Episode 4: Salam Hangat

Hening...

Nampak Dianna berjalan pelan menuju pintu kamar untuk keluar dan tepat berada di ambang pintu kamar putrinya itu dia berkata "ibu sangat yakin"

***

Pagi ini Dianna sedang menyiapkan sarapan seperti biasanya. Beberapa potong roti dan beberapa jenis selai telah dia sajikan di atas meja, saat ini dia sedang sibuk mensuwir suwir dada ayam yang telah digorengnya tadi sebagai tambahan pada bubur yang lima menit lagi akan segera matang.

Sedikit melirik jam yang ada di dinding dapur, jam telah menunjukan pukul 7.00. Dianna segera menyiapkan tiga buah mangkuk untuk menuangkan bubur untuk suami, anak, dan dirinya. Tak lupa dia menambahkan toping suwiran dada ayam dan bawang goreng di atasnya, dan kemudian merapikannya diatas meja makan lengkap dengan dua gelas air putih dan segelas susu untuk suaminya.

Tak lama menunggu, Hartono keluar dari kamarnya dan segera menuju meja makan untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor pagi ini. Selang beberapa detik kemudian Samira menyusul di belakang ayahnya untuk ikut sarapan bersama.

"Cobalah buka hatimu untuk Rafiq, jika bukan ayahnya kita tidak bisa makan makanan ini, di rumah ini lagi" ucap Hartono setelah beberapa menit kemudian.

"Baik Ayah" ucap Samira singkat dan melanjutkan sarapannya.

"Berbaiklah padanya. Jika memang bukan jodoh setidaknya kesan baik kau tinggalkan"

"Baik Bu" hanya itu lagi yang dapat dia ucapkan saat ini.

"Aku permisi bu, mau siap siap dulu" setelah menghabiskan roti tawarnya dan segelas air putih, Samira kemudian berlalu dari ruangan itu dan meunju ke kamarnya.

"Apakah kita tidak begitu terlalu memaksakan Samira utuk segera menikah dengan Rafiq?. Mungkin... ada baiknya biarkanlah mereka berkenalan saja dulu, sampai benar benar mereka suka satu sama lain" ucap Dianna pada suaminya setelah memastikan Samira benar benar sudah tidak berada di ruangan itu, untuk mencegah pembicaraan mereka di dengar olehnya.

"Sampai kapan?... Samira sudah dewasa ditambah lagi dia seorang perempuan. Siapa yang akan menjaganya? Aku sudah tidak mampu mengawasinya. Dia butuh pendamping. Dia anak kita satu satunya. Aku tidak mau dia salah pilih"

Mendengar apa yang diucapkan suaminya, Dianna hanya dapat membenarkan hal itu. Putri tunggal kesayanga mereka sebagai penerus keturunan keluarga itu.

"Setidaknya keluarga Rafiq telah aku kenal sejak dulu. Jika nanti... suatu saat aku tak bisa bertahan dengan penyakitku ini, setidaknya aku legah Samira menjadi menantu dari Pak Adrian"

***

Di tempat lain.

"Jam berapa Samira akan ke kampus nak?" Tanya Hanna yang sedang menuju ke arah anaknya itu untuk memastikan baju yang dikenakannya itu terlihat rapi.

"Sejam lagi bu"

"Ingat! first impression" ucap Hanna yang saat ini telah berada di depan anak keduanya itu sambil memperbaiki kerak kemejanya yang memang sudah rapih.

"Baik bu, aman itu"

Hanya untuk mengantar seorang wanita ke kampusnya, Rafiq rela mengenakan kemeja tebaiknya pagi ini. Maksud hati tidak untuk terlihat berlebihan, tetapi inilah dirinya, yang sangat suka mengenakan kemeja kemana pun dia keluar rumah untuk bertemu dengan relasi bisnis ayahnya atau hanya pertemuan biasa dengan teman temannya agar terlihat rapi di mata yang memandang dan lebih khususnya bagi kepuasan dirinya.

"Bu, Rafiq pamit dulu" ucap Rafiq sedikit keras yang saat ini telah berada di teras rumah

"Baik nak, hati hati dijalan, semoga sukses" jawab Hanna atas ucapan anaknya dari dalam rumah yang sedikit terdengar namun jelas di kupingnya.

Segera dia pun menuju ke garasi untuk melihat kenderaan mana yang akan dia gunakan. Diantara motor dan mobil miliknya, pilihan kenderaannya jatuh pada mobil kecil yang berwarna grey. Mobil yang tergolong murah tapi menjadi salah satu kebanggaannya karena dibelinya dari upah yang didapatnya selama membantu pekerjaan di perusahaan ayahnya.

Berkendara dengan mobil bukan karena dirinya ingin memamerkan kemapanannya, melainkan dirinya menghindari akan ada sentuhan yang tak diharapkan secara tiba tiba nanti. Merasa belum saatnya dia merasakan sentuhan itu sebelum kata 'sah' di ikrarkan penghulu dan para saksi.

Tak lupa dia membawa bingkisan yang sudah tertata rapi dalam keranjang yang dianyam dari bahan rotan yang dibungkus dengan plastik wrap yang telah ibunya siapkan sejak pagi tadi pada saat membuatkan sarapan untuk ayahnya.

***

50 menit waktu yang lama yang sengaja dipersiapkan Rafiq agar tidak telalu terburu buru menuju ke rumah wanita yang sebentar lagi 'mungkin' akan menjadi pendamping hidupnya. Berharap masih teraisa 20 menit sebelum keberangkatan Samira ke kampusnya untuk berbincang atau sekedar pamitan pada ibu dari wanita itu. Jarak yang harus di tempuhnya untuk sampai ke rumah samira sekitar setengah jam.

Setalah kurang lebih 30 menit dia berkendara, akhirnya mobil kecil kesayangannya itu tiba di depan rumah mewah wanita itu. Melirik jam yang dikenakan di tangan kirinya sejenak, prediksi waktu yang telah di aturnya tidak melenceng terlalu jauh. Jam tangannya menunjukan pukul 9.25. Itu artinya masih ada sekitar 15 menit untuk dirinya berpamitan atau hanya sekedar basa basi dengan ibu wanita itu.

"Assalamualaikum" salam hangat sari Rafiq menggema di ruang tamu wanita yang akan diantarnya pagi ini.

"Waalaikumsalam, nak Rafiq, mari masuk" sambut Dianna yang sejak dari tadi telah menunggu kedatangannya.

"Ini ada bingkisan sedikit dari Ibu" ucap Rafiq menyodorkan keranjang yang berisi buah beraneka ragam warna yang dipegang di tangan kanannya itu.

"Waduh tidak usah repot repot" Dianna menyambut uluran tangan itu dengan sangat ramah.

Tanpa membuat Rafiq menunggu terlalu lama, Dianna mengarahkannya untuk menuju ke meja makan untuk sarapan terlebih dulu sebelum ke kampus.

"Sarapan dulu nak, ini tante buatkan bubur spesial untuk nak Rafiq" ucap Dianna menarik salah satu kursi yang tepat di depannya sudah disajikan bubur lengkap dengan toping dan segelas air putih disampingnya.

"Baik tante" tak dapat menolak. Hanya kalimat itu yang bisa dia ucapkan ketika melihat keramahan sang 'calon ibu mertua'.

"Yang banyak makannya, Samira sedikit lagi sudah mau turun, katanya tadi mau siap siap"

Selang beberapa menit, wanita yang akan diantarkannya ke kampus itu turun dari kamarnya. Tak memakai riasan, wajah wanita itu mampu menembus dinding hati yang sempat melupakan wanita itu dulu. Perasaan yang sama waktu SMA dulu kini hadir di waktu yang berbeda.

Tertegun sejenak menikmati pemandangan itu dan segera dibuyarkan oleh suara sang ibu.

"Habiskan dulu makananya"

"Sudah kenyang tante, nanti Samira telat ke kampus. Saya pamit dulu tante."

"Baiklah kalau begitu, titip Samira ya, nak Rafiq"

"Baik bu"

***

Bagaimana perasaan jika sedang berasa dalam satu mobil dengan wanita yang dulu sangat disukainya dan bahkan sempat mengutarakan cintanya. Itu lah yang saat ini Rafiq rasakan. Diam tanpa tahu harus memulainya dari mana untuk memecah keheningan yang sudah sejak tadi setelah masuk dalam mobil itu tercipta.

Rafiq harus memulai pembicaraan itu, mengharapkan wanita yang duduk di sampingnya itu memulainya, sungguh akan sangat sulit. Melihat Samira yang saat ini terus menatap ke jendela kiri mobil. Entah apa yang dilihatnya yang pasti sejak awal masuk kedalam mobil itu tak sedikit pun Rafiq merasa dia menatap wajahnya.

Niat untuk memecah keheningan itu ternyata tak kunjung dia lakukan sampai akhirnya mobil sudah berada 500 meter tak jauh dari tujuan mereka.

***

Bantu dukung karya ini dengan cara Like, Comment, dan tambahkan di rak buku Anda. Terima kasih.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!