Operasi pun tiba. Dilakukan di pagi hari sekitar pukul delapan, Anindi didampingi oleh Bu Mila menunggu dengan cemas di luar.
Bu Mila memeluk Anindi, memberikan sedikit elusan di punggung gadis itu sembari mengatakan, "Jangan khawatir. Tante, yakin kalau ibumu pasti sembuh sepenuhnya." Bagaimanapun sedikit hiburan bisa mencairkan suasana hati Anindi. Tak ada keluarga lain di sini yang bisa menguatkan perempuan manis dengan kulit sawo matang itu.
Anindi tersenyum sambil menunduk. Berdzikir dalam hati, memohon perlindungan pada Yang Maha Kuasa untuk kelancaran operasi ibunya.
Operasi berlangsung dari pukul delapan pagi sampai pukul tiga sore. Memang memerlukan waktu yang cukup panjang dan itu berhasil membuat Anindi resah dan gelisah.
Tepat setelah azan Ashar, dokter keluar dengan dua perawat lainnya. Senyum mengembang, menandakan operasi berjalan dengan baik. "Operasinya berjalan baik. Kita tunggu perkembangan selanjutnya." Kalimat itu sanggup membuat Anindi berucap syukur langsung di hadapan sang Dokter.
"Terima kasih, Dok." Anindi tersenyum di samping Bu Mila.
Dokter pamit pergi dan tak berlangsung lama dua perawat lainnya keluar mendorong ranjang yang di atasnya tertidur Bu Lia-Ibu kandung Anindi-mereka akan memindahkannya ke ruangan rawat inap lagi.
Anindi dan Bu Mila mengikuti dari arah belakang dengan sedikit lega. Hanya tinggal menunggu Bu Lia sadar, walaupun ada kemungkinan mengalami amnesia. Tak masalah, yang terpenting adalah kesadaran lebih dahulu.
Sesampainya di ruangan rawat inap, kedua perawat itu pamit. Anindi langsung mendekati ibunya, tersenyum kecil, lalu berkata, "Bu, aku senang sekali operasinya berjalan lancar. Aku harap, Ibu cepat sadar dan kita bisa saling berbicara satu sama lain."
Melihat hal itu berhasil menarik rasa kasihan Bu Mila. Ia mungkin tidak punya anak, tetapi tetaplah jiwa keibuan dalam dirinya bangkit. Dengan cepat mendekati Anindi, memeluknya lagi. "Nak, jangan putus berdoa untuk ibumu. Sebaiknya, sekarang kamu shalat dulu, selesai itu langsung makan siang. Dari pagi, kamu cuma makan sepotong roti saja."
Anindi mengangguk pelan. Rasanya memang sedikit sulit untuk makan di waktu seperti ini, bahkan roti tadi pun sukar untuk ditelan.
Pada akhirnya Anindi pun pamit. Kewajiban terhadap Yang Maha Kuasa tidak bisa ditunda, ia juga seorang muslim yang memiliki kewajiban tersendiri.
***
Jam berganti jam, dan hari pun sudah berlalu. Dua puluh empat jam sudah Bu Lia selesai operasi dan dengan sabarnya Anindi menunggu kesadaran sang Ibu. Berharap, dirinyalah orang yang pertama dilihat dan tentunya diingat.
Hari ini Bu Mila pamit untuk tidak ke rumah sakit. Ada pekerjaan yang harus dilakukan. Tentunya Anindi tidak bisa melarang, karena itu kewajiban juga.
Anindi terdiam di dekat jendela, melihat ke arah luar. Betapa kota ini begitu sibuk dengan berbagai kepadatan. Pastinya, semua orang sedang berusaha menjalani perannya. "Kota ini mungkin bisa dikatakan kota paling sibuk. Semua orang ke sana ke mari menemui tujuan." Helaan napas Anindi begitu kasar. Ia sedang tidak baik-baik saja.
Di sela-sela itu, terdengar suara pelan yang sudah lama ingin didengar. "A-Anindi." Kalimat yang merdu dan sontak membuat Anindi berlarian ke arah sang Ibu. Benar saja, kedua mata itu terbuka dengan selang infus dan alat bantu napas masih terpasang.
Anindi memegang jari-jemari kanan sang Ibu seraya berkata, "Ini Anindi, Bu. Alhamdulillah, Ibu sudah sadar." Rasa senang tidak cukup hanya diucapkan di mulut saja. Gadis itu sulit mengatakannya. "Akhirnya aku bisa dengar suara Ibu lagi."
Dua bola mata Bu Lia menatap lekat wajah sang Anak, perlahan kedua sudut bibir itu terangkat ke atas membentuk senyuman kecil. Tak ada suara lagi, suasananya berubah hening.
"Bu, ingat Anindi, kan?" Kekhawatiran yang tinggi akan hal itu. "Ibu, bisa tau Anindi, kan?"
Bu Lia menggerakan kedua kelopak matanya dan itu sudah cukup untuk Anindi.
Tangis Anindi pecah. Kali ini bukan kesedihan yang mendera, melainkan kebahagiaan. Tak disangka ibunya mengenal dengan baik. "Alhamdulillah, Ibu nggak sampai lupa sama aku." Beberapa kali ucapan rasa syukur dikeluarkan oleh mulut Anindi.
Selang beberapa detik, kedua ekor mata Bu Lia bergerak ke arah kanan. Menangkap seseorang yang berdiri setelah sebelumnya membuka pintu pelan. Anindi sendiri tidak sadar, karena terlalu senang.
Bu Lia menatap sosok itu, lalu suaranya perlahan keluar lagi. "A-ajak suamimu masuk, Nak."
Kedua bola mata Anindi membulat sempurna. Suami? Kemudian, sudut mata kanannya menangkap pergerakan tangan kiri ibunya yang menunjuk ke arah pintu. Anindi langsung berbalik badan, penasaran.
"Dia suamimu." Suara Bu Lia pelan sekali. Masih belum begitu pulih sepenuhnya.
Anindi terkejut bukan main, begitu pun dengan sosok yang kini berdiri di pintu. Pertemuan mata itu tidak bisa dihindari. Entah rencana seperti apa yang sedang semesta persiapkan sekarang?
"Ajak suamimu masuk, Nak." Sekali lagi Bu Lia berbicara yang sama dengan suara yang pelan. Namun, masih bisa terdengar oleh Anindi maupun sosok di dekat pintu tersebut. "I-Ibu, mau bicara."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments