"Kita sampai...."
Moza tersenyum sembari menaruh kucing putih itu di lantai. Ia menutup pintu apartemennya, dan duduk tepat di hadapan kucing malang yang baru ia selamatkan beberapa detik lalu.
"Maaf aku gak bisa bawa kamu."
Persetan dengan kata itu. Memang betul memelihara kucing butuh tanggung jawab, dan Moza belum terlalu siap untuk itu. Belum lagi mungkin kucing itu sudah memiliki majikan.
Tapi Moza tidak se-iblis itu untuk meninggalkan seekor kucing yang terluka di tengah lebatnya hujan sendirian.
"Pelihara atau enggak, obatin dulu."
Moza bergumam sembari mengoleskan antiseptik khusus binatang yang Moza pinjam dari tetangganya pada luka di kaki kanan bagian depan kucing itu.
Moza sampai ingin menangis melihatnya. Kucing itu bahkan tidak memberontak, atau mengeong saat lukanya diobati.
Saking lemasnya.
"Sial. Harusnya aku minta makanannya juga," umpat Moza merutuki kebodohannya sendiri, mengingat tadi ia meminjam antiseptik pada tetangganya yang memelihara kucing.
Kenapa tidak sekalian saja ia meminta sebagian makanan kucing?
Karena Moza tahu kucing ini kelaparan. Melihat anak bulu yang hanya menatapnya kosong itu saja membuat Moza ingin menangis kencang saking kasihannya.
"Aku gak tau ini boleh atau enggak. Tapi...." Moza mengeluarkan sebuah sosis daging yang ia beli di warung tadi.
Tadinya itu akan dijadikannya sebagai lauk untuk makan sore ini. Tapi melihat seekor kucing mengenaskan di depannya ini membuat rasa laparnya sirna seketika.
"Eh? Dimakan?" kaget Moza saat melihat kucing itu perlahan mulai menyantap sosis yang ia berikan.
"Maaf ya, pus... Lain kali aku kasih makanan kucing."
Moza mengelus-elus kepala kucing itu sambil tersenyum. Dan setelah selesai makan, kucing itu menghampiri Moza seolah minta untuk dielus kembali.
"Eh? Kamu udah baikan?"
"Miaw!"
Moza tertawa, "Kamu jawab? Emang ngerti?"
...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...
Celingak-celinguk, tak ada yang bisa Hana lakukan lagi selain menatap pada kursi-kursi kosong yang berjejeran di sekelilingnya.
Sebetulnya keadaan kafe seperti ini sudah biasa baginya yang telah bertahun-tahun bekerja di sini.
Tapi ada satu hal yang tak biasa.
Yaitu absennya Moza pagi ini. Biasanya gadis itu pasti akan datang lebih dulu dibanding Hana. Bahkan tak jarang saat pagi-pagi buta, Moza sudah selesai membersihkan seisi kafe.
Namun sekarang..?
"Seharusnya gue paham kenapa dia nitip kunci kemarin," gumam Hana sembari memainkan kunci kafe yang berada di tangannya.
Ya. Kunci itu biasanya berada di tangan Moza. Karena gadis itu memang hobi datang paling awal, dan pulang paling akhir.
Tapi saat pulang kerja kemarin, Moza menitipkan kunci itu pada Hana. Mungkin ia melakukan itu karena tahu ini akan terjadi.
"Apa gue telepon aja, ya?"
Hana meraih ponselnya dan siap untuk mengetikkan nama Moza di sana untuk melakukan panggilan telepon.
"Permisi, tempat ini buka?"
Hana mendengus, "Ck! Bisa entar dulu-Eh? COGAAANNN!!"
Dan fokus Hana pun teralihkan.
Di lain tempat, Moza baru saja selesai memeriksa kembali luka pada kaki kucing yang ia temukan saat hujan kemarin.
Senyum di bibir Moza terpancar kala melihat bahwa luka itu sudah cukup membaik. Kucingnya juga tak lagi terlihat lesu.
"Syukur deh kamu sehat, pus," ucap Moza seraya meraih kepala kucing putih itu dan mengelusnya lembut.
"Eh tapi diliat-liat, kamu kotor juga."
Moza baru tersadar jika anak bulu di depannya ini memang kucel. Padahal jika dimandikan, mungkin bulu lebatnya akan berwarna putih sempurna.
"Hmmm aku gak punya shampo kucing, sih... Aku beli dulu kali, ya?"
"...Eh tunggu. Apa gak masalah? Aku juga harus kerja. Mana udah telat, lagi."
Pikiran Moza jadi kalut. Jika beli ke supermarket, tempatnya jauh dan memakan waktu. Tapi jika tak beli, Moza akan meninggalkan seekor kucing yang kotor di tempatnya sendirian.
...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...
"Kita harus cepet ya, pus. Aku juga harus kerja walau udah telat."
Moza menggiring kucing itu untuk berjalan menuju kamar mandinya. Dan terima kasih semesta Moza mendapatkan shampo kucing dari tetangganya.
"Yuk! Kita mandi!"
"Loh?"
Moza terbelalak saat menyadari kucing putih itu tak berada di dekatnya. Baru saja Moza membuka pintu kamar mandi, kucing itu sudah hilang dari pandangannya.
"Ke mana dia?"
Lirik sana, lirik sini, mata Moza tak kunjung melihat seekor kucing putih. Sampai akhirnya pandangan Moza berhenti pada satu titik.
Dari depan kamar mandi, Moza dapat melihat sebuah bola bulu berwarna putih sedang bergerak-gerak di bawah ranjang tidurnya.
Moza tertawa setelahnya. Ia mengerti mengapa kucing itu seolah bersembunyi darinya.
Bisa-bisanya Moza sempat mengira kalau kucing itu tak membenci air. Ternyata ia salah besar.
"Oke, pus. Kamu mau pake cara lembut, atau kasar?"
"Miawww!"
Ada dua hal mustahil yang ada di dunia ini. Pertama, makan kepala sendiri. Dan kedua....
...Kucing suka mandi.
"Kalau gitu, perang dimulai."
...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...
"Nah ini dia anaknya! Dari mana aja elu, Mozaaaaa?"
Moza sedikit terperanjat saat disambut dengan suara melengking nan nyaring milik Hana barusan. Padahal ia baru saja membuka pintu kafe.
"Hehe maaf. Aku kan udah izin telat."
"Bukan itu masalahnya! Lo telat kenapa?"
Moza terkekeh, "Cuma masalah kecil, kok. Yuk ah."
Moza mengikat rambutnya ke belakang dan memakai apron kerja miliknya meninggalkan Hana yang terlihat memasang wajah masam.
Dan... Ya. Seperti hari-hari lainnya, jam kerja Moza berjalan dengan lancar dan baik-baik saja. Lagi pula tugas Moza tak terlalu sulit.
Hanya tersenyum, berbicara ramah, dan berpakaian rapi agar nyaman dipandang.
Moza pintar melakukan itu.
"Psstt! Liat cowok yang baru masuk itu!"
"Eh? Itu bukannya mas-mas ganteng yang punya kafe ini, ya?"
"Cogan detected!!"
Bisikan-bisikan itu terdengar jelas kala Billy membuka pintu dan masuk. Otomatis semua mata tertuju padanya.
Apalagi mata kaum-kaum jomblo yang jarang dibelai.
"Hadeuhh... Si artis," gumam Hana yang tengah mengelap meja kasir.
"Hai, para karyawati-ku! Gimana kabarnya di pagi yang indah ini?"
"Indah pale lu. Bosen gue yang ada. Sepi banget hari ini," sungut Hana mengingat hari ini lumayan banyak.
Banyak kursi kosongnya.
Billy tertawa, "Ya namanya juga bisnis. Gak akan selalu rame."
"Kalo lo gimana, Za?"
"Aku baik-baik aja, sih."
Sebetulnya bertanya tentang keadaan pada Moza adalah pertanyaan yang membuang-buang waktu.
Karena apa pun keadaannya, atau perasaan yang tengah dirasakan Moza, gadis itu pasti akan bilang, "Baik-baik aja."
"Eh, Bil. Elu ke mana dulu, dah? Kok baru dateng?" tanya Hana kemudian. "Iya, ya? Baru sadar dari tadi gak liat kamu, Bil." Moza menimpali.
"Tadi? Gue habis ada urusan di luar. Ya penginnya sih langsung ke sini. Tapi ternyata urgent," jawab Billy.
Hana memutar bola matanya, "Bilang aja kesiangan. Ribet amat."
"Heh! Mulut lu, ya," sentil Billy. Moza tertawa melihat ekspresi pria itu yang seperti tengah kesal.
Setelahnya, pandangan Billy tiba-tiba terfokus pada sebuah goresan merah di tangan Moza. Pria itu sontak memegang tangan Moza dengan otak masih memproses apa yang terjadi pada gadis itu.
"Eh? Apaan, nih?" Hana ikut penasaran.
Refleks, Moza menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung, "Bukan apa-apa, kok haha. Cuma luka kecil."
Tak peduli dengan ucapan Moza barusan, Hana menarik tangan kiri Moza untuk lebih melihat jelas luka 'kecil' yang Moza bilang tadi.
Setelahnya Hana dan Billy sama-sama terkejut saat melihat beberapa goresan tipis namun panjang yang terdapat di tangan kanan dan kiri Moza.
Goresan-goresan itu tampak berwarna kemerahan akibat darah yang keluar.
"Ini apaan, Za?! Kok bisa?!' kaget Billy.
"Udah aku bilang ini gak apa-apa. Beneran."
Hana melotot, "Jujur sama gue. Cowok brengsek mana yang ngelakuin ini?"
"Dih? Ngomong apaan deh kamu, Na? Ngawur."
"Ya udah makanya! Ini kenapa, Moza?"
Bagaimana ini? Apa Moza jujur saja kalau pelaku dari luka-lukanya itu adalah si kucing putih yang kemarin ia temukan?
Ya... Kucing itu menghajar Moza saat dimandikan. Alhasil beberapa 'tanda kasih sayang' itu muncul di tangannya.
"Aku... dicakar kucing."
Hana mengernyit bingung, "Bukannya lo friendly kalo sama kucing?"
"Denger dulu! Aku tuh mandiin kucing yang aku temuin kemarin. Makanya jadi gini, deh."
"Lo nemu kucing kemarin? Kok baru cerita?"
"Udah... Bahas itunya nanti aja. Kita obatin dulu luka Moza. Bentar gue ambil kotak P3K-nya dulu," ujar Billy sembari hendak memasuki ruangannya, seingatnya kotak itu ada di sana.
"Eeehhh! Gak usah. Lu tunggu di sini aja. Biar gue yang ambil. Yuk, Za," cegah Hana.
"Terus yang jagain kasir siapa?" Billy kebingungan. "Ya elu lah, bapa manager... Cuma bentaran doang."
"Lagi pula gue sama Moza mau ngobrol obrolan khusus cewek!"
"Heh! Masa gue jaga kasir sendiri?!"
"Bentaran doang, elaaahhh...."
Moza geleng-geleng, "Astaga... Aku bisa obatin sendiri."
Di dalam ruangan Billy, Hana langsung mencari kotak P3K itu dan akhirnya ketemu. Hana mengoleskan antiseptik dan menempelkan plester pada luka Moza.
"Za...."
"Hm?"
"Langsung aja, nih. Kok gue ngerasa lo jadi beda, ya?"
Moza mengernyit, "Maksudnya?"
"Ya... Gimana, ya. Susah juga kalo dijelasin. Aneh aja gitu. Lebih tertutup."
Hana paham bahwa Moza adalah pribadi yang sangat amat tertutup pada dunia luar. Namun Moza dapat menjadi orang yang lebih terbuka saat sedang bersama Hana.
Tapi akhir-akhir ini Hana merasa Moza selalu menutup-nutupi apa yang terjadi padanya. Bahkan beberapa kali Hana bertanya, Moza hanya menjawab dengan segaris senyum di bibirnya dan berkata, "Gak ada apa-apa, kok."
"Maksud kamu soal kucing itu? Ya... Aku bilang sekarang karena baru inget, Hanaaaa. Lagi pula soal itu pun aku harus cerita ke kamu?"
"Bukan cuma soal itu, Moza... Akhir-akhir ini gue emang ngerasa lo jadi lebih tertutup ke gue."
Tentu saja Hana mengerti tak semua tentang Moza harus ia ketahui. Tapi paling tidak Hana mau Moza tak terlalu terbebani jika dapat bercerita apa yang telah gadis itu alami.
"Za... Gue gak nyuruh lo buat cerita ke gue setiap kali lo ada masalah. Lo berhak punya privasi. Tapi seenggaknya kalo lo butuh temen ngobrol, lo tau harus ke siapa."
"Kita masih bestie kan, Za?"
Moza tersenyum, "Ngomong apa sih, kamu? Ya iyalah."
"Hehe... Ya udah yuk kita kerja lagi. Kasian si Billy pasti repot dimintain foto sama Ibu-ibu."
"Haha yuk," tawa Moza.
"Miaw!!"
Kala membuka pintu dari dalam, langkah Moza dan Hana terhenti. Keduanya refleks melihat pada sesuatu yang berada di bawah mereka.
Moza melotot, "Eh? Pus?! Kok di sini?"
...-TBC-...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments