Sosok Lelaki

Sosok lelaki yang memakai jaket jeans dengan celana robek-robek di bagian lutut pun masuk sambil berkata, "Assalamualaikum." Tanpa canggung dan seolah memang hendak menemui keluarganya.

Anindi tertegun. Melirik ke arah ibunya, lalu ke lelaki itu sesekali.

Lelaki itu kini berada di samping Anindi, tersenyum kecil pada Bu Lia, kemudian berkata, "Maaf, Bu, saya terlambat."

Anindi tersentak. Apa maksudnya?

Bu Lia berusaha mengukir senyum kecil. "Tidak apa-apa, Nak." Pandangan mata wanita paruh baya itu terlihat penuh cinta.

Anindi tersadar. Segera memencet tombol bantuan untuk panggilan ke Dokter atau perawat. Hal lain, nanti dahulu. Ini lebih penting, sekali pun ia sendiri masih belum memahami situasi sekarang.

Lelaki itu melirik Anindi yang berjalan ke samping kanan. Perempuan dengan hijab merah itu tidak bersuara sejak tadi, entah seperti apa perasaannya. "Bagaimana kondisi, Ibu sekarang?" Kembali bertanya seakan mengenal Anindi dan keluarga.

"Sebaiknya Ibu jangan dulu diajak bicara." Anindi cepat menyela. 

Bu Lia hanya tersenyum kecil, memang belum terlalu kuat banyak bicara. 

Tidak berapa lama Dokter dan satu perawat pun datang, memeriksa keadaan Bu Lia dan memastikan jika semuanya berjalan normal.

"Siang nanti, temui saya di ruangan," kata Dokter lelaki kepada Anindi.

Anindi cepat mengangguk. Ia paham maksud Dokter itu. Setelah memeriksa, Dokter dan perawat kembali keluar ruangan. Tinggallah mereka bertiga lagi.

"Ibu, mau makan?" tanya Anindi pada Bu Lia. 

Bu Lia menggelengkan kepala. 

"Mau makan buah?" Anindi kembali menawarkan.

Lagi-lagi Bu Lia pun menggeleng cepat.

"Mungkin Ibu masih belum lapar. Apa Ibu mau bicara sesuatu?" Lelaki itu ikut andil di perbincangan ini. 

Anindi sebenarnya ingin menjelaskan pada sang Ibu, tetapi mengingat pesan Dokter sebelum operasi. Perempuan manis itu pun mengurungkan, lebih baik menunggu waktu. Ini memang salah. Namun, kesehatan ibunya lebih utama sekarang. "Jangan paksa Ibu bicara dulu. Sebaiknya Ibu istirahat saja." 

"Nak." Akhirnya Bu Lia membuka suara pelan. Berhasil menghentikan perdebatan antara Anindi dengan lelaki itu. "Jangan seperti itu ke suamimu." Lagi-lagi ingatan itu yang muncul. 

Anindi terdiam, sedangkan lelaki yang tampak seperti berandalan itu hanya melirik sekilas. "Maaf, Bu." Anindi menunduk, tersedak keadaan yang mengharuskannya mengikuti alur. Padahal ia sama sekali tidak mengenali lelaki yang tingginya lebih dari dirinya itu.

Pandangan Bu Lia terfokus ke lelaki muda tersebut. "Nak, maafkan Anindi, ya. Mungkin dia lupa kalau sudah punya suami."

Anindi menghela napas. 

Lelaki itu tersenyum manis. Meraih tangan kanan Bu Lia dan berkata, "Dia cuma lelah, Bu. Saya paham." Dengan kata-kata manis, menghipnotis Bu Lia.

Mengingat Bu Lia tidak boleh banyak dahulu berbicara untuk pemulihan. Oleh sebab itu, Anindi pun meminta lelaki muda tersebut menunggu di luar. Memberikannya isyarat untuk mengerti. 

Tanpa lama lagi, lelaki itu pun menurut. Keluar tanpa menolak sedikit pun.

Anindi mencium kening sang Ibu, berbisik pelan. "Ibu, istirahat aja, ya. Aku keluar dulu sebentar." Ciuman penuh cinta serta rindu diberikan Anindi sebagai bentuk rasa syukur.

Bu Lia merespons dengan anggukan pelan. Mengerti. 

Anindi dengan sangat terpaksa meninggalkan ibunya sendiri. Ada kepentingan yang harus segera diselesaikan. Ketika keluar dari ruangan, lelaki itu menunggunya di kursi dengan kaki kanan menumpang di kaki kiri. Gayanya seperti berandalan, sedikit menakutkan juga.

"Ada yang mau kamu bicarakan?" Lelaki itu langsung mengangkat kepala, menyadari kedatangan Anindi. Menatap Anindi lekat. "Aku tebak, sih, begitu."

Sontak Anindi langsung mengalihkan pandangan ke sembarang arah, jangan sampai saling menatap. "Aku minta maaf tentang kejadian tadi. Ibu selesai di operasi kepala karena kecelakaan. Dan, Dokter mengatakan kalau Ibu mungkin akan mengalami amnesia. Ingat separuh saja." Anindi menghela napas kasar. Tak menyangka bahwa ingatan yang pertama diingat itu tentang suaminya. 

Lelaki itu mendengarkan tanpa menyela. Melipat kedua tangan di dada sambil menyandarkan punggung ke tembok, sepertinya cerita ini lebih menarik dibandingkan cerita dongeng anak-anak. Sebaiknya didengarkan.

Anindi berdiri tegak. Perlu menjelaskan agar lawan bicaranya bisa memahami. "Tidak disangka kalau Ibu lebih dulu mengingat tentang itu. Setelah keadaan Ibu sudah membaik, aku pastikan untuk menjelaskannya. Sekali lagi, aku ucapkan minta maaf." Anindi sedikit mengangguk sebentar, sebuah tindakan minta maaf yang bukan hanya sekadar kata-kata saja.

Lelaki itu menurunkan kedua tangan. Memahami dengan baik, lalu berkata, "Untuk apa menjelaskan?" Pertanyaan itu lolos tanpa disaring lebih dahulu.

Tentu saja hal ini berhasil membuat kepala Anindi terangkat, kedua bola matanya membulat sempurna. Namun, masih berusaha untuk menghindari pandangan mata dengan lawan bicaranya. "Karena, kita memang bukan suami istri. Lebih tepatnya, kamu bukan suamiku."

"Bagaimana kalau kita jadikan?" Alis kanan lelaki itu terangkat. 

Anindi tersentak. "Maaf, tolong jangan sembarangan berbicara. Kita bukan lagi membahas hal mudah, tapi sensitif."

"Untuk kamu, tapi aku. Tidak!" Lelaki itu tersenyum miring.

Anindi menggelengkan kepala dua kali. Manusia seperti apakah yang sedang berbicara dengannya sekarang? Sulit sekali dipahami.

Lelaki itu mengamati penampilan Anindi. Gamis berwarna biru muda yang menjuntai sampai kaki serta jilbab menutup dada, cukup manis dikenakan. "Aku sudah dengar semua penjelasanmu. Nah, sekarang apa aku bisa mengajukan satu pertanyaan?"

Anindi sempat terdiam, kemudian berkata, "Pertanyaan tentang apa?" Keningnya berkerut kencang.

"Mudah saja." Dua sudut bibir lelaki itu terangkat ke atas membentuk senyuman kecil. "Ke mana suamimu?" 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!