"Totalnya 275 ribu, Mbak." Ucap wanita berprofesi sebagai kasir supermarket.
Pelanggan mengambil beberapa lembar uang dalam dompet lalu memberikannya pada kasir tersebut. Nota belanja keluar dari alat print yang berada di bagian depan meja kasir.
"Terima kasih," sembari memberikan nota belanja milik pelanggan.
Barulah kasir wanita itu bisa menarik napas lega mendapati sudah tak ada lagi pelanggan yang antri di depan mejanya.
"Rame sekali, aku sampai tak bisa membasahi tenggorokanku!" keluh nya dengan tangan menyambar sebotol air mineral lalu meneguk isinya hingga tandas. Desah lega terdengar dari bibir merah jambu nya.
"Aku sampai tak bisa membantumu karena ada pelanggan yang terus bertanya di lorong," ucap rekannya yang baru mendekati. "Sebenarnya aku kasihan melihatmu!"
"Tidak masalah, Rahma. Sekarang sudah sepi, aku akan menghitung uang pendapatan kita hari ini!"
"Baiklah, maaf aku tidak bisa membantumu Eliz, karena di lorong belakang sana cukup berantakan!"
"Ok, kerjakan saja tugasmu." Gegas Eliz merapikan lembaran uang dalam kotak kasir untuk ditata dengan rapi.
Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Saat ini sudah pukul 21.00, sudah waktunya supermarket tutup dan ia akan pulang.
"Wah, si tampan datang lagi kemari." Rahma mengurungkan niatnya menuju lorong belakang. Pemuda yang ia sebut si tampan itu lebih segalanya daripada lorong di belakang. Bahkan jika kerjaannya dia tunda besok pagi dia tak masalah asal sekarang ia bisa bersama si pemuda tampan tersebut.
"Kalau begitu layani dia, aku mau urus ini dulu," katanya tanpa ingin tahu siapa pelanggan tampan yang dimaksud oleh Rahma. Ia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri.
"Tunggu dulu," lengan Eliz tertahan oleh tangan Rahma. "Dia hanya kemari untuk mencarimu. Lihatlah dulu!"
Terpaksa Eliz menyempatkan diri untuk melihat siapa yang datang yang menurut Rahma mencari dirinya.
"Icad?" bibirnya bergeming pelan.
"El," senyum pria bernama Richard itu sudah mengembang terarah kepada Eliz. "Aku mau bicara!"
"Jadi maksudmu si tampan itu dia?" tunjuk Eliz pada Richard.
Rahma terkekeh seraya mengangguk membenarkan.
"Dia benar aku tampan, tidak ada alasan bagimu memelototinya, El." Seloroh Richard penuh percaya diri.
Kepercayaan diri yang Richard miliki memang selalu berhasil membuat Eliz memutar kedua bola matanya menandakan bahwa ia sudah bosan dengan kepedean itu.
Richard memandang ke arah Rahma yang tak berhenti memandanginya sambil senyum-senyum. "Sebentar lagi kau pulang kan, El? Kita bicara di luar. Aku tunggu di sini." Katanya mengabaikan pandangan Rahma yang sudah sering dia lihat.
"Sepenting apa sih, Cad. Katakan saja di sini!" protes Eliz.
"Ini agak panjang pembicaraannya, jadi jangan bicara di sini." Richard duduk di sebuah kursi panjang menunggu Eliz selesai dengan pekerjaannya.
Rahma turut senang. Ia mendekati Richard dan menawarinya kopi.
"Kak, sambil menunggu Eliz mau kubuatkan kopi panas?" tawar Rahma.
"Emm, boleh. Jangan kebanyakan gula ya."
Rahma mengangguk cepat. Ia segera menuju ke meja pembuatan kopi.
"Apa yang mau kau bicarakan?" tanya Eliz dari arah meja kasir.
"Ada pokoknya," Richard mengedipkan satu matanya, sekaligus senyum indah yang tak pernah luntur dari bibirnya.
"Kondisikan matamu, jangan menggodaku. Kau pasti ada maunya jika sudah seperti itu!" sarkas Eliz.
"Siapa yang menggodamu. Tak kugoda saja kau sudah tergoda padaku!"
"Simpan percaya dirimu itu. Siapa juga yang tergoda padamu!" Eliz kembali menghitung uang yang ia dapatkan dari penjualan seharian ini.
Richard - Eliz adalah tetangga, sekaligus teman sekolah dari bangku TK, SD, SMP hingga SMA. Orang tua mereka tak pernah janjian mau menyekolahkan mereka di sekolah yang sama. Namun secara tidak sengaja saja mereka dipersatukan dalam lingkup sekolah dan kampung yang sama.
Dan hingga hari ini tidak pernah ada yang menyangka jika mereka masih berteman baik. Richard - Eliz. Mereka sering berjalan bersama, sering menghabiskan waktu berdua hanya untuk menceritakan keseharian mereka di tempat kerja masing-masing. Bahkan orang tua mereka sudah menganggap mereka anak-anak mereka sendiri. Apalagi mama Eliz, yang merasa aman ketika melihat Eliz bersama Richard.
"Kenapa memandangku begitu? Kangen?" seloroh Richard yang membuat Eliz mengalihkan pandang. Dirinya hanya membatin kapan dia mulai memandang Richard, bukankah tadi ia menghitung uang?
"Hanya heran saja, kenapa kau bahagia sekali hari ini. Biasanya juga tidak." Yes, Eliz mendapatkan kalimat yang menurutnya tepat.
"Ada sesuatu yang membuatku bahagia." Kata Richard semakin tersenyum lebar.
"Dapat pacar? Mana mungkin."
Richard cekikikan.
Rahma datang dengan dua cangkir kopi panas di tangan.
"Ini Kak Icad. Apa perlu aku sediakan camilan juga?"
"Tidak, ini saja, Rahma. Thanks ya!"
Rahma mengangguk dan tanpa izin dulu ia duduk di sebelah Richard.
Tingkah Rahma memang selalu berhasil membuat Richard mengerutkan keningnya heran. Wanita yang usianya 3 tahun di bawahnya itu selalu mendekatinya dan bersikap manja pada dirinya. Eliz saja sampai tertawa melihat kemanjaan rekan kerjanya itu pada Richard.
"Ada yang ingin kau lakukan, Rahma?" tanya Richard.
"Tidak. Hanya heran saja sama kalian berdua."
"Heran kenapa?"
"Kalian sudah lama kenal kenapa tidak menikah saja? Hampir sebulan ini kau tidak datang kemari, Eliz sering uring-uringan jadinya!"
"Kau ini bicara apa sih Ma. Sini kembali ke tempatmu, aku mau ke toilet!" sahut Eliz dengan mata membulat mengisyaratkan Rahma supaya tidak bicara aneh-aneh.
"Belum ada pelanggan Liz, nanti saja aku mau temani kak Icad dulu."
Richard terkekeh mendengarnya.
"Kalau begitu jangan bicara yang aneh-aneh padanya!" kata Eliz sebelum ia pergi ke toilet.
"Kenapa tidak pacaran sama Eliz, Kak?" Rahma masih meneruskan pembicaraannya tadi.
"Dia itu sahabatku, Rahma. Sahabat terbaik yang tak akan bisa jadi siapapun selain hanya sahabat."
"Jangan bilang begitu, nanti tiba-tiba dia hilang, Kakak bingung lo."
Richard terkekeh lagi. Ia tak terlalu menggubris ucapan Rahma dan sibuk melihat ponselnya yang sejak tadi ada notif pesan masuk.
Jam kerja Rahma dan Eliz telah habis. Setelah menutup supermarket dibantu rekan yang lain, mereka pun pulang.
Eliz berjalan bersama Richard yang kebetulan hari itu ia tak membawa mobil.
"Apa sepenting itu pesan yang masuk ke ponsel?" sindir Eliz pada Richard. Ia merasa diduakan dengan ponsel sejak tadi keluar supermarket.
Seketika Richard mengalihkan pandangnya dari ponsel ke arah Eliz.
"Kau merasa diduakan ya? Jangan cemburu!" Richard mengusap rambut Eliz hingga berantakan. "Sebentar, ada telepon."
Eliz memandang tubuh Richard yang menjauh darinya untuk menerima panggilan dari seseorang.
"Baru kali ini dia menerima panggilan menjauh dariku. Sepenting apa telepon itu?"
Eliz terpaksa mencari tempat nyaman untuk menunggu kedatangan Richard. Beruntung sekali dia saat melihat sebuah bangku kosong di depan sebuah warung yang tertutup. Ia pun duduk di sana sambil mengedarkan pandang melihat kendaraan yang berlalu lalang di jalan aspal di depannya.
"Lama sekali. Apa yang sedang mereka bicarakan," gumamnya mulai resah dan bosan.
Tak berapa lama kemudian datanglah Richard dengan bibirnya yang selalu tersenyum.
"Maaf El, aku dapat telepon penting." Richard duduk tepat di sebelah Eliz.
"Ya, sekarang aku terabaikan dengan telepon itu. Aku menunggumu di sini hampir 15 menit Icad!" ia lipat dua tangannya di depan dada dengan bibir manyun ke depan.
"Sudah, jangan merajuk. Ini, ada coklat untukmu!"
"Kau menyogok ku?" katanya tapi tetap saja menerima coklat itu.
"Tapi kau suka kan?"
Tak dipungkiri Eliz memang suka dengan coklat pemberian dari Richard.
"Aku memang selalu berhasil membuat mood mu kembali baik," dengan bangganya Richard berkata demikian.
"Tidak rugi karena sudah mengenalku 20 tahun lebih." Eliz membuka bungkus coklat tersebut. "Lalu, apa yang ingin kau bicarakan padaku?"
"Sesuatu yang pasti membuatmu terkejut!"
"Apa itu? Dapat proyek baru? Dapat uang banyak, gajian tambah atau-"
"Bukan semua."
"Lalu apa, jangan buat aku penasaran!"
Richard tertawa. Ia taruh lengannya melingkari bahu belakang Eliz. Ia pandang kendaraan yang berlalu lalang di jalanan depannya.
Terdengar suara Eliz mencecap coklat yang sangat ia sukai itu.
"Tebakanmu tadi benar." Katanya.
"Tebakan yang mana?" Eliz mencoba mengingat-ingat apa yang ia tebak tadi.
"Aku punya pacar."
Eliz menghentikan kunyahan nya.
"Seorang gadis yang bekerja denganku sekitar sebulan ini. Saat bersamanya aku merasa berbeda dan ... nyaman. Karena itulah aku menawarinya menjadi pacarku, dan dia mau!"
Lidah Eliz seketika kelu untuk menanggapinya. Ada perasaan berbeda yang sulit ia ungkapkan di dalam hatinya saat ini.
"Ini fotonya. Lihatlah!" dengan penuh semangat Richard menunjukkan foto kekasihnya yang ia simpan dalam ponsel miliknya. "Bagaimana menurutmu?"
Eliz memperhatikan gadis itu dengan penuh kekaguman. Ia cantik, berkulit putih dengan rambutnya yang lurus panjang. Dalam foto itu ia tersenyum hingga lesung pipit di salah satu pipinya terlihat. Pantas jika Richard menyukainya karena memang dari segi paras wanita itu memang lah cantik.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Richard kembali lantaran Eliz tak kunjung memberikan pendapatnya di pertanyaan awalnya tadi.
"Cantik." Jawab Eliz singkat. Ia bisa melihat Richard tersenyum bahagia dengan jawaban yang ia berikan.
"Ya, aku tau itu. Itu salah satunya kenapa aku menyukainya. Dia juga gadis riang dan suka bercanda," katanya sambil terus menatap foto itu tanpa berkedip. "Dia juga pekerja keras. Aku suka."
Mata Eliz memanas merasai ada air mata yang merembes di sana.
"Tinggi badannya hampir sama dengan tinggi mu!"
Meski tiba-tiba hatinya merasakan sakit, Eliz tetap berusaha untuk tersenyum demi Richard. "Aku bisa lihat kau sungguh mencintainya!"
"Ya, El. Cinta pertama pada pandangan pertama."
"Baguslah. Aku pikir kau tidak suka dengan lawan jenis." Eliz masih mencoba untuk bercanda.
"Jangan mengada-ngada. Aku tidak pernah mengatakan itu." Richard menyenggol bahu Eliz. "Sekarang giliranmu cari kekasih. Aku sudah dapat!"
"Aku takut." Jawaban Eliz berhasil membuat dahi Richard mengerut.
"Takut apa? Apa ada yang pernah menggodamu? Katakan, siapa dia. Dia akan berurusan denganku!"
Eliz tertawa, lalu mengusap air mata yang hampir saja menetes. "Aku takut kalau bertemu pria sepertimu, menyebalkan dan suka sekali membully ku!"
"Hei, kapan aku membully mu. Yang ada aku selalu memujimu. Jangan fitnah ya!"
"Seringlah. Masa lupa!"
"Contohnya?"
"Kadang kau bilang aku tidak cantik!"
"Ya memang kadang tidak cantik. Apalagi kalau market rame, penampilanmu udah nggak ada yang beres!"
"Nah kan, menyebalkan!"
"Aku bicara kenyataan, Sayangku Eliz!" Richard mengacak rambut Eliz.
Sikap Richard yang demikian semakin membuat hati Eliz sakit dan sulit menerima kenyatan kalau Richard sudah menemukan tambatan hatinya.
"Kita pulang, ini sudah malam!"
Mereka berdua berjalan kembali hingga ke depan rumah masing-masing.
"Masuklah dulu!" pinta Richard. Kebiasannya jika mereka berdua telah sampai di depan rumah masing-masing. Richard selalu memastikan Eliz masuk rumah dengan aman.
"Kali ini kau dulu yang masuk bagaimana?"
"Kenapa begitu, kau mau keluar lagi?"
"Tidak Cad, aku hanya mau duduk di teras sebentar. Rahma barusan mengirim pesan padaku, jadi aku mau membalas pesannya di sini."
"Oh. Ok, aku juga mau menelpon Lusi ... nama gadis yang saat ini jadi pacarku!"
Eliz menanggapinya dengan anggukan.
Setelah Richard masuk ke dalam rumah, Eliz terduduk lesu lalu menumpahkan air matanya yang sudah tak mampu dibendung lagi.
"Hatiku sakit sekali. Ada apa?" sambil sesenggukan Eliz memukuli dada kirinya yang benar-benar sakit tak tertahan. Apalagi ketika Richard menceritakan Lusi, sakitnya teramat sangat.
Harusnya dia bahagia karena Richard sudah mendapat kekasih seperti yang pernah ia sarankan sebelumnya.
Eliz selalu bosan, dan kesal jika Rahma menggodainya, dan mengatakan kalau dia dan Richard pantas jika jadi sepasang kekasih. Mereka berdua cocok kata Rahma.
Dari segi sifat, paras, sikap, semua dibeberkan Rahma bahwa mereka bisa saling melengkapi jika mereka bersatu dalam ikatan pernikahan.
Tapi kenyataan berkata lain. Di saat sarannya diikuti Richard, hatinya sangat sakit. Sakit sekali.
Setelah puas menumpahkan tangis, Eliz berdiri dan mencuci wajahnya di kran depan teras, lalu masuk ke dalam rumah.
"Liz, sudah pulang?" tanya mama Eliz yang menonton TV di ruang tengah.
"Sudah Ma."
"Sama Richard apa pulang sendiri?"
"Sama Icad. Kebetulan dia ada di supermarket tadi!"
"Syukurlah. Kalau pulang sendiri mama khawatir. Tapi kalau sama Richard mama bisa tenang." Senyum Wati mengambang.
"Jangan bebani Icad dengan disuruh terus selalu menjagaku, Mama. Icad juga punya kehidupan sendiri."
"Mama tahu. Tapi Richard sendiri yang suka jagain kamu. Mama tahu kalian, jadi jangan kira mama yang selalu minta Richard jagain kamu!"
"Mama selalu tak mau kalah kalau debat!"
Wati tertawa mendengarnya.
"Jangan lupa makan. Lauknya ada di lemari biasanya."
Eliz mengangguk lalu berlalu masuk ke dalam kamar.
**
Semua tentang Richard yang memiliki kekasih membayangi Eliz setiap detik matanya terbuka. Tidur susah, makan tak enak. Hingga lingkaran hitam di matanya muncul, menandakan dirinya sedang tidak baik-baik saja.
Rahma memperhatikan Eliz dan beberapa kali mendapati Eliz melamun. "Ada masalah, Liz?" tanyanya ketika mereka sedang makan siang bersama di lantai dua supermarket.
Eliz tersentak. Ia menghentikan tangannya yang sedang mengaduk mie sejak tadi. "Apa Rahma?"
Rahma menghela napasnya. "Sejak kak Icad datang kemarin lusa, kau jadi murung. Kenapa? Ada masalah dengan kalian berdua?"
"Tidak," ia memakan mie nya. "Kami baik-baik saja."
"Jangan bohong. Aku tau kalian berdua. Kau selalu penuh semangat, apalagi saat kak Icad datang menjemputmu. Tapi akhir-akhir ini keceriaanmu hilang."
'Apa terlalu mencolok? Kenapa aku seperti ini sih?' Eliz memejamkan mata sebentar seraya membuang napasnya.
Ia harus kembali menjadi Eliz seperti biasanya jika tidak ingin ditanyai oleh orang-orang di sekitar.
"Liz?" tegur Rahma kembali.
"Ya, memang ada sedikit masalah. Seharusnya aku tidak terlalu memikirkannya berlarut-larut seperti ini. Maaf membuatmu khawatir Rahma."
"Matamu sampai menghitam. Sebenarnya masalah apa yang sedang kau pikirkan. Apa kak Icad mengatakan sesuatu yang buruk padamu?"
"Aku baik-baik saja, Rahma sayang. INti bukan masalah Icad kok. Hanya perang batin saja yang membuatku agak kalut. Tapi aku bisa mengatasinya!" katanya meyakinkan Rahma bahwa ia baik-baik saja.
"Hemmm. Ya sudah, lebih baik kau makan dengan baik, biar kau cantik lagi. Matamu hitam sudah seperti kuntilanak saja."
Eliz mengiyakan saran yang diberikan Rahma padanya.
Dan seperti biasa, Richard menjemput Eliz di supermarket tanpa menghubungi lebih dulu.
"Cad, bisa mampir ke tempat makan sebentar, aku lapar."
"Ok, El. Mau makan apa, aku yang traktir!"
"Eh, tidak jadi." Ia tiba-tiba menyadari bahwa ia dan Richard sudah tak seperti dulu lagi. Richard memiliki kekasih yang sewaktu-waktu bisa cemburu jika melihat Richard dan Eliz berjalan bersama. Ia harus menghargai kekasih Richard.
"Lah, kenapa. Tadi katanya lapar."
"Makan di rumah saja. Tadi mama sudah memasakkan makanan lezat untukku!"
"Oh. Kalau begitu aku makan di rumahmu saja. Sudah lama kita tidak makan bersama!"
Mata Eliz membulat. "Tidak, jangan. Aku mau tidur setelah sampai rumah."
"Tadi katanya lapar!"
"Iya, makan lalu tidur. Kalau kau makan di rumah, nanti kau tidak pulang-pulang. Mengganggu istirahatku saja."
Richard memperhatikan Eliz selama beberapa detik. "Yakin?"
"Yakin, Icad. Pulang ajalah!"
Richard pun mengabulkan permintaan Eliz.
Mereka hampir sampai rumah ketika ponsel Richard berdering. Terdapat panggilan dari Lusi. Richard pun menghentikan laju mobilnya.
"Lusi menelpon, bentar ya El."
Eliz mengangguk. Kali ini Richard tak meninggalkan kursi kemudinya. Ia berbicara dengan Lusi tepat di sebelah Eliz, dan tentu Eliz bisa mendengarkan apa yang mereka berdua bicarakan.
"Apa, kau kecelakaan di dekat rumahmu?" seru Richard panik. "Baik, aku akan segera ke sana, Sayang."
"Ada apa Cad?" tanya Eliz ikut panik.
"Ikut aku sebentar ya! Lusi kecelakaan dan sekarang dia ada di rumah sakit!"
Langkah kaki Richard begitu cepat melewati lorong rumah sakit hingga ia tak menyadari telah membuat Eliz terseok-seok mengikutinya.
"Cad, tunggu!" seruan Eliz tak terdengar oleh Richard. Pria itu terus saja berjalan cepat setengah berlari menuju ke ruangan dimana Lusi berada sekarang.
Napas Eliz terengah saat ia sudah sampai di ruangan Lusi.
"Aku tau dulu kau atlet lari, tapi nggak di rumah sakit juga prakteknya Cad," keluh Eliz yang tak di dengar oleh Richard. Wanita itu hanya berdiri memandang ke dalam dari dekat pintu.
Terlihat beberapa kali Richard mengusap bagian kepala Lusi hingga melihat ke arah luka di beberapa bagian tubuh Lusi yang dibalut perban. Eliz bisa menangkap kekhawatiran yang saat ini dirasakan oleh Richard terhadap Lusi. Tiba-tiba saja hati Eliz sakit melihat itu.
"Siapa yang menyerempetmu, apa dia sudah tertangkap?"
"Aku tidak tau, Rich. Setelah terserempet, aku pingsan dan entahlah ... warga yang katanya membawaku kemari."
"Bukannya tadi kau sudah aku antar pulang, lalu kenapa kau keluar rumah lagi. Kau mau kemana, Sayang?"
"Emmm ... hanya mau ke warung beli pembalut. Aku lupa beli tadi sore."
"Kau ini. Untunglah warga cepat menolongmu. Apa kau sudah menghubungi orang tuamu?" tanya Richard.
"Aku tidak perlu menghubungi papa dan mama. Dia sedang ada di luar negeri, aku tak mau membuat mereka khawatir."
Richard menangkup kedua tangan Lusi dengan penuh kasih sayang. Tak lupa ia mendaratkan kecupan di sana.
"Kalau begitu, aku akan menemanimu sampai kau sembuh."
Eliz menunduk, membalikkan badannya lalu perlahan meninggalkan tempat menyiksa itu.
"Aku pulang saja, untuk apa aku di sini," dadanya sesak, sesuatu dari sana seperti mendesak ingin keluar.
"Tidak perlu bilang ke Richard kalau aku akan pulang, untuk apa. Dia sedang sibuk-" tubuhnya berbalik ke belakang saat seseorang menarik tangannya ke belakang.
"Icad?" ucapnya dengan mata basah .
"Kau mau kemana? Kau belum menemui Lusi."
Eliz menahan air matanya di pelupuk. "Pulanglah, aku tadi lihat Lusi baik-baik saja. Dan kau harus menemani dia istirahat. Tidak boleh ada tamu mengganggu pasien malam-malam begini kan?"
"Kenapa matamu basah dan hidungmu merah. Kau nangis?"
"Hei, sejak kapan aku nangis. Barusan aku menguap," Eliz mengusap wajahnya dan sok menguap di depan Richard. "Aku agak ngantuk, makanya aku tidak masuk ke dalam menemui kekasihmu tadi."
"Temui Lusi sebentar, nanti aku antar kau pulang!"
"Besok kan bisa. Biarkan dia istirahat dulu. Temani dia Ok. Aku pulang." Eliz melepaskan tangan Richard.
"Naik apa?"
"Taksi lah!"
"Tunggu di sini, aku antar kau pulang!"
"Tidak usah, aku bukan anak kecil, aku berani pulang sendiri."
"Kau sahabatku, mamamu akan lebih tenang kalau aku yang mengantarmu pulang."
Eliz mengulum senyumnya. "Sampai kapan kau menuruti mamaku terus. Kita sudah mulai punya kehidupan pribadi sendiri Richard."
"Aku tidak bisa melepasmu sendiri begitu saja, nanti kalau kau hilang bagaimana. Tunggu di sini, aku akan mengantarmu!"
"Tidak," Eliz berseru menghentikan Richard yang hampir berbalik ke arah ruangan Lusi. "Temani saja Lusi, ini juga masih sore, aku bisa pulang sendiri."
Richard melirik jam tangan yang melingkari pergelangan kanannya. Jarum jam itu menunjukkan pukul setengah 10.
"Masih setengah 10 kan. Masih aman Icad, santai saja. Aku akan mengabarimu sesampinya aku di rumah. Aku janji!"
Richard sebenarnya tidak tega membiarkan Eliz pulang sendiri. Akan tetapi, Eliz bersikeras tidak mau diantar pulang, sehingga Richard pun terpaksa mengiyakan keinginan Eliz pulang sendiri dengan taksi.
**
"Siapa yang kau temui Rich?" tanya Lusi ketika Richard sudah kembali ke ruangannya.
"Eliz. Tadi aku datang ke sini dengannya, tapi dia tidak mau masuk menemuimu. Dia ingin kau istirahat dan mendoakan segera pulih."
"Ah sayang sekali," Lusi nampak kecewa. "Harusnya aku ketemu sahabat setiamu itu hari ini."
"Hemmm."
Setelah berdehem Richard kembali terdiam, menimbulkan tanya untuk Lusi yang sedari tadi memperhatikannya.
"Kenapa murung?" tanya Lusi.
"Hanya khawatir saja kalau Eliz pulang sendiri, apalagi ini sudah malam." Ia kembali melihat jam tangannya untuk kesekian kalinya.
Sejak tadi hatinya tak tenang membayangkan Eliz pulang sendirian. Sebelumnya wanita itu tak pernah pulang sendiri karena Richard selalu memantaunya, dan jika diharuskan dari tempat kerja Eliz pulang di atas pukul 9, maka dia yang akan menjemput Eliz dan memastikan Eliz aman sampai masuk rumah.
Richard berdiri dari tempatnya seketika.
"Kau mau kemana?"
"Aku harus menyusul Eliz dan memastikan dia sampai di rumah." Jawabnya.
"Dan meninggalkanku?"
Keduanya saling memandang dengan sorot mata yang berbeda.
"Eliz sudah besar. Dan dia pulang naik taksi kan?"
Richard mengangguk.
"Kau terlalu berlebihan Rich, Eliz itu sudah dewasa, dia bisa pulang sendiri, Sayang."
Richard masih tak bergeming dari tempatnya.
Susah payah Lusi meraih tangan Richad dan menggenggamnya.
"Aku tau kau sangat bertanggung jawab, apalagi denganku dan Eliz sahabatmu itu. Tapi, mana sekarang yang lebih membutuhkan dirimu? Aku atau Eliz. Dan siapa kekasihmu, aku atau Eliz?"
"Lusi-"
"Aku kekasihmu kan? Calon masa depanmu, tapi kau memikirkan Eliz. Kau tidak menyadari bagaimana perasaanku?"
Segera Richard kembali duduk dan menenangkan Lusi. "Maaf, aku terlalu khawatir dengan Eliz."
"Apa tadi kau juga khawatir saat aku mengatakan aku kecelakaan?"
"Tentu saja, Lusi. Aku sudah hampir sampai rumah tapi aku tetap ke sini untuk melihat keadaanmu."
"Tidak usah bohong!" Lusi merajuk.
"Kata siapa. Tanyakan saja pada Eliz jika kalian bertemu nanti!"
Richard tersenyum dan mengusap kepala Lusi beberapa kali.
"Maafkan aku, Ok." Richard mendaratkan kecupan di dahi Lusi supaya wanita itu bisa tenang kembali. "Aku akan menemanimu di sini."
Barulah Lusi bisa tersenyum mendengar kalimat terakhir dari Richard.
Lusi sudah tidur lelap. Ini kesempatan bagi Richard untuk melihat ponselnya.
Sayangnya, rasa gundah di hati Richard belum terobati tatkala tidak ada satu pesanpun dari Eliz yang masuk ke ponselnya. Harusnya jika mengikuti durasi waktu dan jarak rumah sakit dengan rumah Eliz, harusnya Eliz sudah sampai di rumah setengah jam lalu. Tapi kenapa dia tidak mengiriminya pesan singkat atau menelpon?
[Eliz, apa kau sudah sampai rumah?]
Send
Richard mengirimkan pesan terlebih dulu ke Eliz.
Centang satu.
Kekhawatiran Richard semakin menjadi-jadi. Ia sedikit menjauh dari Lusi dan melakukan panggilan ke nomor Eliz. Tapi, tak diangkat.
"Eliz, kau dimana?" ia semakin resah.
Ting
Mendengar ada notif pesan masuk ke ponselnya, Richard segera melihat ponselnya kembali.
[Aku sudah sampai rumah, Icad. Aku baru dari toilet]
Barulah Richard bisa bernapas dengan lega. Ia duduk kembali ke kursinya dan mengirimkan pesan balik ke Eliz.
[Kau terlambat mengirim pesan. Harusnya sebelum ke toilet kau mengirim pesan dulu padaku]
Send
Tak sampai 1 menit ia sudah mendapatkan pesan balasan dari Eliz.
[Kau mau aku ngompol seperti di TK dulu? Kau mau membersihkannya]
Richard tertawa dengan lirih, tak ingin Lusi mendengarnya.
[Lain kali, dahulukan aku. Tahan dulu pipismu. Aku tidak suka diduakan]
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!