Dulu ada sebuah realita sosial masyarakat Palembang dengan apa yang disebut dengan dikotomi warga iliran dan uluan. Hal demikian merupakan sebuah implikasi dari pembagian wilayah berdasarkan sungai: hulu dan hilir. Kondisi lingkungan di daerah ilir adalah berupa rawa dataran rendah, yang mana lahan sangat dipengaruhi oleh pasang surut air sungai, sehingga kemakmuran masyarakat di sana tidaklah serupa di ulu. Kehidupan masyarakat di daerah ini adalah mencari ikan, meramu sumber daya ekonomi yang berada di rawa, dan berdagang. Berbeda dengan daerah ilir, daerah ulu berisi lingkungan dataran tinggi dengan kondisi lahan yang subur untuk pertanian dan perkebunan. Dalam identitas warga kota, iliran mengacu pada orang yang mengaku dirinya sebagai orang Palembang asli, sebab mereka merasa nenek moyang mereka sudah lama bermukim. Selain itu, iliran juga berkorelasi dengan para keturunan keluarga Kesultanan Palembang, para bangsawan, saudagar yang kaya raya. Sementara untuk uluan adalah mereka yang berasal dari luar Palembang, pendatang, orang dusun, warga pedalaman yang jauh dari kota.
Friksi ini bermula ketika aktivitas industri dan perdagangan orang iliran perlahan mengalami kemunduran. Sementara si uluan mulai merangkak-rangkak naik dan bahkan booming pada awal abad ke-20. Hasil dagang mereka, seperti para, kopi, dan pisang yang mereka jual kepada orang Arab, Tionghoa, dan para orang iliran mengalami peningkatan yang amat drastis, sehingga si uluan mendapatkan kelimpahruahan keuntungan yang besar dalam situasi terputusnya perdagangan dengan dunia luar. Dengan itu si uluan yang lusuh dan kudel mampu menghambur-hamburkan uangnya di hadapan orang iliran serta membeli makanan mahal dan perabot mewah.
Perpecahan itu membuahkan berbagai persepsi dari masing-masing kelompok!
Bagi orang iliran, seberapa kaya dan sebagaimana pun orang yang datang dari pedalaman, tetaplah dianggap belum memiliki apa-apa. Orang iliran menganggap bahwa orang uluan itu sok pintar dan jago, bersifat memuji dirinya, ingin memasyhurkan namanya, menjadi terkenal, namun hanya untuk kalangan mereka. Orang uluan tidak mungkin dianggap sebagai orang kota, sebab si ulu tetaplah si ulu, yang diberi julukan “ulu kamma”, yang berarti pengotor atau ceroboh, yang persoalannya lebih tepat pada sopan santun yang berbeda dengan orang lain. Dan bagi orang iliran, menolong orang uluan adalah perbuatan celaka, sebab setelah ditolong, orang uluan seolah tidak mengerti maksud kata terima kasih.
Sementara orang uluan pun punya versi sendiri untuk memandang sisi kehidupan orang iliran. Bagi mereka, orang iliran layak diberi julukan “Plembang buntung”, sebab dahulu orang iliran punya kejayaan, namun sekarang tinggal kenangan belaka. Akan tetapi, orang iliran tetap beranggapan bahwa mereka tetap berjaya dan berkuasa atas orang uluan, padahal sebetulnya semua itu hanya kekuasaan masa lalu, justru orang uluanlah yang berjaya, tetapi orang iliran tetap tidak bisa menerima semua realitas atas segala kemunduran dari semua kejayaan dan kekuasaannya. Dan bagi si uluan, si iliran ini amat “besak kelakar” dan “besak gaya”, dan seolah-olah intelektual padahal kadang mereka tidak tamat sekolah rakyat.
Karena persepsi itulah si iliran dan si uluan serupa kucing dan anjing. Kadang si uluan merasa dirinya lebih dari si iliran karena mampu bersekolah tinggi dan mampu bekerja di Keresidenan Palembang. Kadang pula si iliran merasa dirinya lebih dari si uluan karena mereka merupakan saudagar yang pandai dalam berdagang, dan yang pastinya orang kota. Masih banyak persepsi dari mereka yang muncul karena sinis, iri, cemburu, ego, dan kesombongan. Misalnya, si uluan menjuluki si iliran itu cerudikan, atau suka mengurusi hidup orang lain, mengumpat; menjuluki wong kayo lamo dan “keturunan ke delapan” karena yang kaya hanyalah orangtuanya, sementara anaknya tidak.
Bagaimana friksi tersebut di abad ke-21 ini, di zaman modern ini, di era kontemporer serba dengan kecanggihan ini? Apa si ilir tetap merasa lebih tinggi daripada si ulu? Atau sebaliknya, si pendatang atau lebih pas jika disebut para urban ini merasa lebih tinggi dari orang Palembang? Apakah masih ada perasaan iri dan benci di antara mereka?
***
Rambutnya hitam berkilau, panjang lurus terurai, dan poninya terbentang di keningnya. Satu kata saja: Emo. Ya, itulah gaya dari tatanan rambutnya. Kali ini Masayu memakai baju kaos berwarna pink. Ditambah ada gelang berwarna pink juga di lengannya. Tali sepatunya pun berwarna pink meski sepatunya itu hitam. Sebenarnya dia tidaklah tomboi, sungguh tidak. Sepintas orang bakal men-judge bahwa dia itu seorang tomboi, tapi, sekali lagi tidak. Itulah gaya khasnya. Hitam dan pink menyatu dalam setiap busana yang dipakainya, melebur dalam suasana hatinya yang pink.
Matahari mengangkangi langit, bergerak lambat-lambat, dan sedikit tergelincir menuju barat. Geliat sinar matahari siang ini amatlah terik sehingga Palembang jadi benar-benar panas nian. Di kawasan 16 Ilir dulunya ada sebuah anak Sungai Musi yang bernama Sungai Tengkuruk, sehingga banyak perahu yang berasal dari pedalaman yang membawa barang dagangan menjadikan sungai itu sebagai tempat singgah. Pada tahun 1928 Kompeni menimbun sungai tersebut dan kemudian membangun dua buah jalan. Di sisi kiri tampaklah jejeran pepohonan nan rimbun dan di sisi kanan terdapat bangunan bertingkat dua yang merupakan perkantoran. Kalau di Eropa komposisi serupa itu disebut boulevard.
Pasar 16 Ilir tidak hanya berada persis di pinggiran Sungai Musi, melainkan juga amat dekat dengan Jembatan Ampera. Dulunya merupakan pusat perokonomian kota, sebab dahulu, tepatnya pas zaman kolonial, atau ketika Belanda berhasil meraup tali emas Palembang, pasar itulah yang menjadi tempat berkumpulnya barang dagangan yang dibawa dari daerah pedalaman. Dan kini pusat grosir dan ritel itu telah disulap menjadi pasar skala modern dengan lima lantai plus satu basement yang masing-masing lantai dikhususkan untuk kelompok-kelompok pedagang tertentu. Di sekitar gedung utama pasar dengan golongan tipe A tersebut berdiri banyak sekali ruko dan ada beberapa bangunannya bernuansa Eropa. Ribuan pedagang membuka kios dan los serta menggelar lapak. Jika ingin mencari sesuatu, mulai dari pakaian, batik, songket, tas, sepatu, sandal, perlengkapan memasak, barang pecah-belah, dan banyak lagi, datang saja ke sini.
Tak terasa mobil Dodi sudah tiba di parkiran. Mereka berdua berjalan santai di Taman Nusa Indah. Tepat di bawah Jembatan Ampera.Hawa panas dari tumpah ruah manusia di Pasar 16 Ilir terasa meski mereka baru keluar dari mobil. Dodi melihat manusia yang amat ramai hilir mudik di sana. Tercenganglah dia. Ratusan sepeda motor berlalu lalang di jalan-jalan pasar yang sempit. Kalau mobil boleh lewat, tentu mobil ingin merangsek masuk ke sana. Kicauan pedagang dan pembeli saling beradu.
Tak sedikit pun Dodi tahu di mana dan ke mana jalan menuju suatu tempat untuk membeli sesuatu sebab dia sebelumnya tak pernah sekali pun memijakkan kakinya di pasar ini. Selama hidup di Palembang dia hanya sering berkunjung ke mal-mal untuk membeli semua kebutuhan hidupnya, mulai dari makanan sampai pakaian. Jadi tak heran kalau dia sekarang serupa orang asing nan tidak tahu apa-apa.Baru sepuluh menit berjalan di depan toko-toko, kemeja putihnya sudah basah dan jadi kumal karena keringat dan debu jalan. Untung sinar matahari tertahan oleh gedung-gedung toko, jika tidak, sinar ultraviolet itu semakin membuat bulir peluhnya berkucuran.
Ribut nian, pikirnya.
Rupanya Masayu juga mulai berkeringat. Tapi peluhnya tak membuat rona juwitanya berkurang. Sungguh, Masayu tidak memakai bedak, atau jenis kosmetik apa pun. Kalau sudah menjulurkan lidahnya untuk membasahi bibirnya, otomatis kembali merah meronalah bibir nan tipis seksi itu. Senyumnya begitu elegan tatkala gigi depannya yang rata nongol.
“Di mal lagi banyak yang diskon.”
Sambil merapikan poninya Masayu menjawab, “Di sini harganya murah-murah dan yang pasti bisa ditawar.”
Kesibukan di Pasar 16 Ilir tambah menjadi-jadi. Apalagi ini adalah akhir dari masa sekolah menuju masa awal masa tahun ajaran baru. Para orangtua yang ingin membeli perlengkapan sekolah anaknya tentu memilih pasar ini dan tak segan mereka mengajak langsung anak-anak mereka untuk mencocokkan ukuran seragam sekolahnya. Seperti apa yang dikicaukan oleh salah satu pedagang ini. Melolonglah dia:
“Sayang anak. Sayang anak.”
Orangtua mana yang tak tersentuh hatinya setelah mendengar jeritan kasing sayang itu? Segera mereka menerima setiap rengekan anaknya.
Ada di antara anak-anak itu yang meminta belas kasihan ibunya sambil menarik-narik tangan ibundanya tercinta:
“Pingin tas Masiya en de ber, Ma.”
Ibunda mana yang tak terenyuh hatinya? Dengan rasa cinta kasih sang ibu dengan cepat menghampiri sang penjual dengan taktik jitu untuk mendapatkan barang yang diimpikan sang buah hati dengan harga murah semurah-murahnya walaupun harus bersusah payah merangkai kata-kata untuk merayu pedagang tadi.
“Berapa?”
“Lima puluh,” jawab bapak-bapak penjual itu sambil merapikan barang-barang dagangannya.
“Mahal nian.Tiga puluh, ya?”
“Untungnya dikit.”
Perempuan paruh bayaitu pun menjawab dengan simpel, “Tiga lima.”
Sang pedagang mengeluarkan napas kerugian, lalu berseru, “Empat lima.”
Ini semacam debat di dunia perdagangan. Merupakan hal lumrah jika ingin mendapatkan barang harga murah.
“Ya sudah, pokoknya tiga lima.”
“Empat puluh.”
Ibu itu berjalan meninggalkan lapak kecil itu. Dan ketika sudah lumayan jauh, dia sudah tahu kalau si pedagang bakal menjerit dari kejauhan.
“Ya sudah, Bu, sini, tiga lima.”
Seraya membalikkan badannya untuk kembali ke lapak tadi, si pembeli dengan senang hati memegang dengan erat tangan anaknya. Strategi jitu dalam dunia jual beli sudah dia pahami betul, walau tidak bergelar S.E, si ibu-ibu paham bagaimana rupiah di dompet tetap dalam keadaan stabil.
Seperti halnya ibu-ibu ahli ekonomi keluarga tadi, Masayu pun juga sama. Tidak hanya pandai dalam geliat sastra, dia juga lihai dalam dunia tawar menawar. Kali ini dia bersama Dodi berhenti di sebuah lapak jualan pakaian. Sejenak dia mencari-cari warna dari baju kesukaannya. Setelah beberapa saat dia coba mencocokkannya dengan postur tubuhnya, rupanya pas. Baju kaos hitam polos, hanya ada sedikit corak putih garis-garis.
“Yang itu dua lima,” cetus penjual.
“Bisa kurang?”
“Harga pas.”
Masayu menaksir bahwa modal dari baju ini paling-paling sekitar 15 ribu rupiah. Maka dia tawar dua puluh ribu saja. Tapi si penjual tidak mau, maunya tetap harga yang disebutkannya tadi. Sementara Dodi tak mau ikut campur, apalagi dia tak bisa menawar. Dia biasa belanja tanpa tawar menawar, langsung bayar.
“Ayolah, Kak, dua puluh.”
Dengan memperhatikan pedagang yang kira-kira umurnya belum berkepala tiga itu Masayu memanggil “Kak”. Sebab di Palembang panggilan itu tak asing selain sebutan “Mang.” Kalau di Jawa, “Mas”; kalau di Medan, “Bang”.
Tak banyak cincong, penjual berkumandang, “Beli berapa, Dik?”
“Dua saja.”
“Ya sudah, dua puluh.”
Masayu mengajak Dodi meninggalkan lapak dan kembali memutar-mutar Pasar 16. Tak segan dia masuk ke basement, lalu naik beberapa lantai, untuk mengajak Dodi melihat-lihat berbagai macam pakaian dan aksesoris untuk lelaki. Beberapa kali Masayu menawarkan pada Dodi jaket kulit hitam yang keren, tapi Dodi menolak, sebab merasa lebih cocok mengenakan pakaian yang dia beli di mal. Masalah hargalah, masalah mereklah, yang dipikirkan oleh Dodi.
Segala sesuatu yang dicari untuk keperluan kuliah Masayu dikira sudah terasa cukup sekarang ini, seperti kaos, jaket, sweater, celana jeans, kaos kaki, sepatu, dan aksesoris, semacam gelang, cincin, dan kalung. Tangannya dan tangan Dodi sedikit susah untuk menenteng barang-barang. Mereka keluar dari gedung Pasar 16, dan untuk pulang, mereka mesti melewati ruko-ruko dan ratusan pedagang yang berjejer-jejer di pinggiran jalan sempit. Sesak rasanya paru-paru Dodi.
Dan… dan… Dodi tak lagi melihat Masayu. Dia jelalatan mencari di mana Masayu, badannya bertabrakan dengan orang-orang di depannya, mencoba menerobos keramaian, melewati celah-celah jalanan yang padat, dan dia terpisah dengan Masayu di tengah pasar.
Sialnya, HP-nya tertinggal di mobil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments