"Kak, aku tahu, saat ini mereka memang sangat membutuhkan sosok ayah, tapi aku belum siap untuk menjalin hubungan dengan orang lain dulu, apa lagi orang itu kakak,"
Sila benar-benar belum siap untuk memiliki pasangan lagi. 3 tahun berlalu, bahkan itu tidak merubah kenyataan bahwa ia masih sangat mencintai suaminya, Andra. Melupakan sosok Andra tidak semudah membalikkan telapak tangan.
"Kenapa? apa karena aku pernah menjadi seorang playboy?"
"Bukan,"
"Karena aku mantan suami sahabatmu?"
"Bukan,"
"Karena aku kakak dari suamimu?"
"Itu salah satunya, intinya aku masih ingin sendiri, Kak." Sila duduk di kursi tempatnya bersantai saat bersama Andra.
"Kamu tidak merasa iba dengan Alana dan Alandra? Kalau memang kita tidak bisa menjalani pernikahan seperti pada umumnya, kita bisa pura-pura kan di depan anak-anak. Ikatan pernikahan memungkinkan aku untuk bisa menjaga mereka 24 jam, Sila," Andre berusaha membujuk Sila untuk mau menikah dengannya.
"Berikan aku waktu untuk berpikir, Kak. Aku pasti akan memberikan jawaban untuk kakak." Sila merebahkan kepalanya ke ujung sofa. Wanita itu menghirup dan menghembuskan nafas perlahan. Ia memejamkan matanya.
Ia masih ingin mencari bukti kebenaran tentang firasatnya pada Dewa. Meskipun kemungkinannya kecil, tapi Sila ingin meyakinkan dirinya, apakah ia benar ataupun salah.
Menikah untuk anak-anak memang sepertinya sebuah ide yang bagus.Tapi sebelum hatinya tenang karena kepergian Andra, Sila tidak bisa mengambil keputusan sedalam itu.
"Baiklah, aku pergi dulu. Kamu pertimbangkan saja apa yang akan kamu pilih. Jangan terpaksa, aku menghargai apapun pilihanmu," Andre melangkahkan kakinya menjauh. Meskipun mata Sila terpejam, ia mendengar suara langkah Andre menuruni tangga.
Sila mengambil ponselnya dari tas, ia menghubungi sekertarisnya. Ia ingin menjalin keakraban dengan Dewa, agar ia dapat mengetahui identitas Dewa yang sebenarnya.
"Atur acara makan malam dengan Dewa, CEO Robin Group," Sila memerintahkan sekertarisnya untuk mengatur acara makan malam dengan Dewa.
Besar harapannya, Dewa adalah Andra. Meskipun selebihnya Sila tahu, ia harus siap kecewa saat harus mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Tapi tetap saja ia berusaha menepis semua itu, ia menguatkan hatinya bahwa Dewa kemungkinan besar adalah Andra.
Malam harinya, di Kafe Floresta...
Seperti biasa, Sila datang terlebih dahulu. Ia menunggu dan reservasi sebuah meja untuk acara makan malam itu. Sebenarnya ia sedilit ragu untuk melakukan semua ini, ia takut Dewa merasa tidak nyaman dan membuat hubungan kerja sama mereka jadi tidak nyaman.
Dari kejauhan, tampak Dewa datang, berjalan dengan gaya keren ke arah meja yang di pesan khusus oleh Sila. Pria itu memakai kemeja putih dan celana yang serangam. Sila takjub dan hampir tidak berkedip melihatnya. Rasa rindunya terhadap Andra membuatnya ingin memeluk pria itu. Tapi ia sadar, bagaimanapun, yang di hadapannya itu bukanlah Andra, setidaknya lelaki itu tidak ingin di sebut sebagai Andra.
"Selamat malam, Dewa," Sila menyapa terlebih dahulu sambil melemparkan senyuman pada pria itu.
"Malam, Sila, maaf membuatmu menunggu,"
"Santai saja, aku sengaja datang lebih awal,"
"Wah, luar biasa. Jarang sekali wanita yang mau menunggu," Dewa mengambil tempat duduknya.
"Maaf, Dewa. Kalau makan malam ini terkesan mendadak. Aku hanya ingin memberikan kejutan selamat datang untukmu," Sila berbasa-basi sedikit, agar pertemuan mereka terkesan karena kerjasama perusahaan.
"Tidak masalah, lagipula aku juga ada waktu senggang. Aku justru sangat senang dengan apresiasimu terhadap kerjasama kita." Dewa menatap Sila dengan tatapan teduh. Tatapan yang juga dimiliki oleh Andra.
"Syukurlah. Aku sangat senang karena kamu mau menerima undanganku," Sila tersenyum lagi ke arah Dewa, pria itu membalas senyuman Dewa.
"Undangan dari pemilik perusahaan besar, bagaimana aku bisa menolaknya," Dewa merendah, lagi-lagi gayanya ini mengingatkan Sila pada sosok Andra.
"Jangan merendah, aku sebelumnya juga bukan siapa-siapa. Aku hanya sedang menggantikan suamiku memimpin perusahaan," Sila sengaja berkata jujur, untuk memancing perhatian Dewa.
"Menggantikan suami? memangnya kemana suamimu? ke luar kota? atau luar negeri?" Dewa tampak penasaran, tapi masih tampak sangat wajar.
"Suamiku tidak sedang bepergian kemanapun, dia hilang. Meskipun semua orang mengklaim dia mati, tapi aku yakin, dia masih hidup, Dewa." Tanpa sadar, Sila justru mencurahkan perasaannya.
"Hilang? bagaimana bisa suamimu itu hilang? Maaf, aku jadi ikut campur urusan rumah tanggamu," Dewa mulai menyelidik, tentang cerita di balik hilangnya suami Sila.
"Dia hilang begitu saja, karena orang-orang hanya menemukan barang-barangnya, utuh." Air mata sila jatuh, trenyuh bagi wanita dua anak itu mengenang kepergian suaminya yang misterius.
Spontan, Dewa mengambil tisu dan menyeka air mata Sila, membuat wanita itu tertegun. Tanpa sengaja mata mereka saling bertatapan. Menyadari itu, Dewa segera mengakhiri aktivitasnya menyeka air mata Sila.
"Maaf aku tidak bermaksud untuk tidak sopan, aku hanya reflek, aku tidak bisa melihat wanita menangis," Dewa memperbaiki posisi duduknya, ia merasa tidak enak dan takut Sila salah tanggap terhadap sikapnya.
"Tidak masalah, aku merasa tersentuh dengan sikapmu, Dewa. Aku merasa kamu sangat mirip dengan suamiku. Maaf, kalau pernyataanku membuat kamu menjadi tidak nyaman," Saat itu, sila memang benar-benar tersentuh dengan sikap Dewa.
"Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku merasakan betapa sayangnya kamu dengan suamimu, semoga suamimu cepat di temukan ya," Dewa memberikan dukungannya pada Sila. Batin Sila terasa sesak, seandainya saja Dewa adalah Andra, ia berharap Dewa segera menyadari siapa dirinya sesungguhnya.
"Pasti istrimu bahagia, punya suami sebaik kamu,"
Sila sengaja berkata seperti itu, untuk menyelidiki apakah Dewa sudah menikah atau lajang. Kalau ternyata lelaki itu telah menikah, Sila akan terima. Meakipun Dewa adalah Andra, ia tidak akan lagi mengusik hidupnya.
"Istri?"
"Ya, istri."
"Aku belum menikah, Sila."
"Maaf, aku kira kira kamu sudah menikah,"
"Nggak apa-apa, santai saja."
Sila merasa lega karena Dewa belum menikah. Ia mungkin masih punya sedikit harapan untuk memiliki lelaki itu, jika dia benar Andra.
"Sekali lagi, maaf Dewa. Mari kita mulai makan saja, semuanya sudah di siapkan,"
Pelayan baru saja selesai menyiapkan menu pesanan Sila. Mereka berdua memutus obrolan mereka sejenak dan memulai makan malamnya. Sila merasa seperti sedang bernostalgia, di mana saat-saat awal ia bertemu dengan Andra di meja yang sama beberapa tahun lalu. Saat mereka berdua mengawali perjodohan konyol itu.
Masih membekas dalam ingatannya, bagaimana ia terkejut saat melihat wajah Andra hari itu. Bagaimana ia terharu saat Lelaki itu menyematkan cincin berlian ke tangannya.
Setiap tingkahnya yang sopan dan penuh perhatian, begitu mampu menyita perhatian Sila. Kesabarannya juga mampu meluluhkan hatinya dan membuat Sila mau menyandarkan hidupnya pada lelaki itu.
Rindu yang bergejolak dalam hati Sila tidak dapat lagi terhitung jumlahnya. Begitu banyak, sampai terasa sangat berat. Jika ia bisa mengeluh, ia pasti sudah mengeluhkan semuanya, selama ini,ia hanya mampu menahan semuanya seorang diri.
Syurr...
Tiba-tiba, di tengah lamunannya, ada seseorang yang dengan sengaja menyiramkan minuman ke atas kepala Sila. Membuat wanita itu terkejut.
"Wanita J*l*ng! Beraninya kau makan malam bersama calon suamiku, memangnya di dunia ini tidak ada, lelaki selain dia?!" Wanita yang tadi menyiram kepala Sila itu kini menjambaknya membuat ia merasa kesakitan.
"Rose, cukup! kamu memalukan tahu nggak?! ini resto, dia itu pemilik perusahaan yang kerja sama dengan Robin Group, ini hanya makan malam biasa, bukan yang seperti kamu pikirkan!" Dewa murka, ia sangat marah melihat Rose, tunangannya itu berbuat kasar pada Sila.
Rose melepaskan rambut Sila, dan mendatangi Dewa. Ia sangat cemburu melihat kedekatan Dewa dan Sila. Sebenarnya Rose sudah membuntuti Dewa sejak ia keluar dari rumahnya.
"Hanya hubungan kerja? Aku tidak percaya, Dewa! Kamu pikir aku buta? Aku melihat dia menangis di hadapanmu dan kamu menghapus air matanya, itu namanya hubungan kerja?!" Rose menatap Dewa tajam, Dewa pun sama. Ia malu karena tingkah Rose yang melabrak Sila.
"Kamu salah paham, Rose! Apa yang kamu lihat, tidak seperti apa yang kamu bayangkan. Kami hanya murni berhubungan karena pekerjaan!" Balas Dewa dengan nada tinggi.
"Cukup!"
"Ini salah saya! Dewa tidak salah apapun. Kalau begitu saya permisi" Sila mengeluarkan sejumlah uang dan menaruhnya di atas meja, untuk membayar makanan yang mereka makan.
"Tunggu!" Rose menahan kepergian Sila. Wanita itu menghentikan langkahnya yang di susul oleh Rose.
Plakk!
Rose menampar Sila dengan sekuat tenaga, sampai ia terjatuh, belum puas, ia masih ingin menendang Sila. Beruntung, Dewa berhasil menarik Rose ke luar dari restoran itu.
Sila memegang pipinya yang terasa sangat sakit dan sedikit panas. Ia sakit tidak hanya fisik, tapi juga hati. Saat ia tahu Dewa telah memiliki tunangan, hatinya sangat sakit, di tambah lagi tamparan dari Rose, membuat sakitnya menjadi dua kali lipat.
"Boleh aku bantu?" Seseorang mengulurkan tangannya. Sila melihat ke wajah pemilik tangan itu.
"Robby, Terima kasih," Sila mengulurkan tangannya untuk di tarik oleh Robby. Wanita itu bangkit dan sedikit membersihkan gaunnya.
"Wajahmu bengkak, sebaiknya aku antar pulang saja, apa kamu keberatan?" Robby menawarkan diri untuk mengantarkan Sila pulang.
Sila berpikir sejenak. Ia memang tidak membawa mobil, di tambah lagi dengan kejadian tadi. Mungkin dengan menerima tawaran Robby, itu tidak akan buruk juga.
"Baiklah, tidak masalah. Sebelumnya terima kasih," Sila sedikit merasa tidak enak pada Robby.
"Jangan sungkan, ayo." Robby berjalan terlebih dahulu, di ikuti oleh Sila dengan langkah pelan. Seharusnya ia tidak percaya begitu saja pada lelaki itu, tapi Sila memiliki insting bahwa Robby bukan orang jahat.
Sepanjang perjalanan, mereka berdua lebih banyak diam. Baik Sila ataupun Robby, mereka berdua sama-sama masih merasa asing satu sama lain.
"Mau aku antar ke rumah sakit?" Robby memulai obrolan dengan Sila, seketika Sila menatap Robby.
"Tidak perlu, aku sudah baikan kok. Hanya sebuah tamparan kecil ini tidak masalah," Sila menutupi kenyataan bahwa pipinya sangatlah sakit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Fhita Iftha
andara cepat sadar andra
2020-10-31
0
Lilik Setianingsih
itu andra kan...mugkin andra hila igatan karna kecelakaan ittuuu
2020-05-14
1
Wiyani
eh...itu perempuan main tampar2 aja
2020-05-10
0