Treng. Sebuah pesan masuk ke ponselku.
[Aku sudah diluar. Ditunggu.] pesan dari bang Andre, lelaki yang sudah menjalin hubungan spesial denganku selama tiga bulan belakangan ini.
[Yap. Tunggu sebentar.] Balasku.
Pukul 17.00. Teng go. Aku langsung bangkit, menyambar tas di atas meja kerja yang sudah rapi sejak tiga puluh menit lalu. Hampir enam bulan aku bekerja di perusahaan ini, selama itu baru kali ini aku pulang tepat waktu. Biasanya malah lembur, pulang di atas jam sembilan malam. Makanya, teman-teman satu divisi bertanya-tanya, tumben, tidak seperti biasanya. Ada juga yang mempertanyakan pekerjaanku. Tapi ku tanggapi santai, sesekali nggak salah pulang lebih awal, apalagi sebentar lagi aku akan diangkat jadi karyawan tetap, setelah kontrak enam bulan. Toh semua kewajiban ku hari ini sudah terselesaikan.
Begitu keluar dari gedung tempat aku bekerja, mataku langsung menyapu parkiran yang berada tak jauh dari gedung utama. Di bagian depan, sudah parkir mobil bang Andre. Brio warna silver, plat cantik yang sudah ku hafal.
Pintu terbuka dari dalam saat aku sudah berada di samping mobil. Tak ingin membuang-buang waktu, aku segera masuk.
"Maaf tidak bisa membukakan pintu," ucapnya. Ia melempar senyum.
"Enggak apa-apa. Aku tetap senang kok sebab pada akhirnya Abang mau jemput aku." Kataku.
Sebenarnya ini bukan makan malam pertama kami, tapi ini pertama kalinya ia menjemputku di kantor. Biasanya kami bertemu di restonya langsung. Hari ini, selain makan malam bersama, ia juga janji akan memperkenalkan aku dengan kedua orang tuanya. Sebenarnya harusnya ia berkenalan dulu dengan keluargaku, tapi bang Andre beralasan belum siap menemui orang tuaku, makanya kami mengambil jalan tengah untuk bertemu dengan orang tuanya dulu.
"Orang tua Abang sudah di resto?" Tanyaku, saat mobil melaju.
"Belum." Ia menjawab pendek, sambil tetap fokus nyetir, membelah kota Jakarta yang mulai macet karena padatnya kendaraan lalu lalang. Begitulah kalau berkendara di jam-jam pulang kerja, macet akan jadi salah satu kondisi yang tak bisa terelakkan.
"Ohhh, masih di jalan ya?" aku menebak. Tapi bang Andre tak menjawab. Aku juga tak meminta jawaban darinya sebab tak ingin mengganggu konsentrasinya menyetir.
Lampu merah pertama setelah kantor, harusnya mobil tetap jalan lurus, tapi bang Andre malah berbelok ke kanan. Aku melirik, mencoba menebak akan kemana, sebab resto biasa tempat kami makan lurus dan sepertinya tidak bisa lewat sini.
"Ini bukan jalan ke resto deh," kataku.
"Ya memang bukan." katanya.
"Memang mau kemana?" Aku meliriknya lagi.
"Ke suatu tempat. Sebentar, sebelum makan. Ada yang mau aku tunjukkan."
Ku putuskan untuk diam, mengikuti kemana bang Andre akan membawa. Tebakanku, ada yang ingin dibelinya. Arau sesuatu hal sebab malam ini ia akan mempertemukan aku dengan kedua orang tuanya. Seperti janjinya akhir pekan lalu.
"Bang, yakin, aku nggak apa-apa seperti ini?" Tanyaku, untuk memecah kesunyian.
"Kenapa memangnya?" Kali ini ia yang melirikku.
"Mmmm, pakai baju kerja begini. Mana sudah dipakai ke lapangan juga tadi. Baunya sudah ampun-ampunan. Kecut."
Bang Andre hanya tertawa kecil.
"Aku pulang saja sebentar ya. Atau nanti sebelum ke resto, mampir ke outlet dulu, nyari baju yang cocok. Ya." pintaku. Sempat ku sesali, kenapa tadi pagi tidak sekalian membawa baju ganti ke kantor, mendekati jam pulang aku bisa ganti pakaian di kantor. Tapi karena mengira jarak kantor dan kosanku tidak terlalu jauh, makanya tadi sempat terpikir sebelum pergi mampir ke kosan dulu.
"Psttt, nanti saja nahasnya. Sekarang kita sudah mau sampai." bang Andre membelokkan mobil ke arah apartemen yang cukup mewah di area Jakarta Selatan.
"Mau apa kita ke sini?" Tanyaku, saat kami turun. Tapi bukannya menjawab, ia malah memberi isyarat agar aku ikut saja.
Kamar 547. Berada di lantai empat. Begitu pintunya dibuka, tampaklah satu unit apartemen yang bisa dikatakan cukup besar. Ada ruang tamu yang sangat nyaman dengan furnitur yang mewah, dua kamar tidur, juga dapur yang menyenangkan. Aku yang melihatnya langsung ngiler.
"Punya siapa ini, bang?" Tanyaku, sambil memperhatikan seisinya.
"Punya kamu." katanya.
"Hah, aku? Maksudnya?"
"Ini hadiah untuk kamu. Anggap saja hadiah untuk pernikahan kita. Jadi jangan ditolak lagi seperti sebelum-sebelumnya. Aku ingin kamu tinggal di sini agar aku bisa nyaman mengunjungi kamu. Tahu kan, aku nggak nyaman kalau harus menghampiri ke kosan kamu."
"Maksudnya, aku pindah ke sini?"
"Yap!"
"Nggak nggak nggak. Kalau sekarang enggak. Tapi kalau nanti setelah kita menikah, aku bersedia!"
"Kenapa sih sayang?"
"Ya hidup di apartemen seperti ini sendiri terlalu mengerikan."
"Mengerikan nagai? Kalau kamu butuh apa-apa, nanti aku akan datang. Atau kapan perlu kita tinggal bareng. Bagaimana?"
"Tinggal bareng sebelum menikah?"
"Ya. Kan kita nggak ngapa-ngapain, jadi rasanya enggak apa-apa kan?"
"Nggak nggak bang. Aku nggak mau. Pokoknya kalau mau tinggal bareng nanti kalau sudah menikah. Oke! Sudah, sekarang Abang pegang saja dulu kunci apartemennya, sekarang lebih baik kita pergi karena ...."
Tiba-tiba bang Andre menarik tanganku, ia berusaha memeluk tapi dengan sekuat tenaga ku lepaskan pegangan itu, kami sempat saling tarik dan dorong, hingga akhirnya aku bisa lepas darinya.
"Bang please. Kan sudah ku katakan untuk tidak melakukan apa-apa sampai kita halal!" Aku kembali menegaskan.
"Sekali saja Ra, please." Ia memelas.
"Enggak!"
"Kenapa sih? Kamu nggak cinta ya sama aku?"
"Kata siapa? Aku cinta sama Abang, cinta banget. Abang itu laki-laki asing pertama yang aku sukai."
"Kalau begitu buktikan, Ra!"
"Bukti apa, bang?"
"Kalau kamu memang mencintai aku dan ingin menikah denganku."
"Apa, bang? Enggak. Aku nggak mau melakukan apapun sebelum kita halal, meski itu hanya sebuah ciuman! Ahhhh, harusnya kita nggak ke sini, harusnya kita nggak perlu sering berdua-duaan seperti ini. Sudah, ayo kita pergi, aku nggak mau di sini." Kataku, sambil terus menjaga jarak darinya karena aku tak mau terjadi sesuatu hal yang terlarang.
Dalam kondisi seperti ini aku benar-benar menyesali kenapa juga harus sering bertemu sebelum halal. Namanya setan sangat pintar sekali menggoda manusia, apalagi berdua-duaan seperti ini, sama saja mendekati zina.
"Kenapa sih, Ra? Toh nanti setelah menikah kita juga akan melakukannya. Sama saja, kan?" ungkap bang Andre.
"Kata siapa sama, bang. Kalau Abang nekat melakukan sekarang, sama saja dengan zina, dosa besar bang. Tapi kalau nanti setelah menikah, Abang malah dapat pahala." kataku.
"Ahhh sudahlah, bilang saja kamu tak percaya padaku. Kamu nggak mencintai aku!" Bang Andre ngambek, ia membelakangi aku.
"Maaf ya bang, karena aku sangat mencintai Abang makanya aku ingin kita menjaga diri ini dengan baik agar nanti terasa manis saat kita sudah sama-sama halal." Kataku, sambil berusaha menghadap ke arahnya, tentunya masih dengan menjaga jarak.
"Ya sudahlah, tapi ingat, kalau sudah halal jangan ditahan lagi!' Kami berdua keluar dari kamar apartemen, berjalan beriringan menuju parkiran dalam diam.
"Kita makan malamnya berdua saja." Kata bang Andre, saat kami sudah berada di resto.
"Berdua? Orang tua Abang, bagaimana?" Tanyaku.
"Maaf Ya Ra, papa sama Mama masih di Singapura. Belum bisa pulang karena masih ada urusan penting."
"Oh,"
"Kamu marah?"
"Kecewa. Kenapa Abang nggak bilang sejak tadi. Harusnya kita enggak usah ke sini kalau ternyata orang tua Abang nggak datang. Aku juga nggak akan se-nervous ini. Aku kira memang bakalan ketemu." Jujur aku memang sangat kecewa ketika diberitahu orang tuanya tak akan datang, apalagi ia sudah berjanji sebelumnya.
"Maaf ya Ra. Aku tahu, kalau aku beritahu di awal kamu pasti nggak akan mau keluar padahal aku sudah sangat rindu sama kamu, Ra."
Aku masih diam. Akhir pekan lalu aku memang membuat kesepakatan dengannya tak ingin keluar berduaan lagi sebelum kami benar-benar menikah. Aku tak ingin terus berlarut-larit dalam hubungan yang tak jelas. Kami memang baru tiga bulan menjalin hubungan serius, namun sudah saling kenal sejak enam bulan lalu. Menurutku itu sudah lebih dari cukup untuk tahu satu sama lain.
Nasihat ibu sebelum aku izin pamit ke Jakarta adalah agar menjaga diri sebaik-baiknya. Tetap menjaga pergaulan, apalagi dengan latar belakang keluarga yang cukup kental ilmu keagamaannya. Sejak kecil, di keluarga kami ada aturan pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Tidak boleh pacaran, berteman saja harus menjaga diri dengan baik.
Tapi setelah bertemu dengan bang Andre, semua aturan yang ditetapkan ibu ku langgar semuanya. Tidak lagi mengenakan kerudung panjang, selama tiga bulan lalu intens keluar berduaan dengan bang Andre. Sekarang aku menyadarinya, makanya mempertegas padanya..sejak awal menjalin hubungan, kami sudah sama-sama serius, ingin ke jenjang pernikahan. Sebab usia bang Andre bukan lagi untuk main-main, ia sudah tiga puluhan tahun, sementara aku baru dua puluh dua tahun. Tetapi, akhir-akhir ini, setiap aku menuntut keseriusan, ia selalu seolah mengulur-ulur waktu. Makanya aku mempertegas tidak ketemu dulu sampai kami bisa membuat keputusan berarti.
"Kita pulang saja, bang," kataku.
"Tapi Tak," bang Andre berusaha menahan agar aku tak pergi. "Baiklah, bagaimana kalau akhir pekan nanti aku ketemu dengan keluarga kamu."
"Maksudnya?"
"Ya, saat ini aku belum bisa mempertemukan kamu dengan orang tuaku. Bukan karena aku nggak mau, Ra. Tapi ada permasalahan keluarga yang belum bisa aku share. Tapi aku benar-benar serius sama kamu, Ra. Aku ingin menikah denganmu. Sebagai buktinya, aku akan menemui kedua orang tuamu. Bagaimana?"
"Abang serius?"
"Ya. Sama seriusnya seperti aku ingin menikah denganmu."
"Lalu bagaimana kalau Abah dan ibuku menuntut Abang untuk menikahi ku karena di keluargaku, sudah ku cerita berulang kali kalau kami tak pernah berpacaran. Menjalin hubungan ya untuk serius menikah."
"Aku siap, Ra."
"Sungguh?" mataku langsung berbinar saat ia mengangguk. "Alhamdulillah, terimakasih bang sudah serius sama Tira." kataku, penuh haru. Kegalauanku selama tiga bulan ini akhirnya akan menemukan jalan keluarnya. Aku bisa tenang sekarang sebab tak lagi harus menanggung beban saat ibu mempertanyakan lelaki yang dekat denganku.
"Tapi ada sesuatu yang ingin aku sampaikan, Ra."
"Apa bang?"
"Mmm, kalau menikahnya siri dulu bagaimana?"
"Lho, kenapa bang?"
"Kamu tahu kan, Abang masih terikat kontrak dengan kantor. Abang belum menyelesaikan S2 Abang, juga masih banyak tugas yang terbengkalai. Dalam kontraknya disebutkan tidak boleh menikah dulu hingga semua kewajiban Abang terselesaikan. Begitu Ra."
"Begitu ya," aku mencoba berpikir, bagaimana menjelaskan nanti pada Abah dan ibu. Mengingat ini hal yang cukup sensitif juga. Menikah siri bukan perkara yang enteng di keluargaku. Rasa-rasanya akan ada perdebatan keras nantinya. Tapi apa mau dikata, dari pada tidak menikah. "Benar tidak ada jalan keluar lagi, bang?"
"Ya, benar Ra."
"Duh, bagaimana ya? Abang masih ingat kan cerita tentang Abah dan ibu. Aku takut mereka keberatan."
"Enggak lama kokkl Ra, paling lama enam bulanan. Aku akan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan semuanya. Kamu percayakan, apalagi kalau sudah ada istri, pasti aku akan lebih semangat lagi."
"Masalahnya, aku tak yakin Abah dan ibu akan Nerima saja."
"Kalau begitu kita bujuk sama-sama. Kalau siri, aku siap menikah secepatnya. Besok pas ketemu juga siap!"
"Ya sudah, kita lihat nanti saja. Semoga saja Abah dan ibu enggak keberatan." kami mengganti pembicaraan dengan cerita lain yang lebih ringan agar tak terlalu pusing memikirkan tentang rencana pernikahan ini.
💐💐💐
Usai makan malam, bang Andre mengantarkan sampai ke depan kosan. Seperti biasanya, ia tidak turun. Aku tak masalah sebab malam semakin larut, masih ada pekerjaan yang harus aku kerjakan juga untuk besok pagi.
"Tira!" Seseorang memanggilku.
Mbak Dila. Ia masih ada hubungan kerabat denganku. Juga bekerja di Jakarta. Kami satu kosan sebab kantor kami berdekatan. Padanya juga ibu menitipkan aku.
"Eh mbak, belum tidur?" Tanyaku, yang hendak masuk ke kamar.
"Kamu masih ketemuan dengannya?" mbak Dila menghampiriku.
"Mau membahas persiapan ketemu Abah, mbak." kataku.
"O, tapi baiknya jangan sampai malam-malam seperti ini, Ra. Ngomongnya juga kan bisa dikosan. Sudah berapa lama kalian dekat, tapi sampai sekarang kamu belum mengenalkannya dengan kami. Wajahnya saja bagaimana mbak nggak tahu, hanya lihat dari foto yang kamu kasih."
"Tadi makan malam dulu, mbak. Terus kemalaman karena banyak yang harus diomongin. Nanti sekalian ketemu sama Abah dan ibu, sekalian aku kenalin sama keluarga, mbak. Kalau sekarang kan enggak enak."
"Ya emang nggak enak, Ra. Makanya harus dihalalkan cepat."
"Iya mbak, doain ya. Ini sedang menuju proses pernikahan."
"Ra, mbak nggak masalah kamu mau ngapain saja, tapi ingat, kita ini keluarga besarnya kebanyakan di pesantren. Tetua kita juga yang punya pondok. Harus baik-baik jaga nama baik keluarga ya. Jangan sampai karena kesenangan sesaat, semua kena getahnya. Setan itu pinter sekali mempengaruhi manusia, dia nggak akan bosan menggoda sampai tujuannya tercapai. Amit-amit jangan sampai tergelincir deh Ra."
"Iya mbak. Tira tahu." Hal itulah yang membuatku akhirnya memutuskan untuk break dulu dari bang Andre. Memberinya waktu untuk mempersiapkan diri dengan pernikahan karena itu yang ingin aku capai jika menjalin hubungan dengan laki-laki.
"Tahu tapi juga harus diingat dan diterapkan di manapun berada ya. Jangan nyari enaknya saja. Memang urusan hati itu kadang melenakan. Kasihan ibu kamu, Ra. Kamu juga punya adik-adik. Kalau kamu punya aib, mereka juga akan kecipratan kena buruknya. Ingat itu baik-baik!"
Aku mengangguk. Lalu pamit masuk ke kamar karena masih banyak yang harus diselesaikan.
Terlambat. Aku benar-benar terlambat. Bangun kesiangan. Jam tujuh, tanpa mandi pagi, buru-buru ke kantor yang hanya berjarak lima menit kalau jalan kaki. Semuanya karena ibu yang semalam nelfon cukup lama. Tiga jam, sampai telinga rasanya panas. Rekor.
Tentunya setelah mendengar laporan dari mbak Dila, ibu kembali mewanti-wanti agar aku menjaga diri dengan baik. Tidak keluar sampai malam, apalagi dengan laki-laki asing, meski sudah kenal. Petuah-petuah lalu terus diulangi ibu, entah sudah berapa kali. Aku paham, ibu sangat khawatir, bahkan ibu sampai memintaku tinggal di rumah saja. Bolak-balik kalau kerja, dari Depok ke Jakarta.
Sebenarnya kerja pulang pergi area Jabodetabek itu biasa. Banyak yang melakoninya, termasuk karyawan di kantorku. Tapi karena kesibukanku, ditambah aku yang termasuk gampang lelah, akhirnya memilih untuk ngekos. Biasanya pulang sekali sebulan, atau kalau ada hal mendesak bisa pulang kapanpun. Untungnya gajiki cukup besar, sebagai fresh graduate, bisa masuk ke perusahaan sebenefit ini adalah keberuntungan yang patut aku syukuri. Tak perlu menjadi job seeker karena pertama kali melamar di perusahaan yang jadi incaran ku langsung diterima meski harus melewati enam bulan masa kontrak sebelum menjadi pegawai tetap. Tapi meski begitu harus tetap bersyukur karena gajinya yang bisa dikatakan cukup besar, mencapai dua digit. Tentunya dengan job desk yang juga tidak main-main.
Jam tujuh tiga puluh. Dua orang rekanku yang akan sama-sama berangkat marah sebab aku sangat-sangat molor.
"Maaf, semalam tidurnya kemalaman, nyelesaiin laporan dulu." Kataku.
"Ampun Ra, besok-besok jangan begini lagi. Capek tahu nungguinnya..semoga saja kita enggak telat. Acara dimulai jam delapan, kalau dapat giliran pertama habislah kita!" mereka memarahiku. Aku menerimanya sebab ini adalah kesalahanku. Akhirnya sepanjang perjalanan aku lebih banyak diam, Sementara mereka berdua terus ngedumel.
💐💐💐
"Tira Pratiwi?" tiba-tiba seseorang berlari ke arahku, seorang laki-laki muda memakai jas hitam. Aku yang baru keluar dari kamar mandi hanya diam mematung melihatnya. "Kamu Tita Pratiwi, kan? Yang tadi presentasi, yang memang tender?"
"Ya," aku menjawab singkat.
"Oke, perkenalkan, nama saya Saka Prasetyo. Saya direktur sekaligus pemilik perusahaan IT juga. Namanya S IT. Kamu tahu perusahaan saya?"
Aku menggeleng.
"Oh, tidak apa-apa kalau tidak tahu." dia melempar senyum kaku.
"Jadi, saya permisi dulu, sudah ditunggu teman saya." Kataku, sambil melirik ke arah luar, khawatir dicari kedua rekanku karena terlalu lama sebab tadi pamitnya cuma sebentar.
"Sebentar mbak Tira. Jadi, maksud saya ingin menawarkan mbak pekerja di perusahaan saya. Bagaimana, mbak bersedia?"
"Kerja? Oh, maaf, saya sudah nyaman dengan pekerjaan yang saya miliki.
"Kami sanggup memberikan lebih dari apa yang sudah mbak dapatkan dari perusahaan sekarang. Bagaimana?"
"Kayaknya enggak dulu, pak. Maaf, saya pamit dulu."
"Tidak apa-apa kalau mbak belum bisa memutuskan sekarang. Tapi saya akan tunggu kabar baik dari mbak." Dia memberikan selembar kartu namanya. "Kami tunggu kabar baik dari mbak ya. Kalau mbak mau bergabung maka saya jamin mbak akan mendapatkan yang lebih dan mbak nggak perlu lagi mengikuti tes apalagi kontrak. Langsung menjadi pegawai tetap!"
"Ya. Terimakasih." Aku langsung menyambar kartu nama miliknya, lalu berlalu menuju teman-temanku. Untungnya aku berhasil memenangkan tender besar ini sehingga mereka tak lagi ngedumel sebab tanpa peranku tadi mereka akan kehilangan kesempatan besar ini.
💐💐💐
Pukul delapan malam, aku baru saja selesai bebersih setelah pulang dari kantor. Rasanya ingin segera istirahat setelah lelah seharian dengan komputer. Tapi tiba-tiba ibu mengirimkan pesan setelah beberapa kali telfonnya tidak terangkat.
[Maaf Bu, tadi Tira masih di kantor.] Kataku.
[Ra, ibu cuma mau mengingatkan kamu agar jangan lupa menghubungi Abah kamu. Kabari tentang rencana kedatangan teman kamu akhir pekan nanti. Jangan sampai dia salah paham lagi, terus akhirnya ngambek. Bagaimana pun dia yang akan menjadi wali nikah kamu nantinya, jadi jaga hubungan dengan baik.] balas ibu.
[Ya Bu, Tira lagi ngumpulin energi buat ngomong sama Abah.]
[Ya sudah..kalau sudah selesai segera istirahat, jangan terlalu banyak begadang, ibu perhatian kamu terlalu lelah kerjanya. Pergi pagi pulang malam. Jangan banyak pikiran juga, Ra. Kamu jauh dari ibu. Apapun yang dikatakan abahmu nanti, iyakan saja, jangan dimasukkan hati. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri saja.]
[Namanya juga nyari uang, Bu.]
[Ya. Ibu istirahat dulu ya.] ibu menutup pembicaraan kami.
💐💐💐
Tira mau bicara sama Abah. Begitu pesan yang ku kirim pada ponsel Abah. Tak lama ada balasan agar aku menghubungi ibu Retno, istri baru ayah. Tentu saja aku tak mau, kenapa juga harus menghubungi orang lain padahal yang akan kita hubungi adalah orang tua sendiri.
"Kamu itu, disuruh menghubungi ibumu susah sekali." suara abah dari seberang sana.
"Tira mau ngomong sama Abah kok, bukan yang lain." jawabku. Jengkel juga terus dipaksakan kehendaknya.
Abah dan ibu sudah berpisah semenjak aku masih duduk di bangku Tsanawiyah. Kala itu ibu sedang mengandung Kiki, adikku paling bungsu. Entah apa alasannya, ibu tak pernah mau membukanya, meski pada keluarganya sendiri. Ibu selalu menutup rapat aib Abah, tapi bagaimanapun kita berusaha menyembunyikan bangkai, suatu saat pasti akan tercium juga.
Tebakanku dan orang-orang karena Abah berselingkuh dengan Tante Utami, perempuan yang kini menjadi istri Abah. Setelah menikah, mereka punya seorang anak laki-laki bernama Alfi setelah sebelumnya Tante Utami punya putri yang jarak usianya tak terpaut jauh dariku, yaitu Gisel. Ia sendiri juga tidak diketahui siapa ayahnya. Ada yang menebak kalau gadis itu juga anaknya Abah. Entah itu benar atau tidak, aku berusaha kuat menahan diri tidak ingin tahu segalanya tentang Abah karena semakin aku mencari tahu, rasa sakitlah yang ku dapatkan.
Aku menjelaskan secara singkat pada Abah tentang rencana kedatangan bang Andre. Seperti dugaanku, Abah tak suka jika aku menyampaikan lewat telepon, aku dikatakan tidak sopan, tidak menghargai Abah. Abah juga tidak mau jika pertemuan di rumah ibu karena bagaimanapun Abah adalah ayahku, maka kalau ada apa-apa, apalagi menyangkut masa depan, maka lelaki itu harus dibawa ke rumah Abah. Tapi aku kembali berkilah tentang waktu yang terbatas dan juga semuanya sudah terlanjur direncanakan.
"Baiklah, tapi berikutnya kalian yang harus mengikuti keputusan Abah. Itupun kalau kalian mau Abah yang menikahkan kalian. Ingat ya Tira, Abah tidak akan mewakilkan perwalian Abah pada kalian. Kamu dan ketiga adikmu masih sangat membutuhkan Abah, jadi kalian jangan macam-macam. Jangan terlalu mau disetir ibu kalian. Bagaimanapun Abah lah ayah kalian..ngerti kan kalian..bilang juga sama Ciya, Elis dan Kiki. Anak perempuan kok tidak ada halus-halusnya sama bapaknya sendiri. Baru segitu sudah sangat sombong!" Tegas Abah sebelum menutup telepon.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!