Dalam sebuah kedai kopi, nampak seorang gadis berkaus putih serta jeans panjang tengah mengelap salah satu dari sekian banyaknya meja yang berjejer rapi.
Gadis dengan rambut kecokelatan itu terlihat santai membersihkan, dan menata seisi kafe yang memang tengah sepi pengunjung.
Moza.
Panggil saja ia dengan nama itu. Gadis pemilik senyuman anggun itu terlihat menyanyi-nyanyi kecil sambil menikmati aktivitasnya.
Tapi Moza dibuat kaget saat seorang pria tiba-tiba menaruh satu cup kopi di meja yang sedang ia bersihkan.
Pria dengan kemeja biru muda itu menerbitkan senyum manis dari wajah tampannya sembari menatap Moza di balik kacamata yang ia pakai.
"Eh? Mas Billy?" heran Moza.
Billy, pria itu terkekeh pelan kala mendengarnya. Pria itu menarik kursi, dan terduduk di samping Moza yang masih berdiri.
"Mas? Gue setua itu, ya?"
Moza menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tentu saja wajah pria ini jauh dari kesan tua. Bahkan terlihat baby face bagi Moza.
Tapi, ya... Sulit untuk gadis itu berbicara santai dengan Billy, alias anak sang pemilik kafe tempat ia bekerja saat ini.
Moza ikut duduk lalu tersenyum kikuk, "Enggak, kok."
"Santai aja ngomong sama gue. Nih cappucino buat lo." Billy menyodorkan satu cup kopi yang barusan ia bawa pada Moza.
"Iya. Makasih... Bil."
Moza tersenyum kecil setelahnya. Seharusnya ini normal karena umurnya dan Billy tak terpaut terlalu jauh, tapi agak aneh juga untuk mulut Moza mengatakannya.
"Oh, iya. Lo belum pulang, Za?" tanya Billy sembari melirik pada rolex-nya yang menunjukkan pukul empat sore.
"Belum. Lagi nungguin Arya sama Rio buat ganti sif," jawab Moza. Mendengarnya, Billy mengangguk kecil seraya menghela napas, "Kebiasaan... Dua bocah itu telat lagi."
"Harusnya mereka udah di sini dari tadi," lanjut Billy. Ia tak sanggup melihat Moza harus berdiam diri di tempat ini kala menunggu dua bocah pemalas itu.
"Iya, sih. Harusnya mereka udah di sini. Tapi aku gak apa-apa, kok. Lagi pula mending di sini daripada bosen di apartemen," ujar gadis dengan rambut digelung itu.
Billy terkekeh pelan. Moza memang unik. Kala kebanyakan wanita seumurnya memilih untuk bermain di luar bersama teman-temannya, Moza memilih untuk mengurung diri menikmati dunianya sendiri.
"Ngomong-ngomong, gimana lo selama di sini? Pasti pusing ya dengerin ocehan kakek tua itu?" tanya Billy disertai tawanya mengingat sang ayah yang cerewetnya bukan main.
Moza tersenyum geli, "Justru aku yang seharusnya nanya itu. Kamu gimana setelah seminggu di sini?"
Billy termenung. Setelah Ferdy––sang ayah––memilih untuk menyerahkan bisnis kafe ini padanya, hanya sedikit yang bisa ia lakukan sebagai manager.
"Ya... Gue bingung sih harus jawab apa. Karena di sini bener-bener flat ternyata. Gak kebayang lo yang udah di sini bertahun-tahun."
Moza mengangguk paham. Jika menjadi Billy, Moza pun akan menjawab hal yang sama. Karena selama bekerja di sini, tak pernah ada hal istimewa yang terjadi.
Ya. Inilah hidup Moza. Terdengar membosankan.
"Gak banyak yang bisa dilakukan di sini. Tapi aku enjoy, kok. Liat senyum puas pelanggan aja aku seneng."
Billy ikut tersenyum ketika mendengarnya. Moza, gadis itu memang selalu menjadi mood booster bagi orang lain yang melihat senyumnya.
"Sorry, Za kami telat–"
Ucapan Arya yang baru saja datang langsung terhenti karena terkejut melihat Billy yang juga tengah melihat ke arahnya dan Rio.
Sontak kedua cowok itu panik dan berdiri sigap di depan pintu kafe sembari menunduk. Mereka bersikap seolah mau dihukum saja.
"M–maaf, Pak. Tadi macet di jalan," ujar Rio terbata-bata.
Hah... Ingin sekali Billy memasukkan kedua bocah ini ke dalam karung, lalu dijual ke pasar loak. Itu alasan keduanya tempo hari. Dan sekarang..?
"Kalian ini... Ya udah. Cepet siap-siap sana! Mumpung gue lagi baik," perintah Billy.
Arya dan Rio sempat saling senggol sebelum akhirnya berjalan perlahan menuju ruang karyawan untuk bersiap memulai sif mereka.
"Sorry ya, Moza!" teriak Arya lalu masuk ke ruangan.
Moza terkekeh. Walaupun gara-gara mereka Moza tertahan di sini selama beberapa menit, namun itu tak menjadi masalah besar baginya.
Lagi pula tak ada siapa pun yang menemaninya saat pulang.
"Karena Arya sama Rio udah di sini, aku pulang dulu, ya." Moza beranjak dan melepas apron yang ia kenakan.
Billy ikut berdiri, "Oke. Hati-hati di jalannya."
Moza mengangguk sebagai respons. Gadis itu membawa tas jinjingnya sembari tersenyum ke arah Billy.
"Sampe besok ya, Bil."
"Iya. Eh, itu awas pintu!"
Moza reflek menoleh. Gadis itu menghela napas, bersyukur tak jadi menabrak pintu kaca di depannya.
"Aku liat, kok. Dah–"
*Bruk!
"Moza!"
...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...
Sembari mengusap-usap area jidatnya, Moza membuka pintu kamar apartemennya dan masuk setelah lelah seharian. Hal yang biasa Moza lakukan setiap hari.
Namun yang tak biasa adalah, baru kali ini Moza pulang dengan perasaan malu setengah mati.
Sial. Haruskah ia tersandung di depan Billy tadi?! Sedari tadi adegan itu terus saja terngiang-ngiang di kepala Moza.
Jidatnya yang agak memar itu tak ada apa-apanya dibanding rasa malu luar biasa yang Moza rasakan.
Gadis itu melempar tasnya asal dan membanting dirinya sendiri ke ranjang sembari memukul-mukul kakinya ke kasur.
Moza menutup wajahnya dengan bantal, "Malu-maluin aja...."
...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...
Merasakan cahaya matahari sudah menyeruak masuk, Moza membuka matanya dan samar-samar melihat matahari dari balik tirai.
Sambil menyipitkan matanya, Moza terduduk di ranjang dan meraih jam wekernya. Dan lagi. Moza terbangun bahkan sebelum jam weker berdering.
Gadis itu membuang napasnya panjang. Jam tidurnya akhir-akhir ini memang sedikit kacau dari biasanya.
Tapi seperti rutinitas yang biasa Moza lakukan, gadis itu pergi ke kamar mandi, lalu bersih-bersih seisi kamarnya.
Nuansa warna pastel terlihat jelas dalam pemilihan interior dan furnitur yang berpadu indah di dalam kamarnya ini.
Warna soft blue dan aquamarine yang mendominasi semakin terlihat menyejukkan setiap Moza bangun dari tidurnya.
Selesai bersih-bersih, Moza akan melakukan rutinitas lainnya setiap pagi yang tidak kalah penting.
Bermain ponsel.
Mata Moza terbelalak kaget ketika melihat tiga puluh notifikasi panggilan tak terjawab dari kontak yang ia beri nama 'Hana'.
Sebut saja si Hana ini adalah satu-satunya sahabat dekat yang Moza miliki. Hana-lah satu-satunya yang bisa menerima sifat tertutup Moza.
Dalam satu hari, Moza dan Hana bisa menghabiskan waktu lebih dari enam jam untuk mengobrol di telepon. Tapi tidak biasanya Hana menelepon pagi-pagi seperti ini.
"Moza! Lo di mana sekarang?!"
Moza terperanjat, "Ya aku masih di rumah. Kamu kenapa, sih? Kok teriak-teriak?"
"Buruan ke kafe sekarang! Gue gak mau mati di sini please!"
Manusia ini... Ada apa lagi sekarang?
...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...
Sampai di kafe, Moza terbelalak kaget melihat seisi ruangan yang seperti kapal pecah. Ia dapat melihat seorang wanita yang sibuk menata kembali meja dan kursi yang sudah berantakan.
Aneh. Seharusnya bahkan tempat ini belum buka, tapi keadaan di sini sudah seperti tempat yang baru terjadi peperangan.
Moza berjalan, dan membantu wanita itu alias Hana yang nampak berwajah masam.
"Ada apa–"
"Nanya-nya nanti aja. Bantuin gue dulu!" potong Hana sembari kembali menyusun meja dan kursi.
Selesai merapikan, Moza dan Hana terdiam di meja kasir dengan apron mereka masing-masing.
Moza jadi bingung. Kenapa Hana menelponnya pagi sekali dan menyuruhnya datang ke mari? Bahkan jam buka kafe saja masih satu jam lagi.
"Hana, ini ada apa, sih?" tanya Moza kebingungan sedari tadi.
Hana mendengus, "Tanya aja si bapak manager baru itu."
Hana melirik pintu ruangan yang dulunya biasa dipakai untuk pak Ferdy. Namun, ya sekarang Billy yang menggunakannya karena tempat ini sudah beralih tangan padanya.
Moza mengernyit, "Billy? Emang dia kenapa?"
"Arrgh, Mozaaa! Lu tau, gak? Semua kekacauan ini gara-gara dia!"
"Kok bisa?"
"Tadi ada banyak ibu-ibu yang berkerumun di depan. Saat gue lagi bersih-bersih di dalem, mereka maksa gue buat buka tempat ini...."
"Kirain apa, taunya mereka datang karena rebutan foto bareng sama si Billy. Dan akhirnya tempat ini berantakan! Gue deh yang harus beresin. Sialan...."
Moza terdiam, sebelum akhirnya tertawa, "Hana! Aku kira ada yang darurat! Bikin panik aja...."
"Kok ketawa, sih? Yang tadi itu beneran darurat tau! Puluhan ibu-ibu nyerang gue demi foto sama si kodok itu!"
Moza terkekeh, "Dasar...."
"Oh, jadi gue bayar kalian buat ini?"
Moza dan Hana terperanjat seketika kala mendengar suara tersebut. Keduanya langsung mengelus dada lega saat sadar bahwa itu Billy.
Pria itu tertawa, "Gimana? Gue cocok gak jadi bos galak?"
"Kirain siapa, njing," umpat Hana.
Ya tak heran Hana bersikap se-kasar ini pada Billy alias atasannya sendiri. Mereka memang satu kelas saat SMA.
"Eh tapi tadi gimana? Seru?" tanya Billy kemudian.
Hana tertawa sinis, "Seru. Seruuu banget. Sampe mau mati gue rasanya."
"Emang seburuk itu, ya?" Moza tersenyum jenaka. "Susah ya punya bos ganteng kayak gue," tawa Billy.
"Omongan lo lebih bikin enek daripada whipped cream tau, gak?" sentil Hana. Billy tertawa kecil, "Haha bercanda."
"Eh tapi kan Billy di sini udah seminggu. Kok baru sekarang ada kejadian ini?" bingung Moza.
Billy menaikan bahunya, "Mungkin baru pada tau."
"Haaahh... Gue gak tau harus bersyukur atau mengeluh tentang ini." Hana menopang dagunya.
"Bersyukur, dong. Mungkin karena pada tau ada Billy, tempat ini bakal jadi lebih rame," ucap Moza.
Hana geleng-geleng, "Gue iri sama lo yang selalu bisa ngambil sisi positifnya, Za."
"Makanya yang rajin, Na! Biar lo juga bisa lebih berpikir positif kayak Moza."
Lihat siapa yang berbicara. Pria yang telah membuat tempat ini berantakan, dan membuat Hana kelabakan.
Hana menyodorkan garpu pada Billy, "Pergi, gak?"
...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...
Waktu menunjukkan pukul empat sore. Moza dan Hana sudah menyelesaikan sif-nya untuk hari ini.
Seharusnya mereka sudah pulang setengah jam yang lalu, tapi ya namanya juga perempuan....
"Gue duluan ya, Za!" teriak Hana sembari melambaikan tangannya.
"Oke!" balas Moza.
Walau ia sempat geleng-geleng kepala saat melihat pria yang membonceng Hana dengan motornya barusan.
Perasaan kemarin yang jemput Hana bukan cowok itu, batin Moza.
Gadis itu tersenyum kecil, lalu berjalan menuju apartemennya yang memang letaknya tak jauh dari kafe "Memories" tempat ia bekerja ini.
Ini adalah hal yang biasa Moza lakukan. Tapi entah mengapa Moza selalu senang melakukannya.
Semuanya terasa biasa-biasa saja, namun tidak membosankan. Entahlah. Hidup Moza seperti ini, bukan berarti hidupnya gelap.Tentu saja Moza merasa hari-harinya berwarna.
Hanya saja warna itu adalah abu-abu.
"Miaw...."
Moza berhenti melangkah. Suara kucing?
...-TBC-...
Iye ga menarik, tau kok. Tapi plis jangan kapok baca ya🐣
"Na."
Hana menyahut, "Hm."
"Aku mau cerita ke kamu."
"Soal apa?" tanya Hana sambil mengelap gelas.
"Soal kemarin."
"Gue tanya permasalahannya, cantik. Bukan kapan terjadinya."
"Eummm... Anu. Susah ngomongnya."
Moza sendiri bingung mengapa ia harus kesusahan berterus terang pada Hana. Padahal tinggal bilang kalau kemarin ia mendengar suara kucing, namun ia biarkan, selesai.
Mengapa rasanya sulit sekali, ya?
"Biar gue tebak. Kemarin lo denger suara kucing, tapi lo biarin aja karena lo berpikir itu cuma kucing tetangga lo yang lewat. Iya, gak?"
Moza menganga. Fiks. Hana cenayang.
"Permisi! Saya mau pesan!"
Hana berdecih, "Njing... Iya sebentar!"
...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...
"Lo mau ke mana, Za?" tanya Hana kebingungan melihat Moza yang melepas apron-nya.
Di jam istirahat seperti sekarang, Moza biasanya menghabiskan waktu dengan bermain ponsel di kursi-kursi kosong.
