"Kita makan malamnya berdua saja." Kata bang Andre, saat kami sudah berada di resto.
"Berdua? Orang tua Abang, bagaimana?" Tanyaku.
"Maaf Ya Ra, papa sama Mama masih di Singapura. Belum bisa pulang karena masih ada urusan penting."
"Oh,"
"Kamu marah?"
"Kecewa. Kenapa Abang nggak bilang sejak tadi. Harusnya kita enggak usah ke sini kalau ternyata orang tua Abang nggak datang. Aku juga nggak akan se-nervous ini. Aku kira memang bakalan ketemu." Jujur aku memang sangat kecewa ketika diberitahu orang tuanya tak akan datang, apalagi ia sudah berjanji sebelumnya.
"Maaf ya Ra. Aku tahu, kalau aku beritahu di awal kamu pasti nggak akan mau keluar padahal aku sudah sangat rindu sama kamu, Ra."
Aku masih diam. Akhir pekan lalu aku memang membuat kesepakatan dengannya tak ingin keluar berduaan lagi sebelum kami benar-benar menikah. Aku tak ingin terus berlarut-larit dalam hubungan yang tak jelas. Kami memang baru tiga bulan menjalin hubungan serius, namun sudah saling kenal sejak enam bulan lalu. Menurutku itu sudah lebih dari cukup untuk tahu satu sama lain.
Nasihat ibu sebelum aku izin pamit ke Jakarta adalah agar menjaga diri sebaik-baiknya. Tetap menjaga pergaulan, apalagi dengan latar belakang keluarga yang cukup kental ilmu keagamaannya. Sejak kecil, di keluarga kami ada aturan pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Tidak boleh pacaran, berteman saja harus menjaga diri dengan baik.
Tapi setelah bertemu dengan bang Andre, semua aturan yang ditetapkan ibu ku langgar semuanya. Tidak lagi mengenakan kerudung panjang, selama tiga bulan lalu intens keluar berduaan dengan bang Andre. Sekarang aku menyadarinya, makanya mempertegas padanya..sejak awal menjalin hubungan, kami sudah sama-sama serius, ingin ke jenjang pernikahan. Sebab usia bang Andre bukan lagi untuk main-main, ia sudah tiga puluhan tahun, sementara aku baru dua puluh dua tahun. Tetapi, akhir-akhir ini, setiap aku menuntut keseriusan, ia selalu seolah mengulur-ulur waktu. Makanya aku mempertegas tidak ketemu dulu sampai kami bisa membuat keputusan berarti.
"Kita pulang saja, bang," kataku.
"Tapi Tak," bang Andre berusaha menahan agar aku tak pergi. "Baiklah, bagaimana kalau akhir pekan nanti aku ketemu dengan keluarga kamu."
"Maksudnya?"
"Ya, saat ini aku belum bisa mempertemukan kamu dengan orang tuaku. Bukan karena aku nggak mau, Ra. Tapi ada permasalahan keluarga yang belum bisa aku share. Tapi aku benar-benar serius sama kamu, Ra. Aku ingin menikah denganmu. Sebagai buktinya, aku akan menemui kedua orang tuamu. Bagaimana?"
"Abang serius?"
"Ya. Sama seriusnya seperti aku ingin menikah denganmu."
"Lalu bagaimana kalau Abah dan ibuku menuntut Abang untuk menikahi ku karena di keluargaku, sudah ku cerita berulang kali kalau kami tak pernah berpacaran. Menjalin hubungan ya untuk serius menikah."
"Aku siap, Ra."
"Sungguh?" mataku langsung berbinar saat ia mengangguk. "Alhamdulillah, terimakasih bang sudah serius sama Tira." kataku, penuh haru. Kegalauanku selama tiga bulan ini akhirnya akan menemukan jalan keluarnya. Aku bisa tenang sekarang sebab tak lagi harus menanggung beban saat ibu mempertanyakan lelaki yang dekat denganku.
"Tapi ada sesuatu yang ingin aku sampaikan, Ra."
"Apa bang?"
"Mmm, kalau menikahnya siri dulu bagaimana?"
"Lho, kenapa bang?"
"Kamu tahu kan, Abang masih terikat kontrak dengan kantor. Abang belum menyelesaikan S2 Abang, juga masih banyak tugas yang terbengkalai. Dalam kontraknya disebutkan tidak boleh menikah dulu hingga semua kewajiban Abang terselesaikan. Begitu Ra."
"Begitu ya," aku mencoba berpikir, bagaimana menjelaskan nanti pada Abah dan ibu. Mengingat ini hal yang cukup sensitif juga. Menikah siri bukan perkara yang enteng di keluargaku. Rasa-rasanya akan ada perdebatan keras nantinya. Tapi apa mau dikata, dari pada tidak menikah. "Benar tidak ada jalan keluar lagi, bang?"
"Ya, benar Ra."
"Duh, bagaimana ya? Abang masih ingat kan cerita tentang Abah dan ibu. Aku takut mereka keberatan."
"Enggak lama kokkl Ra, paling lama enam bulanan. Aku akan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan semuanya. Kamu percayakan, apalagi kalau sudah ada istri, pasti aku akan lebih semangat lagi."
"Masalahnya, aku tak yakin Abah dan ibu akan Nerima saja."
"Kalau begitu kita bujuk sama-sama. Kalau siri, aku siap menikah secepatnya. Besok pas ketemu juga siap!"
"Ya sudah, kita lihat nanti saja. Semoga saja Abah dan ibu enggak keberatan." kami mengganti pembicaraan dengan cerita lain yang lebih ringan agar tak terlalu pusing memikirkan tentang rencana pernikahan ini.
💐💐💐
Usai makan malam, bang Andre mengantarkan sampai ke depan kosan. Seperti biasanya, ia tidak turun. Aku tak masalah sebab malam semakin larut, masih ada pekerjaan yang harus aku kerjakan juga untuk besok pagi.
"Tira!" Seseorang memanggilku.
Mbak Dila. Ia masih ada hubungan kerabat denganku. Juga bekerja di Jakarta. Kami satu kosan sebab kantor kami berdekatan. Padanya juga ibu menitipkan aku.
"Eh mbak, belum tidur?" Tanyaku, yang hendak masuk ke kamar.
"Kamu masih ketemuan dengannya?" mbak Dila menghampiriku.
"Mau membahas persiapan ketemu Abah, mbak." kataku.
"O, tapi baiknya jangan sampai malam-malam seperti ini, Ra. Ngomongnya juga kan bisa dikosan. Sudah berapa lama kalian dekat, tapi sampai sekarang kamu belum mengenalkannya dengan kami. Wajahnya saja bagaimana mbak nggak tahu, hanya lihat dari foto yang kamu kasih."
"Tadi makan malam dulu, mbak. Terus kemalaman karena banyak yang harus diomongin. Nanti sekalian ketemu sama Abah dan ibu, sekalian aku kenalin sama keluarga, mbak. Kalau sekarang kan enggak enak."
"Ya emang nggak enak, Ra. Makanya harus dihalalkan cepat."
"Iya mbak, doain ya. Ini sedang menuju proses pernikahan."
"Ra, mbak nggak masalah kamu mau ngapain saja, tapi ingat, kita ini keluarga besarnya kebanyakan di pesantren. Tetua kita juga yang punya pondok. Harus baik-baik jaga nama baik keluarga ya. Jangan sampai karena kesenangan sesaat, semua kena getahnya. Setan itu pinter sekali mempengaruhi manusia, dia nggak akan bosan menggoda sampai tujuannya tercapai. Amit-amit jangan sampai tergelincir deh Ra."
"Iya mbak. Tira tahu." Hal itulah yang membuatku akhirnya memutuskan untuk break dulu dari bang Andre. Memberinya waktu untuk mempersiapkan diri dengan pernikahan karena itu yang ingin aku capai jika menjalin hubungan dengan laki-laki.
"Tahu tapi juga harus diingat dan diterapkan di manapun berada ya. Jangan nyari enaknya saja. Memang urusan hati itu kadang melenakan. Kasihan ibu kamu, Ra. Kamu juga punya adik-adik. Kalau kamu punya aib, mereka juga akan kecipratan kena buruknya. Ingat itu baik-baik!"
Aku mengangguk. Lalu pamit masuk ke kamar karena masih banyak yang harus diselesaikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments