Kisah Cinta Richard Eliz
"Totalnya 275 ribu, Mbak." Ucap wanita berprofesi sebagai kasir supermarket.
Pelanggan mengambil beberapa lembar uang dalam dompet lalu memberikannya pada kasir tersebut. Nota belanja keluar dari alat print yang berada di bagian depan meja kasir.
"Terima kasih," sembari memberikan nota belanja milik pelanggan.
Barulah kasir wanita itu bisa menarik napas lega mendapati sudah tak ada lagi pelanggan yang antri di depan mejanya.
"Rame sekali, aku sampai tak bisa membasahi tenggorokanku!" keluh nya dengan tangan menyambar sebotol air mineral lalu meneguk isinya hingga tandas. Desah lega terdengar dari bibir merah jambu nya.
"Aku sampai tak bisa membantumu karena ada pelanggan yang terus bertanya di lorong," ucap rekannya yang baru mendekati. "Sebenarnya aku kasihan melihatmu!"
"Tidak masalah, Rahma. Sekarang sudah sepi, aku akan menghitung uang pendapatan kita hari ini!"
"Baiklah, maaf aku tidak bisa membantumu Eliz, karena di lorong belakang sana cukup berantakan!"
"Ok, kerjakan saja tugasmu." Gegas Eliz merapikan lembaran uang dalam kotak kasir untuk ditata dengan rapi.
Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Saat ini sudah pukul 21.00, sudah waktunya supermarket tutup dan ia akan pulang.
"Wah, si tampan datang lagi kemari." Rahma mengurungkan niatnya menuju lorong belakang. Pemuda yang ia sebut si tampan itu lebih segalanya daripada lorong di belakang. Bahkan jika kerjaannya dia tunda besok pagi dia tak masalah asal sekarang ia bisa bersama si pemuda tampan tersebut.
"Kalau begitu layani dia, aku mau urus ini dulu," katanya tanpa ingin tahu siapa pelanggan tampan yang dimaksud oleh Rahma. Ia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri.
"Tunggu dulu," lengan Eliz tertahan oleh tangan Rahma. "Dia hanya kemari untuk mencarimu. Lihatlah dulu!"
Terpaksa Eliz menyempatkan diri untuk melihat siapa yang datang yang menurut Rahma mencari dirinya.
"Icad?" bibirnya bergeming pelan.
"El," senyum pria bernama Richard itu sudah mengembang terarah kepada Eliz. "Aku mau bicara!"
"Jadi maksudmu si tampan itu dia?" tunjuk Eliz pada Richard.
Rahma terkekeh seraya mengangguk membenarkan.
"Dia benar aku tampan, tidak ada alasan bagimu memelototinya, El." Seloroh Richard penuh percaya diri.
Kepercayaan diri yang Richard miliki memang selalu berhasil membuat Eliz memutar kedua bola matanya menandakan bahwa ia sudah bosan dengan kepedean itu.
Richard memandang ke arah Rahma yang tak berhenti memandanginya sambil senyum-senyum. "Sebentar lagi kau pulang kan, El? Kita bicara di luar. Aku tunggu di sini." Katanya mengabaikan pandangan Rahma yang sudah sering dia lihat.
"Sepenting apa sih, Cad. Katakan saja di sini!" protes Eliz.
"Ini agak panjang pembicaraannya, jadi jangan bicara di sini." Richard duduk di sebuah kursi panjang menunggu Eliz selesai dengan pekerjaannya.
Rahma turut senang. Ia mendekati Richard dan menawarinya kopi.
"Kak, sambil menunggu Eliz mau kubuatkan kopi panas?" tawar Rahma.
"Emm, boleh. Jangan kebanyakan gula ya."
Rahma mengangguk cepat. Ia segera menuju ke meja pembuatan kopi.
"Apa yang mau kau bicarakan?" tanya Eliz dari arah meja kasir.
"Ada pokoknya," Richard mengedipkan satu matanya, sekaligus senyum indah yang tak pernah luntur dari bibirnya.
"Kondisikan matamu, jangan menggodaku. Kau pasti ada maunya jika sudah seperti itu!" sarkas Eliz.
"Siapa yang menggodamu. Tak kugoda saja kau sudah tergoda padaku!"
"Simpan percaya dirimu itu. Siapa juga yang tergoda padamu!" Eliz kembali menghitung uang yang ia dapatkan dari penjualan seharian ini.
Richard - Eliz adalah tetangga, sekaligus teman sekolah dari bangku TK, SD, SMP hingga SMA. Orang tua mereka tak pernah janjian mau menyekolahkan mereka di sekolah yang sama. Namun secara tidak sengaja saja mereka dipersatukan dalam lingkup sekolah dan kampung yang sama.
Dan hingga hari ini tidak pernah ada yang menyangka jika mereka masih berteman baik. Richard - Eliz. Mereka sering berjalan bersama, sering menghabiskan waktu berdua hanya untuk menceritakan keseharian mereka di tempat kerja masing-masing. Bahkan orang tua mereka sudah menganggap mereka anak-anak mereka sendiri. Apalagi mama Eliz, yang merasa aman ketika melihat Eliz bersama Richard.
"Kenapa memandangku begitu? Kangen?" seloroh Richard yang membuat Eliz mengalihkan pandang. Dirinya hanya membatin kapan dia mulai memandang Richard, bukankah tadi ia menghitung uang?
"Hanya heran saja, kenapa kau bahagia sekali hari ini. Biasanya juga tidak." Yes, Eliz mendapatkan kalimat yang menurutnya tepat.
"Ada sesuatu yang membuatku bahagia." Kata Richard semakin tersenyum lebar.
"Dapat pacar? Mana mungkin."
Richard cekikikan.
Rahma datang dengan dua cangkir kopi panas di tangan.
"Ini Kak Icad. Apa perlu aku sediakan camilan juga?"
"Tidak, ini saja, Rahma. Thanks ya!"
Rahma mengangguk dan tanpa izin dulu ia duduk di sebelah Richard.
Tingkah Rahma memang selalu berhasil membuat Richard mengerutkan keningnya heran. Wanita yang usianya 3 tahun di bawahnya itu selalu mendekatinya dan bersikap manja pada dirinya. Eliz saja sampai tertawa melihat kemanjaan rekan kerjanya itu pada Richard.
"Ada yang ingin kau lakukan, Rahma?" tanya Richard.
"Tidak. Hanya heran saja sama kalian berdua."
"Heran kenapa?"
"Kalian sudah lama kenal kenapa tidak menikah saja? Hampir sebulan ini kau tidak datang kemari, Eliz sering uring-uringan jadinya!"
"Kau ini bicara apa sih Ma. Sini kembali ke tempatmu, aku mau ke toilet!" sahut Eliz dengan mata membulat mengisyaratkan Rahma supaya tidak bicara aneh-aneh.
"Belum ada pelanggan Liz, nanti saja aku mau temani kak Icad dulu."
Richard terkekeh mendengarnya.
"Kalau begitu jangan bicara yang aneh-aneh padanya!" kata Eliz sebelum ia pergi ke toilet.
"Kenapa tidak pacaran sama Eliz, Kak?" Rahma masih meneruskan pembicaraannya tadi.
"Dia itu sahabatku, Rahma. Sahabat terbaik yang tak akan bisa jadi siapapun selain hanya sahabat."
"Jangan bilang begitu, nanti tiba-tiba dia hilang, Kakak bingung lo."
Richard terkekeh lagi. Ia tak terlalu menggubris ucapan Rahma dan sibuk melihat ponselnya yang sejak tadi ada notif pesan masuk.
Jam kerja Rahma dan Eliz telah habis. Setelah menutup supermarket dibantu rekan yang lain, mereka pun pulang.
Eliz berjalan bersama Richard yang kebetulan hari itu ia tak membawa mobil.
"Apa sepenting itu pesan yang masuk ke ponsel?" sindir Eliz pada Richard. Ia merasa diduakan dengan ponsel sejak tadi keluar supermarket.
Seketika Richard mengalihkan pandangnya dari ponsel ke arah Eliz.
"Kau merasa diduakan ya? Jangan cemburu!" Richard mengusap rambut Eliz hingga berantakan. "Sebentar, ada telepon."
Eliz memandang tubuh Richard yang menjauh darinya untuk menerima panggilan dari seseorang.
"Baru kali ini dia menerima panggilan menjauh dariku. Sepenting apa telepon itu?"
Eliz terpaksa mencari tempat nyaman untuk menunggu kedatangan Richard. Beruntung sekali dia saat melihat sebuah bangku kosong di depan sebuah warung yang tertutup. Ia pun duduk di sana sambil mengedarkan pandang melihat kendaraan yang berlalu lalang di jalan aspal di depannya.
"Lama sekali. Apa yang sedang mereka bicarakan," gumamnya mulai resah dan bosan.
Tak berapa lama kemudian datanglah Richard dengan bibirnya yang selalu tersenyum.
"Maaf El, aku dapat telepon penting." Richard duduk tepat di sebelah Eliz.
"Ya, sekarang aku terabaikan dengan telepon itu. Aku menunggumu di sini hampir 15 menit Icad!" ia lipat dua tangannya di depan dada dengan bibir manyun ke depan.
"Sudah, jangan merajuk. Ini, ada coklat untukmu!"
"Kau menyogok ku?" katanya tapi tetap saja menerima coklat itu.
"Tapi kau suka kan?"
Tak dipungkiri Eliz memang suka dengan coklat pemberian dari Richard.
"Aku memang selalu berhasil membuat mood mu kembali baik," dengan bangganya Richard berkata demikian.
"Tidak rugi karena sudah mengenalku 20 tahun lebih." Eliz membuka bungkus coklat tersebut. "Lalu, apa yang ingin kau bicarakan padaku?"
"Sesuatu yang pasti membuatmu terkejut!"
"Apa itu? Dapat proyek baru? Dapat uang banyak, gajian tambah atau-"
"Bukan semua."
"Lalu apa, jangan buat aku penasaran!"
Richard tertawa. Ia taruh lengannya melingkari bahu belakang Eliz. Ia pandang kendaraan yang berlalu lalang di jalanan depannya.
Terdengar suara Eliz mencecap coklat yang sangat ia sukai itu.
"Tebakanmu tadi benar." Katanya.
"Tebakan yang mana?" Eliz mencoba mengingat-ingat apa yang ia tebak tadi.
"Aku punya pacar."
Eliz menghentikan kunyahan nya.
"Seorang gadis yang bekerja denganku sekitar sebulan ini. Saat bersamanya aku merasa berbeda dan ... nyaman. Karena itulah aku menawarinya menjadi pacarku, dan dia mau!"
Lidah Eliz seketika kelu untuk menanggapinya. Ada perasaan berbeda yang sulit ia ungkapkan di dalam hatinya saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
흫_흫Alfiヾ(≧▽≦*)o
ya ampun si tampan memang tidak boleh di lewatkan
2023-01-26
2
khey
cieee.. se PD PDnya Richard, ternyata eliz lebih PD lagi 😀🙁
2023-01-18
4
Yudi Saputra
Patah hati kan Eliz...
2023-01-16
2