"Kata Ibu jodohnya neng Samira sudah menuju kesini. Neng Samira hanya perlu menunggu, tidak perlu menjemput" begitulah pesan yang disampaikan ibunya melalui bi Naroh.
Setelah beberapa menit keluarga itu menunggu yang katanya membawa calon yang akan dijodohkan dengan putrinya. Terlihat, tepat didepan rumah mereka sudah terparkir mobil mewah milik rekan bisnisnya itu.
"Selamat datang Pak Adnan, Sudah lama sekali sejak kelahiran putra keduamu kita tidak berkumpul seperti ini" ucap Hartono menyambut kedatangan keluarga itu.
Malam ini keluarga itu diundang secara khusus sebagai tamu istimewa. Tamu yang diundang untuk menyantap makan malam bersama sebagai ungkapan rasa terima kasih atas bantuan keluarga itu, serta tentunya maksud tersembunyi yang bapak dan ibunya rencanakan sebelumnya.
Dianna, sang istri juga ikut menyambut kedatangan keluarga tersebut dengan senyum lebar dan dengan penuh ramah. Nampak, Adnan dan Hanna serta anak keduanya menyambut sambutan hangat itu.
"Rafiq!, nama kamu Rafiq bukan?, tante tidak salah kan ya?" Tanya Dianna pada sosok pemuda tampan yang sedang berada tepat di belakang ibunya.
"Iya, benar tante, saya Rafiq" ucapnya sembari mejulurkan tangan kanannya untuk memberi salam yang kemudian di balas oleh Dianna dengan sebuah pelukan.
"Sudah besar kau rupanya?, sudah selesai kuliahnya nak ?"
"Sudah tante, sekarang saya lagi bantu bantu Ayah di Perusahan" jawab Rafiq dan kemudian dalam hatinya bergumam "Cukup, jangan bertanya lagi. Firasatku mengatakan bahwa pertanyaan selanjutnya akan sangat sulit aku jawab"
"Istri?...., sudah nikah ?"
Dan benar saja, tak lama dia bergumam pertanyaan yang ingin dia hindari terucap dari seorang ibu yang dikaruniai seorang anak cantik yang hampir seusianya itu. Dan kini, pikirannya sedang mencari jawaban yang tepat agar pertanyaan selanjutnya tidak terucap lagi.
"Do'a kan saja segera menikah tante"
"Dengan siapa ?, masa tante tidak diberitahu." Tanya Diana penasaran, yang kemudian mengubah arah posisinya menghadap ke sang Ibu dari pemuda tampan tadi.
"Bu Hanna, Rafiq sudah punya calon ya?"
"Astaga..." gumam Rafiq
"Hmm..." Jawab Hanna bingung dan kemudian melirik ke arah Rafiq yang menggeleng kecil dan sedetik kemudian dia segera paham dengan maksud gelengan itu.
"Do'a kan saja dia segera dapat calon Bu"
"Ohh... Saya pikir sudah punya calon. Syukurlah. Mari ikut saya" ucap Dianna berjalan lebih dulu yang kemudian mengarahkan keluarga itu untuk ke ruang makan.
Entah apa yang dimaksud dengan kalimat 'Syukurlah' oleh Dianna, yang pasti untuk saat ini, Rafiq merasa sedikit tenang karena terbebas dari pertanyaan-pertanyaan sensitif seperti tadi.
"Oh iya, Nak Rafiq, ini anak tante. Namanya Samira" ucap Dianna segera setelah sampai di meja makan.
Samira yang sedang merapikan meja makan bersama pembantu rumah tangga mereka itu pun segera berhenti dan berjalan menunduk menuju ke arah ibunya. Menunduk sedikit malu dan sedikit merasa tidak suka dengan acara malam ini yang keluarganya buat. Samira merasa ada maksud dari sang ayah dan ibunya terhadap dirinya nanti.
"Samira…" ucap Samira sambil tersenyum dan kemudian menunduk kembali.
"Rafiq…"
Sesaat Rafiq terdiam sejenak berusaha berpikir dengan wajah yang begitu familiar dalam ingatannya. Dengan posisi Samira yang menunduk, Rafiq kesulitan melihat secara ditail wajah yang membuat dia penasaran itu.
"Silahkan, dinikmati hidangannya" ucap Dianna ketika semua hidangan yang disiapkan telah tertata rapi di atas meja.
Setelah Beberapa menit mereka menikmati hidangan makan malam itu, gerak gerik Hartono, ayah dari Samira terlihat akan memulai pembicaraannya.
"Anak keduamu, apakah sudah punya calon istri ?" Tanya Hartono
"Astaga..." gumam Rafiq.
Hal itu lagi, pertanyaan yang sangat sensitif bagi Rafiq untuk di bahas di waktu sekarang yang menurutnya sangat tidak tepat. Waktu yang harus memakasanya untuk menjawab pertanyaan itu dengan penuh keramahan. Pertanyaan itu juga membuat Samira sedikit kaget dan menatap pemuda tampan itu.
"Belum" Rafiq mendahului keluarganya untuk menjawab. sedikit melengkungkan senyum di bibirnya menatap wanita yang duduk persis di hadapannya.
Jawaban 'belum' dipilihnya sebagai ungkapan bahwa bisa iya dan juga bisa saja tidak. Setidaknya dia telah membuat posisinya saat ini aman. Padahal jika dia berkata jujur, maka jawaban yang akan dia ucapkan adalah tidak punya calon. Hal itu dia lakukan untuk menghindari pertanyan 'kenapa tidak punya?, padahal sudah mapan, tampan lagi, tunggu apa lagi?' Ya… kalimat klasik ketika bertemu dengan keluarga atau hanya kenalan seperti saat ini, yang melihat perjaka muda bebas seperti dirinya.
Saat ini Rafiq belum terpikir memiliki pasangan. Karena kesibukannya setelah lulus kuliah persis tiga bulan sebelumnya, dia harus disibukkan lagi dengan kerjaan perusahaan Ayahnya yang saat ini sedang merambah di bidang frozen food.
Sekilas menatap, tatapan Rafiq kini jelas melihat wajah wanita itu, walau hanya sekilas, dia mampu merekam wajah itu dalam memorinya dan memicu ingatanya waktu sekolah SMA dulu.
Rafiq akhirnya mengenali wajah Samira. Wanita Itu adalah adik kelasnya waktu sekolah di SMA Cita Bina dulu. Waktu itu samira adalah wanita cantik yang cerdas dan termasuk salah satu yang di idolakan di sekolahnya. Para siswa tidak terkecuali Rafiq suka padanya. Mungkin ‘suka’ yang dimaksud Rafiq adalah sekedar suka layaknya remaja SMA yang masih belajar untuk dewasa dan belajar untuk menjatuhkan cintanya.
Sekarang, di rumah wanita cantik yang pernah disukainya dulu waktu SMA, dia harus menjawab pertanyaan itu. Perasaan yang sama waktu itu tiba tiba muncul begitu saja di tempat dan usia yang berbeda.
"Ohh... Syukurlah. Samira belum punya calon juga" ucap Dianna menatap anaknya dan Rafiq secara bergantian.
Seketika, suasana menjadi hening, hanya suara gesekan sendok dan piring yang beradu terdengar sedikit menggema di ruangan itu.
Rafiq yang merasa suasana sudah mulai aneh dan juga tidak mau mendengar pembicaraan selanjutnya, segera sedikit memaksa otaknya untuk berpikir, bagaimana caranya agar dia keluar dari ruangan mencekam itu?.
"Astaga, ponsel saya ketinggalan di mobil bu" Seolah tau topik pembicaraan selanjutnya akan mengarah kemana, Sedikit berpura pura untuk buru buru, dia segera mengakhiri makannya itu dengan setegug air putih dan kemudian berlalu dari ruangan itu dengan cepat.
"Bagaimana kalau kita jodohkan anak kita" usul Hartono menatap ayah Rafiq.
"Kedengarannya ide bagus. Juga memperkuat hubungan keluarga kita bukan?" Ucap Adnan.
Dan kini, obrolan yang diprediksikan Rafiq benar adanya. Sesaat setelah dia keluar dari ruangan itu, Rafiq masih mendengar suara sang ayah dari wanita yang membuatnya penasaran tadi dan kemudian melajukan langkahnya menuju mobil seolah tak ingin mendengarkan pembicaraan itu.
"Bagaimana menurutmu Samira, bukannya kalian waktu sekolah dulu di SMA yang sama?" Setidaknya kalian sudah saling kenal." Tanya Hartono pada anak satu satunya itu.
"Bagaimana Samira?" Sambung Dianna.
"Saya terserah anak saya saja bu" ucap Hanna seketika melihat Samira diam menunduk. Hanna saat ini sudah sangat mengerti perasaan Samira yang diam tanpa merespon pertanyaan dari sang ibu itu.
Hanna, sosok ibu yang sangat dekat dengan putra keduanya itu, mengerti bahwa anaknya sangat paham dalam memilih calon istri yang baik bagi dirinya. Bukan menganggap Samira tidak layak menjadi calon istri bagi anaknya. tetapi semua keputusan diserahkan pada anaknya. Karena dia sangat sadar bahwa yang menjalaninya bukan dirinya. Dan juga tidak membiarkan anaknya bebas sebebas bebasnya memilih calon istrinya.
Sengaja berlama lama dalam mobil, akhirnya Rafiq memutuskan untuk kembali masuk keruangan tadi. Berharap topik pembicaraan tadi telah selesai atau setidaknya telah berubah.
"Terima kasih Pak Adnan atas kedatangannya, saya akan merasa senang jika kita berjumpa kembali dengan status yang berbeda, tentunya dengan status yang lebih dekat lagi"
"Astaga..., masih topik itu lagi. Bersabarlah, semenit lagi sepertinya berakhir" ucap Rafiq pada dirinya.
"Baik Pak Hartono, kalau begitu kami pamit dulu" ucap Adanan
"Permisi Bu Diana" sambung Hanna,
Tanpa mengatakan apa-apa, Rafiq segera menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Dianna dan kembali dibalas dengan sebuah pelukan olehnya.
"Besok antar Samira ke kampusnya ya, nanti tante kirim nomor ponselnya" bisik Dianna, sedikit terdengar oleh Hanna yang lebih dulu menuju mobil mereka untuk menyusul suaminya.
Setelah makan malam yang mencekam menurut dirinya itu selesai, akhirnya Rafiq dapat bernafas lega untuk segera meninggalkan rumah itu. Walau dalam hatinya ingin sekali dia berkenalan lebih dalam lagi dengan Samira. Tapi masalah cinta dia tidak bisa memaksakan kehendak seseorang. Pasalnya, wanita yang disukainya dulu punya pasangan waktu SMA dulu. Entah sampai sekarang masih dengannya atau tidak, atau bahkan sudah punya yang baru. Jika memang dia adalah jodonya maka pasti akan bertemu kemudian, dan itu besok sesuai pinta ibu dari wanita itu.
***
Bantu dukung karya ini dengan cara Like, Comment, dan tambahkan di rak buku Anda. Terimankasih
----------------------------
Mampir juga di Novel VICAR lainnya:
□ RANJANG BEKAS MANTANKU
□ RAHIM SANG PENYIHIR
Entah sampai sekarang masih dengannya atau tidak, atau bahkan sudah punya yang baru. Jika memang dia adalah jodonya maka pasti akan bertemu kemudian, dan itu besok sesuai pinta sang ibu dari wanita itu.
***
Sepanjang perjalanan menuju ke rumah nya, Rafiq masih memikirkan wanita yang pernah dia sukai semasa SMA dulu itu. Wanita pertama yang dia sukai yang berhasil membuat diirinya pernah menyatakan cinta. Tapi ditolak karena telah berpawang.
Merasa maklum dengan penolakan itu, tidak sedikit pun membuat Rafiq sakit hati. Rafiq sangat menghargai keputusan itu. Sempat dia mengucapkan kalimat terakhir nya pada Samira saat itu, bahwa dia akan menunggu jika nanti Samira tak berpawang lagi.
Tapi saat ini, dia terpikir apakah Samira sama sekali tidak mengenal nya saat pertemuan tadi di rumahnya itu, ataukah dia tak mau cinta nya ditunggu olehnya atau bahkan pura pura tidak mengenali nya. Semua masih teka teki sampai hari esok tiba, dimana sesuai pinta sang Ibu wanita itu, untuk dirinya dapat mengantarkan putri tunggal nya itu ke kampus dan akan menanyakan secara langsung padanya, apakah dia telah berpawang atau belum.
Bukannya tidak ada wanita yang mau pada Rafiq, sehingga harus menunggu sesuatu yang belum pasti. Itu karena sifat setia yang dimilikinya yang membuat dirinya sangat susah untuk melirik wanita lain.
Dalam hal mencari pasangan, Rafiq sangat berhati hati. Dia selalu meminta pendapat ibu nya untuk masalah ini. Pernyataan cinta nya pada Samira dulu adalah salah satu tindakan nya yang sangat berani yang pernah dilakukannya. Hal itu bukan tanpa sebab, karena dia yakin bahwa wanita yang disukainya itu telah memenuhi kriterianya dan juga Ibunya.
Rafiq adalah tipe pemuda yang cukup pendiam, cerdas, dan menurut sebagian teman teman wanitanya dia sangat tampan dan berpikiran dewasa. Itu sebabnya banyak wanita yang mendekatinya sejak dia duduk di bangku SMA dulu hingga sekarang.
Pernah kedua kalinya menyatakan cintanya pada wanita yang kedua yang dia sukai waktu semasa dia kuliah dulu. Sempat menjalaninya hampir setahun hingga akhirnya Rafiq sendiri yang meninggalkan wanita itu, karena kedapatan memiliki pria lain. Sebab alasan itu dan sejak saat itulah sampai dengan sekarang level kehati hatian Rafiq dalam memilih calon pasangan hidupnya meningkat.
Bukan menutup hatinya rapat rapat. Tetapi dia tidak ingin kecewa pada akhirnya nanti. "Bukannya mencegah lebih baik dari pada sakit pada akhirnya ?..." begitu pikirnya.
Sedikit tersadar dari lamunannya, Tak terasa mobil yang ditumpanginya sampai di depan sebuah supermarket tak jauh dari rumah mereka. Hanna meminta supir pribadi keluarga mereka, Mang Husain untuk singga sebentar membeli buah.
"Nak, Bantu Ibu" pinta Hanna sambil membuka pintu mobil. Tak perlu persetujuan dari Rafiq, dia pun sangat yakin anaknya akan membantunya. Walaupun permintaannya tak terucap sekalipun, anak keduanya itu akan dengan senang hati membantunya.
"Baik bu" jawab Rafiq yang baru saja sadar dari lamunan panjangnya.
Sesampainya, Hanna segera menuju ke tempat buah dan nemilih beberapa buah yang segar agar dapat bertahan beberapa hari.
"Banyak sekali bu buahnya, buat apa?" tanya Rafiq yang melihat keranjang belanja yang dibawanya kini dipenuhi buah buahan beragam warna.
Tak menjawab pertanyaan anaknya, Hanna segera menuju kasir yang diikuti anaknya dari belakang.
"Di bagi dua kantong ya" ucap Hanna pada petugas kasir dan segera mengeluarkan beberapa lembar uang dan membayar sesuai harga yang tertera di mesin kasir.
"Ini pegang, ini untuk kamu bawa besok ke rumah bu Dianna" ucap Hanna menyodorkan satu kantong buah ke arah Rafiq.
Rafiq yang baru saja mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang ditanyakan pada ibunya tadi, lantas tersenyum. Inilah salah satu alasan yang membuat Rafiq selalu menjadikan ibunya sebagai tempat untuk mencurahkan perasaannya terhadap wanita. Ibunya sangat mengerti situasi dirinya. Bahkan situasi yang sekarang ini.
Beberapa menit mobil menempuh jalanan yang cukup ramai itu, akhirnya mobil berhenti tepat di depan rumah mereka.
"Besok tepati janjimu pada Bu Dianna" pinta Adnan dan kemudian segera turun dan masuk ke dalam rumah.
"Baik Ayah" ucap Rafiq kemudian menyusul sang ibu yang telah keluar lebih dulu hampir bersamaan dengan Ayahnya.
***
TOK! TOK! TOK!
"Nak, sudah tidur?"
"Belum bu, baru selesai mandi"
"Bisa Ibu masuk" pinta Hanna yang berharap malam ini dia dapat memberikan sedikit wejangan sebelum anaknya bertemu dengan Samira esok harinya. Bukan untuk memaksa dirinya agar segera menikahi wanita itu, tetapi lebih kepada meminta Rafiq untuk memastikan dulu Samira mau diajak menikah atau tidak.
"Iya bu"
Hanna kemudian masuk dan duduk di atas kasur milik anaknya. Nampak Rafiq sedang merapikan bajunya yang dikenakannya tadi pada sebuah keranjang baju kotor.
"Bukannya dia tipemu?" Tanya Hanna menggoda anaknya itu untuk mau menceritakan semua isi pikirannya sepulang tadi.
"Jika dia menurutmu masuk dalam kriteriamu, jadikan dia calonmu lagi. Mungkin saat ini Samira tidak berpawang. Siapa yang tau. Ibu akan selalu mendukung apapun pilihanmu. Asalkan wanita dari keluarga yang baik baik. Tidak perlu berasal dari keluarga kaya atau berpendidikan. Yang terpenting bisa menjaga kamu dan nama baik keluarga kita. itu sudah cukup"
"Baik Bu, nanti dilihat bagaimana selanjutnya. Berpawang atau tidak, itu masalah belakangan. Belum tentu juga dia suka aku kan Bu?"
"Ibu dan Ayah tidak memaksamu untuk segera menikah. Tapi kamu juga harus mengerti bahwa Ibu dan Ayah sudah merindukan seorang cucu dari kamu"
"Baik bu, Rafiq akan coba menjalaninya. Mudah mudahan Samira suka Rafiq juga bu"
"Jangan lemas dong, kalau suka ya harus diperjuangkan, kalau itu mustahil barulah lepaskan. Walau kata pepatah mengatakan tidak ada yang mustahil di dunia ini, maka hal itu tidak berlaku untuk hal ini. Kamu jangan paksakan rasa seseorang, karena nanti akan membuatmu menyesal di akhirnya nanti"
"Itulah Bu yang Rafiq takutkan, bagaimana nanti jika Samira tidak menyukaiku dan rasa suka yang dia tunjukan hanyalah dipaksakan karena ibu dan Ayahnya"
"Yakinlah, rasa suka itu akan tumbuh dengan sendirinya, walau harus sedikit perlu bersabar" ucap Hanna meyakinkan.
"Jangan lupa besok, jangan sampai telat. Berpakaianlah yang terbaik. Ingat first impression akan susah dilupakan" lanjut Hanna yang mulai berdiri dari duduknya dan menuju pintu kamar untuk bersiap keluar.
"Baik Bu, Do'a kan saja, sisanya percayakan saja pada Rafiq"
TING!...
Notifikasi tanda pesan masuk berbunyi dari ponsel milik Rafiq yang diletakkan diatas nakas kayu dekat ranjangnya selang beberapa menit setelah ibunya keluar dari kamarnya.
Segera dirinya meraih ponsel miliknya dengan tangan kiri dan melihat ke layar ponsel yang disana terdapat tulisan '1 pesan masuk'. Dan kemudian mengkliknya.
Benar saja, janji Dianna untuk mengirimkan nomor anaknya dan waktu putrinya akan berangkat ke kampusnya itu, telah sampai kepada tujuan yang ditandai centang dua berwarna biru di ponsel milik Dianna.
"Semoga saja cara ini akan berhasil" batin Dianna.
Keinginan Dianna untuk menjodohkan Samira dengan Rafiq semakin kuat ketika melihat pemuda tampan itu pertama kali, sungguh sangat pantas dijadikan sebagai seorang menantu. Tata krama dan kesopanan yang diperlihatkan Rafiq membuat Dianna harus berusaha sedikit lebih untuk menjodohkan putrinya dengannya.
Sementara itu, Rafiq sedang mengetikkan sesuatu untuk menjawab pesan tersebut.
"Baik tante, besok Rafiq pastikan akan datang tepat waktu" begitu pesan yang diketikan dan dikirimkan Rafiq yang membuat bibir Dianna tersenyum dan menghembuskan nafas sekali penuh kelegaan.
***
Bantu dukung karya ini dengan cara Like, Comment, dan tambahkan di rak buku Anda. Terimankasih
"Baik tante, besok Rafiq pastikan akan datang tepat waktu" begitu pesan yang diketikan dan dikirimkan Rafiq yang membuat bibir Dianna tersenyum dan menghembuskan nafas sekali penuh kelegaan.
TING!
Notifikasi pesan masuk berbunyi dari ponsel yang berada diatas kasur tidak jauh dari pemiliknya itu.
"Sayang..., Besok aku jemput ya" begitu kalimat yang tertulis pada aplikasi pesan yang ada di layar ponsel milik Samira yang saat ini berada ditanggannya.
Bingung harus menjawab apa, sejenak ponsel itu dimatikan dan semenit kemudian dinyalakan lagi segera setelah Samira mendapatkan jawaban yang tepat atas ajakan itu.
"Besok, anak temannya Ayah akan antar aku ke kampus" itulah kalimat yang ditulisnya untuk menjawab ajakan tadi dan kemudian tanpa sedikit ragu terbesit, segera dia menekan tombol kirim pada aplikasi pesan itu.
"Di jodohkan lagi?!!, Ya, sudahlah sayang, besok setelah pulang kampus temui aku di tempat biasa"
Tak membalas. Karena tak yakin dapat berjumpa dengannya atau tidak. Pikirannya saat ini sedang dipenuhi percakapan pada saat makan malam tadi.
Tidak begitu terkejut dengan apa yang menjadi topik pembicaraan pada makan malam tadi, Samira mengurung diri di dalam kamarnya. Seorang wanita cantik yang berusia 23 tahun yang kini harus pasrah dijodohkan lagi dengan pemuda tampan yang pernah ditolaknya waktu SMA dulu.
"Lagi dan lagi!" geram Samira.
Entah sudah kali keberapa perjodohan dirinya dengan anak anak dari relasi bisnis ayahnya itu dilakukan, tetapi berujung dengan kegagalan karena Samira punya beberapa trik khusus agar pria yang dijodohkan dengannya menjauh dan akhirnya membatalkan perjodohan itu, trik yang harus melibatkan kekasihnya itu.
Dan kali ini, akan sangat susah baginya untuk melakukan hal yang sama yang pernah dilakukannya pada pria pria yang dijodohkan dengan dirinya sebelumnya. Pemuda yang pernah menyatakan perasaan padanya sungguh sangat kenal dirinya dan keluarganya.
Bukan merasa malu atas apa yang dia lakukan dulu pada pemuda yang kini dijodohkan dengannya. Hanya saja saat ini dia telah memiliki kekasih hati yang sangat di cintainya dan soal menikah atau membangun rumah tangga, tak sedikit pun terbesit dalam pikirannya. Karena saat ini dirinya harus fokus pada kuliahnya yang tengah memasuki akhir semeter dan karirnya nanti setelah lulus.
Saat ini, cinta pada kekasih hatinya dan karirnya dipertaruhkan, dan saat ini pula adalah titik paling terberat dalam hidupnya. Dimana dia harus bisa menunda studinya dan yang paling terberatnya lagi adalah melepaskan kekasih hatinya.
Lamunan itu kemudian dibuyarkan oleh rasa haus yang teramat. Mungkin hal itu dipengaruhi oleh rasa panas yang tercipta dari amarah yang tertahan dalam dadanya. Semakin dia memikirkan hal itu, tingkat kehausannya semakin bertambah yang memaksa dirinya bergegas keluar dari kamarnya dan menuju dapur.
Setelah menegug segelas besar air putih penuh dan menuangkannya segelas lagi untuk dibawa ke kamarnya.
"Berbaiklah padanya besok"
Belum sempat dia menaiki tangga menuju lantai atas dimana kamarnya berada, suara Ayahnya membuat dirinya menghentikan langkahnya itu dan merubah posisi menghadap ke arah ayahnya yang sedang menuliskan sesuatu di buku catatan miliknya.
"Baik Ayah" jawab nya dan kemudian cepat berlalu dari tempat itu.
TOK! TOK! TOK!
Beberapa menit kemudian, pintu yang telah dikunci rapat oleh Samira yang berharap tak ada yang mengganggu pikirannya malam ini yang sedang memikirkan bagaimana cara agar lolos dari perjodohan itu berbunyi.
"Ibu bisa masuk?" Tanya Dianna dan kemudian segera membuka pintu kamar putrinya itu tanpa menunggu persetujuan darinya.
Sekejap, Dianna mengedarkan pandangannya di dalam kamar itu untuk mencari dimana putrinya berada. Dan sedetik kemudian dia melihat punggung anaknya duduk diatas kasur yang sedang menghadap keluar jendela.
"Bu, apakah Samira tidak punya hak untuk memilih sendiri pendamping hidup?" Dengan nada pelan dan terdengar sedikit tegas, Samira mengeluarkan pertanyaan itu setelah tau bahwa yang membuka pintu kamarnya adalah ibunya.
"Apa yang kurang dari Rafiq, setidaknya kalian saling kenal saja dulu" jawab Dianna berjalan pelan menuju kasur anaknya itu dan kemudian duduk diatasnya.
"Aku telah mengenalnya Bu, dia baik. tapi... hati Samira belum bisa menyukainya. Aku mohon bu, hentikan perjodohan ini"
Tak ada yang bisa dilakukan Samira saat ini. Dia hanya mampu memohon untuk menyudahi perjodohonnya itu. Disisi lain, juga dia tidak ingin ibu dan ayahnya tahu jika dia punya kekasih yang telah dia jalani hampir tiga tahun ini, karena kekasih hatinya belum siap memperkenalkan dirinya. Ya, pemuda yang dikenalnya saat memasuki perkuliahan semester awal itu telah menemaninya sampai dengan sekarang. Sampai waktu yang tepat itu tiba untuk dirinya mengenalkan kekasih pilihannya kepada orang tuanya.
"Samira..., Cinta itu tumbuh perlahan nak, tak seinstan kopi yang tanpa ada ampas nya. Hidup itu perlu lika liku, bahkan harus sampai beberapa kali merasakan sakit yang teramat, baru kita menyadari ada kebahagiaan disana sedang menunggu"
"Dan perjodohan ini sudah entah ke berapa kalinya bu?, Samira lelah dengan perjodohan ini bu" ucap Samira dengan sedikit bergetar yang bertanda ada rasa sedih dalam dirinya yang diikuti dengan linangan air mata.
"Samira mohon, beri Samira ruang yang setidaknya bisa memilih calon suami yang terbaik menurut Samira. Ibu sangat tahu itu, bagamana perasaan perempuan jika harus menikahi dengan laki laki yang tak dicintainya" lanjut Samira.
"Ibu sangat paham, bahkan lebih paham dari yang kamu tahu" ucap Dianna dingin dan kemudian memegang dan mengusap pelan kedua bahu Samira yang tepat duduk dihadapannya masih membelakanginya dengan posisi menghadap ke arah jendela
"Cinta memang buta, kadang perasaan telah memilih yang terbaik didominasi rasa egois. Ingin keputusan anaknya dijadikan sebagai keputusan yang terbaik. Kata 'tetapi' yang sering diucapkan hanya sebuah belaan yang belum tentu benar adanya. Apakah kamu yakin dengan pilihanmu itu kamu akan hidup bahagia?"
"Apakah ibu yakin juga... dengan pilihan ibu... Samira akan bahagia ?..., dan memang benar, kadang pilihan yang ibu rasa terbaik, bercampur dengan egois, yang merasa pilihan ibu adalah pilihan yang terbaik bagi samira"
Dianna terdiam sejenak dan sedikit melengkungkan senyum tipis di bibirnya. Seolah mengaku kalah. Tapi dalam hatinya masih ada cela untuk dia meyakinkan putrinya itu.
"Ibu akui, ibu tidak akan yakin juga, tapi..."
"Kalau begitu pilihan ibu sama dengan pilihan Samira, tidak menjamin Samira hidup bahagia" belum sempat meneruskan kalimatnya, Dianna melepaskan kedua tangannya dari bahu Samira.
"Maka tak ada bedanya, baik itu pilihan kamu atau pilihan ibu, keduanya tak ada bedanya. Tidak memberikan jaminan hidup kamu bahagia"
"Karena aku yang jalani rumah tanggaku, maka yang berhak memutuskan adalah aku bu"
"Benar, kamu yang akan menjalani lika liku hidup berkeluarga dengan suami pilihanmu. Tapi pernah tidak kamu berpikir bahwa ada rasa yang ikut merasakan kesedihan dan kebahagiaan kamu, bahkan jauh merasakannya dari pada kamu" ucap Dianna yang perlahan bangkit dari duduknya dan merubah posisi menghadap putri satu satunya itu.
"Kali ini percayakan pada ibu, ibu sangat yakin pada Rafiq" lanjut Dianna yang kali ini menatap wajah anaknya penuh keyakinan bahwa keputusannya adalah yang terbaik.
"Jika tidak?..." tanya Samira singkat pada ibunya.
Hening...
Nampak Dianna berjalan pelan menuju pintu kamar untuk keluar dan tepat berada di ambang pintu kamar putrinya itu dia berkata "ibu sangat yakin"
***
Bantu dukung karya ini dengan cara Like, Comment, dan tambahkan di rak buku Anda. Terima kasih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!