NovelToon NovelToon

Romansa Melayu Zaman Now

1. Berdagang

Senja ini lembayung berjuntai-juntai di angkasa raya nan permai. Potongan-potongan mega di jagat yang mengapas putih serupa lukisan tercecer-cecer. Desau angin bak bisikan yang mengantarkan temaram malam. Matahari kian menjorok ke barat. Di bawahnya, deras arus Sungai Musi beriak-riak. Rama melontarkan pandangan ke bawah, ke arah Sungai Musi. Dilihatnya arus air yang mengalir itu. Dia kembali berjalan di atas trotoar Jembatan Ampera. Di jalan banyak kendaraan lewat. Deruman dan klakson menabrak-nabrak kesunyian senja.

Orang iliran itu lebih baik berdagang saja.

Omongan bapaknya terus berputar-putar di dalam benaknya. Ditendangnya kerikil. Kerikil itu terpelanting ke bawah, tercebur ke sungai. Dia berjalan sambil menekuri jalan dan kembali mencari batu kerikil atau apa pun untuk ditendangnya, melampiaskan apa yang sedang menggelisahkannya. Rama segera menyingkir ke kiri karena di belakangnya terdengar lengkingan suara klakson sepeda motor yang sedang melintas. Dia meludah ke sebelah kanan. Tepat setelah sepeda motor yang melanggar lalu lintas itu lewat dengan sembrono.

Langkah kaki Rama semakin cepat sebab jalanan mulai menurun. Sehingga kalau ada becak yang melintas tak usah susah-susah mengayuh, tinggal santai memegang setang, duduk sambil belingsatan melihat pemandangan, memejamkan mata sebentar sambil menghirup udara segar yang bercampur toksin-toksin berbahaya di jalanan, terus melungsur, santai. Tapi tidak untuk Rama. Ayunan kakinya terasa berat sebab pundaknya seperti memikul satu karung semen yang berisi sepenggal omongan bapaknya. Maka disepaknya apa saja. Entah, tidak ada apa-apa, cuma tumpukan debu dan pasir kering.

Tak lagi dihiraukannya kendaraan-kendaraan di jalan. Dia menyeberang ke arah Monpera tanpa melihat kanan-kiri. Jeritan kenek angkot jurusan Ampera-Pakjo membuat kupingnya terasa sakit. Tapi rindangnya pepohonan di sekitar Masjid Agung membuatnya luluh. Membuatnya malu. Terus dia berjalan ke barat. Dilewatinya Jalan Temon. Hingga akhirnya dia sampai di kampung halamannya: Sekanak, sebuah kampung di tengah hiruk kota.

Rumah itu tak jauh dari bantaran Sungai Musi. Rumah yang sudah tua nanpanjang dan besar dengan dominan warna hitam-cokelat. Kayu dari tiang pondasi atau cagak rumah adalah trembesu, sementara untuk dinding dan lantainya menggunakan kayu jenis merawan. Selain termasuk rumah tradisional Palembang, Rumah Limas juga mengandung nilai historis, sebab para bangsawan di masa lalu tinggal di rumah yang kaya akan ukiran bunga dan daun itu, sehingga fungsinya tidak hanya sebagai tempat tinggal, melainkan juga sebagai bangunan yang memiliki nilai estetika yang tinggi.

Rumah itu adalah peninggalan buyut Rama dari garis keturunan bapaknya. Kamarnya dipenuhi oleh dentuman suara musik punk yang membahana. Lantai dan dinding jangan ditanya. Bergetar-getar! Alunan lagu St. Jimmy karya Green Day mengguncang-guncang seisi kamarnya. Bergoyang-goyanglah kepala Rama dan menghentak-hentaklah kakinya. Dia mengambil HP-nya lalu menghubungi Vio. Sejurus kemudian,Vio menekan tombol hijau.

“Vi, kau lagi di mana?”

“Di rumah.”

“Cepat ke rumah aku, sekarang!”

Sigap, Vio menghambur keluar rumahnya, lalu mengunci pintu. Dihidupkannya mesin vespanya. Suara motor bututnya persis suara mesin parut kelapa. Dari 26 Ilir ke Sekanak, tak terlalu lama. Paling lima menit kalau berjalan kaki.

Gadis remaja yang baru kelas 11 SMA menghampiri Vio. Dia menutup hidung lantaran asap dan emisi berbahaya dari vespa yang bergelimpangan di udara. Dia menatap nanar. Sementara Vio nyengir dan sumringah.

“Ayu... apa kabar?”

“Dasar menyebalkan. Asap motor kau, Kak, bikin polusi bae*.”

“Maaf, Dik. Maaf. Aih... kau tambah manis bae.”

“Bukan cuma si Karbon yang ngeluari toksin berbahaya, tapi si penunggangnya juga.”

Vio mendorong si Karbon. “Sekali-sekali, Dik.”

“Ya, sekali untuk hari ini. Besok-besok bakal seperti ini lagi. Dasar!”

“Mana kakak kau?”

“Di kamar. Masuk bae. Anggap saja rumah Rama dan Ayu.”

“Kata siapa ini rumah beruang kutub?”

Malam Minggu merupakan malam yang paling liberal setelah malam pergantian tahun, paling bebas di antara enam malam lainnya, dan paling merdeka bagi para pencinta sejati. Dengan vespa itu mereka berdua menjelajahi Palembang.

Mereka berteriak di underpass. “Aaaaaa!!!”

Setiba di fly over, mereka melontarkan kiss bye kepada orang-orang di bawah.

Mereka menjahili para kupu-kupu malam di sekitar Bukit Kecil.

Kedua bujang itu mengolok banci yang sedang mangkal.

Kebut-kebutan dengan “cabe-cabean”.

Akhirnya sampai di plaza Benteng Kuto Besak. Luas dari pelataran BKB tak jauh berbeda dengan luas lapangan sepak bola. Kalau malam tiba, selain banyak penjual baju sebagai oleh-oleh dari Palembang, banyak juga penjual aksesoris perlengkapan penampilan, seperti cincin, gelang, kalung dan sebagainya yang membuka lapak. Di sini juga banyak penjual makanan dan minuman ringan. Penjual mi tek-tek berjejer-jejer, siap melayani pelanggan.

Rengekan anak kecil yang sedang menyeret tangan ibunya untuk dibelikan balon terbang bak layang-layang yang berbentuk Masha si imut lucu dari Rusia teman si Beruang, suara anak kecil itu tadi, berkolaborasi dengan panggilan para penjualnya. Asap panggangan jagung adu jotos dengan asap rokok mamang-mamang pembeli jagung itu. Suara kompor bibi penjual kerak telor terdengar halus karena ditelan oleh suara pengamen yang sedang mencari rupiah. Sementara sepasang kekasih yang mendengar suara musisi jalanan tadi mesti menghentikan percakapan mesranya dan siap merogoh kocek.

Sedikit ke tengah pelataran. Kakak-kakak berjaket kulit hitam tengah berjongkok dan bergeming di hadapan gelaran catur yang dipasang oleh mamang-mamang bertopi setelah membayar administrasi sebesar dua puluh ribu rupiah. Kalau segenap pasukannya mampu menjungkirbalikkan si raja dari mamang-mamang penggelar judi catur liar itu dengan ayunan gerak anggun tiga langkah saja maka duit dua ratus ribu atau hadiah seperti satu Nokia klasik dan dua bungkus rokok siap dibawa pulang. Meski diam, isi di dalam kepalanya sedang berkecamuk memikirkan bagaimana caranya melengserkan kekuasaan si raja yang sudah diatur secara matang oleh si mamang-mamang yang tengah mengisap rokok itu.

BKB bak sebuah tempat yang dihuni oleh ratusan kunang-kunang bila dilihat dari kejauhan. Tampak cahaya-cahaya putih dipadu oleh kerlip lampu-lampu yang berwarna-warni. Menara Jembatan Ampera tampak kokoh. Ikon kota Palembang itu menjadi pemandangan indah di tengah malam. Sinar lampu menembakkan warna merah ke bangunannya. Sinar lampu dan refleksi warna kuning emas melebur di atas permukaan air Sungai Musi yang berlombang-gelombang, lalu hijau, biru, ungu. Bahkan seolah ada pelangi di atasnya.

Rama dan Vio berjalan di tengah orang-orang. Mereka melihat ada tempat yang kosong untuk mereka duduki di pinggir pelataran. Duduklah mereka berdua dengan berdampingan. Rambut Rama yang mulai panjang tampak beterbangan karena sepakan angin, poninya berayun-ayun. Meski suasananya agak gelap, tapi rona wajahnya tetap bersinar. Raut wajahnya menampakkan air muka yang seolah selalu tersenyum. Dagunya yang belah telah membuatnya lebih berkesan di mata orang-orang.

“Kau percaya orang iliran ditakdirkan untuk berdagang?”

“Aku bukan dukun yang sok tahu,” semprot Vio.

Di tengah keramaian itu ada segerombolan anak punk. Rama memperhatikan mereka sambil tersenyum tipis, lalu berujar, “Keren nian mereka itu.”

“Siapa?”

Kemudian Rama memberi arahan dengan menggerakkan kepalanya ke arah kanan.

“Oh,” balas Vio. “Asal kelakuannya dak anarkis bae, Jok*. Aku jadi ingat waktu kita masih SMP dulu. Berpenampilan seperti anak punk. Seperti mereka.”

Seiring dengan Rama berpikir, Sungai Musi terus mengalir.

2. PUNK

Gadis itu tengah asyik mencurahkan isi hatinya ke atas kertas. Bait-bait puisi nan indah terangkai dengan sangat memesona dari tangan dinginnya. Pena itu terus menari-nari menumpahkan segenap estetika. Sebagai pencinta sastra, dia tak bosan-bosannya berkarya. Bahkan dia rela melepas malam Minggunya bersama pacarnya demi menyendiri di kamarnya untuk berkarya. Jika satu lembar kertas terasa sudah penuh disesaki kata dan kalimat, dia akan membaca dan menikmatinya. Di dekat meja belajarnya ada buku puisi yang dibuatnya untuk kekasihnya. Tapi sayang, dia tidak pernah memberikan puisi untuk pacarnya tersebut, melainkan untuk melampiaskan isi jiwanya saja, terus membacanya ulang. Sudah sering dia membaca puisi itu, puluhan, atau bahkan lebih dari seratus kali.

Namanya Masayu Selly. Sebenarnya malam ini dia diajak oleh pacarnya untuk dinner, tapi dia menolak. Baginya, menyendiri di kamar, menulis puisi dan cerpen merupakan hal yang lebih mengasyikkan ketimbang keluar bermalam Minggu. Dia memang suka jalan-jalan, nonton, karaoke, dan makan-makan, namun jika dibandingkan dengan hal yang dia lakukan sekarang ini, tentulah dia lebih suka dengan apa yang dia lakukan sekarang ini. Masa bodoh dengan tanggapan orang. Bahkan pacarnya dicuekinya begitu saja. Tiba-tiba smartphone-nya berdering. Masayu mengusap warna hijau.

“Lagi apa, Sayang?”

“Lagi guling saja di kamar. Kau lagi di mana?”

“Di Palembang Square. Kamu sih, dak mau diajak jalan. Jadi makanya aku jalan sama kawan-kawan saja.”

“Ya besok-besok kan bisa, Dodi. Nanti kalau ketemu terus, bisa bosan, kan?”

“Ya juga sih. Kau jangan lupa makan.”

“Oke. Kau juga.”

“Tidurnya jangan sampai larut malam, Sayang. Sudah dulu. Sampai ketemu besok. Bye. Love you.”

“Bye. Too.”

KLIK!

Sebenarnya Dodi ialah orang datangan. Dia berasal dari Muara Enim. Semenjak SMA dia tinggal di sebuah kos-kosan mewah di Palembang. Selama tiga tahun lebih Dodi sudah bisa membiasakan hidup di Palembang.Tak dinyana jiwa hulunya telah pupus oleh indahnya gemerlap kota. Logat dusunnya telah ditelan oleh cakap-cakap orang Palembang dan gaya hidupnya juga telah berubah drastis. Untuk semua itu dia dimodali oleh orangtuanya. Sungguh kaya keluarganya. Kalau ada orang pendatang yang bersekolah di Palembang, rata-rata mereka kaya raya. Jadi tak heran kalau kehidupan mereka serba berkecukupan bahkan lebih dari cukup.

Karena itulah Dodi merasa betah tinggal di Palembang dan jarang sekali pulang ke Muara Enim sana. Kalau pulang, biasanya ketika libur, seperti Lebaran. Dalam pada itu, Dodi berencana bakal membeli rumah di Palembang jika nanti sudah menikah. Dodi begitu ingin bekerja di Palembang dan yang pasti pekerjaan itu pas untuknya dan tidak membuatnya merasa rendah. Setidaknya dia jadi pegawai negeri di sebuah kantor pemerintah atau pun di sebuah instansi milik negara.Tentu malu nanti jika keluarga Masayu mengetahui dia hanya seorang buruh yang gajinya pas-pasan, ataucuma jadi seorang pedagang kecil, atau parahnya menganggur.

Dodi sudah tahu tentang keluarga Masayu. Ya, kedua orangtua Masayu adalah PNS di kantor pemerintahan tingkat provinsi dengan level pendidikan S-2. Maka peninglah Dodi memikirkan soal golongan dan penghasilan mereka. Sepupu-sepupu dari Masayu ada yang jadi polisi dan bertugas di Mapolda. Ada juga yang jadi guru di sebuah sekolah negeri dan ternama di Palembang, pegawai BUMN, bahkan salah satu pamannya Masayu adalah seorang anggota dewan. Tambah peninglah dia memikirkannya. Oleh karena itu, segala upaya terus Dodi lakukan untuk menuai apa yang diimpikannya bersama Masayu kelak.

Hal itu tidaklah mudah. Apa harta orangtuanya bisa menutupi semua perkara yang membuatnya pening itu? Apa gaya hidupnya mampu membuat semua keluarga Masayu jadi senang? Seorang rantau, dari pedalaman sana, tiba-tiba menjadi pungguk yang amat merindukan bulan. Bagai buih yang terus dilamun ombak, pikiran lelaki itu terkatung-katung dan terombang-ambing di tengah semua realitas hidup yang terus membuatnya berubah-ubah agar segala sesuatu yang dicita-citakannya sesuai dengan apa yang tersirat di hatinya meski dia sadar bahwa dia hanya anak kampung yang numpang hidup di tanah orang, meski dia sadar bahwa dia sebatas bujang uluan yang mengiba-iba agar tubuh yang erat dengan bau kebun itu dapat diterima dengan sadar nan ikhlas oleh keluarga si juwita tambatan kalbunya.

Dodi adalah satu dari jutaan manusia berstatus pendatang yang berani dan siap diterpa badai hingga rela padam jiwa raganya meski dia tahu bahwa dia itu lemah dan tidak apa-apanya. Dia khilaf, bahwa dia itu serupa bunga yang ingin terus diendus oleh orang-orang.

***

Hidup ini pilihan. Itulah yang sering diucapkan oleh orang kebanyakan. Entah, apa mungkin sekadar untuk pemanis mulut, atau pun dengan sepenuh hati. Dan kalimat itulah yang sedang berkecamuk di dalam benak Rama, yang mana dia mesti memilih jalan hidupnya sendiri meski orangtuanya berkehendak lain. Bukanlah dia bermaksud durhaka terhadap orangtuanya, semata-mata bukan. Sungguh dia ingin memberikan yang terbaik untuk orang yang telah membesarkannya hingga sekarang ini dan ingin mengubah nasib keluarganya menjadi lebih baik. Ya, hanya dengan melanjutkan sekolah dia bisa mencapai semua impiannya dan yang pasti semoga dengan cara itu dia bisa membuat kedua orangtuanya bangga.

Sungguh ingin Raden Muhammad melihat anaknya cerdas lagi sukses tapi apalah dayanya menghadapi semua ini. Berkali-kali lelaki penyayang itu menasihati anaknya agar lebih baik bekerja dulu. Tapi Rama tetap pada ego masa mudanya. Sementara sang ibu, tak banyak berkata melihat sikap anaknya itu. Ingin pulalah beliau melihat anaknya seperti orang kebanyakan; melihat anaknya menjadi orang yang cerdas lagi sukses, dan tentu dapat membanggakan kedua orangtuanya, tapi apalah juanya beliau untuk menyiapkan segala keperluan kuliah itu.

Berkatalah Raden Muhammad, “Kalau kau kuliah, Nak, bisa-bisa Ayu putus sekolah. Cobalah kaupikirkan juga nasib adik kau itu.”

Rama berjalan gontai. Lantai kayu dari rumah panggungnya berderak sedikit. Dari kondisi rumahnya saja keluarga itu tampak miris dalam mengarungi hidup. Saban hari sering terpikir oleh Raden Muhammad tentang keinginan anaknya dan itu membuat punggungnya terasa makin berat.

“Janganlah kautengok kawan-kawan kau yang kaya itu anakku. Tapi lihatlah keadaan kita sekarang ini. Sungguh Bapak dak bisa membiayai semua keperluan untuk kuliah kau kalau kau jadi kuliah nanti.”

Rama memperhatikan langit-langit rumahnya yang gelap, lalu mengembuskan napas pahit sekaligus membuang semua impiannya untuk bisa kuliah, untuk bisa menuntut ilmu setinggi langit, namun impiannya itu terlalu tinggi, serupa pandangannya mampu menatap langit-langit rumahnya saja. Tak mungkin menatap langit yang nun jauh di atas sana. Tak sanggup dia melepas semua angan dan cita-citanya.

Rama menghabiskan waktu sore itu di kamar. Tak keluar-keluar.

***

Kala malam tiba, Rama keluar dari rumahnya. Diperhatikannya di sekelilingnya: Sekanak masih ramai walaupun sudah malam. Rumah-rumah di Sekanak lebih banyak rumah panggung yang besar. Dinding dan lantainya dari papan kayu dan genting oranye menjadi atapnya. Sementara Benteng Kuto Besak yang berada di sisi timurnya tak jauh dari sana. Rama menghidupkan mesin motornya. Tancap gas. Taman Jeramba Karang memuntahkan kerlip cahaya. Tak lama berselang, Rama berbelok ke kiri, masuk ke salah satu gang, dan tak jauh dari gang itu dia sudah melihat Vio tengah nongkrong di beranda rumahnya sembari menyeruput kopi hitam. Rama memarkirkan motornya.

