Para penggelar lapak belum merdeka kalau jam-jam seperti sekarang ini karena Pol-PP masih sigap menjalankan tugas negara. Tak heran, jika matahari belum berada di atas kepala, para pedagang belum tenang untuk membuka lapak karena khawatir lapak mereka bakal digusur. Kala terik, kala itulah geliat dagang mulai menuju *******. Seperti itulah yang dirasakan oleh Rama dan Vio. Mereka bakal terusik hatinya kalau masih melihat mobil Satuan Pol-PP masih bercokol di sekitar pasar. Pernah mereka ikut berjualan sepatu di tempat jualannya Kiagus. Sering mereka bertiga terkocar-kacir membereskan lapaknya ketika petugas mulai melakukan penyisiran, sweeping, sekaligus pembersihan jalan dari lapak-lapak liar. Dan jika para petugas sudah tak tampak lagi di hadapan mata, mereka mulai menggelar lapak lagi. Terus sering terjadi. Dan hal demikian berlaku bagi mereka yang menggelar lapak liar di jalan.
Jika sudah aman, mereka bertiga mulai bernapas lega sambil menikmati es kacang merah dan menunggu pembeli hinggap di tempat jualan mereka. Oleh karena sekarang adalah masa masuknya ajaran baru maka Rama dan Vio mempunyai peluang untuk berbisnis “buka nama”. Maksudnya adalah mereka menawarkan bagi siapa yang hendak membuat “bordiran nama” untuk seragam sekolah, yang letaknya di dada bagian kiri, dan juga “bordiran lokasi” yang letaknya di sisi lengan baju, misal: MI. Hijriyah II Palembang, SMP Negeri 7 Palembang. Caranya adalah mereka tetap membuka lapak liar dengan bermodalkan contoh dari bordiran dan menawarkan kepada orang-orang lewat.
“Nama seragam sekolah. Lokasi sekolah, Bu, Pak.”
Lokasi lapak mereka di sekitar toko Radenmat dan cukup jauh dari tempat untuk membuat bordir atau tukang jahit yang berlokasi di dekat Dika. Kerja mereka bukan membuat jahitan bordiran tapi hanya sebagai perantara. Karena sering wara-wiri, keberadaan mereka ini dijuluki “Wa-wi”. Sebetulnya Wawi hanya jabatan tingkat dua sebab ada lagi jabatan yang tinggi. Kerjanya cuma sebatas: menawarkan, bernegosiasi, lalu mencatat tulisan untuk dibordir, dan menyerahkan tugas tersebut kepada Wawi, lalu si pesuruh pun pontang-panting menuju tempat bordiran, menunggu sebentar, kemudian kembali ke lapak dan menyerahkan barang yang dipesan. Soal harga per satuan, itu tergantung.
Ya, tergantung dari kelebihan bidang ekonomi dan bisnis serta kepiawaian taktik dalam memberikan harga tawaran dari si Wawi, dan dari si bos juga tentunya. Kalau si bos menawarkan satu buah nama itu lima ribu rupiah, dan si konsumen pun menjabat tangan si bos, maka keuntungan si bos adalah tiga ribu lima ratus. Masalah bagi untung, ini pun perkara dari MoU si bos dan si Wawi. Dari keuntungan itu bisa saja si bos dua ribu dan si Wawi seribu lima ratus. Tak jarang menemui si Wawi yang licik. Dan tak jarang pula menemui si bos yang amat licik.
Ngomong-ngomong masalah licik, hal demikian bisa disangkut-pautkan kepada Vio. Berulang kali dia menyuruh Rama menjadi Wawi. Bagi Rama yang keren bukan akting, tentulah tidak mau dijadikan anak buah oleh Vio yang kurus kering dan ringkih.
Rama menyuruh Vio menjadi Wawi. Dia mendaratkan pantatnya di kursi plastik murahan. Vio memaksa agar Rama mengulangi omongannya karena omongan itu tertelan oleh keramaian pasar. Dirasa Vio cuma pura-pura tidak mendengar sebab dia mencubit kuping dan mendekatkannya ke mulut Rama.
“Apa tadi? Apa?”
“Kau saja yang jadi Wawi!”
Vio menghentak-hentakkan kakinya sambil mencomel, “Kurasa, aku ni pandai dalam dunia marketing. Dan kau, Ram, kurasa kau secuil pun dak paham masalah marketing.”
Tak ingin kalah, Rama bersorak-sorai seraya mengoles-oles dagu, “Kau itu gesit kalau berlari. Terus dak gampang lelah. Jadi kau pantas kerjanya mondar-mandir.”
Merasa dipuji, padahal sebetulnya itu adalah ejekan, Vio paham bagaimana cara membela kebenaran, “Kau ngerti bagaimana cara menghemat waktu, Ram. Otomatis jabatan babu itu pantas untuk kau!”
Vio membekap mulut karena sadar akan omongannya. Wawi memang pada dasarnya serupa dengan babu. Bisa gawat kalau gerutuannya didengar oleh para Wawi. Tahulah sendiri bagaimana karakter orang pasar. Apalagi orang Palembang. Bakal kacau urusannya.
“Aku lebih ganteng,” seru Rama tanpa nervous sedikit pun.
“Aku lebih tua.”
Kelicikannya sudah mulai terlihat di sini. Dengan cara memanfaatkan masalah usia. Dasar!
“Yang tua lebih berpengalaman.”
Konklusinya: Vio yang jadi Wawi.
Rama bersorak, “Seperti apa kata Wong Palembang: orang pintar dikalahkan oleh orang licik – orang licik dikalahkan oleh orang bernasib.”
***
Bahu Rama tersandar di dinding toko baju. Tak marah si pemilik toko padanya karena sudah akrab dan sering ngobrol-ngobrol. Tangannya bersandar di atas meja dari papan kayu yang dia buat bersama Vio. Di sekitar meja tertempel contoh-contoh bordiran nama dan lokasi sekolah. Pena yang dipegangnya berkali-kali dipukul-pukulinya di atas meja, sambil mengawasi ke arah kanan. Sementara seorang bibi tengah berdiri terpancang tak jauh dari tempat duduk Rama. Hampir seperempat jam dia menunggu pesanan bordiran nama untuk anaknya, namanya: Angga Setiawan. Dia pesan dua yang putih dan satu cokelat untuk pakaian Pramuka. Lokasi sekolahnya: SMP Negeri 5 Palembang, dan jumlahnya sama seperti yang tadi. Dia bayar lima ribu rupiah per satuannya. Sehingga Rama dan Vio senang bukan main mendapatkan keuntungan yang lebih.
Pekerja seperti Rama dan Vio tak sedikit jumlahnya untuk waktu sekarang ini. Jadi sebetulnya mereka juga mesti paham bagaimana cara bersaing dalam dunia bisnis. Apalagi antar sesama mereka sudah saling mengenal dan berteman. Mereka berdua harus pintar-pintar untuk menarik minat konsumen dan yang penting bisa memberikan service yang memuaskan kepada pelanggan mereka. Kadang-kadang mereka mendapat cemoohan dan kritikan dari pelanggannya sebab pelayanannya kurang dan yang pasti mereka mesti menerima semua itu sebab sudah menjadi kewajiban mereka. Dan untuk bibi yang sudah bosan menunggu ini pun juga. Dia mengeluh, “Lama nian, Dik. Bibi mau cepat nah.”
Rama berdiri sembari mengusap keningnya. “Sebentar lagi, Bi.”
Hampir setengah jam.
“Nah itu, Bi, sudah datang.”
Vio berjalan ngebut dan meliuk-liuk di tengah lalu-lalang. Dengan terengah-engah dia mendekat ke lapak. “Maaf lama, tadi di sana ramai nian,” katanya ngos-ngosan.
Rama mengambil bordiran yang sudah dibungkus rapi dengan plastik bening dari tangan Vio.
“Sekali lagi maaf ya, Bi, lama,” katanya pelan.
Rama menyodorkan kursi yang tadi didudukinya kepada Vio. Dilihatnya Vio yang tampak lelah. Rama berniat bakal membeli nasi bungkus setelah kerja hari ini untuk sahabatnya itu. Tak tega dia, sungguh tak tega. Sudah lima kali Vio mondar-mandir dan uang yang didapat dirasa tak cukup untuk memenuhi gizi hariannya. Maka dari itu Rama sungguh tak tega, tak tega nian. Mana mungkin seorang bujang yatim dapat memenuhi kebutuhan hariannya dan juga emaknya di rumah? Jadi seorang Wawi pula. Sungguh, banyak orang yang bisa menjadi sahabat, tapi belum tentu bisa seperti halnya mereka berdua. Di dalam hati Rama tersimpan sebuah kasih sayang persahabatan yang tak terhingga nilainya yang mana dia merasakan kesusahan yang dirasakan oleh orang yang dilihatnya sekarang ini.
Banyak sahabat yang cuma baik di muka, namun di belakang bak belati yang menyayat-nyayat. Atau bermanis wajah di depan, tapi di belakang—mengumpat, mengorek-ngorek semua keburukan, menguak semua aib, mencari kelemahan, mencari kesalahan sahabatnya, lalu di-share kepada orang-orang. Banyak orang yang mengatakan sahabat, tapi tak mampu untuk royal dalam berkawan. Banyak orang yang mengatakan sahabat, tapi bagi mereka: uangku adalah uangku. Banyak orang yang mengatakan sahabat, namun selalu ada di saat kawannya jaya, sementara kalau lagi down, enyah entah ke mana. Banyak orang yang bilang sahabat, tapi ada di kala happy-happy, kalau lagi melarat, jauh besi dari karat. Dipandanginya lagi Vio. Tambah mirislah terasa. Dia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa dia mesti tulus dalam berkawan. Tidak ada istilah “lancip” alias selalu ingin mengisap, jadi parasit, dikit-dikit menyusahkan orang lain. Dan juga tidak ada istilah “tipis” alias selalu ingin menang dan enak saja. Sekali-kali tidak, sungguh tidak! Rama berjanji bakal tulus untuk kawannya. Kini Rama yang jadi Wawi. Suaranya bersahut-sahutan dengan antar sesama Wawi di depan jejeran ruko-ruko. Berulang kali dia menawarkan apa yang dijajakannya, berulang kali pula sahutan itu jadi angin lalu lalu-lalang. Sesekali dia bercanda dengan sesama Wawi, bercerita-cerita soal apa yang terjadi siang ini. Mereka saling bertukar pikiran. Kadang berdebat soal harga yang mereka tawarkan.
“Aku kadang beri harga tiga ribu kalau kepepet,” ujar Yanto.
Wah, bakal rusak harga pasaran, batin Rama.
“Kami biasanya lima ribu. Tapi kalau ada yang ambil banyak, kadang kami beri empat ribu,” jelas Rama.
Yanto terpaksa menurunkan harga karena dia jarang dapat pelanggan. Jadi dengan terpaksa dia harus merusak harga pasaran demi mengantongi rupiah. Setidaknya bagi Yanto bisa makan siang ini dan membeli sesuatu untuk malam nanti. Nasib bujang yang hanya mampu menjalankan program wajib belajar sembilan tahun itu juga sama seperti halnya Rama dan Vio. Dan parahnya dia tak bisa berbuat banyak untuk mencari pekerjaan lain sebab dia tak punya ijazah putih abu-abu.
Rumah Yanto berada di Seberang Ulu, tepatnya di 10 Ulu. Kalau mau ke Pasar 16, dia bisa berjalan kaki lewat Jembatan Ampera. Dia suka naik perahu ketek melintasi Sungai Musi sebab 10 Ulu tepat berada di seberang 16 Ilir. Itulah nasibnya tak sebaik Rama dan Vio. Yanto tak punya kendaraan untuk pergi berangkat. Dia amat senang dengan bulan Mei, Juni, Juli, dan Agustus. Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak yang umurnya sekitar 40-an bersama anak perempuannya mendekati Rama dan menanyakan berapa harga per buah. Rama menoleh ke arah Yanto yang tak jauh dari posisi dia berdiri. Dengan sedikit ragu Rama menjawab, “Lima ribu, Mang.”
“Mahal. Bisa kurang, dak?”
Sekonyong-konyong Yanto mendekat sambil mencerocos, “Sini, Mang, sama aku tiga ribu.”
Bapak-bapak itu terkejut, lalu melihat Yanto yang sedang memegang selembar kertas dan pena siap mencatat nama dari anaknya dan asal sekolahnya. Jumlah keseluruhannya enam buah bordiran. Lumayan. Setelah itu Yanto pun terbirit-birit menuju tempat bordiran, menerobos keramaian, meliak-liuk di tengah hiruk-pikuk ratusan manusia, melewati puluhan petak toko dan lapak liar, berjibaku berpacu dengan waktu. Dan sampailah Yanto di tempat bordiran. Ada enam orang penjahit di sana yang siap melayani para Wawi. Dengan tersengal-sengal dan berkeringat pula Yanto menyodorkan catatannya kepada salah satu penjahit yang lagi kosong. Beberapa saat dia berbincang dengan penjahit dan meminta agar pesanannya lebih dicepatkan. Dia duduk sebentar di dekat pintu masuk, mengambil napas panjang sebelum kembali berlari pontang-panting mengejar setoran. Setelah hampir sepuluh menit, akhirnya selesai juga bordiran pesanannya. Dia membayar sebesar sembilan ribu rupiah.
Yanto berlari-lari kencang sampai terkangkang-kangkang…..
“Ini, Mang,” ujar Yanto seraya memberikan bungkus plastik itu.
Vio yang tadi tahu bahwa Yanto seenaknya saja menelikung Rama, jadi berang. Dia mendekati Yanto dengan pandangan tidak terima. Tangannya menunjuk-nunjuk.
“Kau dak boleh seperti itu, To!”
“Memang ngapa dengan aku?” Yanto mencoba menampik. Bahkan dia melengos dan pura-pura tidak tahu sambil menghitung uang hasil jerih payahnya: sembilan ribu rupiah!
Tapi Rama menyabarkan Vio. “Lagi pula dia baru dapat dua kali, kasihan dia.”
Kalau bukan karena Rama, bisa jadi Vio berkelahi dengan Yanto yang sebenarnya memang tidak bagus caranya dalam berbisnis. Sebagai kawan, Rama dengan santai menerima semua itu. Apalagi hal semacam ini sudah sering terjadi. Jadi sudah tidak aneh lagi. Rama mengatakan pada Vio bahwa kalau rezeki ya tidak bakal ke mana-mana. Tidak hanya itu, sebenarnya tadi Rama memang bermaksud untuk memanggil Yanto untuk melayani bapak-bapak tadi. Yanto menelikung, itu bukan masalah baginya.
Sudah panas bedengkang hawa di tengah pasar ini, ditambah ada yang bikin suasana jadi panas pula, pikir Vio. Kesal nian dia terhadap Yanto. Berulang kali Rama mengatakan bahwa janganlah bertengkar lantaran duit yang tak seberapa. Apalagi bakal mengurungi segala gawai di esok-esok.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments