Sudah beberapa jam berlalu. Tapi Moza masih saja kepikiran tentang ucapan Hana tadi pagi, tentang nama yang sebaiknya Moza berikan pada seekor kucing putih yang ia temukan beberapa hari lalu.
"Pus, kira-kira kamu mau dikasih nama apa?" tanya Moza yang tengah menatap kucing itu sembari tengkurap.
Tak menjawab, kucing itu hanya menatap wajah moza dengan mata bulatnya sambil memiringkan kepalanya ke kiri.
"Gimana kalau... Mbul?" Moza kembali bertanya. Tapi kucing putih di hadapannya tetap bergeming.
"Ish apa, dong... Charles?"
"Jaden?"
"George?"
"Dudung?"
"... Astaga. Dudung kan guru sd aku."
Kucing itu tak memberikan respons yang pasti pada Moza. Bahkan bocah itu seolah mengabaikan Moza sembari menyisir bulunya, lalu lompat ke ranjang.
"Arrghh bingung...."
Banyak nama yang terlintas di kepala Moza. Namun rasanya tak ada satu pun yang pas bagi kucing itu.
Kehabisan ide, Moza melirik sekelilingnya berharap menemukan inspirasi untuk nama bocah berbulu itu.
Dan ia melihat bungkus makanan ringan.
"Mogi?"
Yang semula terdiam di ranjang, kucing putih itu melirik Moza dan menghampiri gadis itu dengan berlari kecil.
"Miaw!"
"Eh? Nyahut?" Moza mengernyit. "Kamu suka nama itu?"
"Mogi?"
"Miaw!"
"Mogiiii!!"
"...."
Moza tertawa melihat ekspresi anabul di depannya ini. Ekspresinya seolah kesal Moza memanggil-manggil "nama"-nya itu.
...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...
"AHAHAHAHAAH lo dapet nama dia gara-gara liat bungkus makanan?"
Sial. Mengapa Moza menelpon Hana? Seharusnya ia tahu akan mendapatkan reaksi ini dari manusia ini.
"Ya gimana lagi. Aku kehabisan ide. Terus tiba-tiba aku liat bungkus makanan dari yang kamu bawa tadi pagi."
"Aduh... Hobi banget bikin gue ngakak, Za... Terus sekarang? Si Momogi lagi ngapain?"
"Namanya Mogi!"
"Hahhahaah iya-iya. Si Mogi lagi ngapain?"
"Dia lagi di kasur sama aku. Lagi aku elus-elus perutnya biar tidur. Dari tadi dia belum tidur siang soalnya."
"Z-za... Gws deh, lu."
"Ppfttt... Bercanda. Tapi Mogi emang lagi di kasur sama aku. Lagi main."
"Dasar. Btw, lo gak lupa janji lo tadi pagi kan?"
"Hm? Janji apa?"
"Nahkannn. Kebiasaan, lu. Baru tadi pagi."
"Heiiii, manusia! Aku inget itu! Maksud aku, kita ada janji apa? Kamu kan cuma nyuruh aku siap-siap jam delapan malem tanpa ngasih tau mau ke mana dan ngapain!"
"Hehe. Masa?"
"Nyebelin. Aku matiin, ya."
"Emang bisa? Kan lagi teleponan."
"Ih? Sumpah. Beneran nih-"
"Eeehh iya-iya. Gue kasih tau sekarang. Jadi, nanti malem gue bakal ketemu cowok. Nah nanti lo temenin gue, oke?"
Terakhir kali Moza menemani Hana berkencan, Hana malah terlalu fokus pada pacarnya dan menganggap Moza seperti hantu.
Moza tak mau mengulangi hal yang sama.
"Terus aku jadi angin lagi, gitu? Gak dulu makasih."
"Idiihh kok lu jahat? Za... Tolong, lah. Dia itu tipe gue banget. Masa lo gak mau support gue, sih? Ya? Mau, ya?"
"Ya kalo tipe kamu, pepet aja terus sampe dapet. Ngapain harus ngajak aku nemenin segala?"
"Justru itu! Karena dia tipe gue, gue jadi deg-degan. Apalagi kalo ngebayangin kami ketemu. Ah! Kayaknya gue gak sanggup kalo sendiri. Makanya lo temenin, ya? Pleaseee."
Ingin sekali Moza berkata 'tidak'. Namun sulit bagi orang sepertinya untuk mengucapkan kata demikian.
Apa pun pertanyaan yang dilemparkan padanya Moza akan selalu menjawab,
"Iya, deh."
"Asiiiiikkk! Makasih, Moza! Nanti gue kasih tau lokasinya! Lope banyak-banyak buat lu!"
Setelahnya, sambungan telepon mereka terputus. Gadis itu tertawa kecil mendengar respons Hana barusan.
Ya, walaupun Moza seolah menolak di awal, sepertinya menemani kencan bukanlah suatu hal yang sangat mengerikan.
"Miaw...."
Moza menoleh, "Apa, hm? Kesel ya dari tadi dicuekin?"
Moza lagi-lagi tertawa melihat kuc–Mogi yang hanya menatapnya tanpa memberikan respons yang berarti.
Moza lalu sengaja mencubit kecil pipi Mogi dan mengelus-elus kepalanya. Dan bocah itu diam saja seperti tak terganggu saat Moza melakukannya.
"Kamu gemesin banget, sih!"
Tidak berhenti, gadis itu beralih mengelus-elus perut Mogi dengan lembut. Entah mengapa, kucing itu tiba-tiba telentang seolah menyuruh Moza mengelus perutnya lagi.
"Dasar... Untung gemes. Sini."
...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...
"I-ini gak bener, kan?"
Moza terbelalak begitu melihat tempat apa yang ia lihat di depan matanya ini. Di hadapan Moza jelas berdiri kokoh sebuah bangunan besar dengan kelap-kelip lampu yang membuat pusing kepala.
Belum lagi beberapa orang yang keluar masuk tempat itu yang terlihat seperti sekumpulan orang gila. Pakaian kurang bahan, teriak-teriak, dan penampilan sedikit mirip jamet.
Jadi... Ini tempat yang dimaksud Hana?
"Aduh... Kenapa bahkan mata aku liat tempat ini?" Moza memalingkan wajahnya dan beralih menatap ponsel untuk menghubungi Hana.
"Malah gak aktif, lagi!" bisik Moza geram kala sadar kontak Hana tidak bisa dihubungi dengan alasan tak jelas.
"Za! Moza!"
Kala mendengar namanya dipanggil, Moza langsung menoleh dan mendapati Hana yang tengah berlari kecil ke arahnya.
"Kubunuh kamu, Hana! Apa-apaan ini? Maksud kamu apa nyuruh aku nunggu di club malam gini?!"
Hana tersenyum kikuk, "Ish jangan marah-marah dulu! Gue salah kasih lokasi. Harusnya yang ini."
Moza menatap jari Hana yang tengah menunjuk ke arah sebuah restoran yang berada tak jauh dari club yang Moza lihat tadi.
Moza mengusap dadanya lega, "Kirain...."
"Ya udah, yuk!"
Hana berlari menuju restoran sembari menarik tangan kanan Moza. Sampai di pintu masuk restoran, Moza dibuat bingung lantaran langkah Hana tiba-tiba berhenti.
"Kenapa?" tanya Moza. "Penampilan gue gimana, Za? Oke, gak? Duh, kok deg-degan banget rasanya," gugup Hana sambil gigit jari.
Moza amati penampilan Hana dari kepala sampai ujung kaki. Dan semuanya tampak baik-baik saja. Bahkan sempurna.
Mini dress biru dengan sentuhan warna abu-abu, serta dengan rambut kecokelatan yang tergerai indah.
Moza sampai tersenyum melihatnya. Ia sampai heran. Bisa-bisanya orang yang seperti ini masih bisa insecure tentang penampilan.
"Kamu cantik."
Hana menoleh, "Hah?"
"Kamu itu cantik banget, Hana. Beneran." Moza tersenyum.
Moza bahkan harus menyadarkan dirinya kalau sosok yang ia lihat sekarang itu adalah Hana, alias si cewek acak-acakan yang hobi menakuti pelanggan dengan ekspresi dan penampilannya yang seperti preman.
Moza jadi penasaran. Lelaki mana yang mampu membuat seorang Hana berpenampilan seolah-olah bukan dirinya?
"Yuk, ah masuk. Ngapain lama-lama di luar," ajak Moza, namun tangannya digenggam erat oleh Hana.
"Jangan dulu! Gue masih gugup, nih."
"Astaga, Hana... Harus berapa ribu kali lagi aku harus bilang kalo kamu cantik banget? Emang cowoknya yang mana sih? Kamu sampe segininya...," bingung Moza tak habis pikir.
"Yang itu, tuh. Yang pake jaket cokelat terang," tunjuk Hana.
Moza terbelalak. Karena yang ia lihat adalah lelaki paruh baya dengan rambut putih di kepalanya yang sedang terduduk dengan seorang wanita dengan rata-rata usia yang sama.
"Oke. Aku tau selera kamu gak bisa ditebak. Tapi dia udah hampir seumuran sama kakek aku, Na! Dan lagi, kayaknya dia udah punya istri."
Hana sempat bengong, lalu mendengus, "Ngaco! Mulut lo emang ngadi-ngadi, ya."
Setelahnya, Hana terdiam sejenak lalu menarik napas dalam-dalam. "Yuk. Sekarang kita masuk. Rasa gugup gue udah ilang dikit."
Udara dingin menyeruak masuk menusuk kulit Moza. Setidaknya itulah yang dirasakan gadis itu saat ini.
Moza tidak mengerti. Hebat sekali Hana pakaian seperti itu di tengah ruangan yang suhunya bak di Greenland ini.
"Hai," sapa Hana pada seorang pria yang tengah terduduk sambil memperhatikan ponselnya.
Moza membuang napas lega. Dugaannya salah. Ternyata selera Hana masih normal.
"Lo... kuningngambangikanmasberenang?"
Sang pria tersenyum, "Iya. Lo nasigorengpakenasi?"
What the....
"Iya hehe." Hana menyelipkan rambut ke belakang telinga sembari menyungging senyuman.
"Oh, duduk!" Pria itu lantas berdiri dari kursinya dan menarik kursi lain untuk mempersilakan Hana duduk.
Moza dapat melihat betapa lebarnya senyuman yang terbit dari wajah Hana. Ya... Tidak heran lagi Hana bersikap seperti itu. Kelemahannya memang diperlakukan lembut oleh pria....
...pria tampan.
"Btw gue bawa temen, gak apa-apa kan?" ucap Hana. Pria itu melirik Moza, "Oh? Iya, santai aja."
D-dari tadi cowok itu gak sadar aku ada, ya? Kayak kaget banget, batin Moza meringis.
"Oh iya. Kalo mau pesen makan, pesen aja. Gue bisa nunggu, kok." Pria itu melempar senyuman pada Hana.
Hana
Kyaaa!! Lo denger, kan? Ngomongnya ramah banget.
^^^Moza^^^
^^^Na... Kita kan sebelahan. Ngapain kamu chat aku?^^^
Hana
Za, Za... Mana mungkin gue puji cowok depan mukanya langsung? Ini masalah harga diri, Moza.
^^^Moza^^^
^^^-_-^^^
"Sorry, biar gue liat." Melepas ponselnya, Hana meraih daftar menu. Gadis itu lalu mengerutkan keningnya saat membaca daftar makanan untuk dipesan.
"Za... Tolong bacain, dong. Gue gak ngerti," bisik Hana. Moza memutar bola matanya malas sembari mendengus sebal.
"Makanya waktu pelajaran bahasa Inggris tuh jangan sering bolos."
Moza meraih daftar menu itu dan mulai membacanya. Ia sendiri kaget mendapati bukan bahasa Inggris yang tertulis di menu itu.
"E-entahlah. Aku gak pernah les bahasa Cina," gugup Moza sembari menaruh kembali daftar menunya ke meja.
Sial. Beberapa menit di sini, Moza baru menyadari kalau restoran ini adalah restoran chinese food.
"S-samain aja kayak lo," kata Hana kemudian pada pria itu. Sementara sang lawan bicara tersenyum saja sembari memanggil pelayan, lalu memesan.
"Lucu, ya. Dari tadi kita saling panggil dengan username di game tanpa kenalan...." Pria itu menjeda ucapannya,
"Kenalin, gue Indra."
Dengan senyumannya yang sudah sangat lebar, Hana membalas jabatan tangan Indra.
"Gue Hana."
Indra mengangguk paham, sementara Moza yang terlihat melempar tatapan sinisnya pada Hana.
Sumpah. Senyumnya Hana sampe bikin merinding... Dan lagi, cowok ini bahkan gak nanya nama aku?! Udah, lah. Aku emang jadi angin di sini, batin Moza lagi-lagi meringis.
"Oh iya, makasih ya buat yang semalem. Gue seneng sama cara main lo," ucap Indra.
Hana menatap Indra lalu kembali tersenyum, "Gak apa-apa. Lagian punya lo udah gede. Gue jadi enak maininnya," balas Hana sedikit tersipu.
Sial. Moza benci apa yang sedang dipikirkannya.
"A-anu... Kalian lagi ngomongin apa, ya?"
Indra menoleh pada Moza, "Oh, ini... Semalem kami mabar game, dan Hana bantuin gue buat nyelesai-in game-nya."
"Level punya lo udah gede, sih. Makanya gue jadi gampang maininnya." Hana menimpali.
"O-oh...." Moza tersenyum kikuk.
^^^Moza^^^
^^^Hampir aja garpu ini melayang ke kepala kamu, Na.^^^
Hana
HAHAHAHHAHH emang lo mikir apaan?
^^^Moza^^^
^^^Gak usah dibahas. Makin dibahas makin geli rasanya.^^^
Hana
Tapi walaupun 'main' yang lain, gue gak apa-apa kok kalo sama si Indra.
^^^Moza^^^
^^^Aku telepon pihak rumah sakit, ya. Kayaknya kamu sakit parah.^^^
Hana
Hihihiii canda.
Beberapa waktu berselang. Ketiganya seolah sudah tak sanggup lagi menelan sebiji beras pun saking kenyangnya.
Apalagi Moza. Ia sama sekali tidak terbiasa memakan makanan seperti ini dalam jumlah yang se-masif ini.
"Kalian masih mau pesen lagi? Gak apa-apa, kok," tawar Indra, dan Moza langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Gak makasih. Aku udah kenyang banget."
Hana meraba-raba perutnya sendiri, "Kalo gue mungkin jus apel sama-"
"Jangan kurang ajar!" bisik Moza sembari mencubit kecil paha Hana.
"A-aaww! Kayaknya gue juga kenyang, deh," ujar Hana kemudian, walau sempat menatap tajam pada Moza yang sudah mencubitnya.
"Kalo gitu... Bentar, ya. Gue ke belakang dulu." Indra menaruh ponselnya dan beranjak dari kursinya.
Setelah Indra hilang dari pandangan, barulah Moza mendelik sinis pada Hana dengan tatapan yang mengintimidasi.
"Kenapa kamu biarin dia pergi?"
Hana mengernyit, "Emang kenapa?"
"Loh? Bisa-bisanya penakluk cowok kayak kamu gak tau. Bisa aja Indra kabur dan akhirnya kamu yang harus bayar semua makanan ini."
"Aku gak mau nuduh sembarangan, tapi buat jaga-jaga aja. Yang begini tuh udah sering kejadian, Hana."
Hana menggeleng, "Lo itu terlalu banyak baca novel, Mozaaaa... Kalo si Indra emang niat kabur, harusnya dia bawa barang-barangnya, kan? Sedangkan ini?"
"Iya juga, sih...."
Moza baru sadar Indra ke kamar mandi tak hanya meninggalkan ponselnya. Melainkan dengan jaket, dan kunci mobil mewahnya.
"Mungkin aku terlalu buruk sangka."
Sepuluh menit berlalu. Namun Indra masih belum menunjukkan batang hidungnya keluar dari toilet.
"Astaga... Ke mana cowok itu? Lagi nonton film masuk lubang keluar lubang, kah? Lama amat," keluh Hana.
Tidak lama setelah Hana mengatakan itu, ada seorang pria yang terlihat mengambil ponsel milik Indra yang tergeletak di meja.
"Eeehhh?!! Lo ngapain? Maling, ya?" kaget Hana.
"Loh? Saya bukan maling."
"Terus kenapa ngambil hape orang sembarangan?"
"Hape orang? Justru ini hape saya. Pacar mbak yang pinjem. Entah buat apa."
Setelah berkata seperti itu, pria dengan setelan kaus hijau muda itu pergi begitu saja meninggalkan Hana yang masih kebingungan.
Tak lama setelahnya, Hana kembali melihat seorang nenek mengambil kunci mobil milik Indra yang juga tergeletak di atas meja.
"Nenek ngapain?!" tanya Hana yang masih kaget. "Ini punya anak saya. Tadi pacar kamu yang pinjem. Permisi, ya," ucap Nenek itu lalu pergi.
Tidak berhenti sampai situ, kini giliran seorang wanita yang datang menghampiri meja tempat Moza dan Hana terduduk lalu mengambil jaket milik Indra(?).
"Jaket itu punya lo juga? Atau punya anak lo? Sepupu lo? Kakek lo? Selingkuhan lo, HAHHH?!!" tanya Hana kehabisan kesabaran.
Wanita itu menatap sinis, "Stres... Ini punya pacar gue. Gak tau tadi tiba-tiba pacar lo dateng dan pinjem ini."
"...bilangin sama pacar lo, kalo gak mampu gak usah maksa diri sendiri. Bikin malu."
Setelah menerima perkataan menusuk seperti itu, wanita itu melengos pergi dan Hana terdiam dengan pikiran kalut di kepalanya.
Dan... Moza? Apa kabar dengannya setelah menyaksikan drama tadi? Sejujurnya, hanya satu kata yang ingin Moza katakan.
Mampus.
"Tuh, kan... Aku bilang ap-EH? K-kenapa kepala kamu berasap gitu, Na? Hana?"
"INDRA KEPARAAAAATTTTT!!!!"
...(ฅ^•ﻌ•^ฅ)...
"Hahhh... Capek juga ngurusin drama hidup orang lain."
Moza membuka pintu apartemennya, melepas sepatu, dan merebahkan dirinya ke sofa. Tubuhnya seakan ditimpa puing-puing bangunan saking lelahnya.
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Belum lagi besok ia harus kembali pergi bekerja.
Ya... Walaupun Moza tak yakin Hana masih akan bekerja besok, setelah apa yang terjadi beberapa jam tadi.
"Udah, lah. Mending aku tidur."
Setelah dirinya siap untuk bermimpi, Moza pergi ke kamar dan mendapati Mogi sedang terlelap pulas di ranjangnya sambil mendengkur.
Gadis itu tertawa. Bagaimana tidak? Posisi tidur Mogi sangat menggemaskan. Ingin sekali Moza membangunkannya.
"Hai, manis... Maaf ya, aku ganggu bentar bobo-nya," bisik Moza lalu menciumi area pipi Mogi.
Tak hanya itu, Moza bahkan mengusap-usap tubuh Mogi sampai bocah berbulu itu terbangun.
Tertawa, setelahnya Moza membanting dirinya ke kasur dan ikut terbaring di samping Mogi yang kini sedang setengah sadar.
"Maaf, ya... Kamu jadi bangun. Habisnya! Malem ini bener-bener bikin stres, tau! Belum lagi besok aku harus bangun pagi!"
"Aahh... Mikirinnya aja bikin aku kesel lagi. Pokoknya malem ini gak boleh terulang lagi."
Setelah berpidato sepanjang itu, Moza menoleh dan menatap Mogi yang lagi-lagi hanya menatapnya sambil memberikan respons kecil.
Moza tertawa, "Ngomong sama kucing gak berarti gila, kan?"
Moza menyungging senyum di wajahnya lalu mengangkat Mogi dengan posisi dirinya masih telentang.
"Andaikan aja kamu bisa ngomong, Mogi."
...-TBC-...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Keysha Aurelie
lanjut kak tetap semangat, ceritanya menarik dan penasaran kapan si kucing Mogi bisa berubah jadi cogan pengan tau asal usul Mogi apakah dapat kutukan, semoga ada POV Mogi ya🤭
2023-01-28
0