Bebegig

Bebegig

Chapter 1

Lamun hujan ngagelebug, komo wanci sambekala…

Kade Bebegig, Anaking!

Kade Bebegig!

Bebegig mawa dodoja.

Kenapa aku tiba-tiba teringat sajak itu? pikir Jingga.

Arti dari sajak itu adalah…

Jika hujan menderu keras, terutama saat senja…

Awas orang-orangan sawah, Anakku!

Awas orang-orangan sawah!

Orang-orangan sawah membawa teror.

Sajak itu sering dibisikkan neneknya ketika ia masih kecil. Seketika ia merasa seolah bisa mendengar suara neneknya yang lembut, suara yang tidak pernah didengarnya lagi sejak ia berusia lima tahun…

Kade Bebegig!

Bebegig mawa dodoja.

Nenek Jingga meninggal dunia sewaktu ia berusia lima tahun, sejak saat itu, ia hanya tinggal berdua dengan ibunya, Ragnala. Sekarang gadis itu sudah delapan belas tahun, dan ibunya tak pernah membacakan sajak itu.

Ia tidak mengerti kenapa ia bisa tiba-tiba teringat pada sajak itu ketika mereka turun dari van yang dicarter ibunya, dan menatap rumah baru mereka yang terselubung tumpukan daun kering akasia bersama taburan bunganya.

"Ada apa, Jingga?" tanya Ragnala. "Kenapa kamu melamun?" Diletakkannya sebelah tangan di pundak mantel putrinya yang berwarna biru. "Apa yang kamu pikirin, Sayang?"

Jingga menggigil. Bukan karena sentuhan tangan ibunya, tapi karena angin dingin yang berembus dari gunung. Ia mengamati pondok beratap rumbia yang akan menjadi tempat tinggal mereka yang baru.

Awas orang-orangan sawah!

Sebenarnya sajak itu masih ada bagian keduanya. Tapi entah kenapa ia tak ingat.

Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah ia masih menyimpan buku sajak yang sering dibacakan neneknya dulu.

"Pondok ini kelihatannya cukup nyaman," ujar ibunya. Ia masih memegangi pundak Jingga.

Sebenarnya Jingga merasa sangat sedih, sama sekali tidak bahagia. Tapi ia memaksakan senyum. "Ya. Nyaman," ia bergumam.

Serpihan daun-daun kering dan serbuk bunga akasia menumpuk di atap, berserak di ambang-ambang pintu dan jendela, di teras dan di halaman. Membuat seluruh tempat terlihat seperti diselimuti karpet beludru berwarna kuning.

Udara dingin membuat pipi Ragnala yang biasanya pucat terlihat kemerahan.

Usia Ragnala sebetulnya belum terlalu tua, tapi sejak dulu rambutnya sudah putih semua. Rambutnya panjang dan selalu digelung jucung—sanggul tradisional Jawa Barat, seperti wanita-wanita di zaman kolonial Belanda.

Ragnala bertubuh jangkung dan kurus. Dan cukup cantik, dengan wajah bulat dan mata besar berwarna gelap yang sendu.

Jingga tidak mirip ibunya. Ia bahkan tak tahu mirip siapa ia sebenarnya. Wajah neneknya tak dapat diingat dengan jelas, dan ayahnya bahkan tak pernah dikenalnya sama sekali. Ibunya bilang, ayahnya menghilang setelah ia lahir.

Rambut Jingga berombak dan berwarna coklat tua. Matanya juga cokelat. Ia tinggi dan atletis. Ia jadi bintang basket tim cewek di sekolahnya yang dulu, di Jakarta.

Jingga senang mengobrol, berdansa dan bernyanyi. Bertolak belakang dengan ibunya yang pendiam. Kadang-kadang sehari penuh Ragnala tidak mengucapkan sepatah kata pun. Jingga sangat menyayangi ibunya, tapi Ragnala terlalu kaku dan sangat pendiam. Jingga berharap ibunya bisa lebih mudah diajak bicara.

Aku bakal butuh teman ngobrol, pikirnya sedih.

Baru kemarin mereka meninggalkan Jakarta, tapi Jingga sudah rindu pada teman-temannya.

Bagaimana aku bisa menemukan teman baru di desa kecil di pedalaman seperti ini? Jingga bertanya-tanya seraya membantu ibunya menurunkan barang-barang mereka dari van. Sepatu botnya berkeresak di atas hamparan daun-daun kering.

Rumah baru mereka terletak di kaki gunung di pedalaman Banten, di sebuah desa terpencil yang terkenal sebagai Desa Hujan.

Jingga memandang ke arah gunung Kendeng yang tertutup kabut, hingga ia tak dapat melihat dengan pasti di mana batas antara gunung dan awan.

Rumah-rumah mungil di pinggir jalan terlihat seperti rumah mainan yang terbuat dari jerami.

Jingga tiba-tiba merasa dirinya seakan tersesat ke sebuah negeri dongeng.

Tapi itu bukan dongeng!

Itu adalah rumah barunya. Tempat tinggal mereka yang baru dan ajaib.

Jingga tak habis pikir kenapa mereka harus pindah dari kota besar ke desa kecil yang dinginnya minta ampun.

Ragnala tak pernah menjelaskannya hingga tuntas. Hanya, "Udah waktunya buat perubahan," tuturnya dalam gumaman tak jelas. "Udah waktunya kita pindah." Dan itu saja sudah bagus. Biasanya Ragnala tak pernah mengucapkan dua kalimat berturut-turut.

Jingga tahu ibunya dibesarkan di desa seperti ini. Tapi kenapa mereka harus pindah sekarang?

Kenapa aku harus meninggalkan sekolah dan semua temanku?

Cipagenggang.

Nama macam apa itu, Cipagenggang?

Bayangkan saja. Jingga dipaksa pindah dari Jakarta ke Cipagenggang.

Lagi pula desa ini juga bukan desa wisata yang ramai dikunjungi turis untuk berlibur. Desa ini betul-betul sepi.

Jangan-jangan tidak ada anak yang sebaya denganku, pikir Jingga.

Ragnala menyingkirkan timbunan daun-daun kering dan serbuk bunga akasia yang menumpuk di depan pintu rumah baru mereka, kemudian berusaha membuka pintu. "Uhh, daun pintunya udah melengkung," ia menggerung. Ia menempelkan bahunya ke pintu dan mendorongnya hingga terbuka.

Ragnala memang kurus, tapi juga kuat.

Jingga mulai memasukkan tas-tas ke dalam rumah. Tapi sesuatu di halaman yang terselubung kabut di seberang jalan menarik perhatiannya. Ia berbalik dan memandang sembari memicingkan matanya.

Lalu ia memekik tertahan.

Apa itu? pikirnya.

Orang-orangan sawah?

Orang-orangan sawah dengan hoodie sweater?

Dan sementara Jingga menatapnya, orang-orangan sawah itu mulai bergerak.

Jingga mengerjap-ngerjapkan matanya.

Rupanya ia salah lihat!

Orang-orangan sawah itu tidak bergerak.

Segerombol burung gereja bertengger dan berkeriapan di sepanjang tangan orang-orangan sawah yang terbuat dari kayu dan ranting pohon. Burung-burung itu tersentak ketika angin kencang berhembus tiba-tiba, sehingga kelihatannya seperti tangan orang-orangan sawah itu seolah-olah terlipat ke depan. Orang-orangan sawah tidak memiliki sikut, jadi tidak mungkin tangannya terlipat ke depan.

Langkah Jingga berkeresak ketika gadis itu menghampiri orang-orangan sawah itu dan memeriksanya dengan seksama.

Orang-orangan sawah itu benar-benar aneh. Lengannya terbuat dari dahan pohon. Satu lengannya membentang ke samping, sementara satunya lagi terangkat ke atas, seakan-akan melambai pada Jingga. Masing-masing dahan pohon mempunyai tiga ranting sebagai jari. Kepalanya terbuat dari batok kelapa yang dililit kain selubung membentuk kerudung seperti hoodie sweater. Pakaiannya seperti jubah longgar India yang panjangnya sampai menyentuh permukaan tanah, menutup sepenuhnya bagian batang yang ditancapkan sebagai kakinya. Bagian wajahnya digambari dengan arang, membetuk mata dan mulut yang dibuat sedikit memanjang ke satu sisi seperti bekas luka, hingga terkesan seolah sedang mencibir.

Kenapa tampangnya dibuat begitu? pikir Jingga.

Pandangannya terpaku pada bekas luka di wajah orang-orangan sawah itu. "Freak," ia bergumam. Itu memang kata kesukaannya. Ibunya bilang ia perlu menambah perbendaharaan kata.

Tapi apa dong, kata yang tepat untuk menggambarkan orang-orangan sawah bertampang seram dengan bekas luka di wajahnya?

"Jingga---coba tolong bantu Mama!" seruan ibunya membuat Jingga berpaling.

Jingga bergegas menyeberangi jalan, menuju ke rumah baru mereka.

Terpopuler

Comments

adi_nata

adi_nata

kenapa mulutnya tidak digambar smile saja ? burung pun tidak akan terpengaruh walau wajah nya dibuat serem. kecuali tujuannya memang untuk menakuti manusia. 😁

2023-11-18

0

adi_nata

adi_nata

kendeng itu bukannya wilayah perbukitan ? atau emang gunung seperti gunung merbabu, salak, lawu ?

2023-11-18

0

jarang sekali ada perempuan yang pendiam kalau sudah punya anak. menurut aku malah agak serem kalau ada ibu ibu yang pendiam sama anaknya sendiri.

2023-07-02

2

lihat semua
Episodes
1 Chapter 1
2 Chapter 2
3 Chapter 3
4 Chapter 4
5 Chapter 5
6 Chapter 6
7 Chapter 7
8 Chapter 8
9 Chapter 9
10 Chapter 10
11 Chapter 11
12 Chapter 12
13 Chapter 13
14 Chapter 14
15 Chapter 15
16 Chapter 16
17 Chapter 17
18 Chapter 18
19 Chapter 19
20 Chapter 20
21 Chapter 21
22 Chapter 22
23 Chapter 23
24 Chapter 24
25 Chapter 25
26 Chapter 26
27 Chapter 27
28 Chapter 28
29 Chapter 29
30 Chapter 30
31 Chapter 31
32 Chapter 32
33 Chapter 33
34 Chapter 34
35 Chapter 35
36 Chapter 36
37 Chapter 37
38 Chapter 38
39 Chapter 39
40 Chapter 40
41 Chapter 41
42 Chapter 42
43 Chapter 43
44 Chapter 44
45 Chapter 45
46 Chapter 46
47 Chapter 47
48 Chapter 48
49 Chapter 49
50 Ini penting!
51 Chapter 50
52 Chapter 51
53 Chapter 52
54 Chapter 53
55 Chapter 54
56 Chapter 55
57 Chapter 56
58 Chapter 57
59 Chapter 58
60 Chapter 59
61 Chapter 60
62 Chapter 61
63 Chapter 62
64 Chapter 63
65 Chapter 64
66 Chapter 65
67 Chapter 66
68 Chapter 67
69 Chapter 68
70 Chapter 69
71 Chapter 70
72 Chapter 71
73 Chapter 72
74 Chapter 73
75 Chapter 74
76 Chapter 75
77 Chapter 76
78 Chapter 77
79 Chapter 78
80 Chapter 79
81 Chapter 80
82 Chapter 81
83 Chapter 82
84 Chapter 83
85 Chapter 84
86 Chapter 85
87 Chapter 86
88 Chapter 87
89 Chapter 88
90 Chapter 89
91 Chapter 90
92 Chapter 91
93 Chapter 92
94 Chapter 93
95 Chapter 94
96 Special Thanks!
Episodes

Updated 96 Episodes

1
Chapter 1
2
Chapter 2
3
Chapter 3
4
Chapter 4
5
Chapter 5
6
Chapter 6
7
Chapter 7
8
Chapter 8
9
Chapter 9
10
Chapter 10
11
Chapter 11
12
Chapter 12
13
Chapter 13
14
Chapter 14
15
Chapter 15
16
Chapter 16
17
Chapter 17
18
Chapter 18
19
Chapter 19
20
Chapter 20
21
Chapter 21
22
Chapter 22
23
Chapter 23
24
Chapter 24
25
Chapter 25
26
Chapter 26
27
Chapter 27
28
Chapter 28
29
Chapter 29
30
Chapter 30
31
Chapter 31
32
Chapter 32
33
Chapter 33
34
Chapter 34
35
Chapter 35
36
Chapter 36
37
Chapter 37
38
Chapter 38
39
Chapter 39
40
Chapter 40
41
Chapter 41
42
Chapter 42
43
Chapter 43
44
Chapter 44
45
Chapter 45
46
Chapter 46
47
Chapter 47
48
Chapter 48
49
Chapter 49
50
Ini penting!
51
Chapter 50
52
Chapter 51
53
Chapter 52
54
Chapter 53
55
Chapter 54
56
Chapter 55
57
Chapter 56
58
Chapter 57
59
Chapter 58
60
Chapter 59
61
Chapter 60
62
Chapter 61
63
Chapter 62
64
Chapter 63
65
Chapter 64
66
Chapter 65
67
Chapter 66
68
Chapter 67
69
Chapter 68
70
Chapter 69
71
Chapter 70
72
Chapter 71
73
Chapter 72
74
Chapter 73
75
Chapter 74
76
Chapter 75
77
Chapter 76
78
Chapter 77
79
Chapter 78
80
Chapter 79
81
Chapter 80
82
Chapter 81
83
Chapter 82
84
Chapter 83
85
Chapter 84
86
Chapter 85
87
Chapter 86
88
Chapter 87
89
Chapter 88
90
Chapter 89
91
Chapter 90
92
Chapter 91
93
Chapter 92
94
Chapter 93
95
Chapter 94
96
Special Thanks!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!