2

"Na."

Hana menyahut, "Hm."

"Aku mau cerita ke kamu."

"Soal apa?" tanya Hana sambil mengelap gelas.

"Soal kemarin."

"Gue tanya permasalahannya, cantik. Bukan kapan terjadinya."

"Eummm... Anu. Susah ngomongnya."

Moza sendiri bingung mengapa ia harus kesusahan berterus terang pada Hana. Padahal tinggal bilang kalau kemarin ia mendengar suara kucing, namun ia biarkan, selesai.

Mengapa rasanya sulit sekali, ya?

"Biar gue tebak. Kemarin lo denger suara kucing, tapi lo biarin aja karena lo berpikir itu cuma kucing tetangga lo yang lewat. Iya, gak?"

Moza menganga. Fiks. Hana cenayang.

"Permisi! Saya mau pesan!"

Hana berdecih, "Njing... Iya sebentar!"

...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...

"Lo mau ke mana, Za?" tanya Hana kebingungan melihat Moza yang melepas apron-nya.

Di jam istirahat seperti sekarang, Moza biasanya menghabiskan waktu dengan bermain ponsel di kursi-kursi kosong.

Atau mungkin hanya sekadar mereview dan berdiskusi tentang sikap orang lain (ngerumpi) bersama Hana.

"Mau cari angin bentar."

Hana tertawa, "Angin dicari... Gue nitip cogan polos satu, ya! Jangan pake kecap!"

"Kamu pikir bakso?" kekeh Moza.

Wanita itu lalu keluar, dan mulai melangkahkan kakinya di pinggir jalan sembari memasang earphone pada kedua telinganya.

Kala Moza memijak, ia dapat merasakan belaian lembut dari angin, belum lagi semerbak aroma bunga yang–

Oke. Itu omong kosong. Karena faktanya, yang hanya bisa Moza cium adalah aroma asap kendaraan.

Ya mau bagaimana lagi. Posisi kafe Memories ini memang dekat dengan jalan raya. Walau letaknya bukan di pinggir jalan.

"Eh? Moza?"

Moza melepas earphone yang terpasang di telinganya, lalu melirik pada Ghina alias tetangganya.

"Mbak Ghina? Mau ke mana, nih?"

"Ini mau ke minimarket. Dapur lagi kosong banget."

Moza mengangguk-angguk. Kemudian wanita itu malah salah fokus pada bagian perut Ghina yang sudah terlihat sedikit membuncit.

"Waahh... Dedenya makin sehat aja aku liat. Udah berapa bulan, Mbak?"

"Jalan empat bulan, nih. Kamu kapan nyusul, Za?"

Moza tertawa, "Astaga, Mbak Ghina... Jangan mengotori aku dengan pertanyaan itu."

Ayolah. Jangankan seorang anak. Memiliki seorang lelaki saja tidak pernah sekali pun terlintas di kepala Moza.

Mungkin.

"Kamu ini...."

"Ma! Ayo cepet! Egi mau KenderJoy! Keburu abis!" teriak seorang anak laki-laki yang sedari tadi berada di gandengan Ghina.

"Iya-iya... Ya udah. Duluan ya, Moza. Egi, dadah dulu ke Kak Moza."

Bocah bernama Egi itu melambaikan tangannya, "Dah, Kak!"

"Iya dadah! Eh itu bumil hati-hati jalannya!" teriak Moza dengan tawa jahilnya.

Ghina berteriak, "Siap, calon bumil!"

Moza tersenyum geli mendengar itu. Entah mengapa, senang rasanya melihat kebersamaan antara seorang ibu dan anaknya.

Seperti Ghina dan Egi tadi. Moza dibuat bahagia sendiri melihat hubungan antara Ghina dan sang anak.

Moza suka melihat bagaimana senyum Ghina pada Egi, pun dengan nada bicara menggemaskan bocah itu pada ibunya.

Moza suka, sekaligus iri.

Kemudian lamunan Moza terhenti saat mendengar ponselnya berdering. Dirogohnya ponsel di dalam saku, dan melihat siapa yang menelepon.

Mama.

Moza terdiam membaca nama itu.

"Halo, Ma?"

"...."

"Iya. Aku transfer sekarang."

...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...

Moza menguap. Suara gemuruh petir yang lumayan dahsyat berhasil membuat tidur siangnya kacau seketika.

Ralat. Mungkin lebih akurat jika disebut 'tidur sore'. Karena sepulang kerja tadi, rasa kantuk mulai menyerang Moza entah dari mana.

Pukul empat sore ini, sepertinya langit sedang menunjukkan sisi abu-abunya lagi dengan menurunkan triliunan tetes air yang menyerbu tanah.

Singkatnya hujan.

Dari jendela, Moza dapat melihat hujan semakin lebat walau tak terlalu deras. Belum lagi suara petir yang menggelegar sedari tadi.

Dingin, sepi... Rasa-rasa inilah yang membuat Moza membenci kehadiran hujan. Walau sudah biasa, ini membuatnya muak.

Moza bangkit dari ranjangnya. Selain merasa dingin dan kesepian, ada juga hal lain yang membuat Moza kesal.

Lapar.

Di laci, rak, bahkan di lemari pendingin mini yang ia punya, Moza tak dapat menemukan satu pun sesuatu yang dapat dimakan.

"Apa ke warung aja, ya?" gumamnya.

Daripada maag-nya kambuh, Moza memantapkan diri untuk pergi ke warung terdekat tanpa membawa payung atau jas hujan.

Ya inilah risiko yang harus ditanggung anak rantau. Penuh kesederhanaan.

Sampai di warung, Moza mengelap tubuhnya sendiri yang sudah basah akibat berlari menembus hujan tadi.

Tidak terlalu basah memang, karena hujan yang memang tidak terlalu deras. Namun sepertinya ini cukup untuk membuat flu selama tiga hari.

Selesai membeli bahan makanan, Moza terdiam di teras dan menunggu hujan yang semakin deras ini mereda.

"Makasih ya, ganteng! Sering-sering datang!"

Moza menoleh saat mendengar suara Bu Dewi alias penjaga warung. Moza tidak terlalu memikirkan hal itu, setidaknya sampai....

...ia sadar bahwa Bu Dewi bicara pada Billy.

"Billy? Kok kamu bisa di sini?"

Billy menoleh, "Loh? Kirain siapa... Kenapa lo basah semua, Za? Hujan-hujanan?

"Enggaklah. Tadi kehujanan dikit," tawa Moza. "Sama, sih. Tadi gue juga kehujanan waktu lagi beli ini," ujar Billy sembari menunjukkan paper bag berisi camilan yang ia beli.

Moza tersenyum jenaka, "Kirain orang sekelas kamu jajannya di mall."

"Haha ngaco... Oh, iya. Gue gak ngira bakal ketemu lo di sini."

"Loh? Emang aku belum bilang? Apartemen aku kan deket sini."

"Oh... Pantes aja lo selalu jalan kaki kalo pulang dari kafe."

Moza terkekeh pelan. Keduanya lalu menatap hujan yang semakin menjadi saja di hadapan mereka.

"Eh, Za."

"Ya?"

"Lo tau gak kemarin di kafe–"

"...Za?"

Billy berhenti berbicara. Pria itu malah salah fokus pada wajah Moza. Billy agak kaget saat melihat muka wanita itu yang pucat.

"Ada apa, sih?" bingung Moza.

"Lo belum makan, ya? Kok pucat?"

Mendengarnya, Moza reflek meraba-raba wajahnya sendiri, "Oh ini... Gak apa-apa, kok. Aku emang gini kalo agak kedinginan."

Ya. Itu bohong. Karena sejujurnya, Moza sangat merasa badannya diselimuti salju. Belum lagi perutnya yang sudah berisik minta diisi.

Semesta, tolong bawakan Moza Pintu ke Mana Saja agar ia dapat segera pulang dan memasak mie instannya.

"Emang pucat banget, ya? Padahal kedinginan dikit."

Billy sampai geleng-geleng mendengarnya. 'DIKIT' adalah kata yang sangat berlawanan dengan keadaan wajah Moza yang terlihat seperti mayat hidup itu.

Tidak bisa begini.

"Tunggu bentar," ucap Billy sembari masuk kembali ke dalam warung. "Bu, saya boleh pinjam payung?" tanya Billy pada Bu Dewi.

"Boleh, dong! Gak sekalian sama hati saya, mas?"

Tertawa kecil, Billy mengambil payung yang diberikan Bu Dewi lalu kembali menghampiri Moza.

"Nih."

Moza mengernyit, "Apa?"

"Ini payung."

"Ih iya tau! Maksudnya–"

"Udah pake aja. Terus langsung pulang."

Moza benar-benar bingung. Pertama, ia tidak pernah meminta payung. Kedua, random sekali Billy tiba-tiba bersikap begini.

"Terus kamu gimana?"

"Itu gampang. Mending sekarang lo pulang dan istirahat biar gak pucat lagi."

Walau sempat ada rasa tidak enak, namun harus Moza akui bahwa rasa 'itu' kalah oleh rasa laparnya.

Moza benar-benar kelaparan.

"Ya udah. Aku duluan."

Moza mengembangkan payung dengan motif kucing itu dan mulai berjalan menembus rintikan hujan yang berjatuhan di tanah.

"Moza...."

Begitu mendengarnya, Moza menoleh. Tatapan Billy seolah menguncinya agar tidak bergerak sama sekali.

Billy tertawa, "Jangan lupa balikin payungnya, ya!"

Moza tertawa kecil. Untuk sesaat ia sempat mengira bahwa Billy akan–Ah sudahlah. Ekspektasi itu tak ada gunanya.

Hidup Moza bukan cerita novel.

...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...

Dalam langkah kecilnya, Moza berjalan menunduk sambil sesekali menginjak genangan air yang merefleksikan wajahnya.

Tahu apa yang lebih Moza benci dibandingkan hujan?

Wajahnya sendiri.

"Miaw...."

Moza terperanjat. Lagi-lagi ia mendengar suara seekor kucing. Walau sedikit tidak masuk akal untuk mendengar suara kucing di tengah guyuran hujan, tapi Moza yakin posisi suara kucing yang ia dengar sudah dekat dengannya.

Belum sepuluh menit Billy mewanti-wanti Moza agar segera istirahat, wanita itu malah sibuk mendekati tempat sampah karena memang di situlah tempat Moza mendengar suara kucing itu.

Dan benar saja. Kecurigaan Moza kini terlihat oleh matanya sendiri.

Nampak seekor kucing berbulu putih lebat yang tengah meringkuk mengenaskan di sebuah kotak kardus.

Bulu putih kucing itu terlihat sangat kucel, belum lagi dengan luka lecet di kakinya yang membuat kucing itu hanya bisa mengeong lemas.

Moza terdiam melihatnya. Kondisi kucing itu yang memprihatinkan membuat bagian dadanya terasa sakit.

Entah apa yang merasuki Moza, wanita itu melepaskan payung yang ia genggam dan menggendong kucing malang itu ke pangkuannya.

Persetan saja tubuhnya basah kuyup. Sedari dulu, Moza memang tidak pernah bisa mengontrol emosinya kala melihat kucing-kucing jalanan yang terlihat kelaparan.

Eh, tunggu.

Apa ini tindakan yang benar? Tentu saja Moza melakukan ini adalah tanda sayangnya pada kucing.

Namun apa ini sudah benar? Moza tidak tahu apa kucing ini masih berpemilik atau tidak. Bisa saja bocah berbulu itu tersesat lalu terluka, kan?

Lagi pula, walau Moza menyukai kucing namun ia tahu ada tanggung jawab yang harus ia penuhi jika memang ia memilih untuk memeliharanya.

Dan rasanya ia belum siap untuk tanggung jawab itu.

Moza menaruh kucing itu semula ke dalam kardus dan mengambil kembali payungnya, lalu berdiri.

"Maaf. Aku gak bisa bawa kamu."

...-TBC-...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!