“Ram, ngapa dak beri kabar kalau mau ke sini?”

“Untuk apa aku beri tahu?”

Vio tahu kalau Rama ingin juga menikmati secangkir kopi hitam. Vio berdeham-deham lalu masuk ke dalam rumahnya. Rama tersenyum. Dia duduk di kursi yang ada di beranda sambil menghirup udara malam yang terasa segar. Dan tak lama setelah itu tibalah Vio dengan membawa secangkir kopi hitam.Rama mengeluarkan sebungkus rokok dan korek api dari saku celananya. Diambilnya sebatang dan dinyalakannya. Diisapnya lumayan dalam, diembuskannyalah, bergulung-gulung asap itu mengepul-ngepul.

“Aku pingin numpang tidur di sini.”

“Memangnya ada apa, Ram?”

“Tadi kau ke rumah aku, kan? Nah, sudah aku omongi kalau bos aku akan marah kalau tahu tentang semua ini dan dak akan pernah setuju kalau aku kuliah.”

“Ya, aku omongi pada bos kau, sebab kau yang nyuruh, Ram. Aku sudah berusaha semampu aku untuk ngomong pada bos kau kalau kau ingin kuliah. Semampu aku agar bos kau tetap ngerti dengan apa yang kauingini. Tapi tetap saja, Ram, tetap saja bapak-ibu kau dak akan pernah ngijini.”

“Bagaimana, Vi, aku boleh dak nginap di rumah kau?”

Vio meninju pundak Rama dengan sedikit keras, lalu berucap dengan tegas, “Apa hari ini kita baru kenal.

Sementara bapak-ibunya tidaklah mengetahui hal demikian sehingga kedua orangtua itu merasa gelisah sebab kepikiran akan putera sulung yang disayangi mereka. Sedangkan Rama, tak tenang dia tidur malam ini, kadang telentang, telungkup, berbaring ke samping, dan sudah lebih dari sepuluh gaya tidur dicobanya, tapi tetap dia tak kunjung bisa tidur. Dia coba memicing-micingkan matanya. Tetap saja susah.

Vio yang sedang asyik tidur di samping Rama tersenggol-senggol badannya. Dengkurannya mesti berhenti sebab Rama membangunkannya. Sedikit kesal juga dia rupanya. Rama memperhatikan tulisan berwarna hitam yang ada di dinding kamar Vio. Cuma satu kata yang terdiri dari empat huruf. Dulu mereka berdua amatlah fanatik dengan satu kata itu sehingga mereka nyaris dianggap begundal, berandal pasar, preman jalanan. Atau apalah, terserah.

Ada satu bersitan yang menghunjam otak Rama malam ini yang akan membawa perubahan hidupnya. Impiannya sejak dulu: punya band! Pupuslah sudah urusan kuliah! Pupuslah!

Kamar sempit ini tak jauh berbeda dengan kamar Rama: lebih banyak warna hitam dan putih. Pokoknya identik dengan musik dan kekerasan.

“Besok-besok kita ke tempat jualan Kiagus. Aku harap dia masih nyimpan manuskrip lagu ciptaan kita waktu masih SMP dulu. Terus kita nanti akan memijakkan kaki di Olympus!”

Vio bergumam tidak jelas. Dan Rama masih membidik satu kata itu.

PUNK.

3. Iliran dan Uluan

Dulu ada sebuah realita sosial masyarakat Palembang dengan apa yang disebut dengan dikotomi warga iliran dan uluan. Hal demikian merupakan sebuah implikasi dari pembagian wilayah berdasarkan sungai: hulu dan hilir. Kondisi lingkungan di daerah ilir adalah berupa rawa dataran rendah, yang mana lahan sangat dipengaruhi oleh pasang surut air sungai, sehingga kemakmuran masyarakat di sana tidaklah serupa di ulu. Kehidupan masyarakat di daerah ini adalah mencari ikan, meramu sumber daya ekonomi yang berada di rawa, dan berdagang. Berbeda dengan daerah ilir, daerah ulu berisi lingkungan dataran tinggi dengan kondisi lahan yang subur untuk pertanian dan perkebunan. Dalam identitas warga kota, iliran mengacu pada orang yang mengaku dirinya sebagai orang Palembang asli, sebab mereka merasa nenek moyang mereka sudah lama bermukim. Selain itu, iliran juga berkorelasi dengan para keturunan keluarga Kesultanan Palembang, para bangsawan, saudagar yang kaya raya. Sementara untuk uluan adalah mereka yang berasal dari luar Palembang, pendatang, orang dusun, warga pedalaman yang jauh dari kota.

Friksi ini bermula ketika aktivitas industri dan perdagangan orang iliran perlahan mengalami kemunduran. Sementara si uluan mulai merangkak-rangkak naik dan bahkan booming pada awal abad ke-20. Hasil dagang mereka, seperti para, kopi, dan pisang yang mereka jual kepada orang Arab, Tionghoa, dan para orang iliran mengalami peningkatan yang amat drastis, sehingga si uluan mendapatkan kelimpahruahan keuntungan yang besar dalam situasi terputusnya perdagangan dengan dunia luar. Dengan itu si uluan yang lusuh dan kudel mampu menghambur-hamburkan uangnya di hadapan orang iliran serta membeli makanan mahal dan perabot mewah.

Perpecahan itu membuahkan berbagai persepsi dari masing-masing kelompok!

Bagi orang iliran, seberapa kaya dan sebagaimana pun orang yang datang dari pedalaman, tetaplah dianggap belum memiliki apa-apa. Orang iliran menganggap bahwa orang uluan itu sok pintar dan jago, bersifat memuji dirinya, ingin memasyhurkan namanya, menjadi terkenal, namun hanya untuk kalangan mereka. Orang uluan tidak mungkin dianggap sebagai orang kota, sebab si ulu tetaplah si ulu, yang diberi julukan “ulu kamma”, yang berarti pengotor atau ceroboh, yang persoalannya lebih tepat pada sopan santun yang berbeda dengan orang lain. Dan bagi orang iliran, menolong orang uluan adalah perbuatan celaka, sebab setelah ditolong, orang uluan seolah tidak mengerti maksud kata terima kasih.

Sementara orang uluan pun punya versi sendiri untuk memandang sisi kehidupan orang iliran. Bagi mereka, orang iliran layak diberi julukan “Plembang buntung”, sebab dahulu orang iliran punya kejayaan, namun sekarang tinggal kenangan belaka. Akan tetapi, orang iliran tetap beranggapan bahwa mereka tetap berjaya dan berkuasa atas orang uluan, padahal sebetulnya semua itu hanya kekuasaan masa lalu, justru orang uluanlah yang berjaya, tetapi orang iliran tetap tidak bisa menerima semua realitas atas segala kemunduran dari semua kejayaan dan kekuasaannya. Dan bagi si uluan, si iliran ini amat “besak kelakar” dan “besak gaya”, dan seolah-olah intelektual padahal kadang mereka tidak tamat sekolah rakyat.

Karena persepsi itulah si iliran dan si uluan serupa kucing dan anjing. Kadang si uluan merasa dirinya lebih dari si iliran karena mampu bersekolah tinggi dan mampu bekerja di Keresidenan Palembang. Kadang pula si iliran merasa dirinya lebih dari si uluan karena mereka merupakan saudagar yang pandai dalam berdagang, dan yang pastinya orang kota. Masih banyak persepsi dari mereka yang muncul karena sinis, iri, cemburu, ego, dan kesombongan. Misalnya, si uluan menjuluki si iliran itu cerudikan, atau suka mengurusi hidup orang lain, mengumpat; menjuluki wong kayo lamo dan “keturunan ke delapan” karena yang kaya hanyalah orangtuanya, sementara anaknya tidak.

Bagaimana friksi tersebut di abad ke-21 ini, di zaman modern ini, di era kontemporer serba dengan kecanggihan ini? Apa si ilir tetap merasa lebih tinggi daripada si ulu? Atau sebaliknya, si pendatang atau lebih pas jika disebut para urban ini merasa lebih tinggi dari orang Palembang? Apakah masih ada perasaan iri dan benci di antara mereka?

***

Rambutnya hitam berkilau, panjang lurus terurai, dan poninya terbentang di keningnya. Satu kata saja: Emo. Ya, itulah gaya dari tatanan rambutnya. Kali ini Masayu memakai baju kaos berwarna pink. Ditambah ada gelang berwarna pink juga di lengannya. Tali sepatunya pun berwarna pink meski sepatunya itu hitam. Sebenarnya dia tidaklah tomboi, sungguh tidak. Sepintas orang bakal men-judge bahwa dia itu seorang tomboi, tapi, sekali lagi tidak. Itulah gaya khasnya. Hitam dan pink menyatu dalam setiap busana yang dipakainya, melebur dalam suasana hatinya yang pink.

Matahari mengangkangi langit, bergerak lambat-lambat, dan sedikit tergelincir menuju barat. Geliat sinar matahari siang ini amatlah terik sehingga Palembang jadi benar-benar panas nian. Di kawasan 16 Ilir dulunya ada sebuah anak Sungai Musi yang bernama Sungai Tengkuruk, sehingga banyak perahu yang berasal dari pedalaman yang membawa barang dagangan menjadikan sungai itu sebagai tempat singgah. Pada tahun 1928 Kompeni menimbun sungai tersebut dan kemudian membangun dua buah jalan. Di sisi kiri tampaklah jejeran pepohonan nan rimbun dan di sisi kanan terdapat bangunan bertingkat dua yang merupakan perkantoran. Kalau di Eropa komposisi serupa itu disebut boulevard.

Pasar 16 Ilir tidak hanya berada persis di pinggiran Sungai Musi, melainkan juga amat dekat dengan Jembatan Ampera. Dulunya merupakan pusat perokonomian kota, sebab dahulu, tepatnya pas zaman kolonial, atau ketika Belanda berhasil meraup tali emas Palembang, pasar itulah yang menjadi tempat berkumpulnya barang dagangan yang dibawa dari daerah pedalaman. Dan kini pusat grosir dan ritel itu telah disulap menjadi pasar skala modern dengan lima lantai plus satu basement yang masing-masing lantai dikhususkan untuk kelompok-kelompok pedagang tertentu. Di sekitar gedung utama pasar dengan golongan tipe A tersebut berdiri banyak sekali ruko dan ada beberapa bangunannya bernuansa Eropa.  Ribuan pedagang membuka kios dan los serta menggelar lapak. Jika ingin mencari sesuatu, mulai dari pakaian, batik, songket, tas, sepatu, sandal, perlengkapan memasak, barang pecah-belah, dan banyak lagi, datang saja ke sini.

Tak terasa mobil Dodi sudah tiba di parkiran. Mereka berdua berjalan santai di Taman Nusa Indah. Tepat di bawah Jembatan Ampera.Hawa panas dari tumpah ruah manusia di Pasar 16 Ilir terasa meski mereka baru keluar dari mobil. Dodi melihat manusia yang amat ramai hilir mudik di sana. Tercenganglah dia. Ratusan sepeda motor berlalu lalang di jalan-jalan pasar yang sempit. Kalau mobil boleh lewat, tentu mobil ingin merangsek masuk ke sana. Kicauan pedagang dan pembeli saling beradu.

Tak sedikit pun Dodi tahu di mana dan ke mana jalan menuju suatu tempat untuk membeli sesuatu sebab dia sebelumnya tak pernah sekali pun memijakkan kakinya di pasar ini. Selama hidup di Palembang dia hanya sering berkunjung ke mal-mal untuk membeli semua kebutuhan hidupnya, mulai dari makanan sampai pakaian. Jadi tak heran kalau dia sekarang serupa orang asing nan tidak tahu apa-apa.Baru sepuluh menit berjalan di depan toko-toko, kemeja putihnya sudah basah dan jadi kumal karena keringat dan debu jalan. Untung sinar matahari tertahan oleh gedung-gedung toko, jika tidak, sinar ultraviolet itu semakin membuat bulir peluhnya berkucuran.

Ribut nian, pikirnya.

Rupanya Masayu juga mulai berkeringat. Tapi peluhnya tak membuat rona juwitanya berkurang. Sungguh, Masayu tidak memakai bedak, atau jenis kosmetik apa pun. Kalau sudah menjulurkan lidahnya untuk membasahi bibirnya, otomatis kembali merah meronalah bibir nan tipis seksi itu. Senyumnya begitu elegan tatkala gigi depannya yang rata nongol.

“Di mal lagi banyak yang diskon.”

Sambil merapikan poninya Masayu menjawab, “Di sini harganya murah-murah dan yang pasti bisa ditawar.”

Kesibukan di Pasar 16 Ilir tambah menjadi-jadi. Apalagi ini adalah akhir dari masa sekolah menuju masa awal masa tahun ajaran baru. Para orangtua yang ingin membeli perlengkapan sekolah anaknya tentu memilih pasar ini dan tak segan mereka mengajak langsung anak-anak mereka untuk mencocokkan ukuran seragam sekolahnya. Seperti apa yang dikicaukan oleh salah satu pedagang ini. Melolonglah dia:

“Sayang anak. Sayang anak.”

Orangtua mana yang tak tersentuh hatinya setelah mendengar jeritan kasing sayang itu? Segera mereka menerima setiap rengekan anaknya.

Ada di antara anak-anak itu yang meminta belas kasihan ibunya sambil menarik-narik tangan ibundanya tercinta:

“Pingin tas Masiya en de ber, Ma.”

Ibunda mana yang tak terenyuh hatinya? Dengan rasa cinta kasih sang ibu dengan cepat menghampiri sang penjual dengan taktik jitu untuk mendapatkan barang yang diimpikan sang buah hati dengan harga murah semurah-murahnya walaupun harus bersusah payah merangkai kata-kata untuk merayu pedagang tadi.

“Berapa?”

“Lima puluh,” jawab bapak-bapak penjual itu sambil merapikan barang-barang dagangannya.

“Mahal nian.Tiga puluh, ya?”

“Untungnya dikit.”

Perempuan paruh bayaitu pun menjawab dengan simpel, “Tiga lima.”

Sang pedagang mengeluarkan napas kerugian, lalu berseru, “Empat lima.”

Ini semacam debat di dunia perdagangan. Merupakan hal lumrah jika ingin mendapatkan barang harga murah.

“Ya sudah, pokoknya tiga lima.”

“Empat puluh.”

Ibu itu berjalan meninggalkan lapak kecil itu. Dan ketika sudah lumayan jauh, dia sudah tahu kalau si pedagang bakal menjerit dari kejauhan.

“Ya sudah, Bu, sini, tiga lima.”

Seraya membalikkan badannya untuk kembali ke lapak tadi, si pembeli dengan senang hati memegang dengan erat tangan anaknya. Strategi jitu dalam dunia jual beli sudah dia pahami betul, walau tidak bergelar S.E, si ibu-ibu paham bagaimana rupiah di dompet tetap dalam keadaan stabil.

Seperti halnya ibu-ibu ahli ekonomi keluarga tadi, Masayu pun juga sama. Tidak hanya pandai dalam geliat sastra, dia juga lihai dalam dunia tawar menawar. Kali ini dia bersama Dodi berhenti di sebuah lapak jualan pakaian. Sejenak dia mencari-cari warna dari baju kesukaannya. Setelah beberapa saat dia coba mencocokkannya dengan postur tubuhnya, rupanya pas. Baju kaos hitam polos, hanya ada sedikit corak putih garis-garis.

“Yang itu dua lima,” cetus penjual.

“Bisa kurang?”

“Harga pas.”

Masayu menaksir bahwa modal dari baju ini paling-paling sekitar 15 ribu rupiah. Maka dia tawar dua puluh ribu saja. Tapi si penjual tidak mau, maunya tetap harga yang disebutkannya tadi. Sementara Dodi tak mau ikut campur, apalagi dia tak bisa menawar. Dia biasa belanja tanpa tawar menawar, langsung bayar.

“Ayolah, Kak, dua puluh.”

Dengan memperhatikan pedagang yang kira-kira umurnya belum berkepala tiga itu Masayu memanggil “Kak”. Sebab di Palembang panggilan itu tak asing selain sebutan “Mang.” Kalau di Jawa, “Mas”; kalau di Medan, “Bang”.

Tak banyak cincong, penjual berkumandang, “Beli berapa, Dik?”

“Dua saja.”

“Ya sudah, dua puluh.”

Masayu mengajak Dodi meninggalkan lapak dan kembali memutar-mutar Pasar 16. Tak segan dia masuk ke basement, lalu naik beberapa lantai, untuk mengajak Dodi melihat-lihat berbagai macam pakaian dan aksesoris untuk lelaki. Beberapa kali Masayu menawarkan pada Dodi jaket kulit hitam yang keren, tapi Dodi menolak, sebab merasa lebih cocok mengenakan pakaian yang dia beli di mal. Masalah hargalah, masalah mereklah, yang dipikirkan oleh Dodi.

Segala sesuatu yang dicari untuk keperluan kuliah Masayu dikira sudah terasa cukup sekarang ini, seperti kaos, jaket, sweater, celana jeans, kaos kaki, sepatu, dan aksesoris, semacam gelang, cincin, dan kalung. Tangannya dan tangan Dodi sedikit susah untuk menenteng barang-barang. Mereka keluar dari gedung Pasar 16, dan untuk pulang, mereka mesti melewati ruko-ruko dan ratusan pedagang yang berjejer-jejer di pinggiran jalan sempit. Sesak rasanya paru-paru Dodi.

Dan… dan… Dodi tak lagi melihat Masayu. Dia jelalatan mencari di mana Masayu, badannya bertabrakan dengan orang-orang di depannya, mencoba menerobos keramaian, melewati celah-celah jalanan yang padat, dan dia terpisah dengan Masayu di tengah pasar.

Sialnya, HP-nya tertinggal di mobil.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!