Romansa Melayu Zaman Now
Senja ini lembayung berjuntai-juntai di angkasa raya nan permai. Potongan-potongan mega di jagat yang mengapas putih serupa lukisan tercecer-cecer. Desau angin bak bisikan yang mengantarkan temaram malam. Matahari kian menjorok ke barat. Di bawahnya, deras arus Sungai Musi beriak-riak. Rama melontarkan pandangan ke bawah, ke arah Sungai Musi. Dilihatnya arus air yang mengalir itu. Dia kembali berjalan di atas trotoar Jembatan Ampera. Di jalan banyak kendaraan lewat. Deruman dan klakson menabrak-nabrak kesunyian senja.
Orang iliran itu lebih baik berdagang saja.
Omongan bapaknya terus berputar-putar di dalam benaknya. Ditendangnya kerikil. Kerikil itu terpelanting ke bawah, tercebur ke sungai. Dia berjalan sambil menekuri jalan dan kembali mencari batu kerikil atau apa pun untuk ditendangnya, melampiaskan apa yang sedang menggelisahkannya. Rama segera menyingkir ke kiri karena di belakangnya terdengar lengkingan suara klakson sepeda motor yang sedang melintas. Dia meludah ke sebelah kanan. Tepat setelah sepeda motor yang melanggar lalu lintas itu lewat dengan sembrono.
Langkah kaki Rama semakin cepat sebab jalanan mulai menurun. Sehingga kalau ada becak yang melintas tak usah susah-susah mengayuh, tinggal santai memegang setang, duduk sambil belingsatan melihat pemandangan, memejamkan mata sebentar sambil menghirup udara segar yang bercampur toksin-toksin berbahaya di jalanan, terus melungsur, santai. Tapi tidak untuk Rama. Ayunan kakinya terasa berat sebab pundaknya seperti memikul satu karung semen yang berisi sepenggal omongan bapaknya. Maka disepaknya apa saja. Entah, tidak ada apa-apa, cuma tumpukan debu dan pasir kering.
Tak lagi dihiraukannya kendaraan-kendaraan di jalan. Dia menyeberang ke arah Monpera tanpa melihat kanan-kiri. Jeritan kenek angkot jurusan Ampera-Pakjo membuat kupingnya terasa sakit. Tapi rindangnya pepohonan di sekitar Masjid Agung membuatnya luluh. Membuatnya malu. Terus dia berjalan ke barat. Dilewatinya Jalan Temon. Hingga akhirnya dia sampai di kampung halamannya: Sekanak, sebuah kampung di tengah hiruk kota.
Rumah itu tak jauh dari bantaran Sungai Musi. Rumah yang sudah tua nanpanjang dan besar dengan dominan warna hitam-cokelat. Kayu dari tiang pondasi atau cagak rumah adalah trembesu, sementara untuk dinding dan lantainya menggunakan kayu jenis merawan. Selain termasuk rumah tradisional Palembang, Rumah Limas juga mengandung nilai historis, sebab para bangsawan di masa lalu tinggal di rumah yang kaya akan ukiran bunga dan daun itu, sehingga fungsinya tidak hanya sebagai tempat tinggal, melainkan juga sebagai bangunan yang memiliki nilai estetika yang tinggi.
Rumah itu adalah peninggalan buyut Rama dari garis keturunan bapaknya. Kamarnya dipenuhi oleh dentuman suara musik punk yang membahana. Lantai dan dinding jangan ditanya. Bergetar-getar! Alunan lagu St. Jimmy karya Green Day mengguncang-guncang seisi kamarnya. Bergoyang-goyanglah kepala Rama dan menghentak-hentaklah kakinya. Dia mengambil HP-nya lalu menghubungi Vio. Sejurus kemudian,Vio menekan tombol hijau.
“Vi, kau lagi di mana?”
“Di rumah.”
“Cepat ke rumah aku, sekarang!”
Sigap, Vio menghambur keluar rumahnya, lalu mengunci pintu. Dihidupkannya mesin vespanya. Suara motor bututnya persis suara mesin parut kelapa. Dari 26 Ilir ke Sekanak, tak terlalu lama. Paling lima menit kalau berjalan kaki.
Gadis remaja yang baru kelas 11 SMA menghampiri Vio. Dia menutup hidung lantaran asap dan emisi berbahaya dari vespa yang bergelimpangan di udara. Dia menatap nanar. Sementara Vio nyengir dan sumringah.
“Ayu... apa kabar?”
“Dasar menyebalkan. Asap motor kau, Kak, bikin polusi bae*.”
“Maaf, Dik. Maaf. Aih... kau tambah manis bae.”
“Bukan cuma si Karbon yang ngeluari toksin berbahaya, tapi si penunggangnya juga.”
Vio mendorong si Karbon. “Sekali-sekali, Dik.”
“Ya, sekali untuk hari ini. Besok-besok bakal seperti ini lagi. Dasar!”
“Mana kakak kau?”
“Di kamar. Masuk bae. Anggap saja rumah Rama dan Ayu.”
“Kata siapa ini rumah beruang kutub?”
Malam Minggu merupakan malam yang paling liberal setelah malam pergantian tahun, paling bebas di antara enam malam lainnya, dan paling merdeka bagi para pencinta sejati. Dengan vespa itu mereka berdua menjelajahi Palembang.
Mereka berteriak di underpass. “Aaaaaa!!!”
Setiba di fly over, mereka melontarkan kiss bye kepada orang-orang di bawah.
Mereka menjahili para kupu-kupu malam di sekitar Bukit Kecil.
Kedua bujang itu mengolok banci yang sedang mangkal.
Kebut-kebutan dengan “cabe-cabean”.
Akhirnya sampai di plaza Benteng Kuto Besak. Luas dari pelataran BKB tak jauh berbeda dengan luas lapangan sepak bola. Kalau malam tiba, selain banyak penjual baju sebagai oleh-oleh dari Palembang, banyak juga penjual aksesoris perlengkapan penampilan, seperti cincin, gelang, kalung dan sebagainya yang membuka lapak. Di sini juga banyak penjual makanan dan minuman ringan. Penjual mi tek-tek berjejer-jejer, siap melayani pelanggan.
Rengekan anak kecil yang sedang menyeret tangan ibunya untuk dibelikan balon terbang bak layang-layang yang berbentuk Masha si imut lucu dari Rusia teman si Beruang, suara anak kecil itu tadi, berkolaborasi dengan panggilan para penjualnya. Asap panggangan jagung adu jotos dengan asap rokok mamang-mamang pembeli jagung itu. Suara kompor bibi penjual kerak telor terdengar halus karena ditelan oleh suara pengamen yang sedang mencari rupiah. Sementara sepasang kekasih yang mendengar suara musisi jalanan tadi mesti menghentikan percakapan mesranya dan siap merogoh kocek.
Sedikit ke tengah pelataran. Kakak-kakak berjaket kulit hitam tengah berjongkok dan bergeming di hadapan gelaran catur yang dipasang oleh mamang-mamang bertopi setelah membayar administrasi sebesar dua puluh ribu rupiah. Kalau segenap pasukannya mampu menjungkirbalikkan si raja dari mamang-mamang penggelar judi catur liar itu dengan ayunan gerak anggun tiga langkah saja maka duit dua ratus ribu atau hadiah seperti satu Nokia klasik dan dua bungkus rokok siap dibawa pulang. Meski diam, isi di dalam kepalanya sedang berkecamuk memikirkan bagaimana caranya melengserkan kekuasaan si raja yang sudah diatur secara matang oleh si mamang-mamang yang tengah mengisap rokok itu.
BKB bak sebuah tempat yang dihuni oleh ratusan kunang-kunang bila dilihat dari kejauhan. Tampak cahaya-cahaya putih dipadu oleh kerlip lampu-lampu yang berwarna-warni. Menara Jembatan Ampera tampak kokoh. Ikon kota Palembang itu menjadi pemandangan indah di tengah malam. Sinar lampu menembakkan warna merah ke bangunannya. Sinar lampu dan refleksi warna kuning emas melebur di atas permukaan air Sungai Musi yang berlombang-gelombang, lalu hijau, biru, ungu. Bahkan seolah ada pelangi di atasnya.
Rama dan Vio berjalan di tengah orang-orang. Mereka melihat ada tempat yang kosong untuk mereka duduki di pinggir pelataran. Duduklah mereka berdua dengan berdampingan. Rambut Rama yang mulai panjang tampak beterbangan karena sepakan angin, poninya berayun-ayun. Meski suasananya agak gelap, tapi rona wajahnya tetap bersinar. Raut wajahnya menampakkan air muka yang seolah selalu tersenyum. Dagunya yang belah telah membuatnya lebih berkesan di mata orang-orang.
“Kau percaya orang iliran ditakdirkan untuk berdagang?”
“Aku bukan dukun yang sok tahu,” semprot Vio.
Di tengah keramaian itu ada segerombolan anak punk. Rama memperhatikan mereka sambil tersenyum tipis, lalu berujar, “Keren nian mereka itu.”
“Siapa?”
Kemudian Rama memberi arahan dengan menggerakkan kepalanya ke arah kanan.
“Oh,” balas Vio. “Asal kelakuannya dak anarkis bae, Jok*. Aku jadi ingat waktu kita masih SMP dulu. Berpenampilan seperti anak punk. Seperti mereka.”
Seiring dengan Rama berpikir, Sungai Musi terus mengalir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
winda perucha
teruskan thor
2023-01-01
0