Atau mungkin hanya sekadar mereview dan berdiskusi tentang sikap orang lain (ngerumpi) bersama Hana.
"Mau cari angin bentar."
Hana tertawa, "Angin dicari... Gue nitip cogan polos satu, ya! Jangan pake kecap!"
"Kamu pikir bakso?" kekeh Moza.
Wanita itu lalu keluar, dan mulai melangkahkan kakinya di pinggir jalan sembari memasang earphone pada kedua telinganya.
Kala Moza memijak, ia dapat merasakan belaian lembut dari angin, belum lagi semerbak aroma bunga yang–
Oke. Itu omong kosong. Karena faktanya, yang hanya bisa Moza cium adalah aroma asap kendaraan.
Ya mau bagaimana lagi. Posisi kafe Memories ini memang dekat dengan jalan raya. Walau letaknya bukan di pinggir jalan.
"Eh? Moza?"
Moza melepas earphone yang terpasang di telinganya, lalu melirik pada Ghina alias tetangganya.
"Mbak Ghina? Mau ke mana, nih?"
"Ini mau ke minimarket. Dapur lagi kosong banget."
Moza mengangguk-angguk. Kemudian wanita itu malah salah fokus pada bagian perut Ghina yang sudah terlihat sedikit membuncit.
"Waahh... Dedenya makin sehat aja aku liat. Udah berapa bulan, Mbak?"
"Jalan empat bulan, nih. Kamu kapan nyusul, Za?"
Moza tertawa, "Astaga, Mbak Ghina... Jangan mengotori aku dengan pertanyaan itu."
Ayolah. Jangankan seorang anak. Memiliki seorang lelaki saja tidak pernah sekali pun terlintas di kepala Moza.
Mungkin.
"Kamu ini...."
"Ma! Ayo cepet! Egi mau KenderJoy! Keburu abis!" teriak seorang anak laki-laki yang sedari tadi berada di gandengan Ghina.
"Iya-iya... Ya udah. Duluan ya, Moza. Egi, dadah dulu ke Kak Moza."
Bocah bernama Egi itu melambaikan tangannya, "Dah, Kak!"
"Iya dadah! Eh itu bumil hati-hati jalannya!" teriak Moza dengan tawa jahilnya.
Ghina berteriak, "Siap, calon bumil!"
Moza tersenyum geli mendengar itu. Entah mengapa, senang rasanya melihat kebersamaan antara seorang ibu dan anaknya.
Seperti Ghina dan Egi tadi. Moza dibuat bahagia sendiri melihat hubungan antara Ghina dan sang anak.
Moza suka melihat bagaimana senyum Ghina pada Egi, pun dengan nada bicara menggemaskan bocah itu pada ibunya.
Moza suka, sekaligus iri.
Kemudian lamunan Moza terhenti saat mendengar ponselnya berdering. Dirogohnya ponsel di dalam saku, dan melihat siapa yang menelepon.
Mama.
Moza terdiam membaca nama itu.
"Halo, Ma?"
"...."
"Iya. Aku transfer sekarang."
...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...
Moza menguap. Suara gemuruh petir yang lumayan dahsyat berhasil membuat tidur siangnya kacau seketika.
Ralat. Mungkin lebih akurat jika disebut 'tidur sore'. Karena sepulang kerja tadi, rasa kantuk mulai menyerang Moza entah dari mana.
Pukul empat sore ini, sepertinya langit sedang menunjukkan sisi abu-abunya lagi dengan menurunkan triliunan tetes air yang menyerbu tanah.
Singkatnya hujan.
Dari jendela, Moza dapat melihat hujan semakin lebat walau tak terlalu deras. Belum lagi suara petir yang menggelegar sedari tadi.
Dingin, sepi... Rasa-rasa inilah yang membuat Moza membenci kehadiran hujan. Walau sudah biasa, ini membuatnya muak.
Moza bangkit dari ranjangnya. Selain merasa dingin dan kesepian, ada juga hal lain yang membuat Moza kesal.
Lapar.
Di laci, rak, bahkan di lemari pendingin mini yang ia punya, Moza tak dapat menemukan satu pun sesuatu yang dapat dimakan.
"Apa ke warung aja, ya?" gumamnya.
Daripada maag-nya kambuh, Moza memantapkan diri untuk pergi ke warung terdekat tanpa membawa payung atau jas hujan.
Ya inilah risiko yang harus ditanggung anak rantau. Penuh kesederhanaan.
Sampai di warung, Moza mengelap tubuhnya sendiri yang sudah basah akibat berlari menembus hujan tadi.
Tidak terlalu basah memang, karena hujan yang memang tidak terlalu deras. Namun sepertinya ini cukup untuk membuat flu selama tiga hari.
Selesai membeli bahan makanan, Moza terdiam di teras dan menunggu hujan yang semakin deras ini mereda.
"Makasih ya, ganteng! Sering-sering datang!"
Moza menoleh saat mendengar suara Bu Dewi alias penjaga warung. Moza tidak terlalu memikirkan hal itu, setidaknya sampai....
...ia sadar bahwa Bu Dewi bicara pada Billy.
"Billy? Kok kamu bisa di sini?"
Billy menoleh, "Loh? Kirain siapa... Kenapa lo basah semua, Za? Hujan-hujanan?
"Enggaklah. Tadi kehujanan dikit," tawa Moza. "Sama, sih. Tadi gue juga kehujanan waktu lagi beli ini," ujar Billy sembari menunjukkan paper bag berisi camilan yang ia beli.
Moza tersenyum jenaka, "Kirain orang sekelas kamu jajannya di mall."
"Haha ngaco... Oh, iya. Gue gak ngira bakal ketemu lo di sini."
"Loh? Emang aku belum bilang? Apartemen aku kan deket sini."
"Oh... Pantes aja lo selalu jalan kaki kalo pulang dari kafe."
Moza terkekeh pelan. Keduanya lalu menatap hujan yang semakin menjadi saja di hadapan mereka.
"Eh, Za."
"Ya?"
"Lo tau gak kemarin di kafe–"
"...Za?"
Billy berhenti berbicara. Pria itu malah salah fokus pada wajah Moza. Billy agak kaget saat melihat muka wanita itu yang pucat.
"Ada apa, sih?" bingung Moza.
"Lo belum makan, ya? Kok pucat?"
Mendengarnya, Moza reflek meraba-raba wajahnya sendiri, "Oh ini... Gak apa-apa, kok. Aku emang gini kalo agak kedinginan."
Ya. Itu bohong. Karena sejujurnya, Moza sangat merasa badannya diselimuti salju. Belum lagi perutnya yang sudah berisik minta diisi.
Semesta, tolong bawakan Moza Pintu ke Mana Saja agar ia dapat segera pulang dan memasak mie instannya.
"Emang pucat banget, ya? Padahal kedinginan dikit."
Billy sampai geleng-geleng mendengarnya. 'DIKIT' adalah kata yang sangat berlawanan dengan keadaan wajah Moza yang terlihat seperti mayat hidup itu.
Tidak bisa begini.
"Tunggu bentar," ucap Billy sembari masuk kembali ke dalam warung. "Bu, saya boleh pinjam payung?" tanya Billy pada Bu Dewi.
"Boleh, dong! Gak sekalian sama hati saya, mas?"
Tertawa kecil, Billy mengambil payung yang diberikan Bu Dewi lalu kembali menghampiri Moza.
"Nih."
Moza mengernyit, "Apa?"
"Ini payung."
"Ih iya tau! Maksudnya–"
"Udah pake aja. Terus langsung pulang."
Moza benar-benar bingung. Pertama, ia tidak pernah meminta payung. Kedua, random sekali Billy tiba-tiba bersikap begini.
"Terus kamu gimana?"
"Itu gampang. Mending sekarang lo pulang dan istirahat biar gak pucat lagi."
Walau sempat ada rasa tidak enak, namun harus Moza akui bahwa rasa 'itu' kalah oleh rasa laparnya.
Moza benar-benar kelaparan.
"Ya udah. Aku duluan."
Moza mengembangkan payung dengan motif kucing itu dan mulai berjalan menembus rintikan hujan yang berjatuhan di tanah.
"Moza...."
Begitu mendengarnya, Moza menoleh. Tatapan Billy seolah menguncinya agar tidak bergerak sama sekali.
Billy tertawa, "Jangan lupa balikin payungnya, ya!"
Moza tertawa kecil. Untuk sesaat ia sempat mengira bahwa Billy akan–Ah sudahlah. Ekspektasi itu tak ada gunanya.
Hidup Moza bukan cerita novel.
...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...
Dalam langkah kecilnya, Moza berjalan menunduk sambil sesekali menginjak genangan air yang merefleksikan wajahnya.
Tahu apa yang lebih Moza benci dibandingkan hujan?
Wajahnya sendiri.
"Miaw...."
Moza terperanjat. Lagi-lagi ia mendengar suara seekor kucing. Walau sedikit tidak masuk akal untuk mendengar suara kucing di tengah guyuran hujan, tapi Moza yakin posisi suara kucing yang ia dengar sudah dekat dengannya.
Belum sepuluh menit Billy mewanti-wanti Moza agar segera istirahat, wanita itu malah sibuk mendekati tempat sampah karena memang di situlah tempat Moza mendengar suara kucing itu.
Dan benar saja. Kecurigaan Moza kini terlihat oleh matanya sendiri.
Nampak seekor kucing berbulu putih lebat yang tengah meringkuk mengenaskan di sebuah kotak kardus.
Bulu putih kucing itu terlihat sangat kucel, belum lagi dengan luka lecet di kakinya yang membuat kucing itu hanya bisa mengeong lemas.
Moza terdiam melihatnya. Kondisi kucing itu yang memprihatinkan membuat bagian dadanya terasa sakit.
Entah apa yang merasuki Moza, wanita itu melepaskan payung yang ia genggam dan menggendong kucing malang itu ke pangkuannya.
Persetan saja tubuhnya basah kuyup. Sedari dulu, Moza memang tidak pernah bisa mengontrol emosinya kala melihat kucing-kucing jalanan yang terlihat kelaparan.
Eh, tunggu.
Apa ini tindakan yang benar? Tentu saja Moza melakukan ini adalah tanda sayangnya pada kucing.
Namun apa ini sudah benar? Moza tidak tahu apa kucing ini masih berpemilik atau tidak. Bisa saja bocah berbulu itu tersesat lalu terluka, kan?
Lagi pula, walau Moza menyukai kucing namun ia tahu ada tanggung jawab yang harus ia penuhi jika memang ia memilih untuk memeliharanya.
Dan rasanya ia belum siap untuk tanggung jawab itu.
Moza menaruh kucing itu semula ke dalam kardus dan mengambil kembali payungnya, lalu berdiri.
"Maaf. Aku gak bisa bawa kamu."
...-TBC-...
"Kita sampai...."
Moza tersenyum sembari menaruh kucing putih itu di lantai. Ia menutup pintu apartemennya, dan duduk tepat di hadapan kucing malang yang baru ia selamatkan beberapa detik lalu.
"Maaf aku gak bisa bawa kamu."
Persetan dengan kata itu. Memang betul memelihara kucing butuh tanggung jawab, dan Moza belum terlalu siap untuk itu. Belum lagi mungkin kucing itu sudah memiliki majikan.
Tapi Moza tidak se-iblis itu untuk meninggalkan seekor kucing yang terluka di tengah lebatnya hujan sendirian.
"Pelihara atau enggak, obatin dulu."
Moza bergumam sembari mengoleskan antiseptik khusus binatang yang Moza pinjam dari tetangganya pada luka di kaki kanan bagian depan kucing itu.
Moza sampai ingin menangis melihatnya. Kucing itu bahkan tidak memberontak, atau mengeong saat lukanya diobati.
Saking lemasnya.
"Sial. Harusnya aku minta makanannya juga," umpat Moza merutuki kebodohannya sendiri, mengingat tadi ia meminjam antiseptik pada tetangganya yang memelihara kucing.
Kenapa tidak sekalian saja ia meminta sebagian makanan kucing?
Karena Moza tahu kucing ini kelaparan. Melihat anak bulu yang hanya menatapnya kosong itu saja membuat Moza ingin menangis kencang saking kasihannya.
"Aku gak tau ini boleh atau enggak. Tapi...." Moza mengeluarkan sebuah sosis daging yang ia beli di warung tadi.
Tadinya itu akan dijadikannya sebagai lauk untuk makan sore ini. Tapi melihat seekor kucing mengenaskan di depannya ini membuat rasa laparnya sirna seketika.
"Eh? Dimakan?" kaget Moza saat melihat kucing itu perlahan mulai menyantap sosis yang ia berikan.
"Maaf ya, pus... Lain kali aku kasih makanan kucing."
Moza mengelus-elus kepala kucing itu sambil tersenyum. Dan setelah selesai makan, kucing itu menghampiri Moza seolah minta untuk dielus kembali.
"Eh? Kamu udah baikan?"
"Miaw!"
Moza tertawa, "Kamu jawab? Emang ngerti?"
...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...
Celingak-celinguk, tak ada yang bisa Hana lakukan lagi selain menatap pada kursi-kursi kosong yang berjejeran di sekelilingnya.
Sebetulnya keadaan kafe seperti ini sudah biasa baginya yang telah bertahun-tahun bekerja di sini.
Tapi ada satu hal yang tak biasa.
Yaitu absennya Moza pagi ini. Biasanya gadis itu pasti akan datang lebih dulu dibanding Hana. Bahkan tak jarang saat pagi-pagi buta, Moza sudah selesai membersihkan seisi kafe.
Namun sekarang..?
"Seharusnya gue paham kenapa dia nitip kunci kemarin," gumam Hana sembari memainkan kunci kafe yang berada di tangannya.
Ya. Kunci itu biasanya berada di tangan Moza. Karena gadis itu memang hobi datang paling awal, dan pulang paling akhir.
Tapi saat pulang kerja kemarin, Moza menitipkan kunci itu pada Hana. Mungkin ia melakukan itu karena tahu ini akan terjadi.
"Apa gue telepon aja, ya?"
Hana meraih ponselnya dan siap untuk mengetikkan nama Moza di sana untuk melakukan panggilan telepon.
"Permisi, tempat ini buka?"
Hana mendengus, "Ck! Bisa entar dulu-Eh? COGAAANNN!!"
Dan fokus Hana pun teralihkan.
Di lain tempat, Moza baru saja selesai memeriksa kembali luka pada kaki kucing yang ia temukan saat hujan kemarin.
Senyum di bibir Moza terpancar kala melihat bahwa luka itu sudah cukup membaik. Kucingnya juga tak lagi terlihat lesu.
"Syukur deh kamu sehat, pus," ucap Moza seraya meraih kepala kucing putih itu dan mengelusnya lembut.
"Eh tapi diliat-liat, kamu kotor juga."
Moza baru tersadar jika anak bulu di depannya ini memang kucel. Padahal jika dimandikan, mungkin bulu lebatnya akan berwarna putih sempurna.
"Hmmm aku gak punya shampo kucing, sih... Aku beli dulu kali, ya?"
"...Eh tunggu. Apa gak masalah? Aku juga harus kerja. Mana udah telat, lagi."
Pikiran Moza jadi kalut. Jika beli ke supermarket, tempatnya jauh dan memakan waktu. Tapi jika tak beli, Moza akan meninggalkan seekor kucing yang kotor di tempatnya sendirian.
...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...
"Kita harus cepet ya, pus. Aku juga harus kerja walau udah telat."
Moza menggiring kucing itu untuk berjalan menuju kamar mandinya. Dan terima kasih semesta Moza mendapatkan shampo kucing dari tetangganya.
"Yuk! Kita mandi!"
"Loh?"
Moza terbelalak saat menyadari kucing putih itu tak berada di dekatnya. Baru saja Moza membuka pintu kamar mandi, kucing itu sudah hilang dari pandangannya.
"Ke mana dia?"
Lirik sana, lirik sini, mata Moza tak kunjung melihat seekor kucing putih. Sampai akhirnya pandangan Moza berhenti pada satu titik.
Dari depan kamar mandi, Moza dapat melihat sebuah bola bulu berwarna putih sedang bergerak-gerak di bawah ranjang tidurnya.
Moza tertawa setelahnya. Ia mengerti mengapa kucing itu seolah bersembunyi darinya.
Bisa-bisanya Moza sempat mengira kalau kucing itu tak membenci air. Ternyata ia salah besar.
"Oke, pus. Kamu mau pake cara lembut, atau kasar?"
"Miawww!"
Ada dua hal mustahil yang ada di dunia ini. Pertama, makan kepala sendiri. Dan kedua....
...Kucing suka mandi.
"Kalau gitu, perang dimulai."
...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...
"Nah ini dia anaknya! Dari mana aja elu, Mozaaaaa?"
Moza sedikit terperanjat saat disambut dengan suara melengking nan nyaring milik Hana barusan. Padahal ia baru saja membuka pintu kafe.
"Hehe maaf. Aku kan udah izin telat."
"Bukan itu masalahnya! Lo telat kenapa?"
Moza terkekeh, "Cuma masalah kecil, kok. Yuk ah."
Moza mengikat rambutnya ke belakang dan memakai apron kerja miliknya meninggalkan Hana yang terlihat memasang wajah masam.
Dan... Ya. Seperti hari-hari lainnya, jam kerja Moza berjalan dengan lancar dan baik-baik saja. Lagi pula tugas Moza tak terlalu sulit.
Hanya tersenyum, berbicara ramah, dan berpakaian rapi agar nyaman dipandang.
Moza pintar melakukan itu.
"Psstt! Liat cowok yang baru masuk itu!"
"Eh? Itu bukannya mas-mas ganteng yang punya kafe ini, ya?"
"Cogan detected!!"
Bisikan-bisikan itu terdengar jelas kala Billy membuka pintu dan masuk. Otomatis semua mata tertuju padanya.
Apalagi mata kaum-kaum jomblo yang jarang dibelai.
"Hadeuhh... Si artis," gumam Hana yang tengah mengelap meja kasir.
"Hai, para karyawati-ku! Gimana kabarnya di pagi yang indah ini?"
"Indah pale lu. Bosen gue yang ada. Sepi banget hari ini," sungut Hana mengingat hari ini lumayan banyak.
Banyak kursi kosongnya.
Billy tertawa, "Ya namanya juga bisnis. Gak akan selalu rame."
"Kalo lo gimana, Za?"
"Aku baik-baik aja, sih."
Sebetulnya bertanya tentang keadaan pada Moza adalah pertanyaan yang membuang-buang waktu.
Karena apa pun keadaannya, atau perasaan yang tengah dirasakan Moza, gadis itu pasti akan bilang, "Baik-baik aja."
"Eh, Bil. Elu ke mana dulu, dah? Kok baru dateng?" tanya Hana kemudian. "Iya, ya? Baru sadar dari tadi gak liat kamu, Bil." Moza menimpali.
"Tadi? Gue habis ada urusan di luar. Ya penginnya sih langsung ke sini. Tapi ternyata urgent," jawab Billy.
Hana memutar bola matanya, "Bilang aja kesiangan. Ribet amat."
"Heh! Mulut lu, ya," sentil Billy. Moza tertawa melihat ekspresi pria itu yang seperti tengah kesal.
Setelahnya, pandangan Billy tiba-tiba terfokus pada sebuah goresan merah di tangan Moza. Pria itu sontak memegang tangan Moza dengan otak masih memproses apa yang terjadi pada gadis itu.
"Eh? Apaan, nih?" Hana ikut penasaran.
Refleks, Moza menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung, "Bukan apa-apa, kok haha. Cuma luka kecil."
Tak peduli dengan ucapan Moza barusan, Hana menarik tangan kiri Moza untuk lebih melihat jelas luka 'kecil' yang Moza bilang tadi.
Setelahnya Hana dan Billy sama-sama terkejut saat melihat beberapa goresan tipis namun panjang yang terdapat di tangan kanan dan kiri Moza.
Goresan-goresan itu tampak berwarna kemerahan akibat darah yang keluar.
"Ini apaan, Za?! Kok bisa?!' kaget Billy.
"Udah aku bilang ini gak apa-apa. Beneran."
Hana melotot, "Jujur sama gue. Cowok brengsek mana yang ngelakuin ini?"
"Dih? Ngomong apaan deh kamu, Na? Ngawur."
"Ya udah makanya! Ini kenapa, Moza?"
Bagaimana ini? Apa Moza jujur saja kalau pelaku dari luka-lukanya itu adalah si kucing putih yang kemarin ia temukan?
Ya... Kucing itu menghajar Moza saat dimandikan. Alhasil beberapa 'tanda kasih sayang' itu muncul di tangannya.
"Aku... dicakar kucing."
Hana mengernyit bingung, "Bukannya lo friendly kalo sama kucing?"
"Denger dulu! Aku tuh mandiin kucing yang aku temuin kemarin. Makanya jadi gini, deh."
"Lo nemu kucing kemarin? Kok baru cerita?"
"Udah... Bahas itunya nanti aja. Kita obatin dulu luka Moza. Bentar gue ambil kotak P3K-nya dulu," ujar Billy sembari hendak memasuki ruangannya, seingatnya kotak itu ada di sana.
"Eeehhh! Gak usah. Lu tunggu di sini aja. Biar gue yang ambil. Yuk, Za," cegah Hana.
"Terus yang jagain kasir siapa?" Billy kebingungan. "Ya elu lah, bapa manager... Cuma bentaran doang."
"Lagi pula gue sama Moza mau ngobrol obrolan khusus cewek!"
"Heh! Masa gue jaga kasir sendiri?!"
"Bentaran doang, elaaahhh...."
Moza geleng-geleng, "Astaga... Aku bisa obatin sendiri."
Di dalam ruangan Billy, Hana langsung mencari kotak P3K itu dan akhirnya ketemu. Hana mengoleskan antiseptik dan menempelkan plester pada luka Moza.
"Za...."
"Hm?"
"Langsung aja, nih. Kok gue ngerasa lo jadi beda, ya?"
Moza mengernyit, "Maksudnya?"
"Ya... Gimana, ya. Susah juga kalo dijelasin. Aneh aja gitu. Lebih tertutup."
Hana paham bahwa Moza adalah pribadi yang sangat amat tertutup pada dunia luar. Namun Moza dapat menjadi orang yang lebih terbuka saat sedang bersama Hana.
Tapi akhir-akhir ini Hana merasa Moza selalu menutup-nutupi apa yang terjadi padanya. Bahkan beberapa kali Hana bertanya, Moza hanya menjawab dengan segaris senyum di bibirnya dan berkata, "Gak ada apa-apa, kok."
"Maksud kamu soal kucing itu? Ya... Aku bilang sekarang karena baru inget, Hanaaaa. Lagi pula soal itu pun aku harus cerita ke kamu?"
"Bukan cuma soal itu, Moza... Akhir-akhir ini gue emang ngerasa lo jadi lebih tertutup ke gue."
Tentu saja Hana mengerti tak semua tentang Moza harus ia ketahui. Tapi paling tidak Hana mau Moza tak terlalu terbebani jika dapat bercerita apa yang telah gadis itu alami.
"Za... Gue gak nyuruh lo buat cerita ke gue setiap kali lo ada masalah. Lo berhak punya privasi. Tapi seenggaknya kalo lo butuh temen ngobrol, lo tau harus ke siapa."
"Kita masih bestie kan, Za?"
Moza tersenyum, "Ngomong apa sih, kamu? Ya iyalah."
"Hehe... Ya udah yuk kita kerja lagi. Kasian si Billy pasti repot dimintain foto sama Ibu-ibu."
"Haha yuk," tawa Moza.
"Miaw!!"
Kala membuka pintu dari dalam, langkah Moza dan Hana terhenti. Keduanya refleks melihat pada sesuatu yang berada di bawah mereka.
Moza melotot, "Eh? Pus?! Kok di sini?"
...-TBC-...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!