MY HOTTEST CAT

MY HOTTEST CAT

1

Dalam sebuah kedai kopi, nampak seorang gadis berkaus putih serta jeans panjang tengah mengelap salah satu dari sekian banyaknya meja yang berjejer rapi.

Gadis dengan rambut kecokelatan itu terlihat santai membersihkan, dan menata seisi kafe yang memang tengah sepi pengunjung.

Moza.

Panggil saja ia dengan nama itu. Gadis pemilik senyuman anggun itu terlihat menyanyi-nyanyi kecil sambil menikmati aktivitasnya.

Tapi Moza dibuat kaget saat seorang pria tiba-tiba menaruh satu cup kopi di meja yang sedang ia bersihkan.

Pria dengan kemeja biru muda itu menerbitkan senyum manis dari wajah tampannya sembari menatap Moza di balik kacamata yang ia pakai.

"Eh? Mas Billy?" heran Moza.

Billy, pria itu terkekeh pelan kala mendengarnya. Pria itu menarik kursi, dan terduduk di samping Moza yang masih berdiri.

"Mas? Gue setua itu, ya?"

Moza menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tentu saja wajah pria ini jauh dari kesan tua. Bahkan terlihat baby face bagi Moza.

Tapi, ya... Sulit untuk gadis itu berbicara santai dengan Billy, alias anak sang pemilik kafe tempat ia bekerja saat ini.

Moza ikut duduk lalu tersenyum kikuk, "Enggak, kok."

"Santai aja ngomong sama gue. Nih cappucino buat lo." Billy menyodorkan satu cup kopi yang barusan ia bawa pada Moza.

"Iya. Makasih... Bil."

Moza tersenyum kecil setelahnya. Seharusnya ini normal karena umurnya dan Billy tak terpaut terlalu jauh, tapi agak aneh juga untuk mulut Moza mengatakannya.

"Oh, iya. Lo belum pulang, Za?" tanya Billy sembari melirik pada rolex-nya yang menunjukkan pukul empat sore.

"Belum. Lagi nungguin Arya sama Rio buat ganti sif," jawab Moza. Mendengarnya, Billy mengangguk kecil seraya menghela napas, "Kebiasaan... Dua bocah itu telat lagi."

"Harusnya mereka udah di sini dari tadi," lanjut Billy. Ia tak sanggup melihat Moza harus berdiam diri di tempat ini kala menunggu dua bocah pemalas itu.

"Iya, sih. Harusnya mereka udah di sini. Tapi aku gak apa-apa, kok. Lagi pula mending di sini daripada bosen di apartemen," ujar gadis dengan rambut digelung itu.

Billy terkekeh pelan. Moza memang unik. Kala kebanyakan wanita seumurnya memilih untuk bermain di luar bersama teman-temannya, Moza memilih untuk mengurung diri menikmati dunianya sendiri.

"Ngomong-ngomong, gimana lo selama di sini? Pasti pusing ya dengerin ocehan kakek tua itu?" tanya Billy disertai tawanya mengingat sang ayah yang cerewetnya bukan main.

Moza tersenyum geli, "Justru aku yang seharusnya nanya itu. Kamu gimana setelah seminggu di sini?"

Billy termenung. Setelah Ferdy––sang ayah––memilih untuk menyerahkan bisnis kafe ini padanya, hanya sedikit yang bisa ia lakukan sebagai manager.

"Ya... Gue bingung sih harus jawab apa. Karena di sini bener-bener flat ternyata. Gak kebayang lo yang udah di sini bertahun-tahun."

Moza mengangguk paham. Jika menjadi Billy, Moza pun akan menjawab hal yang sama. Karena selama bekerja di sini, tak pernah ada hal istimewa yang terjadi.

Ya. Inilah hidup Moza. Terdengar membosankan.

"Gak banyak yang bisa dilakukan di sini. Tapi aku enjoy, kok. Liat senyum puas pelanggan aja aku seneng."

Billy ikut tersenyum ketika mendengarnya. Moza, gadis itu memang selalu menjadi mood booster bagi orang lain yang melihat senyumnya.

"Sorry, Za kami telat–"

Ucapan Arya yang baru saja datang langsung terhenti karena terkejut melihat Billy yang juga tengah melihat ke arahnya dan Rio.

Sontak kedua cowok itu panik dan berdiri sigap di depan pintu kafe sembari menunduk. Mereka bersikap seolah mau dihukum saja.

"M–maaf, Pak. Tadi macet di jalan," ujar Rio terbata-bata.

Hah... Ingin sekali Billy memasukkan kedua bocah ini ke dalam karung, lalu dijual ke pasar loak. Itu alasan keduanya tempo hari. Dan sekarang..?

"Kalian ini... Ya udah. Cepet siap-siap sana! Mumpung gue lagi baik," perintah Billy.

Arya dan Rio sempat saling senggol sebelum akhirnya berjalan perlahan menuju ruang karyawan untuk bersiap memulai sif mereka.

"Sorry ya, Moza!" teriak Arya lalu masuk ke ruangan.

Moza terkekeh. Walaupun gara-gara mereka Moza tertahan di sini selama beberapa menit, namun itu tak menjadi masalah besar baginya.

Lagi pula tak ada siapa pun yang menemaninya saat pulang.

"Karena Arya sama Rio udah di sini, aku pulang dulu, ya." Moza beranjak dan melepas apron yang ia kenakan.

Billy ikut berdiri, "Oke. Hati-hati di jalannya."

Moza mengangguk sebagai respons. Gadis itu membawa tas jinjingnya sembari tersenyum ke arah Billy.

"Sampe besok ya, Bil."

"Iya. Eh, itu awas pintu!"

Moza reflek menoleh. Gadis itu menghela napas, bersyukur tak jadi menabrak pintu kaca di depannya.

"Aku liat, kok. Dah–"

*Bruk!

"Moza!"

...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...

Sembari mengusap-usap area jidatnya, Moza membuka pintu kamar apartemennya dan masuk setelah lelah seharian. Hal yang biasa Moza lakukan setiap hari.

Namun yang tak biasa adalah, baru kali ini Moza pulang dengan perasaan malu setengah mati.

Sial. Haruskah ia tersandung di depan Billy tadi?! Sedari tadi adegan itu terus saja terngiang-ngiang di kepala Moza.

Jidatnya yang agak memar itu tak ada apa-apanya dibanding rasa malu luar biasa yang Moza rasakan.

Gadis itu melempar tasnya asal dan membanting dirinya sendiri ke ranjang sembari memukul-mukul kakinya ke kasur.

Moza menutup wajahnya dengan bantal, "Malu-maluin aja...."

...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...

Merasakan cahaya matahari sudah menyeruak masuk, Moza membuka matanya dan samar-samar melihat matahari dari balik tirai.

Sambil menyipitkan matanya, Moza terduduk di ranjang dan meraih jam wekernya. Dan lagi. Moza terbangun bahkan sebelum jam weker berdering.

Gadis itu membuang napasnya panjang. Jam tidurnya akhir-akhir ini memang sedikit kacau dari biasanya.

Tapi seperti rutinitas yang biasa Moza lakukan, gadis itu pergi ke kamar mandi, lalu bersih-bersih seisi kamarnya.

Nuansa warna pastel terlihat jelas dalam pemilihan interior dan furnitur yang berpadu indah di dalam kamarnya ini.

Warna soft blue dan aquamarine yang mendominasi semakin terlihat menyejukkan setiap Moza bangun dari tidurnya.

Selesai bersih-bersih, Moza akan melakukan rutinitas lainnya setiap pagi yang tidak kalah penting.

Bermain ponsel.

Mata Moza terbelalak kaget ketika melihat tiga puluh notifikasi panggilan tak terjawab dari kontak yang ia beri nama 'Hana'.

Sebut saja si Hana ini adalah satu-satunya sahabat dekat yang Moza miliki. Hana-lah satu-satunya yang bisa menerima sifat tertutup Moza.

Dalam satu hari, Moza dan Hana bisa menghabiskan waktu lebih dari enam jam untuk mengobrol di telepon. Tapi tidak biasanya Hana menelepon pagi-pagi seperti ini.

"Moza! Lo di mana sekarang?!"

Moza terperanjat, "Ya aku masih di rumah. Kamu kenapa, sih? Kok teriak-teriak?"

"Buruan ke kafe sekarang! Gue gak mau mati di sini please!"

Manusia ini... Ada apa lagi sekarang?

...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...

Sampai di kafe, Moza terbelalak kaget melihat seisi ruangan yang seperti kapal pecah. Ia dapat melihat seorang wanita yang sibuk menata kembali meja dan kursi yang sudah berantakan.

Aneh. Seharusnya bahkan tempat ini belum buka, tapi keadaan di sini sudah seperti tempat yang baru terjadi peperangan.

Moza berjalan, dan membantu wanita itu alias Hana yang nampak berwajah masam.

"Ada apa–"

"Nanya-nya nanti aja. Bantuin gue dulu!" potong Hana sembari kembali menyusun meja dan kursi.

Selesai merapikan, Moza dan Hana terdiam di meja kasir dengan apron mereka masing-masing.

Moza jadi bingung. Kenapa Hana menelponnya pagi sekali dan menyuruhnya datang ke mari? Bahkan jam buka kafe saja masih satu jam lagi.

"Hana, ini ada apa, sih?" tanya Moza kebingungan sedari tadi.

Hana mendengus, "Tanya aja si bapak manager baru itu."

Hana melirik pintu ruangan yang dulunya biasa dipakai untuk pak Ferdy. Namun, ya sekarang Billy yang menggunakannya karena tempat ini sudah beralih tangan padanya.

Moza mengernyit, "Billy? Emang dia kenapa?"

"Arrgh, Mozaaa! Lu tau, gak? Semua kekacauan ini gara-gara dia!"

"Kok bisa?"

"Tadi ada banyak ibu-ibu yang berkerumun di depan. Saat gue lagi bersih-bersih di dalem, mereka maksa gue buat buka tempat ini...."

"Kirain apa, taunya mereka datang karena rebutan foto bareng sama si Billy. Dan akhirnya tempat ini berantakan! Gue deh yang harus beresin. Sialan...."

Moza terdiam, sebelum akhirnya tertawa, "Hana! Aku kira ada yang darurat! Bikin panik aja...."

"Kok ketawa, sih? Yang tadi itu beneran darurat tau! Puluhan ibu-ibu nyerang gue demi foto sama si kodok itu!"

Moza terkekeh, "Dasar...."

"Oh, jadi gue bayar kalian buat ini?"

Moza dan Hana terperanjat seketika kala mendengar suara tersebut. Keduanya langsung mengelus dada lega saat sadar bahwa itu Billy.

Pria itu tertawa, "Gimana? Gue cocok gak jadi bos galak?"

"Kirain siapa, njing," umpat Hana.

Ya tak heran Hana bersikap se-kasar ini pada Billy alias atasannya sendiri. Mereka memang satu kelas saat SMA.

"Eh tapi tadi gimana? Seru?" tanya Billy kemudian.

Hana tertawa sinis, "Seru. Seruuu banget. Sampe mau mati gue rasanya."

"Emang seburuk itu, ya?" Moza tersenyum jenaka. "Susah ya punya bos ganteng kayak gue," tawa Billy.

"Omongan lo lebih bikin enek daripada whipped cream tau, gak?" sentil Hana. Billy tertawa kecil, "Haha bercanda."

"Eh tapi kan Billy di sini udah seminggu. Kok baru sekarang ada kejadian ini?" bingung Moza.

Billy menaikan bahunya, "Mungkin baru pada tau."

"Haaahh... Gue gak tau harus bersyukur atau mengeluh tentang ini." Hana menopang dagunya.

"Bersyukur, dong. Mungkin karena pada tau ada Billy, tempat ini bakal jadi lebih rame," ucap Moza.

Hana geleng-geleng, "Gue iri sama lo yang selalu bisa ngambil sisi positifnya, Za."

"Makanya yang rajin, Na! Biar lo juga bisa lebih berpikir positif kayak Moza."

Lihat siapa yang berbicara. Pria yang telah membuat tempat ini berantakan, dan membuat Hana kelabakan.

Hana menyodorkan garpu pada Billy, "Pergi, gak?"

...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...

Waktu menunjukkan pukul empat sore. Moza dan Hana sudah menyelesaikan sif-nya untuk hari ini.

Seharusnya mereka sudah pulang setengah jam yang lalu, tapi ya namanya juga perempuan....

"Gue duluan ya, Za!" teriak Hana sembari melambaikan tangannya.

"Oke!" balas Moza.

Walau ia sempat geleng-geleng kepala saat melihat pria yang membonceng Hana dengan motornya barusan.

Perasaan kemarin yang jemput Hana bukan cowok itu, batin Moza.

Gadis itu tersenyum kecil, lalu berjalan menuju apartemennya yang memang letaknya tak jauh dari kafe "Memories" tempat ia bekerja ini.

Ini adalah hal yang biasa Moza lakukan. Tapi entah mengapa Moza selalu senang melakukannya.

Semuanya terasa biasa-biasa saja, namun tidak membosankan. Entahlah. Hidup Moza seperti ini, bukan berarti hidupnya gelap.Tentu saja Moza merasa hari-harinya berwarna.

Hanya saja warna itu adalah abu-abu.

"Miaw...."

Moza berhenti melangkah. Suara kucing?

...-TBC-...

Iye ga menarik, tau kok. Tapi plis jangan kapok baca ya🐣

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!