Pada akhirnya Anindi menyetujui proses operasi yang akan segera dilakukan besok hari nanti. Tidak peduli seberapa banyak uang yang harus dikuras, ia hanya ingin melihat ibunya bisa kembali pulih.
Malam pun datang bersamaan dengan suara azan Magrib. Anindi pamit ke mushola rumah sakit, meninggalkan ibunya dengan Tante Mila. Seorang wanita paruh baya yang memiliki keyakinan berbeda dengannya, tetapi mempunyai rasa toleransi sangat tinggi.
Proses operasi akan memakan waktu yang cukup lama, mengingat ini adalah di bagian otak. Anindi sudah membayar lima puluh persen dan sisanya ditanggung oleh asuransi. Untung saja gadis itu sudah mempersiapkan hal ini sebagai bentuk dari kepeduliannya terhadap kesehatan.
Anindi turun menggunakan lift ke lantai bawah bersama dua orang lelaki. Mereka sepertinya juga sedang menunggu pasien. Lift berhenti di lantai bawah, Anindi bergegas keluar dan akhirnya melangkah cepat ke arah koridor kanan.
Suasana rumah sakit ini memang ramai, tetapi baginya sunyi tetap ada di hati. Tak bisa merasakan kehangatan yang tercipta dari sekitar. Perempuan yang kala itu memakai celana panjang hitam dengan tunik biru muda di bawah lutut pun terus berjalan tanpa memperhatikan sekeliling, tak ada yang bisa menariknya ke hal lain saat ini.
Tibalah Anindi di mushola. Padat sekali, ketika melangkah dua kali ke depan. Ekor mata kanannya tak sengaja merekam seorang lelaki dengan celana jeans panjang hitam yang ada bagian robek di lutut. Hal yang paling menarik di sini adalah lelaki itu terdiam sambil menatap mushola. Entah sedang apa.
Anindi tak ingin berlama-lama meninggalkan sang Ibu. Sesegera mungkin mengambil wudu dan salat dengan jemaah lainnya. Suasana salat kali ini lebih berbeda dibandingkan yang sebelumnya, karena mungkin Anindi berada di tempat yang bisa dikatakan banyak kesedihan.
Selesai salat, Anindi tak langsung pergi. Perempuan berkulit sawo matang itu mengangkat kedua tangan, berdoa untuk kesembuhan ibunya. "Ya Rabbi, aku cuma manusia biasa yang bahkan tidak punya kekuatan apa pun. Kalau memang Engkau berkenan memberikan kesembuhan untuk ibuku, mohon dipercepat. Setiap melihat wajah ibu, rasanya aku ingin menangis tidak karuan." Sejenak Anindi diam, menangis di hamparan sajadah. Tak peduli dengan pandangan orang saat ini.
"Jangan ambil ibuku, Ya Rabbi. Aku masih belum membahagiakannya sampai detik ini. Izinkan aku melihat sinar di mata Ibu seperti biasa," lanjut Anindi.
Perempuan itu tak kuasa menahan sesak dalam. Mengingat perkataan dokter yang mengatakan jika sang Ibu bisa saja kehilangan ingatan yang lalu setelah operasi. Namun, hal ini bisa berangsur pulih selama orang sekitar tidak memaksa ibunya untuk mengingat banyak hal. Istilahnya, biarkanlah ingatan itu kembali datang dengan cara yang lebih pelan.
Anindi menurunkan kedua tangan. Ada hal yang ditakutkan Anindi saat ini. Sesuatu yang bahkan tidak ingin dibayangkan sama sekali yaitu saat sang Ibu bahkan tidak mengenali dirinya sebagai anak. Rasanya pasti akan lebih hancur dibandingkan hanya kehilangan pelanggan. "Aku harap, tidak ada hal yang seperti itu. Aku yakin, Ibu pasti bisa mengingatku sebagai anak."
Anindi mengamati sekitar. Sudah tak ada orang. Maka dari itu, perempuan tersebut segera berdiri, membuka mukena dan melipat bersama sajadah seperti mana mestinya. Dengan langkah pelan meninggalkan ruangan wanita yang sudah pasti harus melewati ruangan lelaki sebelahnya.
Sekali lagi ekor mata kanan Anindi melihat sosok lelaki yang tadi juga. Kini lelaki yang hanya terlihat punggungnya itu sedang duduk bersila dengan tenang sambil mulutnya mengucapkan kalimat dzikir. Anindi mengamati perlahan, lelaki itu rupanya memakai sarung. Di sini tak ada pinjaman sarung, entah dari mana lelaki itu dapat. Sepertinya terlihat masih baru.
Hal itu pun dibenarkan Anindi ketika melihat cap yang masih menempel di bagian sarung bagian belakang. Anindi tertegun. Mungkinkah lelaki itu sengaja membeli sarung lebih dahulu agar bisa salat?
Di masjid ini hanya tinggal Anindi, imam salat juga lelaki yang kini memakai baju hitam polos yang sedang khusuk berdzikir. Suasana terasa tenang, bahkan Anindi bisa merasakan aura positif terpancar dari belakang punggung si lelaki. "Astagfirullah, aku tidak boleh seperti ini." Anindi tersadar. Tak baik memperhatikan lawan jenis sedetail itu.
Secepat kilat keluar dari mushola. Di luar lumayan sepi dari pertama datang ke sini. Hanya ada beberapa orang saja yang masih ada di depan mushola yang sedang berbincang-bincang. Di antara mereka, terlihat sangat terpukul dengan kedua kantung mata yang menghitam.
"Aku tidak menyangka Ibu bisa pergi secepat itu." Salah seorang anak muda di sana mulai berbicara pada kedua lawan bicaranya.
Kalimat tersebut yang berhasil menghentikan langkah Anindi untuk memakai sandal.
"Padahal aku sudah berusaha untuk bisa datang tepat waktu, tapi saat itu Ibu juga ternyata harus pergi tepat waktu juga," kata anak muda itu lagi.
Anindi tersentak. Kekhawatirannya memuncak, ia pun sejujurnya belum siap untuk kehilangan sang Ibu jika hal buruk terjadi.
Saat itulah langkah seseorang datang, melewati Anindi dan berkata pelan, "Semua orang yang hidup pasti menemui ajalnya." Tanpa diminta berkata demikian sambil terus berjalan. Anindi membulatkan kedua mata tatkala orang itu adalah lelaki yang tadi sedang menguntai kalimat dzikir di dalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
@ £I£I$ Mυɳҽҽყ☪️
hm.,.. siapa kira kira laki laki itu
apakah jodoh Anindi...?
2022-12-24
1