NovelToon NovelToon

Misteri Memori Yang Hilang

Melarikan Diri

Cahaya kilau kekuningan itu menyelinap masuk ke dalam celah mata Karen yang setengah terbuka. Melalui penglihatannya yang minim, saling berdesakan dengan semburan cahaya yang menyerobot, Karen bisa melihat sebuah langit-langit dengan ukiran keemasan nan mewah. Di sana juga bertengger sebuah lampu gantung berlapis berlian, yang menjadi tempat asal para cahaya sialan yang menyilaukan mata Karen.

Lamat-lamat Karen berusaha keras membuka matanya, melawan efek pusing dari cahaya yang super terang. Dan ketika dia sudah berhasil membuka seratus persen kedua matanya, Karen dengan jelas bisa melihat sekelilingnya yang keemasan. Dia sedang terbaring di sebuah kamar yang sangat mewah dalam segala sudut. Ukiran ala abad pertengahan Eropa yang keemasan, selimut yang terbuat dari sutra, bahkan piyamanya juga berbahan dasar satin lembut yang mampu memanjakan siapapun yang mengenakannya.

“Dimana aku?” batin Karen, bertanya pada angin dan dirinya sendiri.

Tubuhnya sehat, dia tak merasakan sakit apapun, bahkan untuk efek pusing akibat cahaya kilau tadi juga sudah tidak dia rasakan. Namun pikirannya tak bisa dimengerti. Karen sama sekali tak ingat dia ada dimana, kenapa dia ada di sana, dan sudah berapa lama dia tertidur. Satu-satunya yang dia ingat hanyalah dirinya sendiri.

“Dimana aku?!!” Kali ini Karen meninggikan suaranya. Kemudian mengibas selimut sutra yang menutupi separuh tubuhnya dan beranjak bangkit.

Tatapannya mengarah ke sekeliling, linglung tak karuan. Saat tatapannya terkunci pada pintu keluar yang ada di sudut ruangan, Karen tak mau berpikir dua kali untuk segera keluar dari kamar yang menyilaukan itu. Dia menuruni anak tangga, menjauh dari kamar, dan saat sampai di dapur, dia bertemu dengan sesosok wanita muda yang sedang memasak. Wanita muda itu nampak sangat kaget saat melihat Karen, yang justru membuat Karen makin kaget. Kenapa dia harus kaget melihatku? Begitu tanya Karen dalam hati.

“N-nona Karen, Anda sudah bangun?” tegur wanita itu patah-patah. Tatapannya terlihat sangat ketakutan.

Karen berlari mendekati wanita itu.

“Siapa kamu?” hardik Karen.

“S-saya Sierra, Nona,” jawab wanita itu.

“Kenapa kamu di sini?” tanya Karen sekali lagi.

Sierra masih tampak sangat ketakutan, hingga tanpa dia sadari, dia telah menjatuhkan pisau yang tadi sempat dia bawa untuk mengiris wortel.

“S-saya diperintah untuk menjaga Anda, Nona,”

Karen menatap tajam Sierra dengan tatapan penuh menyelidik. Dia dekati wajah wanita itu, berusaha mencari celah kejujuran di dalamnya. Dan Sierra yang panik, memundurkan langkahnya perlahan.

“Kenapa aku ada di sini?”

Pertanyaan aneh dari Karen justru membuat Sierra nampak lega. Dia yang semula tergagap dan panik, pelan-pelan mulai bisa menguasai dirinya sendiri. Sierra berdiri tegap, meminta Karen sedikit mundur darinya.

“Nona adalah Karen Stevens, pemilik rumah ini,”

Karen menggeleng cepat. “Aku tahu aku Karen!” bentaknya. “Tapi aku tak mengenali rumah ini!”

Sierra menyunggingkan senyum tipis yang penuh maksud. “Nona Karen lebih baik istirahat, biar saya siapkan makan siang untuk Nona,” ajak Sierra.

“Tidak!!” Karen menggeleng keras, mundur teratur sejauh mungkin dari Sierra.

Tanpa aba-aba, Karen berlari secepat mungkin meninggalkan Sierra, mencari jalan untuk bisa keluar dari rumah besar itu. Namun Sierra tak tampak panik. Dia justru mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.

“Dia kabur,” ucap Sierra. “Sepertinya menuju ke rumah warga,”

* * *

Karen terus berlari, dan mulai menyadari jika rumah besar nan mewah itu terletak di dalam hutan, yang cukup jauh dari pemukiman warga sekitar. Karen terpaksa harus menempuh jarak yang lumayan jauh demi bisa menemukan kerumunan orang-orang agar dia bisa meminta pertolongan. Piyama satinnya yang mahal tampak kusut, terkena noda jalanan. Karen terus berlari dengan kaki telanjang, menyusuri jalanan yang sepi dengan pepohonan rindang di kiri kanan.

“Siapa aku? Kenapa aku ada di rumah itu?” Pertanyaan itu terus-menerus menggaung di lubuk hati Karen, tak berhenti untuk menuntut tanya.

Maka setelah menempuh perjalanan kaki selama hampir lima belas menit, Karen pun akhirnya sampai pada sebuah pasar yang sibuk dengan warga lokal yang berlalu lalang. Karen tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia segera berlari menembus kerumunan, berdiri tegak di tengah pusat keramaian.

“SIAPA AKU?? INI DIMANA?” teriak Karen seperti orang gila.

Orang-orang yang awalnya tak memperhatikan Karen, mendadak menghentikan aktivitas mereka, dan memandangi Karen dengan kasak-kusuk tak jelas.

“Ini dimana?” tanya Karen sekali lagi, pada setiap orang yang kebetulan berhenti untuk menontonnya.

Beberapa orang memilih kabur, karena menganggap Karen wanita gila. Tapi ada juga yang mendekati Karen, dengan sabar memberikan penjelasan.

“Ini desa Jesan,” jawab seorang wanita tua yang ramah. “Kemarilah, Nak,” Wanita tua itu menuntun Karen untuk duduk di salah satu tempat, dan memberikannya sebotol air minum.

Setelah wanita tua itu tak tampak disakiti oleh Karen, para warga yang awalnya ketakutan, memilih untuk mengerumuni Karen karena ingin tahu. Mereka berkumpul mengelilingi Karen dan si wanita tua.

“Apa yang terjadi denganmu?” tanya wanita tua itu, setelah Karen menenggak habis botol minumannya.

“Aku tak tahu,” jawab Karen, menggeleng putus asa.

Wanita tua itu memperhatikan penampilan Karen yang kusut, serta kaki telanjangnya yang penuh luka lecet dan piyama lusuh.

“Apa kau kabur dari seseorang?”

Karen menggeleng lagi. “Aku tak tahu kenapa aku ada di sini,”

“Apa kau ingat namamu sendiri?”

“Karen. Karen Stevens,” jawab Karen mantap.

Wanita tua itu lantas memandangi orang-orang yang berkerumun, sama-sama bingung. Mereka hidup di sebuah desa bernama Jesan yang asri dan cukup jauh dari ibukota, jadi melihat penampakan Karen yang sangat cantik khas wanita perkotaan namun bertingkah gila, membuat mereka bingung.

“Dimana kau tinggal, Karen?” tanya wanita tua itu sekali lagi.

Karen menunjuk jalan menuju rumah besar itu. “Aku datang dari rumah besar di dalam hutan,”

Mereka semua berseru kaget, saling berkasak-kusuk macam kawanan lebah. Kemudian mereka memandangi Karen dengan tatapan heran dan segan jadi satu. Apalagi si wanita tua yang semula membantu Karen, saat tahu dimana Karen berasal, dengan cepat wanita tua itu berdiri dan mundur.

“Kenapa? Apa kau tahu sesuatu? Ada apa dengan rumah itu?” tanya Karen beruntun.

Para warga tetap mundur dengan tatapan takut, setiap kali Karen berusaha mendekati mereka. Karen makin putus asa. Dia mengacak rambutnya, kesal bukan main.

“Ada apa? Kenapa kalian menghindariku?” protes Karen. “Aku tak tahu kenapa aku ada di sana! Tolong aku!!” teriak Karen sangat menyedihkan.

“Maafkan aku, Nak,” Wanita tua itu tampak sangat menyesal telah menghindari Karen, namun dia tak punya banyak pilihan.

Para warga meskipun ketakutan untuk mendekati Karen, mereka tak berniat meninggalkannya. Mereka tetap berkerumun, seakan tak membiarkan Karen pergi meninggalkan tempat itu.

“Minggir!”

Dua orang pria tegap dengan pakaian formal serba hitam dan kacamata hitam mendadak membubarkan kerumunan, dan seorang pria berbadan tinggi besar berjalan pelan masuk ke kerumunan yang telah dipinggirkan, untuk mendekati Karen yang depresi. Pria berbaju rapi nan rupawan itu tiba-tiba meraih tubuh Karen ke dalam pelukannya.

“Akhirnya aku menemukanmu!” tukasnya.

Dia menatap Karen dengan wajah penuh khawatir dan mata berkaca-kaca. Karen yang masih tak mengerti hanya bisa diam mematung, pasrah saja saat pria itu memeluknya beberapa kali.

“Kamu siapa?” tanya Karen bingung.

Pria itu makin sedih. “Aku Martin, suamimu, Karen,” jawabnya.

Bukti untuk Karen

“Aku suamimu, Karen,” ujar Martin, seraya memeluk erat tubuh Karen yang masih kebingungan.

Setelah semua dirasa selesai, para warga yang bergerombol mulai meninggalkan Karen dan Martin yang tetap berpelukan. Begitu pula wanita tua yang Karen belum sempat pertanyakan namanya, juga pergi meninggalkan Karen meski rautnya tetap khawatir.

“Karen, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Martin, mengamati setiap sudut tubuh Karen untuk memastikan tak ada yang luka.

Karen menggeleng dengan tatapan pias, tak hendak membalas dengan ramah setiap sudut kekhawatiran yang Martin tampakkan dari wajahnya. Lalu setelah cukup puas dengan keadaan Karen yang baik-baik saja, Martin segera menuntun Karen untuk masuk ke dalam mobil dan kembali ke rumah mewah mereka.

“Kenapa aku tinggal di sana?” tanya Karen, dalam perjalanan.

Martin melirik sekilas, lalu kemudian mencondongkan tubuhnya pada Karen. “Itu kan memang rumahmu, Sayang. Kamu sendiri yang minta ingin tinggal tenang di desa,”

Karen tak bergeming. Martin tampak sangat meyakinkan, dan seakan serba tahu apapun tentang Karen. Namun hati kecil Karen masih menolak untuk seratus persen percaya pada Martin.

“Akhirnya Anda pulang, Nona,” seru Sierra ketika mendengar suara pagar yang dibuka dan Martin serta Karen masuk ke dalam rumah mewah mereka.

Sierra berlari kecil menghampiri Karen. “Nona, kenapa Nona kabur dari rumah?”

Karen tak ingin menjawab, namun lirikannya pada Sierra menyiratkan suatu hal. Seakan bagi Karen, pertanyaan Sierra tak penting, namun dia ingin mengajukan pertanyaannya sendiri.

“Kenapa kamu memanggilku Nona?” selidik Karen. “Aku kan istrinya,” Dia menunjuk Martin yang berdiri di sebelahnya.

Sierra terkesiap untuk beberapa saat. Sambil sedikit melirik Martin, dia lalu tertawa kecil.

“I-itu memang panggilan kesukaan Nona, kan?” jawab Sierra, berusaha sangat keras menyamarkan kegugupannya.

Karen memicingkan mata ke arah Sierra. “Apa aku bisa mempercayaimu?”

“Sudahlah, Sayang,” Martin membuyarkan ketegangan diantara Karen dan Sierra. “Ayo kita sarapan dulu,”

Sierra berseru senang dan tampak sangat setuju dengan ide Martin. Kemudian dia bergegas mempersiapkan meja makan untuk majikannya, dengan berbagai hidangan lezat dan segar yang dia masak sendiri.

“Martin, aku punya banyak pertanyaan untukmu,” ujar Karen di sela-sela sarapan mereka.

Martin melirik Sierra dan mengisyaratkannya untuk pergi memberi ruang personal bagi Martin dan Karen.

“Ada apa, Sayang?”

Setelah mendapatkan sambutan hangat dari Martin, Karen segera menegakkan posisi duduknya, meletakkan sendok garpu dengan rapi. Dia mengatur nafasnya, seakan sedang menghadapi sebuah proses wawancara yang rumit dan menegangkan.

“Kenapa aku tak mengingat apapun?” Pertanyaan pertama berhasil dilontarkan oleh Karen tanpa kesulitan.

Martin tampak tersenyum. “Aku akan menjawab pertanyaan itu sebagai pertanyaan terakhir,” balasnya. “Apa kamu tidak ada pertanyaan lainnya?”

Karen kembali berpikir keras setelah mendapatkan respon penolakan dari Martin. Kemudian dalam sekali tarikan nafas, dia berhasil mengucapkan pertanyaannya.

“Siapa kamu?”

“Aku Martin Willis, suami Karen Stevens,” jawab Martin mantap.

Karen mengangguk kecil, tampak menerima jawaban penuh keyakinan dari Martin.

“Kenapa aku ada di rumah ini, sedangkan kamu tidak?”

Martin tertawa kecil. “Seperti yang kubilang tadi, kamu yang ingin tinggal di sini. Dan aku tidak mungkin ikut tinggal di sini, sementara aku harus menjalankan bisnisku di kota. Jadi aku selalu menjengukmu setiap akhir pekan,” jelas Martin panjang lebar.

Dan penjelasan ini juga bisa diterima dengan baik oleh Karen. Dia kembali manggut-manggut, menatap Martin seakan mencari kejujuran di sana.

“Sekarang aku bisa bertanya, kan? Kenapa aku tak ingat apapun?”

Martin tampak sedikit sedih saat mendengar pertanyaan terakhir dari Karen. Dia menundukkan pandangannya, seakan sedang menata hati untuk memilih kata-kata yang terbaik untuk diucapkan pada Karen.

“Martin?” panggil Karen, karena Martin terus saja diam.

“Sayang … “ Martin menggenggam erat tangan Karen. “Apakah aku sungguh perlu menjelaskannya padamu?”

“Ya!” seru Karen sangat tegas. “Apapun itu, kamu harus menjelaskannya padaku,”

Martin mengangguk. Dia menyingkirkan piring di depannya, untuk lebih bisa berbicara intim dengan Karen. Mereka berdua saling menatap, meski tatapan Karin tajam nan serius, tatapan Martin justru menyorotkan kesedihan.

“Ini semua adalah efek samping dari obat yang harus kamu konsumsi setiap hari, Sayang,” terang Martin.

“Obat apa? Kenapa?” cecar Karen.

“Anemia aplastik,” jawab Martin pelan. “Tubuhmu … berhenti memproduksi sel darah dan akibatnya, tubuhmu tak bisa mengeringkan luka. Makanya, Sayang, aku sangat mengkhawatirkanmu dan sebisa mungkin menyuruh Sierra mengawasimu,”

“Apa?” tanggapan Karen tetap sama karena dia masih belum bisa memahami semuanya.

Martin mengangguk berat. “Cara satu-satunya adalah dengan bantuan obat, yang efek sampingnya bisa membuatmu kehilangan sedikit ingatan,”

“Aku tak merasakan sakit apapun!” kilah Karen tak terima.

Martin mengelus kedua lengan Karen, berusaha menabahkan istrinya.

“Dan obat itulah yang membantu tubuhmu, jadi, tak ada pilihan lain bagiku,” ucap Martin penuh penyesalan. “Maafkan aku, Karen, Sayangku,” Dia kembali merengkuh tubuh Karen.

Karen bisa mendengar Martin sedikit terisak setelah memberi penjelasan padanya. Namun reaksi yang diberikan Karen justru diluar dugaan. Wanita itu tampak tak senang dengan jawaban Martin, karena dia merasa tubuhnya sehat dan baik-baik saja.

“Nona, waktunya minum obat,” Sierra datang entah dari mana, membawa nampan kecil yang berisikan sebutir kapsul dan segelas air putih.

Sierra meletakkan nampan kecil itu di depan Karen, tersenyum kecil layaknya saat mereka pertama kali bertemu. Martin menyodorkan nampan kecil itu ke hadapan Karen, lalu mengambil kapsulnya untuk diberikan pada Karen.

“Ini, minumlah, Sayang,” pinta Martin.

“Tidak. Aku tidak sakit,” tolak Karen.

“Sayang, tak ada cara lain untukmu bertahan selain meminum obat ini,” terang Martin. “Aku akan pastikan kamu tak akan kehilangan seluruh ingatanmu,”

Karen menggigit bibirnya, dilema luar biasa. Di satu sisi pikirannya menolak untuk meminum obat yang disinyalir bisa makin menghilangkan ingatannya, namun di sisi lain, dia juga tidak ingin mati. Semua sungguh berat, namun wajah kesedihan Martin akhirnya membuat Karen luluh. Dia pun akhirnya mau meminum obat itu tanpa banyak tuntutan.

Martin tampak sangat puas saat dia telah memastikan bahwa Karen sudah menelan habis obatnya. Setelah mencium kening Karen, Martin pamit membersihkan diri karena lelah setelah perjalanan panjang dari kota. Ini adalah akhir pekan, dimana dia selalu menyempatkan waktunya untuk menjenguk Karen.

Keluar dari kamar mandi dalam keadaan segar, Martin bisa melihat sosok cantik Karen dengan rambut panjangnya yang tergerai sedang duduk melamun di tepi ranjang kamar mereka. Martin tersenyum simpul, perlahan menghampiri Karen dan duduk di sebelahnya sambil melingkarkan lengan ke pinggang Karen. Dia endusi leher Karen, penuh kemesraan dan gairah.

“Sayang, apa kamu merindukanku?” tanya Martin.

Karen tak bersuara, dan Martin terus berusaha membangkitkan gairah Karen dengan segala caranya sebagai seorang suami yang baik. Meski Karen tak menjawab pertanyaan Martin, dia membiarkan suaminya itu menikmati tubuhnya.

“Martin … “ panggil Karen. “Bisakah kamu memberi bukti bahwa kita memang benar suami istri?”

Tabir yang Terungkap

“Berikan padaku bukti, Martin. Buktikan jika kita memang benar sudah menikah,” pinta Karen.

Martin yang semula penuh gairah dan merengkuh tubuh istrinya, perlahan mulai menjauh. Gairahnya itu telah menguap hilang entah kemana, dan tergantikan perasaan tak enak yang serasa ingin dia muntahkan. Perasaan terluka karena gairahnya yang tak terbalas.

“Apa yang kamu mau, Karen? Bukti seperti apa?” tanya Martin, berusaha tetap bersabar.

“Apapun! Bukti yang bisa meyakinkanku,” jawab Karen dengan nada meninggi. “Mungkin foto pernikahan kita,”

Martin tampak diam berpikir. Kemudian dia berjalan meraih dompetnya yang ada di meja rias milik Karen, kemudian mengeluarkan selembar foto usang dan menunjukkannya pada Karen. Di sana Karen bisa melihat dia dan Martin sedang duduk berdampingan, masing-masing memegang segelas wine dan tertawa bahagia. Martin juga melingkarkan sisi kiri tangannya ke bahu Karen.

“Aku tak membawa foto pernikahan kita ke rumah ini, tapi aku selalu menyimpan foto pertama kita di dompetku,” kenang Martin sambil tersenyum.

Karen menggenggam foto itu, mengamatinya dalam-dalam. Setiap sudut, tekstur dan bahkan noda yang menempel pada selembar foto usang itu juga tak luput dari penglihatan tajamnya. Karen meneliti apapun, apapun yang bisa membawanya kembali mendapatkan memorinya.

Martin menarik tubuh Karen agar berhadapan dengannya. “Kamu tahu aku sangat mencintaimu, Karen. Kenapa kamu masih meragukanku?” protes Martin dengan raut sedih.

Karen tampak bimbang. “Maafkan aku, Martin. Tapi hilangnya memoriku ini sungguh membuatku pusing. Bayangkan kamu jadi aku, dimana yang kamu ingat hanyalah namamu sendiri,”

“Aku tahu,” Martin menggenggam erat kedua tangan Karen. “Tapi ini semua adalah bentuk usaha kita untuk menyembuhkanmu. Dokter masih terus berupaya untuk mencari cara terbaik agar kamu sembuh, Sayang,” mohon Martin dengan mata yang berkaca-kaca.

Karen tak bisa menimpali, selain hanya menatap penuh maaf ke dalam wajah Martin. Sambil terus memandangi Martin, Karen menggenggam erat foto usang itu. Tiba-tiba dia berseru, entah apa yang dipikirkannya.

“Martin, jika kita bisa foto berdua, pasti ada yang fotoin kita, kan?” celetuk Karen tiba-tiba.

Raut Martin bertransformasi dari sedih menjadi sedikit tegang setelah mendengar pertanyaan Karen. Dia menegakkan tubuhnya, alisnya yang tebal dan tajam menumpu jadi satu, antara kesal dan bingung.

“Apa pentingnya, Sayang?”

“Ini penting!” seru Karen. “Aku merasa … aku merasa punya ikatan kuat dengan orang yang membidik kita, Martin! Siapa dia? Kumohon,” rengek Karen, tak putus asa.

Martin memejamkan mata, menarik nafas dan menghembuskannya keras. Entah kenapa Karen sungguh memiliki lonjakan emosi yang meletup-letup, layaknya kembang api.

“Aku akan memberitahumu, tapi dengan satu syarat,” ucap Martin.

“Apa?”

“Kamu akan melayaniku malam ini,” pinta Martin. Dia ingin kembali melanjutkan gairah kuat yang semula sempat timbul, sebelum Karen tiba-tiba menginterupsi.

Karen menggigit bibirnya, cemas bukan main. Selain dia tak mengingat apapun selain namanya sendiri, Karen juga masih ragu akan status pernikahannya dengan Martin. Membayangkan menghabiskan waktu semalaman bersama pria yang tiba-tiba asing untuknya, sungguh suatu hal yang menyeramkan. Namun Karen juga tak ingin mengecewakan Martin. Bagaimana jika Martin memang benar-benar suaminya?

“Baiklah … “ balas Karen pada akhirnya.

Martin tersenyum penuh maksud, kembali menarik foto usang yang terus digenggam oleh Karen.

“Foto ini … diambil oleh … Sierra,” Martin menyeringai, tampak sangat senang telah berhasil mengerjai Karen.

Karen yang kesal segera memukul berkali-kali bahu Martin, meskipun tentu tak berefek apapun untuk Martin yang berbadan besar. Kemudian mereka berdua terlibat pertikaian panas di atas ranjang, dengan Karen yang pasrah saja menuruti gairah besar dari Martin.

* * *

“Ini sarapannya, Nona Karen,” ujar Sierra, meletakkan sepiring toast lengkap dengan pendampingnya, ke hadapan Karen.

“Tidurmu semalam nyenyak, Sayang?” tanya Martin yang tampak sangat bersemangat di Minggu pagi yang cerah.

“Iya, sangat nyenyak. Setelah kamu hajar selama dua malam,” gerutu Karen kesal.

Martin yang tak menyangka dengan jawaban Karen, seketika tertawa keras, terbahak-bahak, bahagia luar biasa. Bahkan Sierra yang sedang mencuci piring juga ikut tertular tawa Martin.

“Sierra, kamu bisa ikut makan bersama kami,” ajak Martin setelah Sierra menyelesaikan pekerjaannya.

Sierra tampak bingung dan gugup. “T-tapi Tuan … “

“Nggak apa-apa, Sierra. Lagian, cuman kamu satu-satunya temanku di sini,” timpal Karen, setuju dengan anjuran Martin.

Maka setelah mendapat persetujuan kedua majikannya, dengan malu-malu Sierra duduk bergabung bersama Martin dan Karen. Matanya sembunyi-sembunyi melirik Martin, dan keduanya juga saling tatap untuk beberapa detik.

“Setelah sarapan aku harus kembali, Sayang,” ucap Martin.

“Kenapa cepat sekali?” tanya Karen protes.

Martin tersenyum. “Iya, perjalanan ke kota cukup jauh, lima jam. Jadi aku harus menyimpan energiku untuk bekerja esok hari,”

Karen merengut, tampak tak terima, namun juga tak bisa berbuat apa-apa.

“Oh iya, Sierra. Aku sudah menyuruh orang untuk membawakan beberapa setel baju untukmu dan Karen. Mungkin nanti sore datang,” ucap Martin pada Sierra.

Sierra mengangguk patuh, menutup mulutnya yang sedang mengunyah agar lebih sopan. Karen yang mendengar percakapan itu, dahinya langsung berkerut.

“Untuk apa?” sahutnya.

“Tentu, Sayang. Ini di desa dan mereka tak punya baju-baju bermerk untuk dijual. Aku sengaja membelikannya dari kota khusus untukmu,” timpal Martin penuh sayang.

Setelah selesai makan, Sierra bergegas bangkit dan mengambil sebuah nampan kecil yang telah dia siapkan sebelumnya. Di sana sudah ada sebutir kapsul dan segelas air putih, yang siap Sierra berikan untuk Karen.

“Waktunya minum obat, Nona,” Sierra menyerahkan nampan kecil itu pada Karen.

Karen mengambil sebutir kapsul itu, mengamatinya, kemudian memandangi Martin dan Sierra bergantian. Kedua orang itu tampak tak sabar menunggu Karen segera menenggak habis kapsul itu. Maka dengan satu helaan nafas, Karen menelan kapsul itu dan segera minum sampai habis. Martin tampak tersenyum puas, memastikan Karen menelan kapsulnya.

“Aku harus pergi sekarang,” pamit Martin, bangkit berdiri dan membawa keperluan pentingnya.

Setelah menyaksikan adegan Karen meminum obatnya, Martin bergegas pergi bersama dua orang pengawal dan satu orang supirnya. Dan sekarang tinggallah Sierra, berdua saja bersama Karen, di dalam hutan yang jauh dari pemukiman warga. Rumah mewah besar itu, meskipun memiliki banyak fasilitas, akan tetap terasa sepi mengingat hanya Karen dan Sierra berdua saja yang tinggal di dalamnya.

“Nona, mumpung ini masih pagi, aku akan turun ke pasar untuk berbelanja keperluan makanan kita,” ijin Sierra setelah mobil Martin pergi.

“Oke, silahkan,” sahut Karen.

“Apa Nona mau ikut bersamaku? Atau sendirian di rumah? Karena saya akan membawa mobil, Nona,”

Karen menggeleng. “Nggak usah, kamu saja. Aku mendadak ngantuk,”

Maka setelah mendapat persetujuan dari Karen, Sierra segera bergegas pergi menaiki mobil yang disediakan Martin, menuju pasar di bawah bukit. Karen mengawasi kepergian Sierra hingga mobil wanita itu menghilang. Setelah Sierra benar-benar pergi, Karen berlari sangat cepat mengganti pakaiannya yang panjang, untuk lebih kasual dengan celana jeans, sweater dan kaos. Dia juga tak lupa mengenakan topi untuk menyamarkan penampilannya.

Meskipun Karen dianggap sebagai istri tuan muda kaya raya seperti Martin Willis, nyatanya Martin sama sekali tak meninggalkan uang sepeser pun untuk Karen. Semua keperluan disiapkan oleh Sierra, dan Karen tak boleh memegang uang sendiri. Hal ini sudah cukup menjadi bukti bagi Karen, bahwa sikap Martin sungguh aneh.

Karen benar-benar kabur kali ini. Meskipun, dia meninggalkan catatan kecil di pintu kulkas untuk Sierra, bahwa dia hanya berjalan-jalan sebentar di belakang rumah. Namun Karen terus melaju, menjauh dari rumah mewah itu, menuju sumber suara air sungai yang deras di belakang rumah cukup jauh. Dan ketika Karena berhasil menemukan sungai deras nan dalam itu, tanpa banyak pikiran, Karen nekat terjun ke dalamnya.

Byurr!!!

Bunyi bedebam tubuh Karen yang menghantam derasnya air sungai cukup nyaring, namun tentu tak ada yang mendengarnya. Kepala Karen pusing. Sangat pusing, dan berbagai macam kepingan-kepingan kejadian berkelebat di dalam kepalanya, silih berganti tak beraturan. Karen terus menjaga agar tubuhnya ada di dalam air. Hal baru yang diketahui Karen, beruntung dia bisa berenang dengan mahir. Sungai jernih yang dalam itu menjadi tempat di mana Karen berusaha mendapatkan kembali memorinya. Dan ketika dirasa puas serta mulai kehabisan nafas, Karen mulai naik ke atas permukaan. Mulutnya membuka, mengerjap-ngerjap mencari oksigen segar di udara terbuka. Kemudian Karen berenang gaya bebas ke tepi sungai terdekat.

Tubuh Karen basah sepenuhnya, kedinginan. Tertatih-tatih dia berusaha berjalan untuk mencari tempat yang hangat, dengan pakaian basahnya. Tangannya mengepal erat, menggigil kedinginan namun ada amarah yang tetap membuat wajahnya nampak panas.

“Brengsek kau, Martin!!!” teriak Karen, memegangi kepalanya. “Kembalikan Ray, suamiku, sialan!!!” umpatnya, sangat keras dan putus asa.

Karen menangis histeris, memukul keras tanah yang ada di bawahnya, dengan hati sakit dan tubuh yang menggigil.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!