Peran orang tua itu sangat penting ketika anaknya masih memasuki usia anak-anak. Momen di masa anaknya masih dalam kategori anak-anak adalah sangat berharga bagi orang tua dan juga anak itu tersendiri.
"Kita tunggu saja asisten Papi kamu di sini, ya. Silahkan, Grietta mau pesan sup yang mana saja, boleh banget!"
Mendapat kepercayaan dari seorang anak kecil itu sangat sulit. Banyak di zaman sekarang, anak-anak lebih waspada terhadap orang asing. Dengan banyaknya kasus penculikan dan juga kasus pencabulan anak di bawah umur, membuat Wafa takut jika Grietta ditemukan oleh orang yang salah.
Melihat Grietta memesan banyak sekali makanan, membuat Wafa semakin senang. Wafa juga menceritakan beberapa kisah cerita kepada Grietta selagi menunggu makanannya datang.
"Oh, ya. Grietta ada seorang Kakak atau Adik, tidak?" tanya Wafa.
Grietta menggeleng.
"Ah, orang kaya seperti orang tuamu, pasti tidak mau repot punya anak banyak. Punya anak satu ilang aja nggak dicariin," batin Wafa.
Gritte ternyata bisa inisiatif bertanya dengan isyarat. Seolah paham dengan apa yang ditanyakan oleh gadis kecil itu, Wafa pun bisa menjawabnya dengan pasti.
"Kakak? Iya, kakak punya satu Kakak perempuan. Namanya Mbak Sari. Mbak Sari adalah orang yang baik, santun, cantik, dan juga selalu bicara dengan lembut. Berbeda dengan Kakak yang selalu ingin bebas kesana-kemari menuntut kebahagiaan duniawi," jelas Wafa menjadi sedih.
Kesedihan Wafa itu tidak karena Sari adalah Kakak kandungnya. Tapi karena nasib Sari yang harus kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil, membuat Wafa sendiri tidak tahu bagaimana jika Sari tahu kenyataan sedih itu. Kehilangan seorang ibu saja, Wafa sudah sangat menderita. Apalagi mengetahui kenyataan bahwa kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan.
***
Sekian lama menunggu, akhirnya ada juga yang datang dengan memanggil nama Wafa. Wafa yakin jika itu adalah asisten pribadi orang tua Grietta yang diutus untuk menjemput gadis cilik itu.
"Mbak Wafa, ya?" ujar pria itu.
"Iya, saja Wafa. Anda ini …."
"Perkenalkan, nama saya Zaka Yang. Saya adalah asisten pribadi Tuan Bian, orang tua dari Nona Grietta," sahut pria yang mengaku sebagai asisten pribadi orang tuanya Grietta, sembari menunjuk gadis cilik itu.
"Boleh minta bukti lain? Maaf, saya hanya tidak ingin ada apa-apa setelah pertemuan ini," ucap Wafa, meminta bukti jika Zaka Yang adalah asisten pribadi orang tua Grietta.
Setelah menunjukkan banyak bukti, barulah Wafa melepaskan Grietta dengan tenang. Tidak lupa, Wafa juga memberikan hadiah kecil untuk Grietta berupa jepitan yang diatasnya ada bentuk kupu-kupunya.
"Grietta ... lain kali, kalau kamu belum dijemput, kamu bisa main, kok, ke yayasan. Tapi jangan pergi dengan orang lain yang bukan orang rumah kamu, ya," tutur Wafa dengan lembut.
Grietta mengangguk, kemudian tersenyum sampai memperlihatkan giginya yang mulai ompong. Sebelum pulang, Grietta juga memberikan kalung kesayangannya kepada. Wafa. Kalung itu memiliki liontin berbentuk jantung. Di mana bentuk jantung itu terbuat dari sebuah berlian.
"Buat Kakak?" tanya Wafa.
Grietta mengangguk.
Wafa tidak berani menerima kalung tersebut karena dia takut sekali memakainya. "Um, kamu tidak perlu memberi Kakak kalung ini. Ini kalung terlalu bagus buat Kakak, Sayang. Um, pasti harganya mahal juga. Nanti kalau Papi kamu marah, bagaimana?"
Grietta tetap memaksa Wafa untuk menerima kalung itu dengan memakaikan di lehernya yang terbalut jilbab. Setelah kalungnya terpasang, Gadis kecil itu tersenyum dan mencium pipi Wafa. Membuat Zaka Yang terheran-heran. Sebab, Grietta tidak pernah bersikap manis kepada siapapun juga termasuk dengan Papinya.
"Berat banget menerima hadiah ini," celetuk Wafa semakin tidak enak hati. "Um, Tuan! Um, itu ... bisakah nanti Grietta ketika sudah tidur, anda bisa ke yayasan yang ada di sebelah sekolah Santa Maria, tidak? Hmm, untuk mengambil kalung ini?" bisik Wafa kepada Zaka Yang.
"Untuk apa saya mengambilnya? Nona saya sudah memberikannya kepada anda. Jadi, tidak mungkin saya mengambilnya kembali," ucap Zaka Yang.
"Tapi masalahnya, saya yang takut, Pak. Bagaimana jika orang tuanya menuduh saya mencuri? Atau malah berpikir jika saya ini menolong dengan pamrih? Kan tidak lucu jika saya jadi tersangka? Anak saya banyak, loh, Pak!" ungkap Wafa.
Zaka Yang tersenyum. Kemudian pamit dan pergi begitu saja membawa gadis kecil yang Wafa tolong itu. Setelah sampai rumah, Wafa meminta sahabatnya, bernama Inneke. Sahabatnya ini sering dipanggil dengan panggilan Keke.
"Gimana, Ke? Kira-kira kalau gitu, berapa duit?" tanya Wafa melalui telepon.
"Astaga, kalau ini sangat mahal harganya, Fa. Yang aku baca di sini, ini sepertinya sengaja didesain, deh!" jelas Keke.
"Yang benar saja kamu? Coba kamu baca-baca lagi. Kalung ini seharga berapa, gitu?" Wafa masih penasaran.
"Iya, bawel, sabar!" ketus Inneke.
Inneke ini sahabat Wafa sejak mereka masih di taman kanak-kanak. Inneke memiliki keyakinan yang berbeda dengan Wafa. Meski berbeda keyakinan, keduanya tetap akur dan masih damai sampai usianya menginjak 20 tahun ini. Sebenarnya mereka memiliki satu sahabat lagi. Namanya Mutaqia, biasa dipanggil Qia. Tapi dia sudah tidak ada kabar semenjak lulus sekolah menengah pertama.
"Fa, kalung itu mahal bener, Fa. Lebih baik kamu kembalikan saja kepada pemiliknya. Um, daripada masalah—mending malam ini juga kau kembalikan, deh!" seru Inneke.
"Jangan menakuti seperti itu, Ke. Katakan, berapa duitnya?" Wafa masih tidak penasaran saja.
"******! Kalung itu dibandrol dengan harga, M, Fa. Buruan kamu kembalikan deh!" Inneke masih berusaha membuat Wafa mengerti. "Ya ... Takutnya bakal ada apa-apa, serius," lanjut Inneke.
"Yang benar saja, Ke? Jangan bercanda ngapa!" Wafa kesal sendiri dengan Inneke. Melalui telepon, Wafa tidak bisa mencibir Inneke. Sekalinya Inneke bercanda kepadanya pun, akan sulit bagi gadis itu mencomot bibir sahabatnya.
Wafa menganggap Inneke sedang bercanda. Tapi ketika dirinya membaca hasil dari pencariannya, lalu dikirim oleh Inneke dirinya, barulah Wafa percaya bahwa kalung itu bernilai miliaran.
"Malam ini juga aku mau kembalikan kalung ini. Semoga saja Abi belum pulang dari pesantren."
Tidak ingin mengambil resiko, Wafa pun berniat untuk mengembalikan kalung tersebut. Sengaja Wafa pergi dengan ojek langganannya karena tidak mungkin akan mengeluarkan motor atau mobil dari garasi.
"Mbak Wafa, malam-malam seperti ini mau kemana?" tanya Pak Imin, nama dari ojek langganan Wafa.
"Ada urusan mendadak. Saya kabur dari rumah, jadi harus manggil Bapak kesini. Maaf, ya, Pak," jawab Wafa.
"Walah, Mbak Wafa ini. Kebiasaan kalau cari masalah, kok, ngajak-ajak Pak Imin, to!" keluh Pak Imin.
Wafa hanya tertawa kecil.
Setelah 15 menit berlalu, sampailah Wafa di sebuah perumahan elit sesuai dengan alamat yang ia miliki dari Zaka Yang sore tadi. Tidak tahu lagi harus berkata apa melihat rumah yang begitu megah dan sangat besar ukurannya.
"MasyaAllah, ini rumah segede ini, berapa duit saja pengeluarannya pas membuatnya, ya?" gumam Wafa.
"Yang pasti Mbak Wafa tidak bisa membuat rumah seperti ini," celetuk Pak Imin masih merajuk karena diajak Wafa melakukan kesalahan.
"Astaghfirullah hal'adzim, Pak Imin. Tidak boleh merajuk seperti itu. Dosa tahu!" goda Wafa kepada pria yang seusia dengan Ayahnya itu.
"Bagaimana jika saya bisa menjadi Nyonya di rumah mewah seperti ini? Nanti Pak Imin pasti akan menganga!" imbuh Wafa.
"Ya, Mbak Wafa jahat, kok. Kenapa selalu bawa Pak Imin kalau sedang melakukan kesalahan? Bapak tuh selalu memarahi Pak Imin setelah membantu Mbak Wafa melakukan kesalahan," Pak Imin benar-benar merajuk.
"Iya, maaf. Kali ini cuma sebentar, kok. Pak Imin tunggu di sini saja, ya. Tadi juga sudah bener mau masuk sini. Security-nya galak-galak!" celetuk Wafa.
Meninggalkan Pak Imin di depan gerbang, Wafa mencoba memencet bel pos satpam di rumah Grietta. Masih berusaha memencet bel, akhirnya pun Wafa mampu meraih bel tersebut. "Hmm, di depan saja sudah ada satpamnya yang jaga. Ini rumah juga ada satpam pribadinya juga?" batin Wafa terheran-heran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 151 Episodes
Comments