NovelToon NovelToon

Cinta Dari Mas Duda

Identitas Kakak

Suara hujan rintik-rintik bersahut-sahutan dengan suara anak-anak sedang mengaji di sebuah pesantren, memang terdengar begitu merdu serta meneduhkan hati. Apalagi, suara seorang gadis yang sedang tadarusan bersama dengan santri lainnya.

Suasana desa di sore hari itu juga membuat semua orang seakan malas untuk keluar rumah. Jalanan yang masih becek karena hanya jalanan bebatuan, membuat orang semakin enggan untuk bepergian di waktu hujan.

Namun, tidak dengan gadis muda berusia 20 tahun berparas cantik. Gadis ini sibuk kesana-kemari membawa buku-buku banyak menggunakan keranjang yang diletakkan di sepeda ontelnya.

Namanya, Wafa Thahirah. Gadis yang masih kuliah di jurusan pendidikan agama ini memiliki paras ayu dan menawan. Orang lain mengatakan, jika paras ayu Wafa, seperti bayangan sosok Dewi Shinta.

Dewi Shinta digambarkan sebagai wanita yang cantik, mempesona, seksi, perkasa dan sopan. Dia juga pintar nembang nyanyi Jawa dan suka membaca cerita. Begitu juga dengan Wafa, memiliki wajah cantik cantik dan suara yang merdu kala melantunkan sholawat maupun tadarus Al-Qur'an.

Sama halnya dengan sikap dan karakter Dewi Shinta, Wafa rupanya juga kesayangan Ayahnya. Persis dengan sosok putri Dewi Shinta ini yang menjadi kesayangan Prabu Dasamuka.

***

"Loh, Mbak Wafa ini apa ndak males gitu, ya? Wong hujan-hujanan begini, mbok, ya, besok saja nganter buku-bukunya ke rumah bacanya," ucap seorang wanita paruh baya.

Wanita itu adalah pengurus rumah baca sekaligus pengurus yayasan yatim piatu yang didirikan oleh Wafa sendiri ketika usianya menginjak 12 tahun. Dimana saat itu, sang ayah menanyakan hadiah apa untuknya karena sudah berhasil menghafal Al-Qur'an.

Dia adalah Mbak Nur Rokhimah, biasa dipanggil dengan sebutan Mbak Nur. Wanita berusia sekitar hampir 25 tahunan dan belum menikah. Pertemuannya dengan Wafa, sekitar 12 tahun kala dirinya menjadi santri di pondok pesantren milik ayahnya.

"Mbak Nur, pekerjaan itu harus segera dituntaskan. Jika ditunda terus-menerus, ya ... jadinya tidak akan pernah selesai. Lalu, pekerjaan lainnya pun juga bakal terhambat, dong!" kata Wafa dengan suaranya yang lembut.

"Hoalah, benar juga. Masya Allah, aku harus belajar banyak dari Mbak Wafa ini," celetuk Mbak Nur.

"Hahaha, Mbak Nur mah ada-ada saja. Ayo, dong, dibantuin!" seru Wafa. "Ekhem, masa iya Mbak Nur tega melihat gadis mungil seperti saya ini angkat-angkat sendirian."

Canda tawa itu berlangsung selama Wafa ada di sana. Selain dengan seorang lelaki, memang Wafa ini terkenal dengan keramahan dan lelucon-lelucon yang ia lontarkan setiap berbicara. Itu sebabnya banyak sekali anak-anak kecil yang menyukai Wafa.

"Mbak Wafa ini umur berapa, sih?" tanya mbak Nur heran.

"Loh, nanya umur to? Mbak Nur meniko ajeng maringi kado nopo? Utawa Mbak Nur malah pengen traktir saya makan? Hayo, pilih sik pundi?" jawab Wafa dengan wajah yang sok serius, tapi juga ingin tertawa.

"Haha, Mbak Wafa kalau sudah keluar bahasa Jawanya bikin aku ketawa terus, loh!" kata Mbak Nur. "Kenapa Mbak Wafa ini ndak ikutan Kakaknya pergi ke luar negeri, toh, buat cari ilmu, gitu?" lanjutnya.

Wafa pun tersenyum.

"Mbak Nur, sini tak tuturi," Wafa melambaikan tangannya seakan dirinya ingin membisikkan sesuatu kepada Mbak Nur.

"Iyo," jawab Mbak Nur lirih.

"Ilmu itu bisa didapat di mana saja. Mbak Sari, kan ... sudah berangkat ke luar negeri. Jadi, buat apa lagi saya pergi juga? Saya bisa belajar dengan Mbak Sari, kok," lanjut Wafa.

"Loh, itu beda, Mbak!" sela Mbak Nur dengan suaranya yang lantang.

"Bedanya dimana, Mbak Nur? Sama saja, lho. Mbak Sari pergi, terus pulang bawa ilmu. Kemudian, ilmunya juga ditransfer ke saya. Jadi untuk apa saya berangkat kesana gitu?" Wafa memang selalu mengelak jika ditanya tentang mengapa dirinya tidak mau berangkat keluar negeri untuk belajar.

"Mbak Wafa ini dari dulu selalu mengalah. Mengapa soal pendidikan juga harus mengalah? Padahal yang anak kandung itu Mbak Wafa, bukan Mbak Sari!" Mbak Nur malah keceplosan ketika bicara.

Selama 20 hidup, memang Wafa maupun Sari tidak tahu jika mereka bukanlah kakak dan adik kandung. Sari adalah anak dari kakak Kyai yang meninggal ketika kecelakaan. Lalu, ketika Sari masih bayi merah, barulah Kyai dan sang istri yang merawatnya.

Kakak kandung Wafa sebenarnya laki-laki, tapi meninggal dunia karena sakit. Tidak tega melihat Sari menjadi yatim piatu, di saat yang sama juga memang putra pertama Kyai meninggal di usianya yang hanya selisih dua bulan dengan kakak kandung Wafa, jadi Sari pun diangkat menjadi anak dan diasuh layaknya anak kandung. Apalagi, selisih dua bulan itu pun yang membuat Sari disusui bersama oleh Ibu Wafa.

"Mbak Nur kalau ngomong jangan seperti itu. Jangan nakut-nakutin ah!" seru Wafa.

"Um, anggap saja Mbak Nur memang asal ngomong, hehehe ..." Mbak Nur langsung sibuk menata buku lain.

Wafa menghentikan aktivitasnya dan memandang mbak Nur dengan tatapan tajam. Tatapan mata Wafa semakin terlihat tegas disertai dengan kilat sore itu.

"Mbak Nur, saya sudah terlanjur tahu, loh, ini. Misal saya cari tahu sendiri, apa Mbak Nur mampu mempertanggungjawabkan apa yang Mbak Nur bilang sebelumnya? Keceplosan? Itu pasti ada kisah dibalik keceplosan tersebut, bukan?" Wafa memang memiliki rasa keingintahuan yang tinggi.

Mbak Nur terkekeh. Memang tidak bisa menyembunyikan apapun kepada Wafa, jika sudah terlanjur mengatakannya. Mbak Nur pun terpaksa menceritakan hal yang tak seharusnya dia ceritakan kepada Wafa.

Mengetahui kenyataan yang seharusnya belum ia ketahui, membuat Wafa sedih. Bukan sedih karena sang abi lebih menyayangi Sari, kakaknya. Melainkan sedih karena ternyata Sari sudah menjadi yatim piatu sejak kecil. Wafa pun tidak heran lagi jika abinya sangat menyayangi Sari.

"Haduh, mbak Wafa tidak marah, to?" tanya Mbak Nur.

"Loh, kenapa saya harus marah, Mbak?" tanya Wafa balik.

"Ya, kan … Mbak Wafa sudah tahu kisahnya Mbak Sari. Kenapa tidak marah? Kyai juga sangat menyayangi Mbak Sari lebih dari menyayangi Mbak Wafa, kok!" seru Mbak Nur.

Wafa tersenyum. "Sudahlah, ayo bantu lagi. Hujan malah tambah deras seperti ini. Takutnya ... anak-anak nanti malah semakin malas mengaji jika kita terus mengobrol di sini, Mbak!" tegasnya.

"Hehehe, ayo lah nek ngono," jawab mbak Nur cengengesan seperti biasa. (Ayolah kalau begitu)

Setelah selesai menata ulang buku dan kitab di ruang baca, Wafa pun berniat ingin pulang terlebih dahulu. Tapi ditahan oleh Mbak Nur saat itu, karena Mbak Nur merasa berbahaya jika Wafa pulang menerjang hujan begitu deras disertai dengan angin yang kencang.

"Mbak Nur ini, loh! Saya mau pulang, ini juga, kan,.sudah mau maghrib. Bagaimana jika nanti Abi mencari saya?" Wafa bertanya.

"Haduh, mbok, ya, tunggu saja dulu, Mbak Wafa. Mbak Wafa kan bisa maghrib di sini bareng anak-anak!" seru Mbak Nur bersikeras menahan langkah Wafa.

Ketika keduanya sedang berdebat masalah hujan, ponsel Wafa berdering dan tersemat nama Abinya yang saat itu menelponnya. "Abi," ucap Wafa lirih.

"Yo dijawab, to, Mbak. Di bell, gitu, kok!" bisik Mbak Nur.

Wafa mencari tempat yang tidak berisik karena air hujan. Gadis muda berusia 20 tahunan itu pun masuk ke ruangannya di yayasan yatim piatu miliknya.

Bertemu Dengan Malaikat Kecil

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Iya, Abi—"

Seperti biasa, sang Abi meminta putri bungsunya itu untuk pulang jangan terlalu malam, karena biasa setelah hujan akan sepi suasana jalanan. Wafa mengatakan kepada Abinya untuk tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya. Ketika bercanda bersama Abinya dari balik jendela, Wafa melihat seorang anak kecil yang terlihat diam saja di tengah jalan.

Awalnya, Wafa mengira jika anak itu hanya bercanda saja bermain di jalanan. Tapi setelah dilihat dari tatapan mata dan juga gerak-geriknya, Wafa yakin jika anak tersebut tidak seperti anak lainnya yang sedang bermain biasa.

"Anak itu …."

"Mbak Wafa, ada ibu hamil baru yang katanya mau menaruh anaknya nanti setelah lahir di yayasan ini. Beliau sud—" ucapan Mbak Nur terhenti saat Wafa memberikan ponsel genggamnya kepadanya.

"Jawabkan, ya. Um, katakan kepada Abi, kalau saya memiliki pekerjaan mendadak. Terima kasih, Mbak Nur yang baik," ucap Wafa setelah memberikan ponselnya kepada Mbak Nur.

"Ta-tapi, Mbak Wafa! Itu orangnya—sudah ini, loh!" ucapan Mbak Nur kembali ter-sela.

"Satu porsi nasi goreng Mas Benu. Free buat Mbak Nur malam nanti!" teriak Wafa sembari lari ke luar.

Mendengar nasi goreng Mas Benu memang membuat mbak Nur tergoda. Mas Benu dan Mbak Nur memang sedang kasmaran. Jika mereka berdua bisa bertemu, suatu bonus bisa memadu kasih di kesempatan itu. Terpaksa, Mbak Nur menjawab telepon dari ayah Wafa dan mengatakan demikian.

Tamu Wafa itu adalah seorang gadis yang sedang mengandung, tapi pacarnya tidak mau bertanggung jawab. Yayasan milik Wafa memang menerima bayi yang masih dalam kandungan. Dengan membuka yayasan itu, Wafa berharap dapat mengurangi aborsi, bayi dibuang ataupun anak yang teraniaya karena masalah keluarga.

"Dek!"

"Awas, motor!"

Dengan kecepatan penuh, Wafa menarik anak tersebut sampai dirinya terluka di bagian siku. Bahkan, baju lengan Wafa saja sampai sobek. Di sisi jalanan raya besar itu memang masih ada kerikil banyak yang sudah mulai kikis karena aspalnya rusak.

"Kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya Wafa kepada gadis kecil itu.

Namun, gadis kecil itu hanya diam menatap Wafa dengan tatapan bingung. Hujan malah semakin deras, Wafa membawa gadis kecil itu ke yayasan dan segera membuatnya hangat. Dengan menggendong gadis kecil itu, Wafa menerjang hujan dan meminta salah satu penjaga yayasan untuk menutup gerbangnya kembali.

"Mbak Nur!"

"Mbak Nur, tolong sebentar, Mbak!"

"Ya Allah, Mbak Wafa? Kenapa jadi basah kuyup seperti ini, sih?" ujar Mbak Nur ikut panik.

"Tolong carikan baju umur lima tahunan. Ada yang baru saya beli kemarin di lemari kedua. Kasihan anak ini juga sudah basah kuyup," pinta Wafa tanpa memperdulikan dirinya sendiri.

"Lalu, Mbak Wafa sendiri bagaimana? Baju Mbak Wafa juga basah, loh!" sahut Mbak Nur.

"Jangan pedulikan saya. Cepat cari baju untuk anak ini. Saya temui dulu tamu di luar sebentar, setelah itu saya akan memandikan anak ini." Wafa begitu baik sampai tidak memperdulikan dirinya yang sudah basah kuyup karena membantu gadis kecil itu.

Tamunya ternyata memang masih sangat muda. Perempuan berusia 18 tahun yang masih sekolah menengah atas. Tapi, dia memutuskan untuk putus sekolah karena perutnya semakin membesar.

"Mbak, seharusnya Mbak ganti baju saja dulu tidak apa-apa. Saya masih sanggup menunggu, kok. Kasihan juga jika Mbak dan adik nya sakit karena bajunya basah," ucap gadis itu.

"Jadi, tidak masalah kah jika saya tinggal dulu lagi, nih? Saya merasa tidak enak kepada Mbaknya karena sudah menunggu sejak tadi," sahut Wafa.

Gadis itu tetap tidak masalah menunggu lagi. Segera Wafa masuk dan memandikan gadis kecil yang ia selamatkan. Kemudian meminta mbak Nur supaya menemani tamunya. Gadis kecil itu sangat patuh ketika dimandikan oleh Wafa. Tidak dirasa, tiba-tiba saja ketika tangan Wafa menyentuh pipi gadis kecil itu, dia memejamkan matanya seolah tangan Wafa adalah bantal yang sangat nyaman.

"Hei, kenapa kamu?" tanya Wafa lirih.

Gadis kecil itu hanya tersenyum, masih nyaman dengan sentuhan tangan Wafa. "Ayo, kita selesaikan dulu mandinya. Kamu harus segera ganti baju," lanjut Wafa.

Tak ada jawaban apapun. Gadis kecil itu hanya mengangguk semangat tanpa bicara. Wafa masih belum tahu mengapa gadis kecilnya tidak mau bicara.

"Namamu siapa?" tanya Wafa.

Gadis kecil itu menunjukkan name tag yang ada di seragam sekolahnya. "Oh, namanya Grietta Huang Xu?" lanjut Wafa lagi. Bibirnya sedikit kelu menyebut nama lengkap Grietta, gadis kecil yang dia bawa dari seberang jalan itu.

Nama gadis itu memang Grietta Huang Xu atau nama Indonesianya adalah Grietta Hutomo. Putri dari seorang pengusaha muda yang kaya raya bernama, Huang Jie Xie, atau Bian Hutomo. Pengusaha ini masih muda tapi sudah menyandang status duda.

"Kamu sekolah di Santa Maria, ya?" tanya Wafa lagi, mencoba mengajak Grietta bicara. Grietta pun mengangguk.

"Um, kamu tahu nomor Ayah atau Ibu kamu, tidak?" tanya Wafa lagi.

Grietta hanya diam memandang Wafa dengan tatapan polosnya. Wafa tahu artinya, tapi Grietta tidak mengerti apa yang ditanyakan olehnya. Padahal, Wafa juga sudah pelan-pelan bicaranya.

"Ah, dia anak orang kaya ini, pasti. Orang non muslim juga. Pasti manggil orang tuanya bukan Ayah, Ibu, lah!" batin Wafa. "Deddy atau Mommy kamu, dimana?" lanjut Wafa bertanya.

Grietta merubah pandangan.

"Oh, dia merespon. Jadi panggilannya memang Daddy dan Mommy. Dia tahu apa yang aku katakan berarti. Um, tapi dia tidak bisa mau menjawab pertanyaan dariku. Ada apa dengan gadis cantik ini, ya?" batin Wafa lagi.

Sudah berbagai cara Wafa menanyakan bagaimana caranya untuk menghubungi orang tua dari Grietta ini, tetap saja gadis kecil berusia 5 tahun itu tidak menjawab pertanyaannya. Wafa pun berniat untuk pergi ke sekolahannya untuk mencari informasi tentang orang tuanya dan menghubunginya.

"Baiklah, sebelum Grietta pulang, bagaimana jika Grietta makan dulu di sini. Kamu bebas memilih lauk apapun yang ada di dalam kulkas sana, hm?" ucap Wafa sembari menunjuk kulkas di dapur.

Tapi, Grietta menggeleng. Wafa belum paham arti gelengan Grietta itu menolak atau apa. Dia pun menanyakan lagi kepada gadis kecil itu tentang makanan apa yang gadis kecil itu sukai. Tetap saja Wafa kesulitan untuk berkomunikasi dengan Grietta.

"Biasanya jika anak orang kaya-kaya seperti ini, makanan kesukaannya apa, ya?" gumam Wafa bingung.

Grietta tahu apa yang dikatakan oleh Wafa. Dia pun meminjam ponsel Wafa yang ada di genggaman tangannya, kemudian mencari di internet makanan apa yang ia sukai.

"Sup jagung?"

"Kamu suka sup jagung?" tanya Wafa setelah Grietta menunjukkan hasil pencariannya. Grietta pun mengangguk senang.

"Baiklah, Kakak akan mengantarmu ke sekolah dulu untuk mencari nomor telepon orang tua kamu, ya. Lalu, nanti sembari menunggu orang tua kamu menjemput, kita makan sup jagung kesukaan kamu dulu. Bagaimana, kamu setuju?" usul Wafa.

Grietta mengangguk semangat.

"Oke!" seru Wafa mengangkat tangannya, ingin mengajak Grietta melakukan tos. Grietta langsung paham dan membalas kebaikan Wafa dengan mencium pipinya.

"Tapi sebelum kita pergi, boleh tidak, kalau Kakak temui dulu tamu yang ada didepan sana. Grietta mau menunggu sebentar, 'kan?" lanjut Wafa.

Grietta kembali mengangguk. Kemudian mengangkat jempol tangannya sebagai tanda setuju. Lalu, apakah orang tua Grietta nantinya mau menjemputnya?

Wanita Akan Merugi

"Maaf, ya. Membuat Mbak menunggu lama sekali," ucap Wafa menemui tamunya.

"Tidak masalah, Mbak. Saya tidak terburu-buru, kok," jawab gadis itu. "Um, apakah Mbak sudah tidak sibuk?" tanyanya lagi.

"Oh, tidak. Hanya kita perlu bicara sebentar saja, dan setelah itu mbak lanjut dengan Mbak Nur, ya. Saya harus mengantar anak ini pulang. Pasti sudah dicariin oleh orang tuanya. Bagaimana mbak, apakah mbak tidak keberatan?" ucap Wafa ramah.

Mereka pun berkenalan, Wafa terkejut dengan usia gadis itu yang masih sangat muda. Mengandung diluar nikah, dan kekasihnya tidak mau bertanggung jawab. Gadis itu bernama Vita. Berusia 18 tahun baru mau naik kelas tiga sekolah menengah atas. Wafa tersentuh hatinya yang dimana Vita tidak mau menggugurkan bayinya dan ingin melahirkannya.

"Pada dasarnya, wanita yang akan selalu dirugikan masalah seperti ini. Entah Wanita itu sudah menikah atau masih lajang, pasti akan selalu dirugikan dengan kasus seperti ini," kata Wafa sedih.

"Mbak, naudzubillahimindzalik … saya memang belum pernah mengalami hal yang seperti ini. Tapi kebanyakan dari ibu bayi-bayi atau anak-anak yang ada di yayasan ini, mereka juga memiliki kasus yang serupa," lanjut Wafa.

"Jika berkenan, Mbak Vita bisa tinggal di sini sampai melahirkan. Soal biaya makan sehari-hari, vitamin dan juga pemeriksaan dokter, saya yang akan tanggung. Mbak hanya cukup melahirkan adik bayinya saja, setelah itu Mbak bebas mau bekerja di mana saja atau mau lanjut pendidikan, terserah. Alhamdulillah jika Mbak mau di sini, saya senang sekali. Mbak bisa membantu Mbak Nur mengurus anak-anak di sini,"

"Atau kalau bisa, nanti Mbak akan saya Carikan pekerjaan lain yang cocok untuk untuk Mbak Vita." tukas Wafa.

Vita malah menangis tersedu-sedu. Dia tidak menyangka bisa bertemu dengan wanita muda seperti Wafa Thahirah. Di saat kedua orang tua dan juga kekasihnya tidak mau menerima janin yang ada di dalam kandungannya. Wafa sebagai orang lain malah dengan senang hati menerima kehadiran mereka berdua.

"Mbak Wafa … MasyaAllah tabarakallah. Terima kasih Mbak Wafa sudah mau menerima kita di sini. Tapi, apakah saya tetap masih bisa menjadi ibu dari anak saya meski saya harus membantu Mbak Nur merawat anak-anak di sini?" Vita berpikir jika setiap anak yang ada di yayasan itu sudah menjadi milik Wafa.

"Loh, Dek Vita kok tanyanya seperti itu? Anak-anak di sini ya bukan hanya milik Mbak Wafa. Milik siapapun yang ingin menganggapnya sebagai anaknya. Banyak donatur juga yang ikut memberikan sebagian rezeki dari mereka, dan mereka juga akan dianggap sebagai orang tua oleh anak-anak di sini," sahut Mbak Nur.

"Apa yang dikatakan Mbak Nur memang benar. Anak Mbak Vita tetap akan menjadi anaknya Mbak Vita. Tapi nanti pasti akan sedikit sulit untuk mengurus akte kelahirannya. Jadi, jika Mbak Vita ingin tetap tinggal di sini setelah melahirkan, maka Mbak Vita harus bisa bekerja sama dengan kami, supaya bisa mengurus anak Mbak Vita dengan baik sampai kelar data identitas dari si anak ini," lanjut Wafa. .

"Um, sepertinya ini sudah sangat terlambat. Mbak Vita bisa lanjut sama Mbak Nur, ya. Saya akan mengantar anak ini dulu ke sekolah untuk bertemu dengan orang tuanya, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,"

"Wa'alaikumsallam warahmatullahi wabarakatuh."

Dengan senyum tulusnya, Wafa mengajak Grietta ke sekolahnya lebih dulu supaya bisa mencari nomor telepon orang tua gadis kecil itu. Senyum Grietta juga terpancar cerah kala digandeng tangannya oleh Wafa.

"Ke sekolah naik pick up tidak masalah, 'kan?" tanya Wafa kepada Grietta. "Kebetulan yang Kak Wafa memiliki cuma mobil ini. Mau pakai motor juga masih hujan. Grietta baik-baik saja, kan, jika naik mobil ini?" sambungnya.

Grietta mengangguk semangat. Baju muslim yang dipakai di tubuhnya, membuat Grietta terlihat sangat anggun. Bahkan, Grietta selalu mengusap-usap baju pemberian Wafa itu. Segeralah mereka berangkat ke sekolah taman kanak-kanak Santa Maria, dimana Grietta bersekolah.

Waktu yang ditempuh memang tidak lama. Sebab, sekolahan tersebut hanya ada di seberang jalan tapi masih ada selisih beberapa toko di sana. "Kita sudah sampai. Tapi sepertinya sekolahannya sudah tutup. Bagaimana cara Kakak bisa mendapatkan nomor telepon Papi atau Mami kamu, ya?"

Tak pernah lepas dari dzikirnya, Wafa akhirnya menemukan cara untuk mendapatkan nomor telepon orang tua dari gadis kecil itu. Wafa masih melihat ada pak satpam di sana. Jadi, pasti sopan tersebut tahu siapa orang tua dari Grietta.

"Ah, itu masih ada security di sana. Kamu tunggu disini dulu, ya. Kakak mau bertanya dulu kepada Bapak security itu," kata Wafa meminta Grietta tetap tinggal di dalam mobil.

Grietta mengangguk. Kemudian Wafa turun dan menyapa satpam yang sudah siap-siap mau pulang. Segera Wafa berlari sebelum satpam itu naik ke motornya.

"Assalamu'alaikum, Bapak. Tunggu, Pak!" teriak Wafa.

"Iya, Bu? Ada yang bisa saya bantu?"

"Pak, saya mau bertanya, apakah masih ada guru di sekolahan ini?" tanya Wafa.

"Wah gurunya sudah pada pulang, Bu. Memangnya Ibu mau bertemu dengan guru siapa?" tanya satpam itu.

"Tadi ada anak TK dari sekolahan ini yang saya tolong karena dia ada di pinggir jalan dan hampir saja ditabrak motor. Anak tersebut bernama Grietta. Itu nama yang ada di kalungnya dan name tagnya, Pak. Bapak bisa bantu carikan nomor telepon orang tuanya atau siapa gitu yang bisa dihubungi?" Wafa menjelaskannya.

"Waduh, Non Grietta ini. Namanya Grietta Huang Xu, bukan?" Satpam itu terlihat panik.

"Di nametag seragamnya memang namanya itu," jawab Wafa mengiyakan.

Segera satpam itu menghampiri Grietta ke mobil apa Wafa. Ketika pak satpam mengajak gadis kecil itu untuk ikut bersamanya dan mengantarnya pulang, Grietta tidak mau dan malah terus menggenggam tangan Wafa. Wafa menjadi iba.

"Pak, berikan saja alamat anak ini atau nomor orang tuanya supaya bisa menjemputnya. Saya pemilik dari yayasan itu. Jika Bapak kurang percaya dengan saya

"… saya adalah putri dari—" ucapan Wafa terhenti saat satpam itu mengatakan bahwa dirinya sudah tahu siapa Wafa ini.

"Alhamdulillah jika bapak sudah tahu siapa saya. Tolong, percayakan kepada saya anak ini. Saya akan mengantarkan dia bertemu dengan keluarganya," imbuh Wafa sedikit lega.

Satpam tersebut langsung memberikan nomor telepon asisten dari ayahnya Grietta. Membuat Wafa sedikit terkejut kenapa nomor asistennya yang diberikan kepadanya. "Loh, Pak. Kok, ini yang Bapak berikan nomor asistennya? Kenapa tidak secara langsung Ibu atau Ayahnya saja gitu?" protes Wafa.

"Waduh, kalau itu saya tidak tahu, Bu. Memang jika Nona Grietta hilang, pasti yang saya berikan, ya, nomornya asisten dari orang tuanya atau enggak, ya, pengasuhnya," jelas satpam tersebut sedikit gugup.

Wafa merasa kecewa dengan orang tua Grietta yang tidak memperhatikan putrinya. Baginya, gadis sekecil Grietta harus lebih diberi perhatian dan juga kasih sayang yang lebih karena usianya masih terlalu dini untuk mandiri. Apalagi Grietta memiliki kendala tidak bisa bicara dengan orang lain.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!