"Baik tante, besok Rafiq pastikan akan datang tepat waktu" begitu pesan yang diketikan dan dikirimkan Rafiq yang membuat bibir Dianna tersenyum dan menghembuskan nafas sekali penuh kelegaan.
TING!
Notifikasi pesan masuk berbunyi dari ponsel yang berada diatas kasur tidak jauh dari pemiliknya itu.
"Sayang..., Besok aku jemput ya" begitu kalimat yang tertulis pada aplikasi pesan yang ada di layar ponsel milik Samira yang saat ini berada ditanggannya.
Bingung harus menjawab apa, sejenak ponsel itu dimatikan dan semenit kemudian dinyalakan lagi segera setelah Samira mendapatkan jawaban yang tepat atas ajakan itu.
"Besok, anak temannya Ayah akan antar aku ke kampus" itulah kalimat yang ditulisnya untuk menjawab ajakan tadi dan kemudian tanpa sedikit ragu terbesit, segera dia menekan tombol kirim pada aplikasi pesan itu.
"Di jodohkan lagi?!!, Ya, sudahlah sayang, besok setelah pulang kampus temui aku di tempat biasa"
Tak membalas. Karena tak yakin dapat berjumpa dengannya atau tidak. Pikirannya saat ini sedang dipenuhi percakapan pada saat makan malam tadi.
Tidak begitu terkejut dengan apa yang menjadi topik pembicaraan pada makan malam tadi, Samira mengurung diri di dalam kamarnya. Seorang wanita cantik yang berusia 23 tahun yang kini harus pasrah dijodohkan lagi dengan pemuda tampan yang pernah ditolaknya waktu SMA dulu.
"Lagi dan lagi!" geram Samira.
Entah sudah kali keberapa perjodohan dirinya dengan anak anak dari relasi bisnis ayahnya itu dilakukan, tetapi berujung dengan kegagalan karena Samira punya beberapa trik khusus agar pria yang dijodohkan dengannya menjauh dan akhirnya membatalkan perjodohan itu, trik yang harus melibatkan kekasihnya itu.
Dan kali ini, akan sangat susah baginya untuk melakukan hal yang sama yang pernah dilakukannya pada pria pria yang dijodohkan dengan dirinya sebelumnya. Pemuda yang pernah menyatakan perasaan padanya sungguh sangat kenal dirinya dan keluarganya.
Bukan merasa malu atas apa yang dia lakukan dulu pada pemuda yang kini dijodohkan dengannya. Hanya saja saat ini dia telah memiliki kekasih hati yang sangat di cintainya dan soal menikah atau membangun rumah tangga, tak sedikit pun terbesit dalam pikirannya. Karena saat ini dirinya harus fokus pada kuliahnya yang tengah memasuki akhir semeter dan karirnya nanti setelah lulus.
Saat ini, cinta pada kekasih hatinya dan karirnya dipertaruhkan, dan saat ini pula adalah titik paling terberat dalam hidupnya. Dimana dia harus bisa menunda studinya dan yang paling terberatnya lagi adalah melepaskan kekasih hatinya.
Lamunan itu kemudian dibuyarkan oleh rasa haus yang teramat. Mungkin hal itu dipengaruhi oleh rasa panas yang tercipta dari amarah yang tertahan dalam dadanya. Semakin dia memikirkan hal itu, tingkat kehausannya semakin bertambah yang memaksa dirinya bergegas keluar dari kamarnya dan menuju dapur.
Setelah menegug segelas besar air putih penuh dan menuangkannya segelas lagi untuk dibawa ke kamarnya.
"Berbaiklah padanya besok"
Belum sempat dia menaiki tangga menuju lantai atas dimana kamarnya berada, suara Ayahnya membuat dirinya menghentikan langkahnya itu dan merubah posisi menghadap ke arah ayahnya yang sedang menuliskan sesuatu di buku catatan miliknya.
"Baik Ayah" jawab nya dan kemudian cepat berlalu dari tempat itu.
TOK! TOK! TOK!
Beberapa menit kemudian, pintu yang telah dikunci rapat oleh Samira yang berharap tak ada yang mengganggu pikirannya malam ini yang sedang memikirkan bagaimana cara agar lolos dari perjodohan itu berbunyi.
"Ibu bisa masuk?" Tanya Dianna dan kemudian segera membuka pintu kamar putrinya itu tanpa menunggu persetujuan darinya.
Sekejap, Dianna mengedarkan pandangannya di dalam kamar itu untuk mencari dimana putrinya berada. Dan sedetik kemudian dia melihat punggung anaknya duduk diatas kasur yang sedang menghadap keluar jendela.
"Bu, apakah Samira tidak punya hak untuk memilih sendiri pendamping hidup?" Dengan nada pelan dan terdengar sedikit tegas, Samira mengeluarkan pertanyaan itu setelah tau bahwa yang membuka pintu kamarnya adalah ibunya.
"Apa yang kurang dari Rafiq, setidaknya kalian saling kenal saja dulu" jawab Dianna berjalan pelan menuju kasur anaknya itu dan kemudian duduk diatasnya.
"Aku telah mengenalnya Bu, dia baik. tapi... hati Samira belum bisa menyukainya. Aku mohon bu, hentikan perjodohan ini"
Tak ada yang bisa dilakukan Samira saat ini. Dia hanya mampu memohon untuk menyudahi perjodohonnya itu. Disisi lain, juga dia tidak ingin ibu dan ayahnya tahu jika dia punya kekasih yang telah dia jalani hampir tiga tahun ini, karena kekasih hatinya belum siap memperkenalkan dirinya. Ya, pemuda yang dikenalnya saat memasuki perkuliahan semester awal itu telah menemaninya sampai dengan sekarang. Sampai waktu yang tepat itu tiba untuk dirinya mengenalkan kekasih pilihannya kepada orang tuanya.
"Samira..., Cinta itu tumbuh perlahan nak, tak seinstan kopi yang tanpa ada ampas nya. Hidup itu perlu lika liku, bahkan harus sampai beberapa kali merasakan sakit yang teramat, baru kita menyadari ada kebahagiaan disana sedang menunggu"
"Dan perjodohan ini sudah entah ke berapa kalinya bu?, Samira lelah dengan perjodohan ini bu" ucap Samira dengan sedikit bergetar yang bertanda ada rasa sedih dalam dirinya yang diikuti dengan linangan air mata.
"Samira mohon, beri Samira ruang yang setidaknya bisa memilih calon suami yang terbaik menurut Samira. Ibu sangat tahu itu, bagamana perasaan perempuan jika harus menikahi dengan laki laki yang tak dicintainya" lanjut Samira.
"Ibu sangat paham, bahkan lebih paham dari yang kamu tahu" ucap Dianna dingin dan kemudian memegang dan mengusap pelan kedua bahu Samira yang tepat duduk dihadapannya masih membelakanginya dengan posisi menghadap ke arah jendela
"Cinta memang buta, kadang perasaan telah memilih yang terbaik didominasi rasa egois. Ingin keputusan anaknya dijadikan sebagai keputusan yang terbaik. Kata 'tetapi' yang sering diucapkan hanya sebuah belaan yang belum tentu benar adanya. Apakah kamu yakin dengan pilihanmu itu kamu akan hidup bahagia?"
"Apakah ibu yakin juga... dengan pilihan ibu... Samira akan bahagia ?..., dan memang benar, kadang pilihan yang ibu rasa terbaik, bercampur dengan egois, yang merasa pilihan ibu adalah pilihan yang terbaik bagi samira"
Dianna terdiam sejenak dan sedikit melengkungkan senyum tipis di bibirnya. Seolah mengaku kalah. Tapi dalam hatinya masih ada cela untuk dia meyakinkan putrinya itu.
"Ibu akui, ibu tidak akan yakin juga, tapi..."
"Kalau begitu pilihan ibu sama dengan pilihan Samira, tidak menjamin Samira hidup bahagia" belum sempat meneruskan kalimatnya, Dianna melepaskan kedua tangannya dari bahu Samira.
"Maka tak ada bedanya, baik itu pilihan kamu atau pilihan ibu, keduanya tak ada bedanya. Tidak memberikan jaminan hidup kamu bahagia"
"Karena aku yang jalani rumah tanggaku, maka yang berhak memutuskan adalah aku bu"
"Benar, kamu yang akan menjalani lika liku hidup berkeluarga dengan suami pilihanmu. Tapi pernah tidak kamu berpikir bahwa ada rasa yang ikut merasakan kesedihan dan kebahagiaan kamu, bahkan jauh merasakannya dari pada kamu" ucap Dianna yang perlahan bangkit dari duduknya dan merubah posisi menghadap putri satu satunya itu.
"Kali ini percayakan pada ibu, ibu sangat yakin pada Rafiq" lanjut Dianna yang kali ini menatap wajah anaknya penuh keyakinan bahwa keputusannya adalah yang terbaik.
"Jika tidak?..." tanya Samira singkat pada ibunya.
Hening...
Nampak Dianna berjalan pelan menuju pintu kamar untuk keluar dan tepat berada di ambang pintu kamar putrinya itu dia berkata "ibu sangat yakin"
***
Bantu dukung karya ini dengan cara Like, Comment, dan tambahkan di rak buku Anda. Terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments