“Berikan padaku bukti, Martin. Buktikan jika kita memang benar sudah menikah,” pinta Karen.
Martin yang semula penuh gairah dan merengkuh tubuh istrinya, perlahan mulai menjauh. Gairahnya itu telah menguap hilang entah kemana, dan tergantikan perasaan tak enak yang serasa ingin dia muntahkan. Perasaan terluka karena gairahnya yang tak terbalas.
“Apa yang kamu mau, Karen? Bukti seperti apa?” tanya Martin, berusaha tetap bersabar.
“Apapun! Bukti yang bisa meyakinkanku,” jawab Karen dengan nada meninggi. “Mungkin foto pernikahan kita,”
Martin tampak diam berpikir. Kemudian dia berjalan meraih dompetnya yang ada di meja rias milik Karen, kemudian mengeluarkan selembar foto usang dan menunjukkannya pada Karen. Di sana Karen bisa melihat dia dan Martin sedang duduk berdampingan, masing-masing memegang segelas wine dan tertawa bahagia. Martin juga melingkarkan sisi kiri tangannya ke bahu Karen.
“Aku tak membawa foto pernikahan kita ke rumah ini, tapi aku selalu menyimpan foto pertama kita di dompetku,” kenang Martin sambil tersenyum.
Karen menggenggam foto itu, mengamatinya dalam-dalam. Setiap sudut, tekstur dan bahkan noda yang menempel pada selembar foto usang itu juga tak luput dari penglihatan tajamnya. Karen meneliti apapun, apapun yang bisa membawanya kembali mendapatkan memorinya.
Martin menarik tubuh Karen agar berhadapan dengannya. “Kamu tahu aku sangat mencintaimu, Karen. Kenapa kamu masih meragukanku?” protes Martin dengan raut sedih.
Karen tampak bimbang. “Maafkan aku, Martin. Tapi hilangnya memoriku ini sungguh membuatku pusing. Bayangkan kamu jadi aku, dimana yang kamu ingat hanyalah namamu sendiri,”
“Aku tahu,” Martin menggenggam erat kedua tangan Karen. “Tapi ini semua adalah bentuk usaha kita untuk menyembuhkanmu. Dokter masih terus berupaya untuk mencari cara terbaik agar kamu sembuh, Sayang,” mohon Martin dengan mata yang berkaca-kaca.
Karen tak bisa menimpali, selain hanya menatap penuh maaf ke dalam wajah Martin. Sambil terus memandangi Martin, Karen menggenggam erat foto usang itu. Tiba-tiba dia berseru, entah apa yang dipikirkannya.
“Martin, jika kita bisa foto berdua, pasti ada yang fotoin kita, kan?” celetuk Karen tiba-tiba.
Raut Martin bertransformasi dari sedih menjadi sedikit tegang setelah mendengar pertanyaan Karen. Dia menegakkan tubuhnya, alisnya yang tebal dan tajam menumpu jadi satu, antara kesal dan bingung.
“Apa pentingnya, Sayang?”
“Ini penting!” seru Karen. “Aku merasa … aku merasa punya ikatan kuat dengan orang yang membidik kita, Martin! Siapa dia? Kumohon,” rengek Karen, tak putus asa.
Martin memejamkan mata, menarik nafas dan menghembuskannya keras. Entah kenapa Karen sungguh memiliki lonjakan emosi yang meletup-letup, layaknya kembang api.
“Aku akan memberitahumu, tapi dengan satu syarat,” ucap Martin.
“Apa?”
“Kamu akan melayaniku malam ini,” pinta Martin. Dia ingin kembali melanjutkan gairah kuat yang semula sempat timbul, sebelum Karen tiba-tiba menginterupsi.
Karen menggigit bibirnya, cemas bukan main. Selain dia tak mengingat apapun selain namanya sendiri, Karen juga masih ragu akan status pernikahannya dengan Martin. Membayangkan menghabiskan waktu semalaman bersama pria yang tiba-tiba asing untuknya, sungguh suatu hal yang menyeramkan. Namun Karen juga tak ingin mengecewakan Martin. Bagaimana jika Martin memang benar-benar suaminya?
“Baiklah … “ balas Karen pada akhirnya.
Martin tersenyum penuh maksud, kembali menarik foto usang yang terus digenggam oleh Karen.
“Foto ini … diambil oleh … Sierra,” Martin menyeringai, tampak sangat senang telah berhasil mengerjai Karen.
Karen yang kesal segera memukul berkali-kali bahu Martin, meskipun tentu tak berefek apapun untuk Martin yang berbadan besar. Kemudian mereka berdua terlibat pertikaian panas di atas ranjang, dengan Karen yang pasrah saja menuruti gairah besar dari Martin.
* * *
“Ini sarapannya, Nona Karen,” ujar Sierra, meletakkan sepiring toast lengkap dengan pendampingnya, ke hadapan Karen.
“Tidurmu semalam nyenyak, Sayang?” tanya Martin yang tampak sangat bersemangat di Minggu pagi yang cerah.
“Iya, sangat nyenyak. Setelah kamu hajar selama dua malam,” gerutu Karen kesal.
Martin yang tak menyangka dengan jawaban Karen, seketika tertawa keras, terbahak-bahak, bahagia luar biasa. Bahkan Sierra yang sedang mencuci piring juga ikut tertular tawa Martin.
“Sierra, kamu bisa ikut makan bersama kami,” ajak Martin setelah Sierra menyelesaikan pekerjaannya.
Sierra tampak bingung dan gugup. “T-tapi Tuan … “
“Nggak apa-apa, Sierra. Lagian, cuman kamu satu-satunya temanku di sini,” timpal Karen, setuju dengan anjuran Martin.
Maka setelah mendapat persetujuan kedua majikannya, dengan malu-malu Sierra duduk bergabung bersama Martin dan Karen. Matanya sembunyi-sembunyi melirik Martin, dan keduanya juga saling tatap untuk beberapa detik.
“Setelah sarapan aku harus kembali, Sayang,” ucap Martin.
“Kenapa cepat sekali?” tanya Karen protes.
Martin tersenyum. “Iya, perjalanan ke kota cukup jauh, lima jam. Jadi aku harus menyimpan energiku untuk bekerja esok hari,”
Karen merengut, tampak tak terima, namun juga tak bisa berbuat apa-apa.
“Oh iya, Sierra. Aku sudah menyuruh orang untuk membawakan beberapa setel baju untukmu dan Karen. Mungkin nanti sore datang,” ucap Martin pada Sierra.
Sierra mengangguk patuh, menutup mulutnya yang sedang mengunyah agar lebih sopan. Karen yang mendengar percakapan itu, dahinya langsung berkerut.
“Untuk apa?” sahutnya.
“Tentu, Sayang. Ini di desa dan mereka tak punya baju-baju bermerk untuk dijual. Aku sengaja membelikannya dari kota khusus untukmu,” timpal Martin penuh sayang.
Setelah selesai makan, Sierra bergegas bangkit dan mengambil sebuah nampan kecil yang telah dia siapkan sebelumnya. Di sana sudah ada sebutir kapsul dan segelas air putih, yang siap Sierra berikan untuk Karen.
“Waktunya minum obat, Nona,” Sierra menyerahkan nampan kecil itu pada Karen.
Karen mengambil sebutir kapsul itu, mengamatinya, kemudian memandangi Martin dan Sierra bergantian. Kedua orang itu tampak tak sabar menunggu Karen segera menenggak habis kapsul itu. Maka dengan satu helaan nafas, Karen menelan kapsul itu dan segera minum sampai habis. Martin tampak tersenyum puas, memastikan Karen menelan kapsulnya.
“Aku harus pergi sekarang,” pamit Martin, bangkit berdiri dan membawa keperluan pentingnya.
Setelah menyaksikan adegan Karen meminum obatnya, Martin bergegas pergi bersama dua orang pengawal dan satu orang supirnya. Dan sekarang tinggallah Sierra, berdua saja bersama Karen, di dalam hutan yang jauh dari pemukiman warga. Rumah mewah besar itu, meskipun memiliki banyak fasilitas, akan tetap terasa sepi mengingat hanya Karen dan Sierra berdua saja yang tinggal di dalamnya.
“Nona, mumpung ini masih pagi, aku akan turun ke pasar untuk berbelanja keperluan makanan kita,” ijin Sierra setelah mobil Martin pergi.
“Oke, silahkan,” sahut Karen.
“Apa Nona mau ikut bersamaku? Atau sendirian di rumah? Karena saya akan membawa mobil, Nona,”
Karen menggeleng. “Nggak usah, kamu saja. Aku mendadak ngantuk,”
Maka setelah mendapat persetujuan dari Karen, Sierra segera bergegas pergi menaiki mobil yang disediakan Martin, menuju pasar di bawah bukit. Karen mengawasi kepergian Sierra hingga mobil wanita itu menghilang. Setelah Sierra benar-benar pergi, Karen berlari sangat cepat mengganti pakaiannya yang panjang, untuk lebih kasual dengan celana jeans, sweater dan kaos. Dia juga tak lupa mengenakan topi untuk menyamarkan penampilannya.
Meskipun Karen dianggap sebagai istri tuan muda kaya raya seperti Martin Willis, nyatanya Martin sama sekali tak meninggalkan uang sepeser pun untuk Karen. Semua keperluan disiapkan oleh Sierra, dan Karen tak boleh memegang uang sendiri. Hal ini sudah cukup menjadi bukti bagi Karen, bahwa sikap Martin sungguh aneh.
Karen benar-benar kabur kali ini. Meskipun, dia meninggalkan catatan kecil di pintu kulkas untuk Sierra, bahwa dia hanya berjalan-jalan sebentar di belakang rumah. Namun Karen terus melaju, menjauh dari rumah mewah itu, menuju sumber suara air sungai yang deras di belakang rumah cukup jauh. Dan ketika Karena berhasil menemukan sungai deras nan dalam itu, tanpa banyak pikiran, Karen nekat terjun ke dalamnya.
Byurr!!!
Bunyi bedebam tubuh Karen yang menghantam derasnya air sungai cukup nyaring, namun tentu tak ada yang mendengarnya. Kepala Karen pusing. Sangat pusing, dan berbagai macam kepingan-kepingan kejadian berkelebat di dalam kepalanya, silih berganti tak beraturan. Karen terus menjaga agar tubuhnya ada di dalam air. Hal baru yang diketahui Karen, beruntung dia bisa berenang dengan mahir. Sungai jernih yang dalam itu menjadi tempat di mana Karen berusaha mendapatkan kembali memorinya. Dan ketika dirasa puas serta mulai kehabisan nafas, Karen mulai naik ke atas permukaan. Mulutnya membuka, mengerjap-ngerjap mencari oksigen segar di udara terbuka. Kemudian Karen berenang gaya bebas ke tepi sungai terdekat.
Tubuh Karen basah sepenuhnya, kedinginan. Tertatih-tatih dia berusaha berjalan untuk mencari tempat yang hangat, dengan pakaian basahnya. Tangannya mengepal erat, menggigil kedinginan namun ada amarah yang tetap membuat wajahnya nampak panas.
“Brengsek kau, Martin!!!” teriak Karen, memegangi kepalanya. “Kembalikan Ray, suamiku, sialan!!!” umpatnya, sangat keras dan putus asa.
Karen menangis histeris, memukul keras tanah yang ada di bawahnya, dengan hati sakit dan tubuh yang menggigil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments