Anindi terdiam. Pertanyaan yang cukup privasi untuk sekelas orang baru.
"Kenapa diam? Apa pertanyaanku salah?" Lelaki itu tersenyum miring lagi. Mengamati penampilan Anindi yang memakai pakaian begitu tertutup.
"Aku rasa, itu bukan sesuatu yang harus dijawab. Terlalu privasi." Anindi tidak suka ditanya masalah pribadi. "Terima kasih atas bantuanmu tadi, tapi aku pastikan Ibu melupakan kejadian itu." Anindi berbalik badan, hendak kembali ke dalam.
"Ada masa di mana kebohongan itu lebih baik dibandingkan kejujuran. Kamu tau masa itu?" tanya si Lelaki yang berhasil menghentikan langkah Anindi.
"Maksudmu?" Anindi kurang paham.
Dengan pandangan masih terfokus pada Anindi, lelaki itu menjawab. "Artinya, kebohongan di sini itu dinilai lebih baik dibandingkan jujur. Memang, sebenarnya tidak boleh. Tapi, di satu keadaan yang mendesak, kita bisa memilih opsi ini. Kamu paham pasti?"
Anindi terdiam sejenak, otaknya menghubungkan dengan kejadian sang Ibu. "Jangan bilang, kamu senang berakting?" Anindi tidak akan habis pikir jika jawaban lelaki itu sama dengan dugaannya.
Lelaki tersebut mengambil satu langkah ke depan tanpa niat membalikkan badan. "Sepertinya menarik." Menyunggingkan senyum.
Anindi tersentak. "Maaf, sebaiknya cari orang lain sebagai partner-mu. Aku bukan orang yang pandai berakting."
"Wah, benarkah?" Lelaki itu bertepuk tangan dua kali. "Tapi, tadi aku nilai, aktingmu itu luar biasa hebatnya. Buktinya, kamu tidak gugup sama sekali."
Anindi menghela napas kasar. "Aku melakukan itu karena terpaksa, kamu sudah tau alasannya?"
"Lalu, setelah ibumu beristirahat. Apa kamu akan mengatakan semuanya? Aku rasa, tidak mungkin." Lelaki itu melirik punggung Anindi, terus mendorong wanita itu ke sudut paling ujung. "Kalau butuh aku, bisa ke kamar sebelah. Aku di sana." Dengan cepat si Lelaki meninggalkan Anindi. Entah apa yang ada di pikirannya, tetapi ia merasa senang saja bisa memiliki peran nyata.
Anindi tak lagi mendengar apa pun setelah itu, ia pun segera masuk ruangan sang Ibu. Melupakan apa yang terjadi beberapa menit lalu.
***
Bu Lia sudah sadar, tetapi Anindi sedikit bimbang. Terlebih, Dokter terus menekannya agar tidak terlalu memaksa sang Ibu untuk mengingat banyak hal. Artinya, bisa jadi ibunya tetap mengingat dirinya masih bersuami.
Setelah dari ruangan Dokter, Anindi lebih dahulu melaksanakan salat Magrib di mushola. Bu Mila sudah datang, bisa dititipi sebentar. Ia akan pergi ke toko sebentar, hendak merangkai bunga pesanan yang masuk tadi pagi. Jika tidak ambil, lumayan. Mungkin biaya rumah sakit memang tercover oleh asuransi, tetapi untuk kebutuhan sehari-hari tetaplah harus berjuang sendiri.
Setelah salat selesai, wanita berhijab menutup dada itu pun segera keluar dari gedung rumah sakit. Sudah hari ketiga di sini, dan berbagai cerita pun terjadi. Dari mulai drama operasi sampai harus berakting di depan sang Ibu.
Anindi mengendarai roda dua itu dengan kecepatan sedang menuju gerbang utama rumah sakit, keluar, lalu bergabung dengan kendaraan lainnya. Pesanan dua buket bunga ini harus segera selesai sebelum jam tiga sore. Maka dari itu, Anindi memfokuskan untuk membuat pesanan saja tanpa perlu membuka toko.
Tak berapa lama, sampailah Anindi di area ruko. Pemilik apotek yang ada di samping toko bunga Anindi langsung menghampiri. "Nak, ibumu bagaimana?" tanyanya begitu cemas.
Anindi memarkirkan motor lebih dahulu, turun dan membuka helm. Tak lupa tersenyum kecil. "Assalamualaikum, Bude. Alhamdulillah, sudah sadar."
Bude Ratna–pemilik apotek–yang sudah dianggap seperti seorang Ibu pula oleh Anindi tersebut mengucap syukur beberapa kali.
"Mungkin masih harus perawatan agak lama di rumah sakit, Bude. Untungnya ada Tante Mila di sana, jadi ada yang bantu gantikan pas aku ada pesanan," kata Anindi menjelaskan.
Wanita paruh baya dengan jilbab hitam itu pun memeluk Anindi. "Kamu anak baik, Nak. In Syaa Allah, pasti banyak juga orang baik yang mau menolongmu. Bude berdoa semoga ibumu segera pulih dan bisa pulang. Bude, kangen makan bareng."
Anindi menahan tangis, sebenarnya. Ada perasaan yang sulit diungkapkan, tetapi cukup menyesakkan di dada. Sebisa mungkin untuk tetap kuat. "Iya, Bude. Aamiin."
Bude Ratna melepaskan pelukan. "Ya sudah, Bude, masuk dulu, ya."
Anindi mengangguk pelan, melepaskan kepergian Bude Ratna ke toko. Sementara itu, ia pun membuka toko, tetapi tidak memasang tanda "Open" di papan. Tujuannya, agar tidak ada pembeli.
Anindi bergegas membuat buket bunga, kali ini bunga itu dipesan oleh salah satu customer yang baru saja menikah seminggu yang lalu. Ini bisa dikatakan sebagai bentuk cinta dari sang Suami untuk istrinya. Cukup romantis juga.
Anindi mengerjakan dengan teliti, memperhatikan setiap detail pesanan agar tidak terjadi komplain seperti pertama membuka toko dahulu. Gadis itu duduk di kursi dengan meja yang penuh dengan bunga mawar merah dan putih. Beberapa alat untuk membuat buket pun, ada.
"Aku harus kerja keras lagi." Anindi menghela napas kasar. Rasa khawatir mungkin ada, tetapi mencari nafkah pun penting. Dengan hati dipenuhi rasa sabar, ia terus berusaha sebisa mungkin.
Di sela-sela keheningan dalam ruangan itu, tiba-tiba terdengar suara pintu kaca terbuka. Anindi sontak menoleh, siapakah yang datang? Padahal sudah diberi papan tanda "Tutup". Kedua matanya terbuka lebar ketika melihat sosok tinggi dengan hodie hitam dan celana jeans biru muda.
"Ternyata kamu pemiliknya." Suara itu pun tidak asing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments