Plak!
Sebuah tamparan lagi-lagi mendarat di pipi Luna, saat wanita itu dengan berani menolak mentah-mentah sebuah tawaran yang datang padanya. Tawaran menyenangkan bagi separuh wanita yang ada di ruangan itu, tawaran yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah dalam waktu sekejap. Namun, tidak demikian bagi Luna. Bagi Luna, tidur dengan pria asing dan membiarkan tubuhnya diraba adalah pengalaman paling buruk dan menakutkan yang pernah ia rasakan, dan ia bertekad agar tidak harus mengalami hal demikian untuk kedua kalinya.
"Sialan kamu, Luna! Apa kamu tidak tahu kalau pria yang meminta pelayanan darimu adalah pria terhormat dan kaya raya. Seharusnya kamu terima. Seharusnya kamu senang karena kamu akan mendapatkan uang untuk pengobatan ibumu yang lumpuh." Miss Rana berteriak di depan wajah Luna.
Miss Rana adalah pemilik bar tempat Luna bekerja sebagai seorang pelayan siang dan malam. Wanita berusia awal 40-an itu berperawakan kurus, dengan mata sipit dan kulit kecokelatan. Rambutnya yang keriting selalu di ekor kuda tinggi hingga terlihat mengembang tak keruan.
Walaupun berperawakan kurus, tetapi kekuatannya melebihi kekuatan seorang petinju saat ia sedang marah dan menyiksa salah satu pekerjanya. Seperti saat ini, ia berhasil membuat darah keluar dari sudut bibir Luna saat ia menampar wajah Luna dengan keras tadi.
Luna menatap kedua mata Miss Rana dan berkata, "Aku tidak akan menjual diri," lirihnya.
Miss Rana tertawa terbahak-bahak begitu mendengar apa yang Luna katakan. "Dasar sok suci! Kamu sudah pernah menjual diri sekali waktu, saat kamu memutuskan untuk berhenti bukan berarti kamu kembali menjadi manusia yang bersih. Dasar munafik!" Miss Rana mendorong tubuh Luna hingga Luna jatuh tersungkur di lantai keramik. Merasa belum puas, Miss Rana meludah di atas tubuh Luna. "Pokoknya aku tidak mau tahu. Besok kamu harus bersedia melayani Pak Bimo. Dia tergila-gila padamu."
Luna bangkit berdiri dengan susah payah, kemudian segera keluar dari ruangan itu dan berlari menyusuri lorong berpencahayaan remang menuju gudang bawah tanah di mana ia dan ibunya tinggal menumpang di sana selama satu tahun terakhir.
"Bodoh kalian! Kenapa diam saja?! Kejar dia. Aku belum selesai bicara!" Miss. Rana berteriak kepada pengawal bertubuh besar yang berjaga di depan pintu ruangan.
Kedua pengawal segera berlari menyusul Luna. Namun, Luna adalah pelari yang cepat. Ia telah berada jauh di gudang bawah tanah sementara kedua pengawal masih berada di dalam bar.
Luna menutup pintu melengkung yang terbuat dari kayu, Lalu menguncinya dengan sepuluh gerendel yang ia buat sendiri demi keamanannya dan juga ibunya. Merasa belum cukup, Luna mendorong beberapa drum bekas dan meletakkannya di belakang pintu. Setelah itu ia menyusuri lorong gelap dengan bantuan cahaya dari ponselnya hingga ia tiba di ujung lorong yang diterangi oleh lampu gantung berwarna kekuningan.
"Ibu," ujar Luna, sembari mendorong pintu ganda yang ada di hadapannya.
Seketika Luna berada di dalam ruangan luas berdinding batu bata kasar yang belum diplaster. Ruangan itu hanya diterangi oleh lampu kekuningan yang tidak terlalu terang sehingga membuat segala yang ada di sana terlihat buram dan suram.
Luna melangkah menuju ranjang besi yang berkarat dan dilapisi oleh kasur kapuk yang telah koyak di beberapa bagian. Di atas ranjang terbaring seorang wanita paruh baya bertubuh kurus dan bermata cekung. Jika Miss Rana terlihat sehat dan kejam dengan tubuh kurusnya, berbeda dengan wanita yang tengah berbaring di atas ranjang itu. Wanita itu terlihat lemah tak berdaya dengan tatapan mata yang sedih dan pasrah seolah enggan untuk terus berada di dunia.
"Bu, bagaimana perasaanmu? Apa ada yang sakit hari ini?" tanya Luna. Ibu Luna memang kerap mengeluhkan sakit pada dadanya selama dua bulan terakhir, dan hal itu membuat Luna merasa amat terpukul karena ia tidak bisa membawa ibunya ke rumah sakit dan memberi pengobatan yang layak sebagaimana mestinya.
Ayura, ibu Luna tersenyum dan membelai wajah sang anak yang duduk di hadapannya. "Ibu tidak apa-apa, Nak."
Buk!
Buk!
Suara berisik yang berasal dari ujung lorong mengalihkan perhatian Ayura dari wajah sang anak yang terlihat lelah.
"Apa lagi kali ini? Mereka mengejarmu lagi?" tanya Ayura, sembari menyentuh sudut bibir Luna yang berdarah.
Luna mengangguk dan senyum sinis seketika mengembang di bibirnya yang pucat. "Ya, mereka mengejarku. Coba saja jika mereka berani masuk. Akan kuhajar habis-habisan mereka semua."
Ayura tertawa. "Ibu tahu jika putri ibu kuat. Mereka tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dirimu, Nak."
Luna memeluk tubuh Ayura dan meletakan kepalanya di atas dada wanita tua itu. "Ya, Ibu, aku kuat karena aku memilikimu. Teruslah berada di sisiku. Bersabarlah sedikit lagi, Bu, aku pasti akan segera mengeluarkan Ibu dari tempat yang suram ini."
Ayura mengigit bibir, berusaha agar tidak terisak di depan Luna yang juga berusaha untuk terus terlihat tegar. Ayura tahu jika Luna sangatlah menderita. Ia sering mendengar makian yang terlontar dari bibir Miss. Rana saat wanita itu turun ke gudang bawah tanah untuk memaksa Luna melakukan sesuatu, sesuatu yang kotor, sesuatu yang menjijikan.
Ayura membelai puncak kepala Luna. "Maafkan ibu yang selalu membebanimu, Nak."
"Jangan minta maaf, Bu. Ini takdir kita, kita jalani saja dengan semangat." Luna mengangkat wajah dan mengecup kening ibunya yang mulai keriput.
Bruk!
Suara di ujung lorong kembali terdengar. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Itu berarti para pengawal suruhan Miss. Rana telah berhasil mendobrak pintu bagian depan.
"Ah, sial. Mereka berhasil." Luna mengeluh, lalu bangkit berdiri dan mengambil alat kejut listrik yang ia simpan di lemari kecil yang ada di samping ranjang. "Tunggu di sini, Bu," ujar Luna.
Ayura mengangguk sembari tersenyum. Ia yakin kali ini putrinya pasti berhasil mengalahkan pengawal Miss. Rana yang bertubuh bagai petinju kelas dunia.
"Buka, Luna, sebelum kami mendobrak pintu dan menarikmu dengan paksa ke atas!" teriak seorang Pengawal dari luar pintu.
Luna yang sudah bersiap, berdiri di belakang pintu dengan siaga. Tangannya terulur ke depan, siap menyerang siapa pun yang akan masuk menerobos ke dalam kamarnya.
Bruk!
Pintu terbuka, menimbulkan suara bising yang memekakan telinga, karena pintu tersebut dibuka dengan cara ditendang.
"Argh!" Seorang pengawal terjatuh saat Luna berhasil menyengat pengawal itu dengan alat kejut listrik.
Sementara pengawal satunya lagi menatap Luna dengan mata melotot. "Aku pikir kamu akan menggunakan semprotan merica."
Luna tertawa, lalu ia melakukan tos dengan pengawal itu. "Lain kali akan aku pikirkan cara yang satu itu."
Bersambung.
Zion menendang tubuh rekannya yang tidak sadarkan diri ke pojok dinding hingga menimbulkan suara yang membuat nyeri siapa pun yang mendengarnya.
"Bukankah itu tadi suara kepalanya?" tanya Luna pada Zion.
Zion mengangguk. "Kurasa ya. Itu tadi kepalanya." Zion menjawab dengan santai, lalu masuk ke dalam ruangan tempat Luna dan ibunya tinggal. "Hai, Bu, bagaimana kabarmu?"
"Aku baik, Nak, sangat baik, karena aku tahu Luna tidak sendirian di tempat yang kejam ini." Ayura tersenyum ramah kepada Zion.
"Hai, Gadis jelek, kenapa masih berdiri di sana? Masuklah dan tutup pintunya." Zion berteriak, sembari menatap Luna yang masih berdiri di ambang pintu.
Luna berbalik dan melakukan apa yang Zion perintahkan. "Saat dia bangun nanti, kepalanya pasti akan terasa sakit sekali." Luna berkomentar setelah ia berada di dalam ruangan dan duduk di samping Zion.
"Biarkan saja. Jangan terlalu memikirkannya. Apa kamu tahu apa yang dia katakan selama kami dalam perjalanan menuju ruangan ini?" tanya Zion pada Luna.
"Apa?"
"Dia bilang, dia akan menampar bokongmu jika kamu terus menyusahkannya, karena hanya dirimu yang setiap hari membuatnya berlarian ke sana-kemari."
Luna menutup mulut dengan tangan dan memasang wajah cemberut. "Kurang ajar sekali. Jika dia berani macam-macam denganku, akan kutampar dia dengan--"
"Bokongmu?"
Luna mendelik ke arah Zion dan menarik kedua telinga pria bertubuh tegap itu. "Ya, asal dia mau menikah denganku."
"Idih, apa kamu tidak keberatan memiliki suami seperti dia yang pemabuk, penjudi dan maniak ***?" Zion bertanya sembari mencubit kedua pipi Luna dengan keras.
"Tentu. Kenapa tidak? menikah adalah jurus ninja agar aku dapat keluar dari tempat mengerikan ini."
"Astaga, dasar murahan!"
"Apa katamu?"
"Sudah-sudah, berhentilah kalian berdua. Ibu lapar, apa tidak ada satu pun dari kalian yang membawa makanan?" Ayura berusaha melerai perdebatan antara Zion dan Luna.
Keduanya memang seperti itu, sejak pertama bertemu Zion dan Luna selalu berdebat. Tiada hari tanpa perdebatan mereka. Meski begitu, hanya Zion yang tulus berteman dengan Luna dan selalu melindungi Luna kapan pun dan di mana pun Luna berada. Namun, Zion dan Luna harus menyembunyikan hubungan pertemanan mereka. Jika tidak, Miss. Rana akan memanfaatkan keadaan Luna untuk memerintah Zion, begitu juga sebaliknya.
Bagi Luna tidak boleh ada hubungan tulus yang terjalin di kalangan orang-orang yang hidup di dalam lingkar hitam kehidupan malam, karena hal itu hanya akan membawa petaka bagi satu sama lain.
"Lihat saja aku dan ibuku. Miss. Rana dan anak buahnya terus mengancam akan melukai ibuku agar aku mau menuruti perintahnya. Bayangkan jika mereka tahu kita berteman, mungkin mereka akan menculikmu agar bisa memaksa diriku melakukan ini dan itu. Aku tidak mau menjadi pelacur hanya untuk membebaskanmu dari mereka." Begitulah ucapan Luna satu tahun yang lalu saat mereka sepakat untuk berteman.
"Hai kalian. Apa kalian benar-benar tidak punya makanan?" Ayura kembali bertanya.
Kali ini Zion dan Luna hanya saling menatap kemudian menggeleng bersamaan.
"Luna tidak bawa apa pun, Bu, karena Luna kabur dari ruangan Miss tadi," ujar Luna, lalu ia menatap Zion, berharap pria itu memiliki sesuatu di dalam kantong jaket tebalnya.
Zion berdecak saat menyadari bahwa Luna menatapnya. "Sudah kuduga. Hanya aku yang bisa diandalkan di sini." Zion kemudian mengeluarkan satu buah roti bantal dari dalam saku jaketnya.
Luna bertepuk tangan. "Aku juga mau sepotong."
Zion menggelengkan kepala. "Dasar rakus." Ia lalu membagi roti menjadi tiga bagian, memberikan sepotong besar untuk Ayura, sepotong berukuran sedang untuk Luna, dan sepotong ukuran kecil untuknya. "Makan dan bersyukurlah karena kita memiliki roti malam ini."
Ayura mengangguk, lalu mulai makan dengan lahap. Zion melakukan hal yang sama, tetapi tidak dengan Luna, saat ia membuka mulut tiba-tiba saja ia merasakan nyeri pada sudut bibirnya yang tadi terluka.
"Ah," rintih Luna.
Zion dengan cepat mendekatkan wajahnya ke wajah Luna dan memperhatikan luka di sudut bibir wanita itu dengan saksama.
"Parah sekali. Sepertinya harus dijahit dan kamu tidak akan bisa makan selama satu bulan, Lun," komentar Zion.
"Ih, dasar berandal!" Luna memukuli lengan Zion dengan tinjunya. Hal itu tidak membuat Zion kesakitan, pria itu malah tertawa terbahak-bahak.
"Sudah, cukup, cukup. Aku rasa rekanku akan segera sadar. Aku harus berbaring di sampingnya juga dan berpura-pura pingsan." Zion bangkit berdiri, membelai puncak kepala Luna dan mengecup punggung tangan Ayura.
Luna mengantar Zion hingga ke depan pintu. "Trims, Zi."
"Tidak masalah. Hanya saja bersiaplah untuk besok. Aku rasa Miss kali ini benar-benar serius tentang agenda untuk menjualmu pada konglomerat itu. Apa kamu tahu berapa banyak pria itu membayar Miss agar dapat tidur denganmu, Lun?" Zion bertanya pada Luna, wajahnya terlihat serius dan khawatir di waktu yang bersamaan.
Luna menggeleng. Ia tiba-tiba saja merasa cemas, karena Zion tidak terlihat sesantai biasanya. Kekhawatiran yang Zion perlihatkan padanya menular dengan sangat cepat.
"Dua ratus juta untuk satu malam."
"What?" Luna memekik, ia tidak menyangka jika harga untuk mendapatkan kepuasan darinya bisa semahal itu.
"Ya, fantastik bukan? Apa kamu yakin tidak mengenal Om Bimo? Karena dia begitu sangat penasaran padamu. Dia bahkan sampai rela mengeluarkan dua ratus juta semalam hanya untukmu. Padahal kurasa kamu tidak begitu berpengalaman di atas ranjang."
Luna menendang tulang kering Zion. "Diamlah. Tahu apa kamu tentang pengalamanku."
Zion meringis sesaat, tetapi kemudian ia tersenyum nakal. "Karena aku tahu kamu baru melakukannya sekali waktu."
Luna memandang Zion dengan tatapan galak. "Aku bangga karena aku tidak semurahan itu untuk melakukannya berkali-kali. Saat itu juga aku terpaksa."
Zion menepuk pundak Luna. "Jika kamu butuh bantuanku, jangan ragu, Lun, aku akan berbagi pengalaman denganmu." Zion mengedipkan sebelah matanya pada Luna, membuat Luna menjadi semakin kesal dan mendorong tubuh Zion ke luar ruangan hingga pria itu terjatuh.
"Dasar mesum!" ujar Luna, lalu menutup pintu di hadapan Zion yang tertawa terbahak-bahak.
"Zion itu lucu sekali. Ibu suka sekali padanya. Andai dia mau menikah denganmu, apa kamu mau, Lun?" tanya Ayura, begitu Luna kembali ke ranjang dan berbaring di sebelahnya.
Luna menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Ayura. "Ibu tidak bercanda, 'kan?Apa ibu mau punya menantu seperti Zion? Dia itu penjahat, Bu. Lagi pula, aku rasa Zion tidak berniat untuk menikah hingga kiamat tiba."
"Sayang sekali."
Luna memiringkan tubuhnya agar dapat menatap Ayura. "Tenang saja, Bu, di luar sana masih banyak pria baik-baik yang mungkin saja akan jatuh cinta pada putri Ibu ini. Di kantor tempatku bekerja juga banyak pria baik. Akan aku cari satu menantu terbaik untuk Ibu."
Ayura tersenyum. "Tidurlah kalau begitu. Besok kamu akan ke kantor, 'kan?"
"Ya, aku sudah meminta kelonggaran pada Miss agar aku diperbolehkan melakukan pekerjaan normal jika siang hari. Kuharap besok tidak akan ada masalah."
Bersambung.
Suara ponsel yang berdering dengan begitu keras membangunkan Luna dari tidurnya. Ia segera bangkit dari ranjang perlahan sembari mengucek mata, lalu meraih ponsel yang terletak di atas lemari pakaian.
Nama Zion tertera pada layar ponsel ketika Luna telah meraih ponsel itu. Luna lantas berdecak kesal karena Zion menghubunginya di waktu yang tidak tepat.
"Halo, kenapa menelepon di waktu yang sepagi ini, Zi, aku masih sangat mengantuk!" omel Luna.
"Cepat ganti pakaianmu sebelum aku memutuskan nasib apa yang pantas diterima oleh Zion tersayangmu."
Suara dari seberang panggilan benar-benar membuat Luna terkejut. Kedua matanya yang masih sangat mengantuk tiba-tiba saja terbuka lebar. Dadanya berdebar tak keruan hingga rasanya organ di dalamnya hendak terlepas dan terlempar ke udara.
Luna menoleh ke tempat tidur, memastikan bahwa sang ibu masih terlelap sebelum ia mulai berbicara. "Miss," lirihnya.
"Ya, ini aku. Aku tidak menyangka jika kalian berdua sekongkol di belakangku selama ini. Dasar sampah!" Suara Miss. Rana dari seberang panggilan terdengar sangat marah. Ia membentak dan memaki Luna dengan kata-kata kotor di saat yang bersamaan.
Akan tetapi, makian dari Miss. Rana bukanlah hal yang mengkhawatirkan bagi Luna sekarang. Ia bahkan tidak merasa takut pada kemarahan wanita itu, yang ada di dalam pikiran Luna sekarang hanyalah Zion. Apa yang terjadi pada pria itu setelah Miss. Rana menangkapnya? Tidak mungkin Zion baik-baik saja mengingat sifat Miss. Rana yang begitu kejam dan tidak berprikemanusiaan.
"Di mana Zion?" tanya Luna.
"Tidak akan kukatakan kecuali--"
"Baik, Miss, apa pun yang Miss minta dariku akan kulakukan, tapi katakan padaku di mana Zion? Aku harus memastikan dia baik-baik saja." Luna mendesak. Ia tahu jika apa yang dikatakannya sungguh Gila. Bagaimana jika Miss. Rana memintanya untuk menjajakan diri. Apa ia akan setuju juga?
"Ruang cuci. Zion di sana sekarang. Aku harap dia belum tenggelam." Miss.Rana menjawab dengan santai sembari tertawa puas.
"Ruang cuci! Tenggelam! Apa maksud ...." Luna tidak meneruskan ucapannya. Ia segera mematikan ponselnya dan berlari menyusuri lorong ruang bawah tanah. Mendorong beberapa drum yang menggelinding di dekat pintu kayu yang hampir roboh, lalu segera menaiki anak tangga dua-dua sekaligus.
Luna tahu apa yang telah Miss. Rana lakukan pada Zion. Dulu sekali ada seorang penjaga yang ketahuan mencuri beberapa barang berharga milik Miss. Saat itu Miss. Rana memberikan hukuman yang sangat kejam dan tidak masuk di akal. Miss. Rana mengikat kaki dan tangan penjaga itu dan meletakan tubuh si penjaga di sebuah bak penampungan air berukuran besar yang kosong di ruang cuci, lalu mengisi bak penampungan itu dengan air lewat bagian bawah bak. Hal itu tentu saja membuat si penjaga akhirnya tewas karena tenggelam. Luna tidak ingin Zion bernasib sama seperti penjaga itu.
Setibanya di puncak tangga, Luna berhenti sejenak. Napasnya terengah dan matanya mulai berair, dengan susah payah Luna berusaha agar tidak menangis. Ia memang sering berkata kepada dirinya sendiri bahwa menangis hanya dilakukan oleh wanita lemah. Ia tidak lemah, dan ia tidak boleh menangis!
Akan tetapi, bayangan akan tubuh Zion yang tenggelam di dalam sebuah bak penampungan air sungguh membuat Luna tidak dapat menahan air matanya. Bukan saja ingin menangis, saat ini ia juga ingin berteriak dan meminta bantuan pada setiap orang yang ada di sana. Namun, ia tahu jika hal itu pastikan akan sangat percuma.
"Ruang cuci masih jauh. Aku harus bergegas. Tunggu aku, Zi, aku pasti akan menyelamatkanmu." Luna bergumam, berusaha menguatkan dirinya sendiri, karena memang ruangan yang ditujunya masih lumayan jauh.
Rumah Merah, adalah sebutan bagi bangunan yang sekarang Luna dan Zion tempati. Bangunan itu besar dengan puluhan kamar dan ruangan lain di dalamnya. Terdapat puluhan lorong dan puluhan anak tangga agar Luna dapat mencapai ruang cuci yang berada di lantai lima. Tidak ada elevator yang bisa membawanya agar lekas sampai ke atas, karena elevator hanya bisa dilewati oleh tamu VVIP yang mendapatkan kartu akses khusus dari Miss.
Luna melanjutkan langkahnya berlari menyusuri lorong-lorong berbau alkohol. Sesekali ia bertemu dengan para penjaga yang berjalan sempoyongan di lorong, mungkin sedang di bawah pengaruh minuman keras atau mungkin juga pengaruh obat-obatan terlarang.
"Hai, Pelacur, duduklah di atasku sebentar. Aku akan bayar!" teriak salah seorang penjaga yang dengan entengnya meremas bokong Luna saat Luna melintas.
Luna menendang bagian sensitif penjaga kurang ajar itu, kemudian terus berlari.
"Argh! Sialan. Awas kamu. Dasar ***_***!"
Luna tidak menghiraukan teriakan si pria penjaga. Ia terus berlari hingga akhirnya ia tiba di lantai lima yang merupakan lantai teratas Rumah Merah. Dengan gesit Luna berlari ke ruang cuci, memeriksa satu persatu bak penampungan air yang ada di sana sambil berteriak memanggil nama Zion, barangkali Zion bisa mendengar kedatangannya.
"Zion! Zi! Kamu di mana?" Luna berteriak berulang kali hingga ia tiba di bak terakhir, dan di sanalah ia mendapati Zion hampir tenggelam. Tangan dan kakinya terikat, serta mulutnya disumpal dengan kain.
Luna segera masuk ke dalam bak penampungan air dan menarik tubuh Zion agar wajah pria itu tidak tenggelam. Zion terbatuk saat Luna berhasil mengeluarkankannya dari dalam air dan segera melepas ikatan pada tangan, kaki, dan juga sumpalan di mulutnya.
"Trims," ujar Zion, dengan napas yang terengah-engah.
Luna memeluk tubuh Zion dan mulai menangis. "Maaf, aku datang terlambat."
"Tidak. Jika kamu terlambat, aku pasti sudah mati."
"Ya, kamu memang hampir mati karena aku."
Zion tertawa. "Benar. Aku hampir mati karena dirimu."
"Bagaimana bisa kamu ketahuan?" Luna bertanya, tetapi belum sempat Zion menjawab, Miss tiba di ruang cuci dengan didampingi oleh beberapa penjaga bertubuh besar di samping kanan dan kirinya.
"Untungnya kamu tidak mati, Zi," komentar Miss. Rana, begitu ia tiba di hadapan Zion dan Luna.
Zion diam saja, walaupun Luna melihat gurat kemarahan dj wajah pria itu dengan jelas.
"Nah, seperti janji yang telah kamu ucapkan padaku tadi, Lun. Aku ingin agar kamu menemui Pak Bimo hari ini."
Deg.
" Pak Bimo?" Bukankah dia orang yang ingin agar aku--"
"Benar sekali. Layani dia sebaik mungkin. Aku tidak ingin mendengar keluhan dari bibirnya," ujar Miss. Rana sembari melambaikan gaun yang begitu terbuka berwarna murah muda ada di hadapan Luna.
"Jika aku tidak mau?" tanya Luna.
Miss. Rana tertawa. "Tolak sajalah kalau kamu ingin mendengar kabar kematian Zion atau mungkin kabar kematian ibumu."
Luna mengepalkan tangan. Ia merasa marah karena diperlakukan dengan tidak adil. Miss. Rana selalu memanfaatkan kehadiran ibunya dan juga sekarang Zion untuk mengendalikannya dirinya.
"Cepat ganti dan masuklah ke kamar 122, dia ada di sana."
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!