Misteri Memori Yang Hilang
Cahaya kilau kekuningan itu menyelinap masuk ke dalam celah mata Karen yang setengah terbuka. Melalui penglihatannya yang minim, saling berdesakan dengan semburan cahaya yang menyerobot, Karen bisa melihat sebuah langit-langit dengan ukiran keemasan nan mewah. Di sana juga bertengger sebuah lampu gantung berlapis berlian, yang menjadi tempat asal para cahaya sialan yang menyilaukan mata Karen.
Lamat-lamat Karen berusaha keras membuka matanya, melawan efek pusing dari cahaya yang super terang. Dan ketika dia sudah berhasil membuka seratus persen kedua matanya, Karen dengan jelas bisa melihat sekelilingnya yang keemasan. Dia sedang terbaring di sebuah kamar yang sangat mewah dalam segala sudut. Ukiran ala abad pertengahan Eropa yang keemasan, selimut yang terbuat dari sutra, bahkan piyamanya juga berbahan dasar satin lembut yang mampu memanjakan siapapun yang mengenakannya.
“Dimana aku?” batin Karen, bertanya pada angin dan dirinya sendiri.
Tubuhnya sehat, dia tak merasakan sakit apapun, bahkan untuk efek pusing akibat cahaya kilau tadi juga sudah tidak dia rasakan. Namun pikirannya tak bisa dimengerti. Karen sama sekali tak ingat dia ada dimana, kenapa dia ada di sana, dan sudah berapa lama dia tertidur. Satu-satunya yang dia ingat hanyalah dirinya sendiri.
“Dimana aku?!!” Kali ini Karen meninggikan suaranya. Kemudian mengibas selimut sutra yang menutupi separuh tubuhnya dan beranjak bangkit.
Tatapannya mengarah ke sekeliling, linglung tak karuan. Saat tatapannya terkunci pada pintu keluar yang ada di sudut ruangan, Karen tak mau berpikir dua kali untuk segera keluar dari kamar yang menyilaukan itu. Dia menuruni anak tangga, menjauh dari kamar, dan saat sampai di dapur, dia bertemu dengan sesosok wanita muda yang sedang memasak. Wanita muda itu nampak sangat kaget saat melihat Karen, yang justru membuat Karen makin kaget. Kenapa dia harus kaget melihatku? Begitu tanya Karen dalam hati.
“N-nona Karen, Anda sudah bangun?” tegur wanita itu patah-patah. Tatapannya terlihat sangat ketakutan.
Karen berlari mendekati wanita itu.
“Siapa kamu?” hardik Karen.
“S-saya Sierra, Nona,” jawab wanita itu.
“Kenapa kamu di sini?” tanya Karen sekali lagi.
Sierra masih tampak sangat ketakutan, hingga tanpa dia sadari, dia telah menjatuhkan pisau yang tadi sempat dia bawa untuk mengiris wortel.
“S-saya diperintah untuk menjaga Anda, Nona,”
Karen menatap tajam Sierra dengan tatapan penuh menyelidik. Dia dekati wajah wanita itu, berusaha mencari celah kejujuran di dalamnya. Dan Sierra yang panik, memundurkan langkahnya perlahan.
“Kenapa aku ada di sini?”
Pertanyaan aneh dari Karen justru membuat Sierra nampak lega. Dia yang semula tergagap dan panik, pelan-pelan mulai bisa menguasai dirinya sendiri. Sierra berdiri tegap, meminta Karen sedikit mundur darinya.
“Nona adalah Karen Stevens, pemilik rumah ini,”
Karen menggeleng cepat. “Aku tahu aku Karen!” bentaknya. “Tapi aku tak mengenali rumah ini!”
Sierra menyunggingkan senyum tipis yang penuh maksud. “Nona Karen lebih baik istirahat, biar saya siapkan makan siang untuk Nona,” ajak Sierra.
“Tidak!!” Karen menggeleng keras, mundur teratur sejauh mungkin dari Sierra.
Tanpa aba-aba, Karen berlari secepat mungkin meninggalkan Sierra, mencari jalan untuk bisa keluar dari rumah besar itu. Namun Sierra tak tampak panik. Dia justru mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Dia kabur,” ucap Sierra. “Sepertinya menuju ke rumah warga,”
* * *
Karen terus berlari, dan mulai menyadari jika rumah besar nan mewah itu terletak di dalam hutan, yang cukup jauh dari pemukiman warga sekitar. Karen terpaksa harus menempuh jarak yang lumayan jauh demi bisa menemukan kerumunan orang-orang agar dia bisa meminta pertolongan. Piyama satinnya yang mahal tampak kusut, terkena noda jalanan. Karen terus berlari dengan kaki telanjang, menyusuri jalanan yang sepi dengan pepohonan rindang di kiri kanan.
“Siapa aku? Kenapa aku ada di rumah itu?” Pertanyaan itu terus-menerus menggaung di lubuk hati Karen, tak berhenti untuk menuntut tanya.
Maka setelah menempuh perjalanan kaki selama hampir lima belas menit, Karen pun akhirnya sampai pada sebuah pasar yang sibuk dengan warga lokal yang berlalu lalang. Karen tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia segera berlari menembus kerumunan, berdiri tegak di tengah pusat keramaian.
“SIAPA AKU?? INI DIMANA?” teriak Karen seperti orang gila.
Orang-orang yang awalnya tak memperhatikan Karen, mendadak menghentikan aktivitas mereka, dan memandangi Karen dengan kasak-kusuk tak jelas.
“Ini dimana?” tanya Karen sekali lagi, pada setiap orang yang kebetulan berhenti untuk menontonnya.
Beberapa orang memilih kabur, karena menganggap Karen wanita gila. Tapi ada juga yang mendekati Karen, dengan sabar memberikan penjelasan.
“Ini desa Jesan,” jawab seorang wanita tua yang ramah. “Kemarilah, Nak,” Wanita tua itu menuntun Karen untuk duduk di salah satu tempat, dan memberikannya sebotol air minum.
Setelah wanita tua itu tak tampak disakiti oleh Karen, para warga yang awalnya ketakutan, memilih untuk mengerumuni Karen karena ingin tahu. Mereka berkumpul mengelilingi Karen dan si wanita tua.
“Apa yang terjadi denganmu?” tanya wanita tua itu, setelah Karen menenggak habis botol minumannya.
“Aku tak tahu,” jawab Karen, menggeleng putus asa.
Wanita tua itu memperhatikan penampilan Karen yang kusut, serta kaki telanjangnya yang penuh luka lecet dan piyama lusuh.
“Apa kau kabur dari seseorang?”
Karen menggeleng lagi. “Aku tak tahu kenapa aku ada di sini,”
“Apa kau ingat namamu sendiri?”
“Karen. Karen Stevens,” jawab Karen mantap.
Wanita tua itu lantas memandangi orang-orang yang berkerumun, sama-sama bingung. Mereka hidup di sebuah desa bernama Jesan yang asri dan cukup jauh dari ibukota, jadi melihat penampakan Karen yang sangat cantik khas wanita perkotaan namun bertingkah gila, membuat mereka bingung.
“Dimana kau tinggal, Karen?” tanya wanita tua itu sekali lagi.
Karen menunjuk jalan menuju rumah besar itu. “Aku datang dari rumah besar di dalam hutan,”
Mereka semua berseru kaget, saling berkasak-kusuk macam kawanan lebah. Kemudian mereka memandangi Karen dengan tatapan heran dan segan jadi satu. Apalagi si wanita tua yang semula membantu Karen, saat tahu dimana Karen berasal, dengan cepat wanita tua itu berdiri dan mundur.
“Kenapa? Apa kau tahu sesuatu? Ada apa dengan rumah itu?” tanya Karen beruntun.
Para warga tetap mundur dengan tatapan takut, setiap kali Karen berusaha mendekati mereka. Karen makin putus asa. Dia mengacak rambutnya, kesal bukan main.
“Ada apa? Kenapa kalian menghindariku?” protes Karen. “Aku tak tahu kenapa aku ada di sana! Tolong aku!!” teriak Karen sangat menyedihkan.
“Maafkan aku, Nak,” Wanita tua itu tampak sangat menyesal telah menghindari Karen, namun dia tak punya banyak pilihan.
Para warga meskipun ketakutan untuk mendekati Karen, mereka tak berniat meninggalkannya. Mereka tetap berkerumun, seakan tak membiarkan Karen pergi meninggalkan tempat itu.
“Minggir!”
Dua orang pria tegap dengan pakaian formal serba hitam dan kacamata hitam mendadak membubarkan kerumunan, dan seorang pria berbadan tinggi besar berjalan pelan masuk ke kerumunan yang telah dipinggirkan, untuk mendekati Karen yang depresi. Pria berbaju rapi nan rupawan itu tiba-tiba meraih tubuh Karen ke dalam pelukannya.
“Akhirnya aku menemukanmu!” tukasnya.
Dia menatap Karen dengan wajah penuh khawatir dan mata berkaca-kaca. Karen yang masih tak mengerti hanya bisa diam mematung, pasrah saja saat pria itu memeluknya beberapa kali.
“Kamu siapa?” tanya Karen bingung.
Pria itu makin sedih. “Aku Martin, suamimu, Karen,” jawabnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Angeldust
tulisannya rapih nyaman dibaca ✨
2022-12-24
1