sedih.
Luna yang sejak tadi berlutut di depan makam Ayura segera bangkit berdiri, diikuti oleh Zion yang berdiri di sebelahnya. "Aku kotor. Bahkan ketika semua wanita yang ada di bumi ini telah pergi entah ke mana, jangan pernah berpikir untuk mendekatiku."
Luna berbalik pergi meninggalkan Zion setelah mengatakan hal itu.
"Hai, Lun, mau kemana? Jangan marah, aku kan hanya bercandaan!" teriak Zion.
***
Arjuna Evan, memeriksa berkas-berkas yang ada di atas meja kerjanya. Sejak tadi ia terus melakukan banyak kesalahan. Pikirannya tidak bisa fokus, kali ini bukan karena pertengkaran yang terjadi antara dirinya dan sang istri seperti biasa, tetapi karena sebuah bayangan yang menganggu pikirannya sejak kemarin malam, saat ia berada di sebuah bar dan melihat seorang wanita yang kondisinya sangat memprihatinkan.
Hingga saat ini Arjuna masih menyesal, karena ia mengabaikan wanita itu. Seharusnya ia menolong wanita itu dan membawa wanita itu ke rumah sakit.
"Argh, sial!" Arjuna menggebrak meja yang ada di hadapannya, lalu ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dengan kasar dan memejamkan mata.
Wisnu, asisten Arjuna segera menghampiri pria itu dan bertanya, "Ada yang harus kulakukan?"
Arjuna membuka mata dan menatap Wisnu. "Ya, pergilah ke Rumah Merah, dan cari sebuah informasi untukku."
"Apa ini tentang seorang wanita?" tanya Wisnu.
Arjuna mengangguk. "Ya, wanita yang mengenakan jubah mandi saat itu. Cari tahu apakah dia--"
"Tidak bisa, Pak, karena istri Anda mengawasi tempat itu sekarang." Wisnu memotong ucapan Arjuna.
"Mengawasi tempat itu bagaimana?" tanya Arjuna dengan dahi mengernyit.
"Entahlah, tapi kurasa ada yang melapor pada istri Anda bahwa Anda kerap menghabiskan waktu di sana."
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments