Langkah kaki Richard begitu cepat melewati lorong rumah sakit hingga ia tak menyadari telah membuat Eliz terseok-seok mengikutinya.
"Cad, tunggu!" seruan Eliz tak terdengar oleh Richard. Pria itu terus saja berjalan cepat setengah berlari menuju ke ruangan dimana Lusi berada sekarang.
Napas Eliz terengah saat ia sudah sampai di ruangan Lusi.
"Aku tau dulu kau atlet lari, tapi nggak di rumah sakit juga prakteknya Cad," keluh Eliz yang tak di dengar oleh Richard. Wanita itu hanya berdiri memandang ke dalam dari dekat pintu.
Terlihat beberapa kali Richard mengusap bagian kepala Lusi hingga melihat ke arah luka di beberapa bagian tubuh Lusi yang dibalut perban. Eliz bisa menangkap kekhawatiran yang saat ini dirasakan oleh Richard terhadap Lusi. Tiba-tiba saja hati Eliz sakit melihat itu.
"Siapa yang menyerempetmu, apa dia sudah tertangkap?"
"Aku tidak tau, Rich. Setelah terserempet, aku pingsan dan entahlah ... warga yang katanya membawaku kemari."
"Bukannya tadi kau sudah aku antar pulang, lalu kenapa kau keluar rumah lagi. Kau mau kemana, Sayang?"
"Emmm ... hanya mau ke warung beli pembalut. Aku lupa beli tadi sore."
"Kau ini. Untunglah warga cepat menolongmu. Apa kau sudah menghubungi orang tuamu?" tanya Richard.
"Aku tidak perlu menghubungi papa dan mama. Dia sedang ada di luar negeri, aku tak mau membuat mereka khawatir."
Richard menangkup kedua tangan Lusi dengan penuh kasih sayang. Tak lupa ia mendaratkan kecupan di sana.
"Kalau begitu, aku akan menemanimu sampai kau sembuh."
Eliz menunduk, membalikkan badannya lalu perlahan meninggalkan tempat menyiksa itu.
"Aku pulang saja, untuk apa aku di sini," dadanya sesak, sesuatu dari sana seperti mendesak ingin keluar.
"Tidak perlu bilang ke Richard kalau aku akan pulang, untuk apa. Dia sedang sibuk-" tubuhnya berbalik ke belakang saat seseorang menarik tangannya ke belakang.
"Icad?" ucapnya dengan mata basah .
"Kau mau kemana? Kau belum menemui Lusi."
Eliz menahan air matanya di pelupuk. "Pulanglah, aku tadi lihat Lusi baik-baik saja. Dan kau harus menemani dia istirahat. Tidak boleh ada tamu mengganggu pasien malam-malam begini kan?"
"Kenapa matamu basah dan hidungmu merah. Kau nangis?"
"Hei, sejak kapan aku nangis. Barusan aku menguap," Eliz mengusap wajahnya dan sok menguap di depan Richard. "Aku agak ngantuk, makanya aku tidak masuk ke dalam menemui kekasihmu tadi."
"Temui Lusi sebentar, nanti aku antar kau pulang!"
"Besok kan bisa. Biarkan dia istirahat dulu. Temani dia Ok. Aku pulang." Eliz melepaskan tangan Richard.
"Naik apa?"
"Taksi lah!"
"Tunggu di sini, aku antar kau pulang!"
"Tidak usah, aku bukan anak kecil, aku berani pulang sendiri."
"Kau sahabatku, mamamu akan lebih tenang kalau aku yang mengantarmu pulang."
Eliz mengulum senyumnya. "Sampai kapan kau menuruti mamaku terus. Kita sudah mulai punya kehidupan pribadi sendiri Richard."
"Aku tidak bisa melepasmu sendiri begitu saja, nanti kalau kau hilang bagaimana. Tunggu di sini, aku akan mengantarmu!"
"Tidak," Eliz berseru menghentikan Richard yang hampir berbalik ke arah ruangan Lusi. "Temani saja Lusi, ini juga masih sore, aku bisa pulang sendiri."
Richard melirik jam tangan yang melingkari pergelangan kanannya. Jarum jam itu menunjukkan pukul setengah 10.
"Masih setengah 10 kan. Masih aman Icad, santai saja. Aku akan mengabarimu sesampinya aku di rumah. Aku janji!"
Richard sebenarnya tidak tega membiarkan Eliz pulang sendiri. Akan tetapi, Eliz bersikeras tidak mau diantar pulang, sehingga Richard pun terpaksa mengiyakan keinginan Eliz pulang sendiri dengan taksi.
**
"Siapa yang kau temui Rich?" tanya Lusi ketika Richard sudah kembali ke ruangannya.
"Eliz. Tadi aku datang ke sini dengannya, tapi dia tidak mau masuk menemuimu. Dia ingin kau istirahat dan mendoakan segera pulih."
"Ah sayang sekali," Lusi nampak kecewa. "Harusnya aku ketemu sahabat setiamu itu hari ini."
"Hemmm."
Setelah berdehem Richard kembali terdiam, menimbulkan tanya untuk Lusi yang sedari tadi memperhatikannya.
"Kenapa murung?" tanya Lusi.
"Hanya khawatir saja kalau Eliz pulang sendiri, apalagi ini sudah malam." Ia kembali melihat jam tangannya untuk kesekian kalinya.
Sejak tadi hatinya tak tenang membayangkan Eliz pulang sendirian. Sebelumnya wanita itu tak pernah pulang sendiri karena Richard selalu memantaunya, dan jika diharuskan dari tempat kerja Eliz pulang di atas pukul 9, maka dia yang akan menjemput Eliz dan memastikan Eliz aman sampai masuk rumah.
Richard berdiri dari tempatnya seketika.
"Kau mau kemana?"
"Aku harus menyusul Eliz dan memastikan dia sampai di rumah." Jawabnya.
"Dan meninggalkanku?"
Keduanya saling memandang dengan sorot mata yang berbeda.
"Eliz sudah besar. Dan dia pulang naik taksi kan?"
Richard mengangguk.
"Kau terlalu berlebihan Rich, Eliz itu sudah dewasa, dia bisa pulang sendiri, Sayang."
Richard masih tak bergeming dari tempatnya.
Susah payah Lusi meraih tangan Richad dan menggenggamnya.
"Aku tau kau sangat bertanggung jawab, apalagi denganku dan Eliz sahabatmu itu. Tapi, mana sekarang yang lebih membutuhkan dirimu? Aku atau Eliz. Dan siapa kekasihmu, aku atau Eliz?"
"Lusi-"
"Aku kekasihmu kan? Calon masa depanmu, tapi kau memikirkan Eliz. Kau tidak menyadari bagaimana perasaanku?"
Segera Richard kembali duduk dan menenangkan Lusi. "Maaf, aku terlalu khawatir dengan Eliz."
"Apa tadi kau juga khawatir saat aku mengatakan aku kecelakaan?"
"Tentu saja, Lusi. Aku sudah hampir sampai rumah tapi aku tetap ke sini untuk melihat keadaanmu."
"Tidak usah bohong!" Lusi merajuk.
"Kata siapa. Tanyakan saja pada Eliz jika kalian bertemu nanti!"
Richard tersenyum dan mengusap kepala Lusi beberapa kali.
"Maafkan aku, Ok." Richard mendaratkan kecupan di dahi Lusi supaya wanita itu bisa tenang kembali. "Aku akan menemanimu di sini."
Barulah Lusi bisa tersenyum mendengar kalimat terakhir dari Richard.
Lusi sudah tidur lelap. Ini kesempatan bagi Richard untuk melihat ponselnya.
Sayangnya, rasa gundah di hati Richard belum terobati tatkala tidak ada satu pesanpun dari Eliz yang masuk ke ponselnya. Harusnya jika mengikuti durasi waktu dan jarak rumah sakit dengan rumah Eliz, harusnya Eliz sudah sampai di rumah setengah jam lalu. Tapi kenapa dia tidak mengiriminya pesan singkat atau menelpon?
[Eliz, apa kau sudah sampai rumah?]
Send
Richard mengirimkan pesan terlebih dulu ke Eliz.
Centang satu.
Kekhawatiran Richard semakin menjadi-jadi. Ia sedikit menjauh dari Lusi dan melakukan panggilan ke nomor Eliz. Tapi, tak diangkat.
"Eliz, kau dimana?" ia semakin resah.
Ting
Mendengar ada notif pesan masuk ke ponselnya, Richard segera melihat ponselnya kembali.
[Aku sudah sampai rumah, Icad. Aku baru dari toilet]
Barulah Richard bisa bernapas dengan lega. Ia duduk kembali ke kursinya dan mengirimkan pesan balik ke Eliz.
[Kau terlambat mengirim pesan. Harusnya sebelum ke toilet kau mengirim pesan dulu padaku]
Send
Tak sampai 1 menit ia sudah mendapatkan pesan balasan dari Eliz.
[Kau mau aku ngompol seperti di TK dulu? Kau mau membersihkannya]
Richard tertawa dengan lirih, tak ingin Lusi mendengarnya.
[Lain kali, dahulukan aku. Tahan dulu pipismu. Aku tidak suka diduakan]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Cellestria
kasian Eliz
2023-01-25
1
Yudi Saputra
Jadi Richard itu serba salah, di satu sisi dia membutuhkan sahabatnya karena terbiasa di sisi lain dia butuh pengisi hatinya
2023-01-16
4
⭕ BluJoker
Aku kehabisan kata"😂
2023-01-04
2