Rela Kau Sakiti: Suami Tak Dianggap
"Kata Ibu jodohnya neng Samira sudah menuju kesini. Neng Samira hanya perlu menunggu, tidak perlu menjemput" begitulah pesan yang disampaikan ibunya melalui bi Naroh.
Setelah beberapa menit keluarga itu menunggu yang katanya membawa calon yang akan dijodohkan dengan putrinya. Terlihat, tepat didepan rumah mereka sudah terparkir mobil mewah milik rekan bisnisnya itu.
"Selamat datang Pak Adnan, Sudah lama sekali sejak kelahiran putra keduamu kita tidak berkumpul seperti ini" ucap Hartono menyambut kedatangan keluarga itu.
Malam ini keluarga itu diundang secara khusus sebagai tamu istimewa. Tamu yang diundang untuk menyantap makan malam bersama sebagai ungkapan rasa terima kasih atas bantuan keluarga itu, serta tentunya maksud tersembunyi yang bapak dan ibunya rencanakan sebelumnya.
Dianna, sang istri juga ikut menyambut kedatangan keluarga tersebut dengan senyum lebar dan dengan penuh ramah. Nampak, Adnan dan Hanna serta anak keduanya menyambut sambutan hangat itu.
"Rafiq!, nama kamu Rafiq bukan?, tante tidak salah kan ya?" Tanya Dianna pada sosok pemuda tampan yang sedang berada tepat di belakang ibunya.
"Iya, benar tante, saya Rafiq" ucapnya sembari mejulurkan tangan kanannya untuk memberi salam yang kemudian di balas oleh Dianna dengan sebuah pelukan.
"Sudah besar kau rupanya?, sudah selesai kuliahnya nak ?"
"Sudah tante, sekarang saya lagi bantu bantu Ayah di Perusahan" jawab Rafiq dan kemudian dalam hatinya bergumam "Cukup, jangan bertanya lagi. Firasatku mengatakan bahwa pertanyaan selanjutnya akan sangat sulit aku jawab"
"Istri?...., sudah nikah ?"
Dan benar saja, tak lama dia bergumam pertanyaan yang ingin dia hindari terucap dari seorang ibu yang dikaruniai seorang anak cantik yang hampir seusianya itu. Dan kini, pikirannya sedang mencari jawaban yang tepat agar pertanyaan selanjutnya tidak terucap lagi.
"Do'a kan saja segera menikah tante"
"Dengan siapa ?, masa tante tidak diberitahu." Tanya Diana penasaran, yang kemudian mengubah arah posisinya menghadap ke sang Ibu dari pemuda tampan tadi.
"Bu Hanna, Rafiq sudah punya calon ya?"
"Astaga..." gumam Rafiq
"Hmm..." Jawab Hanna bingung dan kemudian melirik ke arah Rafiq yang menggeleng kecil dan sedetik kemudian dia segera paham dengan maksud gelengan itu.
"Do'a kan saja dia segera dapat calon Bu"
"Ohh... Saya pikir sudah punya calon. Syukurlah. Mari ikut saya" ucap Dianna berjalan lebih dulu yang kemudian mengarahkan keluarga itu untuk ke ruang makan.
Entah apa yang dimaksud dengan kalimat 'Syukurlah' oleh Dianna, yang pasti untuk saat ini, Rafiq merasa sedikit tenang karena terbebas dari pertanyaan-pertanyaan sensitif seperti tadi.
"Oh iya, Nak Rafiq, ini anak tante. Namanya Samira" ucap Dianna segera setelah sampai di meja makan.
Samira yang sedang merapikan meja makan bersama pembantu rumah tangga mereka itu pun segera berhenti dan berjalan menunduk menuju ke arah ibunya. Menunduk sedikit malu dan sedikit merasa tidak suka dengan acara malam ini yang keluarganya buat. Samira merasa ada maksud dari sang ayah dan ibunya terhadap dirinya nanti.
"Samira…" ucap Samira sambil tersenyum dan kemudian menunduk kembali.
"Rafiq…"
Sesaat Rafiq terdiam sejenak berusaha berpikir dengan wajah yang begitu familiar dalam ingatannya. Dengan posisi Samira yang menunduk, Rafiq kesulitan melihat secara ditail wajah yang membuat dia penasaran itu.
"Silahkan, dinikmati hidangannya" ucap Dianna ketika semua hidangan yang disiapkan telah tertata rapi di atas meja.
Setelah Beberapa menit mereka menikmati hidangan makan malam itu, gerak gerik Hartono, ayah dari Samira terlihat akan memulai pembicaraannya.
"Anak keduamu, apakah sudah punya calon istri ?" Tanya Hartono
"Astaga..." gumam Rafiq.
Hal itu lagi, pertanyaan yang sangat sensitif bagi Rafiq untuk di bahas di waktu sekarang yang menurutnya sangat tidak tepat. Waktu yang harus memakasanya untuk menjawab pertanyaan itu dengan penuh keramahan. Pertanyaan itu juga membuat Samira sedikit kaget dan menatap pemuda tampan itu.
"Belum" Rafiq mendahului keluarganya untuk menjawab. sedikit melengkungkan senyum di bibirnya menatap wanita yang duduk persis di hadapannya.
Jawaban 'belum' dipilihnya sebagai ungkapan bahwa bisa iya dan juga bisa saja tidak. Setidaknya dia telah membuat posisinya saat ini aman. Padahal jika dia berkata jujur, maka jawaban yang akan dia ucapkan adalah tidak punya calon. Hal itu dia lakukan untuk menghindari pertanyan 'kenapa tidak punya?, padahal sudah mapan, tampan lagi, tunggu apa lagi?' Ya… kalimat klasik ketika bertemu dengan keluarga atau hanya kenalan seperti saat ini, yang melihat perjaka muda bebas seperti dirinya.
Saat ini Rafiq belum terpikir memiliki pasangan. Karena kesibukannya setelah lulus kuliah persis tiga bulan sebelumnya, dia harus disibukkan lagi dengan kerjaan perusahaan Ayahnya yang saat ini sedang merambah di bidang frozen food.
Sekilas menatap, tatapan Rafiq kini jelas melihat wajah wanita itu, walau hanya sekilas, dia mampu merekam wajah itu dalam memorinya dan memicu ingatanya waktu sekolah SMA dulu.
Rafiq akhirnya mengenali wajah Samira. Wanita Itu adalah adik kelasnya waktu sekolah di SMA Cita Bina dulu. Waktu itu samira adalah wanita cantik yang cerdas dan termasuk salah satu yang di idolakan di sekolahnya. Para siswa tidak terkecuali Rafiq suka padanya. Mungkin ‘suka’ yang dimaksud Rafiq adalah sekedar suka layaknya remaja SMA yang masih belajar untuk dewasa dan belajar untuk menjatuhkan cintanya.
Sekarang, di rumah wanita cantik yang pernah disukainya dulu waktu SMA, dia harus menjawab pertanyaan itu. Perasaan yang sama waktu itu tiba tiba muncul begitu saja di tempat dan usia yang berbeda.
"Ohh... Syukurlah. Samira belum punya calon juga" ucap Dianna menatap anaknya dan Rafiq secara bergantian.
Seketika, suasana menjadi hening, hanya suara gesekan sendok dan piring yang beradu terdengar sedikit menggema di ruangan itu.
Rafiq yang merasa suasana sudah mulai aneh dan juga tidak mau mendengar pembicaraan selanjutnya, segera sedikit memaksa otaknya untuk berpikir, bagaimana caranya agar dia keluar dari ruangan mencekam itu?.
"Astaga, ponsel saya ketinggalan di mobil bu" Seolah tau topik pembicaraan selanjutnya akan mengarah kemana, Sedikit berpura pura untuk buru buru, dia segera mengakhiri makannya itu dengan setegug air putih dan kemudian berlalu dari ruangan itu dengan cepat.
"Bagaimana kalau kita jodohkan anak kita" usul Hartono menatap ayah Rafiq.
"Kedengarannya ide bagus. Juga memperkuat hubungan keluarga kita bukan?" Ucap Adnan.
Dan kini, obrolan yang diprediksikan Rafiq benar adanya. Sesaat setelah dia keluar dari ruangan itu, Rafiq masih mendengar suara sang ayah dari wanita yang membuatnya penasaran tadi dan kemudian melajukan langkahnya menuju mobil seolah tak ingin mendengarkan pembicaraan itu.
"Bagaimana menurutmu Samira, bukannya kalian waktu sekolah dulu di SMA yang sama?" Setidaknya kalian sudah saling kenal." Tanya Hartono pada anak satu satunya itu.
"Bagaimana Samira?" Sambung Dianna.
"Saya terserah anak saya saja bu" ucap Hanna seketika melihat Samira diam menunduk. Hanna saat ini sudah sangat mengerti perasaan Samira yang diam tanpa merespon pertanyaan dari sang ibu itu.
Hanna, sosok ibu yang sangat dekat dengan putra keduanya itu, mengerti bahwa anaknya sangat paham dalam memilih calon istri yang baik bagi dirinya. Bukan menganggap Samira tidak layak menjadi calon istri bagi anaknya. tetapi semua keputusan diserahkan pada anaknya. Karena dia sangat sadar bahwa yang menjalaninya bukan dirinya. Dan juga tidak membiarkan anaknya bebas sebebas bebasnya memilih calon istrinya.
Sengaja berlama lama dalam mobil, akhirnya Rafiq memutuskan untuk kembali masuk keruangan tadi. Berharap topik pembicaraan tadi telah selesai atau setidaknya telah berubah.
"Terima kasih Pak Adnan atas kedatangannya, saya akan merasa senang jika kita berjumpa kembali dengan status yang berbeda, tentunya dengan status yang lebih dekat lagi"
"Astaga..., masih topik itu lagi. Bersabarlah, semenit lagi sepertinya berakhir" ucap Rafiq pada dirinya.
"Baik Pak Hartono, kalau begitu kami pamit dulu" ucap Adanan
"Permisi Bu Diana" sambung Hanna,
Tanpa mengatakan apa-apa, Rafiq segera menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Dianna dan kembali dibalas dengan sebuah pelukan olehnya.
"Besok antar Samira ke kampusnya ya, nanti tante kirim nomor ponselnya" bisik Dianna, sedikit terdengar oleh Hanna yang lebih dulu menuju mobil mereka untuk menyusul suaminya.
Setelah makan malam yang mencekam menurut dirinya itu selesai, akhirnya Rafiq dapat bernafas lega untuk segera meninggalkan rumah itu. Walau dalam hatinya ingin sekali dia berkenalan lebih dalam lagi dengan Samira. Tapi masalah cinta dia tidak bisa memaksakan kehendak seseorang. Pasalnya, wanita yang disukainya dulu punya pasangan waktu SMA dulu. Entah sampai sekarang masih dengannya atau tidak, atau bahkan sudah punya yang baru. Jika memang dia adalah jodonya maka pasti akan bertemu kemudian, dan itu besok sesuai pinta ibu dari wanita itu.
***
Bantu dukung karya ini dengan cara Like, Comment, dan tambahkan di rak buku Anda. Terimankasih
----------------------------
Mampir juga di Novel VICAR lainnya:
□ RANJANG BEKAS MANTANKU
□ RAHIM SANG PENYIHIR
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments