Aku, Kamu, Dan Perjalanan Hidup
"Astagfirullah!" Anindi langsung berdiri ketika mendengar kabar buruk. "Sekarang Ibu kondisinya bagaimana, Tan?"
Beberapa pelanggan mengamati Anindi. Mereka pun ikut terkejut, bahkan salah seorang pelanggan tetap yang juga wanita paruh baya mendekatinya. "Ada apa, Nak?" Kalimat itu yang ditujukan untuk Anindi.
Anindi mendengarkan jawaban dari lawan bicara di sambungan telepon. Seketika langsung menutupnya dengan salam karena sudah cukup.
"Nak, ada apa?" Wanita paruh baya itu masih penasaran. Pasalnya, wajah Anindi tampak pucat dan bercucuran air mata. Siapa yang tak akan panik.
"Maaf, Tan, sepertinya aku harus tutup toko sekarang juga. Ibuku kecelakaan." Suara Anindi tertahan. Tangis itu pun terasa hanya dalam dada.
"Astagfirullah!" Wanita itu terkejut. Tiga orang yang ada di sana pun sama halnya. "Ya sudah, cepat tutup toko dan temui ibumu. Semoga tidak terjadi apa-apa."
Dengan rasa cemas yang mendalam, Anindi cukup menganggukkan kepala pelan. Semua pelanggan keluar dengan tangan kosong. Lebih kasihan pada Anindi yang pastinya sedang khawatir tidak karuan.
Secepat kilat Anindi menutup toko. Sesegera mungkin mengendarai kendaraan beroda dua itu pergi dari area pertokoan yang ada di pusat kota. Tak lupa memakai helm juga membawa tas kecil. Untung saja rumah sakit itu tidak jauh dari sini, sehingga perempuan itu tak terlalu berkendara terlalu lama.
Mengingat ini adalah weekend, volume kendaraan pun semakin meningkat dua kali lipat dari biasanya. Pada akhirnya, Anindi terpaksa menunggu kemacetan yang bahkan susah sekali ditembus oleh roda dua. "Ya Allah, macet banget. Tolong, cepat sedikit. Aku khawatir sama Ibu." Gadis berhijab coklat itu berbicara sendiri.
Sekitar lima belas menit terjebak dengan kemacetan, akhirnya terurai juga. Beberapa kendaraan roda empat di samping kanan dan kiri Anindi sudah lebih dahulu berjalan. Ia sedang menyalakan, tanpa diduga dari belakang sepeda motor berukuran cukup besar menyalip kencang.
"Astagfirullah!" Anindi sempat hilang keseimbangan, matanya menatap lurus ke depan. Melihat pengendara itu yang memakai jaket hitam bergambar tengkorak dengan helm hitam pula. "Dia bisa bikin celaka orang lain."
Suara beberapa klakson motor pun menyapa telinga Anindi.
"Cepet!"
"Jalan!"
"Mbak, cepat!"
Kira-kira seperti itulah sorakan para pengendara dari belakang. Sesegera mungkin Anindi menyalakan motor. Meluncur lagi karena ia pun memiliki kepentingan yang sangat darurat.
Usai melewati perjalanan sekitar sepuluh menit, sampailah Anindi di parkiran rumah sakit. Cepat turun dan masuk ke gedung yang tinggi dan sesak dengan pengunjung tersebut. Satu hal yang harus ia lakukan adalah bertanya dengan ruangan yang sudah diberikan tetangganya tersebut.
"Maaf, Sus, mau tanya, kalau ruangan Mawar no sepuluh di mana, ya?" Anindi menemui salah seorang suster yang sedang bertugas.
"Ruangan mawar ada di lantai dua bagian kanan. Mbak, bisa naik lift ataupun tangga," jawab suster tersebut.
"Terima kasih, Sus." Anindi melempar senyum. Langsung mengarah ke lift. "Rame banget rumah sakit hari ini." Melihat antrean orang yang akan masuk lift membuat Anindi berpikir beberapa kali.
Tidak ingin berlama-lama, Anindi pun memutuskan untuk naik tangga saja. Ini akan mempersingkat waktu agar bisa menemui sang Ibu. Langkahnya cepat, bahkan terlihat sedang berlarian. Anak tangga ini tidak terlalu banyak, sehingga Anindi bisa sampai dalam hitungan dua menit saja di lantai kedua.
Ekor mata Anindi melihat sekeliling. Mengikuti petunjuk arah yang didengarnya tadi, lalu bergerak ke sebuah ruangan kamar yang memang hanya diisi oleh satu orang pasien saja. Bisa dikatakan kelas pertama.
Anindi membuka pintu sambil berkata, "Assalamualaikum." Menggeser pintu yang terbuat dari kayu itu dan langsung mendapati sosok Tante Mina yang kala itu berdiri di samping ranjang. Objek sorot mata Anindi bukan itu, melainkan seseorang yang terbaring lemah dengan beberapa alat rumah sakit seperti alat bantu pernapasan dan juga infusan. "Astagfirullah, Ibu!" Gadis itu masuk tanpa menutup pintu. Menemui malaikatnya.
"Wa'alaikum salam." Tante Mina bahagia. Anindi akhirnya bisa sampai secepat mungkin. Menatap gadis malang yang sudah dianggapnya anak itu. "Nak, yang sabar, ya." Mengelus punggung Anindi perlahan.
Anindi sendiri memegang tangan kanan sang Ibu sambil berkata, "Bu, bangun, Bu! Anindi datang." Suaranya pelan bersama tangis yang tak bisa tertahan. Suara itu menyentuh hati siapa pun yang ada di sana. "Bu, jangan tinggalin Anindi!"
Tante Mina terus saja menenangkan anak tetangganya tersebut. "Nak, ibumu harus dioperasi sesegera mungkin karena terluka di bagian kepala. Maafin Tante karena tadi nggak sempat menarik tangan ibumu pas menyebrang jalan."
Tangis Anindi pecah. Benar-benar hari yang paling buruk. Bahkan dunianya seakan hancur tatkala melihat sosok yang sering tertawa, memasakkan makanan setiap hari, bahkan mengusap punggungnya sehabis berjualan itu kini lemah tak berdaya. "Bu, jangan tinggalin Anindi." Hanya kalimat itu yang dikeluarkan wanita berusia dua puluh enam tahun tersebut.
Bu Mila tak bisa berbuat apa pun. Semua yang menentukan adalah Anindi. Ia hanya menyampaikan apa pun yang dikatakan dokter. "Ibumu pasti sembuh, Nak. Tapi, harus segera ditangani. Kamu bisa menyetujui operasi kalau siap."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
@ £I£I$ Mυɳҽҽყ☪️
sabar annindi ,
2022-12-24
0
@ £I£I$ Mυɳҽҽყ☪️
mampir kak author
2022-12-23
0
Nuriyah
udah ada cerita baru lagi. yg seragam kita sama nggak di lanjut apa ya?
2022-12-23
0