4

Moza melotot, "Eh? Pus?! Kok di sini?"

Moza dan Hana sama-sama membulatkan matanya ketika melihat seekor kucing putih berbulu lebat tengah terduduk di depan pintu.

Bagaimana bisa anabul itu sampai kemari?

...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...

Di jam istirahat, Moza dan Hana terus saja memandangi kucing putih yang berada di pangkuan Moza saat ini.

Kucing itu nampak santai menyisir rambut putihnya yang lebat menggunakan lidahnya. Sementara Hana yang masih memasang ekspresi bingung sedari tadi.

"Tunggu. Biar gue perjelas. Ini kucing yang lo temuin kemarin. Bener?" tanya Hana dan Moza mengangguk.

"Kenapa dia bisa sampe sini anjir?"

"Makanya itu! Aku juga gak tau."

Menunduk, akhirnya tatapan Moza dan kucing itu bertemu. Pupil mata kucing itu yang memanjang kini mulai membulat akibat tertutup bayangan wajah Moza.

Aneh. Padahal setelah perang alias dimandikan pagi tadi, kucing itu Moza tinggalkan di rumah dalam keadaan tidur di ranjang.

Tapi mengapa sekarang tiba-tiba berada di kafe?

Moza mengelus kepala kucing itu, "Bisa gawat kalo pelanggan tau ada kamu, pus. Bisa-bisa mereka bubar semua."

"Belum lagi nanti si Billy ngira kita yang bawa kucing ini masuk," timpal Hana mengingat peraturan kafe yang melarang masuknya hewan peliharaan ke dalam kafe.

Untungnya mereka tengah berada di taman saat ini.

"Terus lo mau gimana, Za?"

"Maksud kamu? Ya aku balikin ke apartemen lagi, lah. Jam istirahat masih lama, kok."

"Isshh bukan itu! Maksud gue, kedepannya kucing ini mau lo apain? Pelihara atau gimana?"

Sial. Inilah pertanyaan yang membuat Moza kembali bingung. Pertanyaan itu sudah beberapa kali melintas di kepala Moza, dan gadis itu tak kunjung mendapat jawabannya.

"Aku juga masih belum tau, Na. Setiap kali mikirin itu, aku selalu bingung harus apa."

"Bingung kenapa, deh? Tinggal pelihara aja, udah itu selesai. Lo suka kucing, dan kucingnya juga keliatannya nurut sama lo. Why not?"

"Justru itu, Hana... Kucing penurut dan sebagus ini mana mungkin kucing liar? Pasti punya pemilik. Nanti kalo pemiliknya nyariin, gimana?"

"Atau lebih parah lagi pemiliknya tau kucingnya ada di aku terus dia lapor polisi gara-gara ngira aku-"

"HEH!"

"Kebiasaan kalo ngomong gak direm. Gini, deh. Lo nemu kucing ini di mana?"

"Di kardus deket tempat sampah pinggir apartemen."

"Nah itu! Itu aja udah jadi bukti yang jelas, Moza... Kalo seandainya kucing ini emang berpemilik, dia pasti dibuang. Kalo enggak, kenapa kucing ini ada di kardus pas lo temuin?"

"Udahlah, Za... Pelihara aja. Kalaupun nanti pemiliknya nyari dan nemu kucing ini di tempat lo, dia pasti berterima kasih. Bukan ngelaporin. Pikiran lo terlalu sinetron."

Jika dipikir-pikir kembali, penjelasan Hana memang ada benarnya. Sulit bagi Moza melepaskan kucing ini karena mencemaskan sesuatu yang hanya ada di kepalanya.

Lagi pula kucing yang tampak memiliki perawatan mahal ini tidak akan dapat bertahan sendirian lama jika Moza lepaskan di jalanan.

Tidak. Moza tidak sejahat itu.

Tetapi Moza pun tidak sebodoh itu. Moza tidak sebodoh itu untuk tiba-tiba memelihara seekor makhluk hidup yang butuh perawatan rutin.

Sementara Moza sendiri saja jarang berada di apartemen. Apa yang akan terjadi jika ia pelihara kucing ini dan ia tinggalkan sendiri di apartemennya?

Tidak. Moza bahkan tidak bisa membayangkannya.

...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...

"Miaw! Miaw!"

Perlahan, Moza membuka matanya kala mendengar suara barusan. Gadis itu sedikit terperanjat saat menyadari ada seekor kucing putih yang terduduk tepat di depan wajahnya.

Moza mengelus dadanya, "Kirain apa...."

Kemudian Moza beranjak dari meja belajarnya. Gadis itu lalu melirik jam dinding, dan... Astaga! Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.

"Sial. Aku ketiduran lagi. Padahal deadline-nya besok," gumam Moza pada dirinya sendiri.

Aahhh... Padahal Hana memintanya untuk mencari dan menuliskan menu baru yang akan disajikan di kafe, dan jujur Moza sudah mengerjakannya sore tadi.

Hanya saja rasa kantuk mengalahkannya.

"Mana aku baru nulis beberapa, lagi. Aduh...."

"Miaw!"

Moza menoleh. Ia baru sadar bahwa kucing itu terus menatapnya sedari tadi. Dan sejujurnya tatapan itu membuat Moza merinding.

"Eh astaga... Kamu belum makan, ya?"

Moza baru ingat. Kucing itu belum memakan apa pun karena ia ketiduran sore tadi.

"Tapi di kulkas pun makanan kamu udah habis... Apa beli aja, ya?" ucap Moza pada dirinya sendiri.

Kemudian ia tak sengaja melirik pada sebuah payung kuning bermotif kucing yang tersimpan di samping rak sepatu dekat pintu.

Ah! Itu payung yang Billy pinjamkan untuk ia pakai waktu hujan itu! Hari di mana Moza tersenyum lebar karena itu....

...Dan hari di mana Moza menemukan kucing ini.

"Beli aja, deh. Sekalian kembaliin payung."

...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...

"Untung aja belum tutup," ucap Moza yang baru saja sampai di teras warung dengan napas yang sedikit terengah-engah.

"Miaw!"

"Iyaaaa sabar. Aku lagi milih, nih."

Ya. Moza tidak ingin kejadian siang tadi terulang. Di mana kucing ini tiba-tiba saja berada di kafe.

Dari pada kucing ini diam-diam mengikutinya keluar dan terluka, lebih baik Moza bawa saja sekalian.

"Eh, Moza? Udah ini aja?" tanya Bu Dewi. "Udah, Bu. Itu aja. Sekalian saya mau balikin payung ini," kata Moza kemudian.

Bu Dewi mengernyit, "Perasaan payung ini dipinjem sama mas-mas ganteng itu. Kenapa bisa di kamu, Za?"

Mas-mas ganteng? Maksudnya Billy, kan? "Oh... Dia pinjem buat aku waktu itu," ucap Moza walau sempat bingung.

"Yaaahhh padahal ibu udah naksir sama dia. Gak apa-apa, deh. Buat kamu aja," usil Bu Dewi.

"Ih? Bu Dewi ngomong apa, deh?" tawa Moza. Bu Dewi ikut tertawa kecil, "Oh iya. Itu kucing siapa, Za? Kok ibu baru liat?"

"Oh, ini-"

"Moza?"

Moza menoleh mendengar suara bulat nan khas itu. Matanya menangkap sesosok lelaki dengan kaus hitam dan celana jeans pendek berwarna senada.

"Billy?"

Setelahnya, mereka berdua pun kalut dalam obrolan masing-masing. Mulai dari basa-basi biasa, candaan, sampai topik di mana ayam atau telur yang keluar lebih dulu.

Termasuk bagaimana bisa Moza menemukan seekor kucing putih dekat kediamannya.

Billy terkekeh, "Jadi tadi jam istirahat lo sama Hana izin keluar itu buat nyembunyiin kucing ini?"

"Hehe iya. Habisnya aku takut pelanggan terganggu. Lagi pula emang gak boleh bawa hewan ke dalem kafe, kan?"

"Persetan aja lah. Itu kan peraturan yang dibuat sama ayah gue dulu. Lagi pula selama kucing ini gak deket-deket sama makanan pelanggan, gue gak masalah."

Moza berpikir sejenak, "Apa kamu yakin pelanggan gak akan terganggu?"

"Terganggu? Yang ada pelanggan malah mau bawa pulang kucing ini."

"Haha... Masa, sih? Tapi aku agak takut aja bawa hewan ke tempat makan."

"Gak apa-apa selama lo awasin. Tapi denger cerita lo tadi, gue jadi penasaran. Apa keputusan lo selanjutnya? Pelihara, atau...."

Moza menggeleng, "Entahlah."

...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...

"Maaf ya, pus. Tadi aku keasyikan ngobrolnya. Jadi lupa kalo kamu laper," ujar Moza mengingat obrolannya dengan Billy tadi cukup memakan waktu lama.

Hampir setengah jam.

Kemudian Moza membuka bungkus kemasan makanan kucing yang ia beli, lalu menaruhnya pada piring agar disantap oleh anak bulu itu.

"Bisa-bisanya aku lupa kamu laper. Pemilik macam apa aku?"

Setelahnya Moza terdiam. Betapa menggelikannya ucapan yang ia lontarkan barusan. 'Pemilik'?? Ppfftt!! Kata itu bahkan tidak cocok untuk status Moza dengan kucing itu saat ini.

...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...

"OY!! MOZAAAA!!!"

Moza yang tengah tertidur langsung terperanjat lantaran mendengar jeritan nyaring dari depan pintu apartemennya.

Sembari menata rambutnya yang agak berantakan, Moza beranjak dari kasurnya dan berjalan menuju pintu dengan lunglai.

"Berkarat gue nunggu lo buka pintu. Lama banget," celetuk Hana yang berdiri di depan pintu dengan keresek putih di tangannya.

Astaga. Jika ingin, Moza bisa saja membanting makhluk satu ini. Sudah datang di pagi buta, teriak-teriak, dan menggerutu lagi.

Tapi untungnya Moza sudah terbiasa.

"Gak biasanya kamu dateng hari Minggu begini, Na," kata Moza seraya mempersilakan Hana untuk masuk.

"Gak apa-apa, sih. Cuma mau ngasih lo cemilan aja, hehe. Sekalian kita santai-santai di kamar lo yang aman, tenteram, dan damai ini!"

Dari nada bicara Hana, Moza bisa tahu bahwa ada udang di balik bakwan.

"Kamu mau aku ngapain?"

"Hehe... Lo tau aja. Gue emang mau minta bantuan lo. Tapi bukan berarti gue ngasih makanan ini gak ikhlas, ya! Gue ikhlas, kok."

Moza tertawa, "Iya-iyaaa. Emang bantuan apa?"

"Udah, itu bahasnya nanti aja. Sekarang gue mau have fun aja sama lo. Nanti gue kasih tau bantuan apa."

"Have fun sih have fun, Na. Tapi gak jam enam pagi juga kali."

Hana melirik jam tangannya. Ia baru sadar kalau datang ke kediaman Moza terlalu pagi tadi.

Hana terkekeh, "Ngomong-ngomong, kucing lo mana, Za?"

"Ada di kamar. Lagi tidur dia."

"Loh? Lo sekamar sama kucing?"

"Ya... Mau gimana lagi. Aku gak punya alat tidur khusus kucing. Masa iya dia tidur di karpet?"

"Ya udah. Gue bawa dia ke sini, ya. Pengen main."

Hana berdiri dan menuju kamar tidur Moza. Gadis itu menaikkan alisnya bingung kala tak melihat seekor kucing pun sedang tertidur di ranjang Moza.

"Za! Katanya kucing lo di kamar, kok gak ada?!!"

Mendengar itu, Moza yang tengah memakan roti yang dibawa Hana pun terbelalak dan langsung berlari ke arah sang sahabat.

"Kok bisa?! Sumpah, tadi ada!"

"Buktinya ini gak ada."

"Duhhh! Dia ke mana, sih? Masih pagi banget loh ini!"

"Miaw..."

Moza dan Hana sontak menoleh pada seekor kucing yang lewat di hadapan mereka. Kucing putih itu bahkan mengelus-elus dirinya di kaki Moza.

Moza menghela napas lega, "Fyuuhh... Kamu hobi bikin aku kaget, ya?"

Sementara sang anabul hanya bisa terdiam sambil menatap Moza dengan tatapan polosnya.

Hana terkekeh geli, "Yakin gak mau pelihara?"

...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...

"Hah? Jam delapan malem? Ngapain?" tanya Moza kaget.

Bagaimana tidak? Hana bilang ia berharap Moza dapat datang ke suatu tempat jam delapan malam.

Dan 'malam itu' adalah malam ini.

"Gue susah jelasinnya... Pokoknya malem ini lo siap-siap aja, ya. Buat tempatnya nanti gue kasih tau lagi."

Moza berpikir sejenak, "Hmmm... Agak takut nih aku. Awas kalo macem-macem, ya."

"Tenang aja, Moza... Lo kan tau gue."

"Justru karena aku tau kamu, makanya aku ragu."

Hana tersenyum kikuk, "Jahat."

"Miaw...."

Moza langsung menoleh. Kucing itu berjalan dan mendekati Moza, lalu loncat ke pangkuannya yang sedang duduk bersama Hana di sofa.

"Apaan, dah? Bukannya tadi lu udah makan?"

"Dia ngeong gak cuma karena lapar, Na. Bisa jadi karena dia mau dielus," ucap Moza sembari mengelus kepala kucing putih yang kini tengah keenakan sepertinya.

"Kamu mau mainan gak, Pus? Nanti aku beliin bola kecil aja, ya. Atau boneka bentuk ikan?"

"Heh, gue tau kucing ini lucu. Tapi kalo sampe ngomong sama dia, apa gak buang-buang waktu?"

"No, no, no... Hana, percayalah. Ini tuh hal yang normal buat manusia-manusia kayak aku."

Hana memutar bola matanya, "Lagian lo manggil dia 'Pus'. Emang namanya apaan? Puspa?"

"Eh? Enggak! Dia jantan tau. Masa Puspa?"

"Terus? Kasih dia nama, dong. Gak bosen lo manggil dia 'Pus' mulu?"

Nama, ya... Apa Moza sudah layak untuk memberikan itu?

...-TBC-...

Terpopuler

Comments

Keysha Aurelie

Keysha Aurelie

lanjut kak ceritanya menarik dan bikin penasaran dengan kelanjutanya

2023-01-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!