Penyesalan Wanita Kedua

Penyesalan Wanita Kedua

Janji Menikah

Treng. Sebuah pesan masuk ke ponselku.

[Aku sudah diluar. Ditunggu.] pesan dari bang Andre, lelaki yang sudah menjalin hubungan spesial denganku selama tiga bulan belakangan ini.

[Yap. Tunggu sebentar.] Balasku.

Pukul 17.00. Teng go. Aku langsung bangkit, menyambar tas di atas meja kerja yang sudah rapi sejak tiga puluh menit lalu. Hampir enam bulan aku bekerja di perusahaan ini, selama itu baru kali ini aku pulang tepat waktu. Biasanya malah lembur, pulang di atas jam sembilan malam. Makanya, teman-teman satu divisi bertanya-tanya, tumben, tidak seperti biasanya. Ada juga yang mempertanyakan pekerjaanku. Tapi ku tanggapi santai, sesekali nggak salah pulang lebih awal, apalagi sebentar lagi aku akan diangkat jadi karyawan tetap, setelah kontrak enam bulan. Toh semua kewajiban ku hari ini sudah terselesaikan.

Begitu keluar dari gedung tempat aku bekerja, mataku langsung menyapu parkiran yang berada tak jauh dari gedung utama. Di bagian depan, sudah parkir mobil bang Andre. Brio warna silver, plat cantik yang sudah ku hafal.

Pintu terbuka dari dalam saat aku sudah berada di samping mobil. Tak ingin membuang-buang waktu, aku segera masuk.

"Maaf tidak bisa membukakan pintu," ucapnya. Ia melempar senyum.

"Enggak apa-apa. Aku tetap senang kok sebab pada akhirnya Abang mau jemput aku." Kataku.

Sebenarnya ini bukan makan malam pertama kami, tapi ini pertama kalinya ia menjemputku di kantor. Biasanya kami bertemu di restonya langsung. Hari ini, selain makan malam bersama, ia juga janji akan memperkenalkan aku dengan kedua orang tuanya. Sebenarnya harusnya ia berkenalan dulu dengan keluargaku, tapi bang Andre beralasan belum siap menemui orang tuaku, makanya kami mengambil jalan tengah untuk bertemu dengan orang tuanya dulu.

"Orang tua Abang sudah di resto?" Tanyaku, saat mobil melaju.

"Belum." Ia menjawab pendek, sambil tetap fokus nyetir, membelah kota Jakarta yang mulai macet karena padatnya kendaraan lalu lalang. Begitulah kalau berkendara di jam-jam pulang kerja, macet akan jadi salah satu kondisi yang tak bisa terelakkan.

"Ohhh, masih di jalan ya?" aku menebak. Tapi bang Andre tak menjawab. Aku juga tak meminta jawaban darinya sebab tak ingin mengganggu konsentrasinya menyetir.

Lampu merah pertama setelah kantor, harusnya mobil tetap jalan lurus, tapi bang Andre malah berbelok ke kanan. Aku melirik, mencoba menebak akan kemana, sebab resto biasa tempat kami makan lurus dan sepertinya tidak bisa lewat sini.

"Ini bukan jalan ke resto deh," kataku.

"Ya memang bukan." katanya.

"Memang mau kemana?" Aku meliriknya lagi.

"Ke suatu tempat. Sebentar, sebelum makan. Ada yang mau aku tunjukkan."

Ku putuskan untuk diam, mengikuti kemana bang Andre akan membawa. Tebakanku, ada yang ingin dibelinya. Arau sesuatu hal sebab malam ini ia akan mempertemukan aku dengan kedua orang tuanya. Seperti janjinya akhir pekan lalu.

"Bang, yakin, aku nggak apa-apa seperti ini?" Tanyaku, untuk memecah kesunyian.

"Kenapa memangnya?" Kali ini ia yang melirikku.

"Mmmm, pakai baju kerja begini. Mana sudah dipakai ke lapangan juga tadi. Baunya sudah ampun-ampunan. Kecut."

Bang Andre hanya tertawa kecil.

"Aku pulang saja sebentar ya. Atau nanti sebelum ke resto, mampir ke outlet dulu, nyari baju yang cocok. Ya." pintaku. Sempat ku sesali, kenapa tadi pagi tidak sekalian membawa baju ganti ke kantor, mendekati jam pulang aku bisa ganti pakaian di kantor. Tapi karena mengira jarak kantor dan kosanku tidak terlalu jauh, makanya tadi sempat terpikir sebelum pergi mampir ke kosan dulu.

"Psttt, nanti saja nahasnya. Sekarang kita sudah mau sampai." bang Andre membelokkan mobil ke arah apartemen yang cukup mewah di area Jakarta Selatan.

"Mau apa kita ke sini?" Tanyaku, saat kami turun. Tapi bukannya menjawab, ia malah memberi isyarat agar aku ikut saja.

Kamar 547. Berada di lantai empat. Begitu pintunya dibuka, tampaklah satu unit apartemen yang bisa dikatakan cukup besar. Ada ruang tamu yang sangat nyaman dengan furnitur yang mewah, dua kamar tidur, juga dapur yang menyenangkan. Aku yang melihatnya langsung ngiler.

"Punya siapa ini, bang?" Tanyaku, sambil memperhatikan seisinya.

"Punya kamu." katanya.

"Hah, aku? Maksudnya?"

"Ini hadiah untuk kamu. Anggap saja hadiah untuk pernikahan kita. Jadi jangan ditolak lagi seperti sebelum-sebelumnya. Aku ingin kamu tinggal di sini agar aku bisa nyaman mengunjungi kamu. Tahu kan, aku nggak nyaman kalau harus menghampiri ke kosan kamu."

"Maksudnya, aku pindah ke sini?"

"Yap!"

"Nggak nggak nggak. Kalau sekarang enggak. Tapi kalau nanti setelah kita menikah, aku bersedia!"

"Kenapa sih sayang?"

"Ya hidup di apartemen seperti ini sendiri terlalu mengerikan."

"Mengerikan nagai? Kalau kamu butuh apa-apa, nanti aku akan datang. Atau kapan perlu kita tinggal bareng. Bagaimana?"

"Tinggal bareng sebelum menikah?"

"Ya. Kan kita nggak ngapa-ngapain, jadi rasanya enggak apa-apa kan?"

"Nggak nggak bang. Aku nggak mau. Pokoknya kalau mau tinggal bareng nanti kalau sudah menikah. Oke! Sudah, sekarang Abang pegang saja dulu kunci apartemennya, sekarang lebih baik kita pergi karena ...."

Tiba-tiba bang Andre menarik tanganku, ia berusaha memeluk tapi dengan sekuat tenaga ku lepaskan pegangan itu, kami sempat saling tarik dan dorong, hingga akhirnya aku bisa lepas darinya.

"Bang please. Kan sudah ku katakan untuk tidak melakukan apa-apa sampai kita halal!" Aku kembali menegaskan.

"Sekali saja Ra, please." Ia memelas.

"Enggak!"

"Kenapa sih? Kamu nggak cinta ya sama aku?"

"Kata siapa? Aku cinta sama Abang, cinta banget. Abang itu laki-laki asing pertama yang aku sukai."

"Kalau begitu buktikan, Ra!"

"Bukti apa, bang?"

"Kalau kamu memang mencintai aku dan ingin menikah denganku."

"Apa, bang? Enggak. Aku nggak mau melakukan apapun sebelum kita halal, meski itu hanya sebuah ciuman! Ahhhh, harusnya kita nggak ke sini, harusnya kita nggak perlu sering berdua-duaan seperti ini. Sudah, ayo kita pergi, aku nggak mau di sini." Kataku, sambil terus menjaga jarak darinya karena aku tak mau terjadi sesuatu hal yang terlarang.

Dalam kondisi seperti ini aku benar-benar menyesali kenapa juga harus sering bertemu sebelum halal. Namanya setan sangat pintar sekali menggoda manusia, apalagi berdua-duaan seperti ini, sama saja mendekati zina.

"Kenapa sih, Ra? Toh nanti setelah menikah kita juga akan melakukannya. Sama saja, kan?" ungkap bang Andre.

"Kata siapa sama, bang. Kalau Abang nekat melakukan sekarang, sama saja dengan zina, dosa besar bang. Tapi kalau nanti setelah menikah, Abang malah dapat pahala." kataku.

"Ahhh sudahlah, bilang saja kamu tak percaya padaku. Kamu nggak mencintai aku!" Bang Andre ngambek, ia membelakangi aku.

"Maaf ya bang, karena aku sangat mencintai Abang makanya aku ingin kita menjaga diri ini dengan baik agar nanti terasa manis saat kita sudah sama-sama halal." Kataku, sambil berusaha menghadap ke arahnya, tentunya masih dengan menjaga jarak.

"Ya sudahlah, tapi ingat, kalau sudah halal jangan ditahan lagi!' Kami berdua keluar dari kamar apartemen, berjalan beriringan menuju parkiran dalam diam.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!