Aku menarik nafas panjang. Mencoba menahan bulir bening yang pada akhirnya tetap tak tertahankan. Mereka mengalir dengan derasnya tanpa permisi. Ku baringkan tubuh di atas tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan mata yang masih basah. Karena hening, perlahan terdengar suara Isak tangis. Semakin lama semakin tak tertahankan. Ku biarkan saja. Aku benar-benar butuh menangis untuk menumpahkan semua sesak di dada ini. Yang tertahan selama bertahun-tahun.
Kala itu, aku benar-benar butuh kasih sayang Abah. Tetapi, lelaki yang menjadi cinta pertamaku itu tega membuat luka di hati kamu. Lebih memilih pergi bersama perempuan lain. Aku juga sempat merasa sangat cemburu ketika Abah lebih menyayangi Gisel, padahal akulah putrinya yang sah!
Setelah berpisah dengan ibu, Abah benar-benar tak peduli pada kami. Ia ada, tapi seolah tak ada. Tak pernah peduli apakah kami hidup layak atau tidak. Sementara keluarga barunya berlimpah-limpah. Itulah kenapa kala itu aku memutuskan menutup pintu hatiku dari yang namanya cinta. Aku tak percaya jika cinta itu benar-benar ada, yang ku tahu, cinta itu hanyalah rasa sakit. Lelaki yang menjadi cinta pertamaku saja, yang harusnya bertanggung jawab atasku tega menelantarkan kami, apalagi orang lain.
Tapi hidup seperti roda, saat ini, ketika perekonomian kami mulai membaik karena aku telah bekerja, giliran Abah yang kesulitan. Sering ku dengar bagaimana Abah kesusahan memenuhi kebutuhan keluarganya. Tapi aku memilih tak peduli. Tugasku hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan ibu dan tiga adikku. Selama ini ibu yang sudah berjuang untuk kami, sekarang giliranku yang berjuang untuk ibu.
💐💐💐
Pukul tujuh pagi, aku masih santai di atas tempat tidur. Hari ini sudah ku putuskan tidak berangkat kerja. Aku ingin menenangkan diri. Lagipula kalau memaksakan pergi rasanya tak mungkin, mataku sangat bengkak, belum lagi pikiran yang tidak tenang.
[Bang, bisa ketemu nanti?] Aku mengirim pesan pada bang Andre.
[Kenapa sayang? Mau ketemu jam berapa? Jam makan siang atau pulang kerja?] balasnya.
[Terserah. Jam berapa Abang bisa.]
[Lho, kamu enggak kerja?]
[Enggak.]
[Kenapa? Kamu enggak sedang sakit, kan? Semua baik-baik saja kan Yang?]
[Ya.]
[Oke, kita ketemu pagi ini. Sebentar lagi aku meluncur ke kosan kamu. Kalau sudah sampai aku kabari, kamu keluar ya.]
[Abang nggak kerja?]
[Aku izin saja. Nggak tenang kalau kamu kenapa-napa.]
Seperti yang dikatakan bang Andre, empat puluh menit kemudian ia sudah sampai di depan kosanku. Kami keluar bersama.
Mobil bang Andre diparkir di dekat Masjdi Raya Pondok Indah, setelah itu ia mempersilakan aku untuk bicara.
Aku menceritakan semuanya pada bang Andre. Tentang Abah dan bagaimana kehidupan kami saat ditinggal Abah.
"Aku nggak mau semua itu terjadi lagi, bang. Jadi aku mohon, kalau kita sudah menikah, Abang jangan pernah tinggalkan aku ya. Apalagi kalau kita sudah punya anak nanti. Aku nggak mau anak-anak kita seperti aku dimasa kecilnya." kataku.
"Mmmm, tentu saja sayang. Abang sangat mencintai kamu dan Abang nggak akan pernah meninggalkan kamu Ra." bang Andre memberikan tisu padaku.
"Satu hal lagi, kalau kita sudah menikah, aku juga belum bisa melepaskan keluargaku begitu saja. Aku masih ingin menopang perekonomian ibu dan adik-adik, setidaknya sampai Ciya lulus kuliah dan dapat pekerjaan. Sekitar satu tahunan lagi." Kataku. Ini hal yang penting juga untuk dibicarakan sebelum menikah, aku tak mau nanti bang Andre merasa terberat kan dengan tanggung Jawabku sebagai anak sulung yang masih menopang perekonomian keluarga.
"Kalau itu tidak masalah sayang. Kalaupun kamu tidak bekerja, Abang siap menggantikan kamu membiayai ibu dan adik-adik kamu. Abang tak akan keberatan kita share dana kita ke mereka. Toh kalau kita sudah menikah maka orang tua kamu juga jadi orang tua Abang, begitu juga adik-adik kamu akan menjadi adiknya Abang juga."
"Alhamdulillah, makasi banyak ya bang. Sekarang aku sudah lega sebab tak ada lagi yang aku sembunyikan dari Abang. Kalau Abang sendiri bagaimana?" Kini aku yang bertanya. Berharap ia pun terbuka.
Bang Andre tak menjawab, ia menarik nafas dalam.
"Kenapa bang? Ada masalah?" Tanyaku.
"Itu ... orang tua Abang. Papa masuk rumah sakit." Katanya.
"Ya Allah, kenapa bang?"
"Namanya sudah tua, Ra. Ada saja sakitnya. Tapi kata Mama enggak apa-apa."
"Benar nggak apa-apa? Abang nggak perlu ke sana?"
"Enggak Ra. Sekarang masih bisa dijaga Mama."
Rasanya lega setelah kami sama-sama menceritakan kondisi keluarga kami masing-masing. Setidaknya dari cerita bang Andre aku jadi tahu bagaimana orang tuanya. Kecurigaanku juga dapat ku tepis karena ternyata aku tak kunjung dipertemukan karena ayahnya sakit. Suatu kondisi yang bisa aku maklumi.
"Jadi sekarang kita kemana?" Tanya bang Andre.
"Bagaimana kalau ke mall?" aku menunjuk mall yang berada tak jauh dari tempat kami parkir.
"Hah, ke mall itu ya. Bagaimana kalau ke tempat lain?"
"Kenapa?"
"Abang nggak suka ke sana, Ra."
"Sebentar saja, bang. Lagian aku sudah lama sekali tidak ke sana. Ada sesuatu yang ingin aku cari juga."
Sepertinya bang Andre berat untuk menemani, tapi karena aku bersikeras bahkan memintanya mengantarkan saja kalau tidak mau menemani maka aku akan masuk sendiri hingga akhirnya bang Andre memutuskan menemaniku saja sebab ia khawatir dengan kondisiku.
Kami berkeliling sebentar menuju outlet tempatku mencari kebutuhan yang ingin ku beli. Rasanya sudah lama sekali tidak ke sini karena kesibukan kerja, padahal jarak kosanku dengan mall ini tidak terlalu jauh.
Dulu waktu kecil aku sangat ingin main ke mall. Tapi ibu tak pernah bisa membawa kami ke sini selain di hari lebaran sebab ibu punya kesibukan yang cukup padat. Bekerja siang dan malam demi mencukupi biaya hidup empat anaknya. Perlahan memori masa kecil itu muncul di ingatanku. Saat aku menatap bangunan pusat perbelanjaan dari angkot ketika kami menemani ibu bekerja serabutan sebagai tukang cuci ke beberapa rumah.
"Ra, kamu nangis?" tanya bang Andre.
"Hah, eh, enggak kok bang." Aku cepat-cepat menghapus air mata ini.
"Kenapa sayang?"
"Enggak bang, aku ingat masa kecil saja."
"Ya ampun sayang, Abang janji, kalau kita sudah menikah kamu tak akan pernah merasakan kesedihan lagi." Bang Andre mengajakku ke salah satu tempat makan. Ia ingin aku menenangkan diri dulu sebelum lanjut berbelanja.
"Kamu mau makan apa?" Tanya bang Andre.
"Enggak usah, bang. Masih kenyang. Aku minum saja." kataku.
"Ya sudah, Abang pesankan milk shake coklat kesukaan kamu ya." ia memanggil pelayan, memesan dua gelas minuman untukku dan untuk ya. Setelah itu kami kembali bercerita. Sesekali bang Andre menceritakan cerita lucu agar aku tertawa tapi karena ceritanya tidak lucu yang ada malah aku yang melawak sehingga ia yang tertawa terbahak-bahak. "Sepertinya selera humorku payah sekali. Sebelum menikah aku akan latihan melawak agar nanti bisa menghibur kamu, sayang." Katanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments