Meragu

Bab 5 | Meragu

Sudah tiga hari sejak hari nahas itu, Leon tak berhenti berusaha untuk naik banding pada putusan sidang yang disampaikan oleh sang ayah.

"Kakek...." Merengek pemuda itu pada Tuan Dion Wiratmadja. "Tolong buktikan kasih sayang Kakek padaku dengan menentang keputusan ayah." Ujung lengan kaus polo yang dikenakan sang kakek pun digoyang-goyangkannya.

Tapi Dion Wiratmadja segera menampik tangan kekar tersebut. Dengan keras, meski dirinya sudah tidak segagah dulu. Masih tersisa sedikit kekuatan untuk membuat lengan sang cucu terhempas ke udara.

"Kakek juga sudah bilang, kan! Tidak ada yang bisa mengubah keputusan ayahmu, selain kata-kata dari ibumu. Kau juga tahu itu!" Tuan Dion menegaskan smebari terus berjalan dengan stik golf di tangan.

"Seperti biasa, kau akan menemani Kakek main golf kalau sedang ada maunya saja!" sindir sang kakek dengan dengkus kasar.

"Tapi, kan, Kakek ayahnya ayah, mana mungkin ayah tidak mendengarkan ucapan Kakek!"

"Bahkan nenekmu sekali pun, tidak bisa mencegah apapun yang sudah keluar dan menjadi keputusan ayahmu."

"Kau tahu bagaimana ayah dan ibumu menikah? Kau sudah dengar ceritanya, kan? Dan begitulah, seberapa keras kepalanya dia! Bahkan, tanpa restu ayah dan ibunya, dia nekat tetap menikahi ibumu."

Heh! Anak itu benar-benar! Tuan Dion pun menghela lelah.

Putra sulungnya itu sejak dulu memang tidak berubah. Namun, ia juga mengakui, bahwa dengan keras kepalanya itu, Ken bisa mencapai semua hal yang diinginkan.

Termasuk cintanya terhadap Ana. Yang penuh liku dan perjuangan.

"Penilaiannya terhadap seseorang tidak pernah salah, Leon." Sejenak, Tuan Dion menghentikan langkah.

Bruk!

Membuat sang cucu menabraknya dari belakang, sebab sibuk tertunduk dengan berbagai pikiran.

"Aduh.... Sepertinya tiga tulang rusukku patah!" Meringis kesakitan sang kakek sembari memegangi iganya di bagian belakang.

"Ck! Jangan berlebihan, Kakek! Bahkan, hanya sebelah lenganku saja yang menyentuh punggung Kakek!" Leon memicingkan mata sebal.

"Eherm.... eherm!" Sambil pura-pura meregangkan otot, sang kakek pun berdeham kencang. Aktingnya ketahuan. hehe

"Kakek persis sekali dengan Paman Sam!" cibir Leon pelan.

"Tutup mulutmu! Atau aku akan bersikeras mengatakan pada Ken, untuk mempercepat pernikahan!"

"Tidak, Kakek! Jangan! Tolong jangan katakan apapun pada ayah. Atau..., sebaiknya Kakek diam saja dan tak perlu mengatakan apa-apa."

Bingo!

Tuan Dion lekas tersenyum licik dan senang.

"Oke, deal! Kakek tak perlu mengatakan apa-apa!" Lelaki yang umurnya sudah lewat kepala tujuh tapi tetap bugar itu pun melanjutkan langkah dengan riang.

Leon mengalihkan pandangan ke mana-mana. Mendadak otaknya blank, ia sudah tertipu oleh silat lidah sang kakek.

"Hah! Lagi-lagi, aku terjebak dengan kata-kata Kakek!" desah pria itu lesu.

"Ayo, anak muda! Kini giliranmu yang memukul bola!"

Leon dipersilahkan berjalan di depan. Keduanya pun melanjutkan permainan di hamparan hijau nan luas itu. Dengan wajah si muda yang tertekuk terus, karena tak mencapai tujuannya datang ke sana.

Dipandangi Tuan Dion punggung sang cucu. Ia tersenyum kecil.

Lelaki tua itu percaya, Ken pasti sudah memperhitungkan segalanya. Apalagi keputusan yang ia ambil menyangkut masa depan putranya sendiri. Keputusan ini, pasti tidak akan salah.

***

Pada sebuah ruang perkantoran yang tak begitu luas, seorang wanita tengah duduk termangu di sana.

Sebelah tangannya menyanggah pipi dengan jemari terkepal. Dipandanginya lurus ke depan, tetapi tatapan mata indah itu terlihat kosong.

"Menikah.... Tidak.... Menikah.... Tidak...."

Bibir ranumnya bergumam pelan tanpa henti. Bergerak-gerak kecil seirama dengan napas yang terdengar lemah.

Entah sejak kapan dia seperti itu, yang jelas tidak sebentar. Sebab, terdapat banyak berkas menumpuk di sisi kanan meja di depannya.

Nadine nampak membiarkan semua pekerjaannya terbengkalai karena masalah yang sedang mengisi seluruh pikiran.

Sekarang dia menarik diri. Duduk tegap dan membiarkan seluruh bobot tubuhnya jatuh pada kursi fleksibel itu. Kepalanya menengadah menatap langit-langit putih.

"Hh! Kau sedang menyindirku, ya?" Ia tersenyum miris. "Kau sedang pamer kesucianmu, kan, padaku?" bicaranya pada langit-langit ruangan itu.

"Warnamu putih suci tak bernoda. Sedangkan aku, diriku ini sudah tak suci lagi seperti dulu. Aku sudah ternodai. Dan itu adalah karena ulahku sendiri.

"Demi apa? Demi mempertahankan kesucianmu di sini. Aku rela merenggut mahkotaku sendiri. Supaya tak ada satu manusia pun yang menodai warnamu yang bersih.

"Aku rela mengorbankan apapun, asal kau tetap putih. Dan, tak ada satu orang pun yang bisa merebut tempatmu berada di sini."

Wanita cantik dengan blouse cokelat dan blazer hitam itu bicara sendiri. Keluh kesah yang merajai batin sedang dikeluarkannya dengan tatapan sedih.

Nadine tak menyesali apa yang sudah terjadi pada dirinya. Ia hanya menyesalkan bahwa jalannya akan serumit ini. Sebab, orang yang akan ia nikahi bukanlah sasarannya yang sesungguhnya.

Ia telah menyelidiki setiap anggota keluarga konglomerat itu. Dan Leon, adalah yang paling sulit di antara yang lain.

Maka dari itu, ia memilih Josh yang kebetulan memegang kendali atas Glory Entertainment. Cocok sekali untuk perusahaannya yang hampir bangkrut ini.

"Tadinya aku bersemangat akan segera menikah. Tapi..., heh, entah kenapa aku jadi ragu untuk meneruskan rencana ini." Diteruskannya keluhan inti.

"Kalau Kakak ragu, yasudah berhenti saja, Kak! Jangan diteruskan lagi. Jangan berkorban terlalu banyak. Kakak berhak memikirkan diri Kakak sendiri. Aku yakin, pasti ada jalan lagi selain meminta bantuan orang-orang itu."

"Mike!" seru Nadine yang kaget akan kedatangan sang adik. Ia mencoba duduk tegap. "Kenapa tidak ketuk pintu dulu?!" omelnya kemudian.

Pemuda berumur 20 tahun itu adalah Michael Alexander. Adik bungsu Nadine yang sudah seperti teman sendiri. Sebab umur mereka tak terpaut jauh.

"Mau sampai kapan Kakak melamun begitu? Aku sudah mengetuk pintu ribuan kali, tapi tak ada jawaban. Sedangkan sekretaris Kakak bilang, Kakak ada di dalam dan tidak keluar sejak pagi."

“Jangan berlebihan, Mike!”

Omelan balik sang adik membuat Nadine menyadari bahwa ia sudah memakan banyak waktu untuk lamunannya sendiri.

Buru-buru dipegangnya berkas-berkas yang masih menumpuk. Dengan tergesa ia memeriksanya satu persatu. Menghiraukan Mike, yang hendak meneruskan ocehannya.

"Kak!" Si adik lelaki pun tak terima diabaikan. Diambilnya satu berkas di tangan sangn kakak. Tapi Nadine tak menyerah, lalu mengambil berkas selanjutnya.

"Kakak! Dengar aku bicara!" Direbut lagi berkas yang lainnya.

Mike bahkan menjauhkan tumpukan pekerjaan sang kakak yang tertunda, lantas menduduki tempat tersebut.

"Mike! Tidak sopan!" tegur Nadine seraya memukul kaki pemuda itu supaya pergi.

Mike menurut, ia turun dari meja. Tapi, ia tak pergi dari sana. Si lelaki muda berdiri di sana sembari bersedekap dada. Memandangi kakaknya dengan tatapan dalam.

"Kak! Sudah tiga hari belakangan Kakak jarang makan. Kakak juga sering melamun dan tidak fokus pada pekerjaan."

Bukti nyatanya jelas baru ada di depan mata. Maka dari itu Nadine bungkam dan tak menyanggah.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Elisa Nursanti Nursanti

Elisa Nursanti Nursanti

💞💞💞💞💞

2022-12-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!