“Brengsek kau, Martin!!” jerit Karen sangat lantang, keras, namun terluka.
Dia memukul kepalanya beberapa kali dengan telapak tangan, menangis histeris dengan rambut dan baju yang basah kuyup. Setelah cukup puas mengumpat Martin, Karen berjalan tertatih untuk sedikit bersembunyi, di bawah sebuah pohon, dengan maksud agar tubuhnya hangat.
“Ray … Ray … “ gumam Karen, memanggil satu nama yaitu Ray secara terus-menerus dengan air mata yang membanjir.
Kemudian dia menangis. Menundukkan kepala, memeluk tubuhnya sendiri yang terus kedinginan hingga gemetar. Kepingan-kepingan memori yang hilang dari ingatan Karen perlahan mulai kembali, setelah dia memutuskan untuk berpura-pura meminum obat pemberian Sierra. Satu demi satu potongan kenangan yang sebelumnya dia lupakan, muncul ke permukaan, membuat ulu hatinya sangat sakit ketika dia kembali mengingat Ray White, suaminya.
“Ray … kamu dimana? Tolong aku, Ray,” rintih Karen, tak berhenti menangis. Bibirnya menggigil kedinginan luar biasa.
Karen mulai menyadari satu hal, dia bukanlah korban di sini. Ray, suaminya, justru yang menjadi korban atas kebiadaban Martin, serta kerakusan Karen akan nafsu dan gairah. Andai saja Karen tak melewati garis batas pernikahannya dengan Ray, andai Karen tak menanggapi segala bujuk rayu dari Martin, dan berpuluh-puluh andai yang saat ini Karen sesali sekeras mungkin, hingga rasanya dia ingin kembali membenturkan kepalanya ke benda yang lebih keras.
“Maafkan aku, Ray … “ isak Karen.
Karen bisa melihat dengan jelas senyum cerah di wajah Ray untuk terakhir kalinya saat dia bertemu Karen. Bagaimana Ray sangat bersyukur akan rejeki yang mereka berdua dapat, bagaimana Ray selalu sabar dan tak pernah menuntut meski Karen tak kunjung hamil, dan bagaimana Ray selalu membanggakan Karen kepada seluruh rekan kerjanya. Dan kini yang tersisa hanyalah penyesalan, tanpa Karen tahu, apakah Ray masih hidup atau tidak. Namun di dalam lubuk hatinya, Karen sangat berharap Ray baik-baik saja dan Martin tak melenyapkan suaminya itu.
“K-kamu lagi?!” seru seseorang.
Karen terperanjat, seketika berdiri meski tubuhnya masih gemetaran menahan dingin. Didapatinya seorang lelaki muda yang sedang memikul kayu bakar, berdiri terkejut menatap Karin yang basah kuyup.
“A-apa yang kamu lakukan disini?” tegur lelaki itu.
Karen yang sudah mulai bisa menguasai dirinya, berjalan mendekati lelaki muda itu. “Antar aku ke wanita tua yang menolongku waktu itu,” pinta Karen dengan wajah sangat mengintimidasi dan penuh amarah.
* * *
Setelah berhasil meyakinkan si lelaki muda, akhirnya atas bantuan lelaki itu pula, Karen saat ini berhasil sampai di depan rumah wanita tua yang pernah menolongnya. Rumah wanita itu ternyata terletak cukup jauh dari pusat desa, sehingga aman bagi Karen untuk berkunjung. Rumahnya sangat sederhana, dengan cerobong asap tempat menyalurkan sisa pembakaran dari kayu bakar yang digunakan untuk memasak. Wanita tua yang ternyata bernama Margaret itu menyambut Karen layaknya kawan lama, bahkan rautnya sangat lega saat tahu Karen masih sehat dan baik-baik saja setelah nekat terjun dari sungai deras.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Nak?” tanya Margaret setelah memberikan setelan ganti untuk baju Karen yang basah.
“Hidupku hancur,” jawab Karen mengambang.
Ketika Karen telah selesai berganti pakaian, Margaret menyuguhkan semangkuk sup labu hangat untuk menghilangkan efek dingin dari tubuh Karen.
“Seorang pria brengsek mengurungku di rumah mewah itu, dan berbohong bilang aku istrinya,”
Margaret menganga mendengar penjelasan Karen. “K-kenapa dia bisa mengurungmu di sana? Apa keluargamu tak mencari?”
Karen menggeleng. “Pria itu memanipulasi suamiku,” Saat mengingat Ray, Karen kembali meneteskan air matanya.
“Aku juga salah, Mar. Aku telah mengkhianati kesetiaan suamiku untuk berselingkuh dengan pria brengsek itu,” isak Karen, menutup wajahnya dengan telapak tangan untuk menahan malu.
Margaret yang sedikit paham, hanya bisa mengelus punggung Karen yang masih menangis keras. Tak ada niat Margaret untuk menghentikan tangisan itu, karena nyatanya dia justru meminta Karen untuk menangis sepuasnya.
“Dan pria brengsek itu memaksaku meminum semacam obat yang bisa menghilangkan ingatanku akan suamiku sendiri,” Tangis Karen makin pecah, senada dengan rasa terkejut di benak Margaret.
“Aku sedikit tahu tentang keluarga dari pemilik rumah mewah itu, Nak,” aku Margaret setelah tangis Karen berkurang.
“Rumah mewah itu sudah berdiri cukup lama, dan ditinggali bergantian oleh keturunan Wilis. Biasanya mereka datang hanya untuk membawa simpanan, atau menyembunyikan diri saat sedang ada masalah,” lanjut Margaret.
Karen telah berhenti menangis, mendengarkan cerita Margaret dengan seksama.
“Yang kutahu, saat ini yang sering berkunjung ke rumah itu adalah cucu dari Mark Willis, yang sepertinya adalah suami palsumu,”
Karen sama sekali tak tahu apapun tentang Martin dan keluarganya. Karena hubungannya dengan Martin murni atas dasar gairah yang menggebu dan tak bisa dibendung, dan sepertinya baik dia maupun Martin sama-sama tak peduli dengan urusan masing-masing. Namun yang dia tahu, Ray, suaminya, bekerja untuk salah satu perusahaan keluarga Martin.
“Warga di sini tidak ada yang berani berurusan dengan para Willis, Nak,” Margaret melanjutkan ceritanya. “Karena meskipun jarang ditempati, keberadaan rumah mewah keluarga Willis cukup berdampak besar pada perekonomian desa kecil ini,”
Margaret berdiri, mengangkat roti buatannya yang telah matang dari dalam oven. Kemudian setelah menata rapi di piring, dia menyuguhkannya pada Karen.
“Jadi kalau kamu meminta bantuan warga untuk kabur, kurasa tak akan ada yang berani menolongmu,” imbuh Margaret.
“Terus apa yang harus kulakukan, Mar? Aku tak bisa hidup selamanya terkurung di sini. Aku harus menemui suamiku. Aku harus memastikan suamiku masih hidup!” Karen hendak menangis, sebelum Margaret menggenggam erat kedua tangannya.
“Yang bisa menolongmu hanya dirimu sendiri, Nak,” ungkap Margaret. “Menurutku, kamu harus tetap berpura-pura tak ingat apapun, lalu menyusun rencana,”
“Kalau aku terus begitu, Martin akan makin memenjarakanku di sini,”
“Kamu harus memikirkan cara apa yang bisa memaksa Martin untuk membawamu kembali ke kota,”
Karen terdiam. Dia berpikir keras, setelah mendapatkan banyak ide brilian dari Margaret.
“Kamu bisa beristirahat di sini selama mereka belum mencarimu, Nak,” Margaret menyiapkan sebuah tempat tidur kecil nan hangat untuk ditempati Karen.
“Mar … “ panggil Karen, yang sukses menghentikan langkah Margaret yang hendak menuju belakang rumah.
“Kenapa kamu mau membantuku?” tanya Karen.
Margaret tersenyum hangat, sehangat rumahnya yang kecil sederhana. “Tak ada apapun yang berarti bagiku sekarang, Nak. Kurasa, tak ada salahnya jika aku menolong seseorang yang memang butuh pertolongan,” jelas Margaret, yang kembali meneduhkan hati Karen.
Setelah lama berpikir sambil memendamkan dirinya di balik selimut tebal yang wangi milik Margaret, Karen mulai memikirkan sebuah rencana besar. Dan dibalik rencananya itu, Karen juga berjanji akan membalas segala kebaikan Margaret jika kelak dia berhasil menghancurkan Martin Willis hingga ke ujung paling dasar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments