Gadis itu tengah asyik mencurahkan isi hatinya ke atas kertas. Bait-bait puisi nan indah terangkai dengan sangat memesona dari tangan dinginnya. Pena itu terus menari-nari menumpahkan segenap estetika. Sebagai pencinta sastra, dia tak bosan-bosannya berkarya. Bahkan dia rela melepas malam Minggunya bersama pacarnya demi menyendiri di kamarnya untuk berkarya. Jika satu lembar kertas terasa sudah penuh disesaki kata dan kalimat, dia akan membaca dan menikmatinya. Di dekat meja belajarnya ada buku puisi yang dibuatnya untuk kekasihnya. Tapi sayang, dia tidak pernah memberikan puisi untuk pacarnya tersebut, melainkan untuk melampiaskan isi jiwanya saja, terus membacanya ulang. Sudah sering dia membaca puisi itu, puluhan, atau bahkan lebih dari seratus kali.
Namanya Masayu Selly. Sebenarnya malam ini dia diajak oleh pacarnya untuk dinner, tapi dia menolak. Baginya, menyendiri di kamar, menulis puisi dan cerpen merupakan hal yang lebih mengasyikkan ketimbang keluar bermalam Minggu. Dia memang suka jalan-jalan, nonton, karaoke, dan makan-makan, namun jika dibandingkan dengan hal yang dia lakukan sekarang ini, tentulah dia lebih suka dengan apa yang dia lakukan sekarang ini. Masa bodoh dengan tanggapan orang. Bahkan pacarnya dicuekinya begitu saja. Tiba-tiba smartphone-nya berdering. Masayu mengusap warna hijau.
“Lagi apa, Sayang?”
“Lagi guling saja di kamar. Kau lagi di mana?”
“Di Palembang Square. Kamu sih, dak mau diajak jalan. Jadi makanya aku jalan sama kawan-kawan saja.”
“Ya besok-besok kan bisa, Dodi. Nanti kalau ketemu terus, bisa bosan, kan?”
“Ya juga sih. Kau jangan lupa makan.”
“Oke. Kau juga.”
“Tidurnya jangan sampai larut malam, Sayang. Sudah dulu. Sampai ketemu besok. Bye. Love you.”
“Bye. Too.”
KLIK!
Sebenarnya Dodi ialah orang datangan. Dia berasal dari Muara Enim. Semenjak SMA dia tinggal di sebuah kos-kosan mewah di Palembang. Selama tiga tahun lebih Dodi sudah bisa membiasakan hidup di Palembang.Tak dinyana jiwa hulunya telah pupus oleh indahnya gemerlap kota. Logat dusunnya telah ditelan oleh cakap-cakap orang Palembang dan gaya hidupnya juga telah berubah drastis. Untuk semua itu dia dimodali oleh orangtuanya. Sungguh kaya keluarganya. Kalau ada orang pendatang yang bersekolah di Palembang, rata-rata mereka kaya raya. Jadi tak heran kalau kehidupan mereka serba berkecukupan bahkan lebih dari cukup.
Karena itulah Dodi merasa betah tinggal di Palembang dan jarang sekali pulang ke Muara Enim sana. Kalau pulang, biasanya ketika libur, seperti Lebaran. Dalam pada itu, Dodi berencana bakal membeli rumah di Palembang jika nanti sudah menikah. Dodi begitu ingin bekerja di Palembang dan yang pasti pekerjaan itu pas untuknya dan tidak membuatnya merasa rendah. Setidaknya dia jadi pegawai negeri di sebuah kantor pemerintah atau pun di sebuah instansi milik negara.Tentu malu nanti jika keluarga Masayu mengetahui dia hanya seorang buruh yang gajinya pas-pasan, ataucuma jadi seorang pedagang kecil, atau parahnya menganggur.
Dodi sudah tahu tentang keluarga Masayu. Ya, kedua orangtua Masayu adalah PNS di kantor pemerintahan tingkat provinsi dengan level pendidikan S-2. Maka peninglah Dodi memikirkan soal golongan dan penghasilan mereka. Sepupu-sepupu dari Masayu ada yang jadi polisi dan bertugas di Mapolda. Ada juga yang jadi guru di sebuah sekolah negeri dan ternama di Palembang, pegawai BUMN, bahkan salah satu pamannya Masayu adalah seorang anggota dewan. Tambah peninglah dia memikirkannya. Oleh karena itu, segala upaya terus Dodi lakukan untuk menuai apa yang diimpikannya bersama Masayu kelak.
Hal itu tidaklah mudah. Apa harta orangtuanya bisa menutupi semua perkara yang membuatnya pening itu? Apa gaya hidupnya mampu membuat semua keluarga Masayu jadi senang? Seorang rantau, dari pedalaman sana, tiba-tiba menjadi pungguk yang amat merindukan bulan. Bagai buih yang terus dilamun ombak, pikiran lelaki itu terkatung-katung dan terombang-ambing di tengah semua realitas hidup yang terus membuatnya berubah-ubah agar segala sesuatu yang dicita-citakannya sesuai dengan apa yang tersirat di hatinya meski dia sadar bahwa dia hanya anak kampung yang numpang hidup di tanah orang, meski dia sadar bahwa dia sebatas bujang uluan yang mengiba-iba agar tubuh yang erat dengan bau kebun itu dapat diterima dengan sadar nan ikhlas oleh keluarga si juwita tambatan kalbunya.
Dodi adalah satu dari jutaan manusia berstatus pendatang yang berani dan siap diterpa badai hingga rela padam jiwa raganya meski dia tahu bahwa dia itu lemah dan tidak apa-apanya. Dia khilaf, bahwa dia itu serupa bunga yang ingin terus diendus oleh orang-orang.
***
Hidup ini pilihan. Itulah yang sering diucapkan oleh orang kebanyakan. Entah, apa mungkin sekadar untuk pemanis mulut, atau pun dengan sepenuh hati. Dan kalimat itulah yang sedang berkecamuk di dalam benak Rama, yang mana dia mesti memilih jalan hidupnya sendiri meski orangtuanya berkehendak lain. Bukanlah dia bermaksud durhaka terhadap orangtuanya, semata-mata bukan. Sungguh dia ingin memberikan yang terbaik untuk orang yang telah membesarkannya hingga sekarang ini dan ingin mengubah nasib keluarganya menjadi lebih baik. Ya, hanya dengan melanjutkan sekolah dia bisa mencapai semua impiannya dan yang pasti semoga dengan cara itu dia bisa membuat kedua orangtuanya bangga.
Sungguh ingin Raden Muhammad melihat anaknya cerdas lagi sukses tapi apalah dayanya menghadapi semua ini. Berkali-kali lelaki penyayang itu menasihati anaknya agar lebih baik bekerja dulu. Tapi Rama tetap pada ego masa mudanya. Sementara sang ibu, tak banyak berkata melihat sikap anaknya itu. Ingin pulalah beliau melihat anaknya seperti orang kebanyakan; melihat anaknya menjadi orang yang cerdas lagi sukses, dan tentu dapat membanggakan kedua orangtuanya, tapi apalah juanya beliau untuk menyiapkan segala keperluan kuliah itu.
Berkatalah Raden Muhammad, “Kalau kau kuliah, Nak, bisa-bisa Ayu putus sekolah. Cobalah kaupikirkan juga nasib adik kau itu.”
Rama berjalan gontai. Lantai kayu dari rumah panggungnya berderak sedikit. Dari kondisi rumahnya saja keluarga itu tampak miris dalam mengarungi hidup. Saban hari sering terpikir oleh Raden Muhammad tentang keinginan anaknya dan itu membuat punggungnya terasa makin berat.
“Janganlah kautengok kawan-kawan kau yang kaya itu anakku. Tapi lihatlah keadaan kita sekarang ini. Sungguh Bapak dak bisa membiayai semua keperluan untuk kuliah kau kalau kau jadi kuliah nanti.”
Rama memperhatikan langit-langit rumahnya yang gelap, lalu mengembuskan napas pahit sekaligus membuang semua impiannya untuk bisa kuliah, untuk bisa menuntut ilmu setinggi langit, namun impiannya itu terlalu tinggi, serupa pandangannya mampu menatap langit-langit rumahnya saja. Tak mungkin menatap langit yang nun jauh di atas sana. Tak sanggup dia melepas semua angan dan cita-citanya.
Rama menghabiskan waktu sore itu di kamar. Tak keluar-keluar.
***
Kala malam tiba, Rama keluar dari rumahnya. Diperhatikannya di sekelilingnya: Sekanak masih ramai walaupun sudah malam. Rumah-rumah di Sekanak lebih banyak rumah panggung yang besar. Dinding dan lantainya dari papan kayu dan genting oranye menjadi atapnya. Sementara Benteng Kuto Besak yang berada di sisi timurnya tak jauh dari sana. Rama menghidupkan mesin motornya. Tancap gas. Taman Jeramba Karang memuntahkan kerlip cahaya. Tak lama berselang, Rama berbelok ke kiri, masuk ke salah satu gang, dan tak jauh dari gang itu dia sudah melihat Vio tengah nongkrong di beranda rumahnya sembari menyeruput kopi hitam. Rama memarkirkan motornya.
“Ram, ngapa dak beri kabar kalau mau ke sini?”
“Untuk apa aku beri tahu?”
Vio tahu kalau Rama ingin juga menikmati secangkir kopi hitam. Vio berdeham-deham lalu masuk ke dalam rumahnya. Rama tersenyum. Dia duduk di kursi yang ada di beranda sambil menghirup udara malam yang terasa segar. Dan tak lama setelah itu tibalah Vio dengan membawa secangkir kopi hitam.Rama mengeluarkan sebungkus rokok dan korek api dari saku celananya. Diambilnya sebatang dan dinyalakannya. Diisapnya lumayan dalam, diembuskannyalah, bergulung-gulung asap itu mengepul-ngepul.
“Aku pingin numpang tidur di sini.”
“Memangnya ada apa, Ram?”
“Tadi kau ke rumah aku, kan? Nah, sudah aku omongi kalau bos aku akan marah kalau tahu tentang semua ini dan dak akan pernah setuju kalau aku kuliah.”
“Ya, aku omongi pada bos kau, sebab kau yang nyuruh, Ram. Aku sudah berusaha semampu aku untuk ngomong pada bos kau kalau kau ingin kuliah. Semampu aku agar bos kau tetap ngerti dengan apa yang kauingini. Tapi tetap saja, Ram, tetap saja bapak-ibu kau dak akan pernah ngijini.”
“Bagaimana, Vi, aku boleh dak nginap di rumah kau?”
Vio meninju pundak Rama dengan sedikit keras, lalu berucap dengan tegas, “Apa hari ini kita baru kenal.
Sementara bapak-ibunya tidaklah mengetahui hal demikian sehingga kedua orangtua itu merasa gelisah sebab kepikiran akan putera sulung yang disayangi mereka. Sedangkan Rama, tak tenang dia tidur malam ini, kadang telentang, telungkup, berbaring ke samping, dan sudah lebih dari sepuluh gaya tidur dicobanya, tapi tetap dia tak kunjung bisa tidur. Dia coba memicing-micingkan matanya. Tetap saja susah.
Vio yang sedang asyik tidur di samping Rama tersenggol-senggol badannya. Dengkurannya mesti berhenti sebab Rama membangunkannya. Sedikit kesal juga dia rupanya. Rama memperhatikan tulisan berwarna hitam yang ada di dinding kamar Vio. Cuma satu kata yang terdiri dari empat huruf. Dulu mereka berdua amatlah fanatik dengan satu kata itu sehingga mereka nyaris dianggap begundal, berandal pasar, preman jalanan. Atau apalah, terserah.
Ada satu bersitan yang menghunjam otak Rama malam ini yang akan membawa perubahan hidupnya. Impiannya sejak dulu: punya band! Pupuslah sudah urusan kuliah! Pupuslah!
Kamar sempit ini tak jauh berbeda dengan kamar Rama: lebih banyak warna hitam dan putih. Pokoknya identik dengan musik dan kekerasan.
“Besok-besok kita ke tempat jualan Kiagus. Aku harap dia masih nyimpan manuskrip lagu ciptaan kita waktu masih SMP dulu. Terus kita nanti akan memijakkan kaki di Olympus!”
Vio bergumam tidak jelas. Dan Rama masih membidik satu kata itu.
PUNK.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
winda perucha
Semangat terus thor.. next
2023-01-03
0