“Aku suamimu, Karen,” ujar Martin, seraya memeluk erat tubuh Karen yang masih kebingungan.
Setelah semua dirasa selesai, para warga yang bergerombol mulai meninggalkan Karen dan Martin yang tetap berpelukan. Begitu pula wanita tua yang Karen belum sempat pertanyakan namanya, juga pergi meninggalkan Karen meski rautnya tetap khawatir.
“Karen, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Martin, mengamati setiap sudut tubuh Karen untuk memastikan tak ada yang luka.
Karen menggeleng dengan tatapan pias, tak hendak membalas dengan ramah setiap sudut kekhawatiran yang Martin tampakkan dari wajahnya. Lalu setelah cukup puas dengan keadaan Karen yang baik-baik saja, Martin segera menuntun Karen untuk masuk ke dalam mobil dan kembali ke rumah mewah mereka.
“Kenapa aku tinggal di sana?” tanya Karen, dalam perjalanan.
Martin melirik sekilas, lalu kemudian mencondongkan tubuhnya pada Karen. “Itu kan memang rumahmu, Sayang. Kamu sendiri yang minta ingin tinggal tenang di desa,”
Karen tak bergeming. Martin tampak sangat meyakinkan, dan seakan serba tahu apapun tentang Karen. Namun hati kecil Karen masih menolak untuk seratus persen percaya pada Martin.
“Akhirnya Anda pulang, Nona,” seru Sierra ketika mendengar suara pagar yang dibuka dan Martin serta Karen masuk ke dalam rumah mewah mereka.
Sierra berlari kecil menghampiri Karen. “Nona, kenapa Nona kabur dari rumah?”
Karen tak ingin menjawab, namun lirikannya pada Sierra menyiratkan suatu hal. Seakan bagi Karen, pertanyaan Sierra tak penting, namun dia ingin mengajukan pertanyaannya sendiri.
“Kenapa kamu memanggilku Nona?” selidik Karen. “Aku kan istrinya,” Dia menunjuk Martin yang berdiri di sebelahnya.
Sierra terkesiap untuk beberapa saat. Sambil sedikit melirik Martin, dia lalu tertawa kecil.
“I-itu memang panggilan kesukaan Nona, kan?” jawab Sierra, berusaha sangat keras menyamarkan kegugupannya.
Karen memicingkan mata ke arah Sierra. “Apa aku bisa mempercayaimu?”
“Sudahlah, Sayang,” Martin membuyarkan ketegangan diantara Karen dan Sierra. “Ayo kita sarapan dulu,”
Sierra berseru senang dan tampak sangat setuju dengan ide Martin. Kemudian dia bergegas mempersiapkan meja makan untuk majikannya, dengan berbagai hidangan lezat dan segar yang dia masak sendiri.
“Martin, aku punya banyak pertanyaan untukmu,” ujar Karen di sela-sela sarapan mereka.
Martin melirik Sierra dan mengisyaratkannya untuk pergi memberi ruang personal bagi Martin dan Karen.
“Ada apa, Sayang?”
Setelah mendapatkan sambutan hangat dari Martin, Karen segera menegakkan posisi duduknya, meletakkan sendok garpu dengan rapi. Dia mengatur nafasnya, seakan sedang menghadapi sebuah proses wawancara yang rumit dan menegangkan.
“Kenapa aku tak mengingat apapun?” Pertanyaan pertama berhasil dilontarkan oleh Karen tanpa kesulitan.
Martin tampak tersenyum. “Aku akan menjawab pertanyaan itu sebagai pertanyaan terakhir,” balasnya. “Apa kamu tidak ada pertanyaan lainnya?”
Karen kembali berpikir keras setelah mendapatkan respon penolakan dari Martin. Kemudian dalam sekali tarikan nafas, dia berhasil mengucapkan pertanyaannya.
“Siapa kamu?”
“Aku Martin Willis, suami Karen Stevens,” jawab Martin mantap.
Karen mengangguk kecil, tampak menerima jawaban penuh keyakinan dari Martin.
“Kenapa aku ada di rumah ini, sedangkan kamu tidak?”
Martin tertawa kecil. “Seperti yang kubilang tadi, kamu yang ingin tinggal di sini. Dan aku tidak mungkin ikut tinggal di sini, sementara aku harus menjalankan bisnisku di kota. Jadi aku selalu menjengukmu setiap akhir pekan,” jelas Martin panjang lebar.
Dan penjelasan ini juga bisa diterima dengan baik oleh Karen. Dia kembali manggut-manggut, menatap Martin seakan mencari kejujuran di sana.
“Sekarang aku bisa bertanya, kan? Kenapa aku tak ingat apapun?”
Martin tampak sedikit sedih saat mendengar pertanyaan terakhir dari Karen. Dia menundukkan pandangannya, seakan sedang menata hati untuk memilih kata-kata yang terbaik untuk diucapkan pada Karen.
“Martin?” panggil Karen, karena Martin terus saja diam.
“Sayang … “ Martin menggenggam erat tangan Karen. “Apakah aku sungguh perlu menjelaskannya padamu?”
“Ya!” seru Karen sangat tegas. “Apapun itu, kamu harus menjelaskannya padaku,”
Martin mengangguk. Dia menyingkirkan piring di depannya, untuk lebih bisa berbicara intim dengan Karen. Mereka berdua saling menatap, meski tatapan Karin tajam nan serius, tatapan Martin justru menyorotkan kesedihan.
“Ini semua adalah efek samping dari obat yang harus kamu konsumsi setiap hari, Sayang,” terang Martin.
“Obat apa? Kenapa?” cecar Karen.
“Anemia aplastik,” jawab Martin pelan. “Tubuhmu … berhenti memproduksi sel darah dan akibatnya, tubuhmu tak bisa mengeringkan luka. Makanya, Sayang, aku sangat mengkhawatirkanmu dan sebisa mungkin menyuruh Sierra mengawasimu,”
“Apa?” tanggapan Karen tetap sama karena dia masih belum bisa memahami semuanya.
Martin mengangguk berat. “Cara satu-satunya adalah dengan bantuan obat, yang efek sampingnya bisa membuatmu kehilangan sedikit ingatan,”
“Aku tak merasakan sakit apapun!” kilah Karen tak terima.
Martin mengelus kedua lengan Karen, berusaha menabahkan istrinya.
“Dan obat itulah yang membantu tubuhmu, jadi, tak ada pilihan lain bagiku,” ucap Martin penuh penyesalan. “Maafkan aku, Karen, Sayangku,” Dia kembali merengkuh tubuh Karen.
Karen bisa mendengar Martin sedikit terisak setelah memberi penjelasan padanya. Namun reaksi yang diberikan Karen justru diluar dugaan. Wanita itu tampak tak senang dengan jawaban Martin, karena dia merasa tubuhnya sehat dan baik-baik saja.
“Nona, waktunya minum obat,” Sierra datang entah dari mana, membawa nampan kecil yang berisikan sebutir kapsul dan segelas air putih.
Sierra meletakkan nampan kecil itu di depan Karen, tersenyum kecil layaknya saat mereka pertama kali bertemu. Martin menyodorkan nampan kecil itu ke hadapan Karen, lalu mengambil kapsulnya untuk diberikan pada Karen.
“Ini, minumlah, Sayang,” pinta Martin.
“Tidak. Aku tidak sakit,” tolak Karen.
“Sayang, tak ada cara lain untukmu bertahan selain meminum obat ini,” terang Martin. “Aku akan pastikan kamu tak akan kehilangan seluruh ingatanmu,”
Karen menggigit bibirnya, dilema luar biasa. Di satu sisi pikirannya menolak untuk meminum obat yang disinyalir bisa makin menghilangkan ingatannya, namun di sisi lain, dia juga tidak ingin mati. Semua sungguh berat, namun wajah kesedihan Martin akhirnya membuat Karen luluh. Dia pun akhirnya mau meminum obat itu tanpa banyak tuntutan.
Martin tampak sangat puas saat dia telah memastikan bahwa Karen sudah menelan habis obatnya. Setelah mencium kening Karen, Martin pamit membersihkan diri karena lelah setelah perjalanan panjang dari kota. Ini adalah akhir pekan, dimana dia selalu menyempatkan waktunya untuk menjenguk Karen.
Keluar dari kamar mandi dalam keadaan segar, Martin bisa melihat sosok cantik Karen dengan rambut panjangnya yang tergerai sedang duduk melamun di tepi ranjang kamar mereka. Martin tersenyum simpul, perlahan menghampiri Karen dan duduk di sebelahnya sambil melingkarkan lengan ke pinggang Karen. Dia endusi leher Karen, penuh kemesraan dan gairah.
“Sayang, apa kamu merindukanku?” tanya Martin.
Karen tak bersuara, dan Martin terus berusaha membangkitkan gairah Karen dengan segala caranya sebagai seorang suami yang baik. Meski Karen tak menjawab pertanyaan Martin, dia membiarkan suaminya itu menikmati tubuhnya.
“Martin … “ panggil Karen. “Bisakah kamu memberi bukti bahwa kita memang benar suami istri?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments