Chapter 3

"Kenapa sih kalian bikin orang-orangan sawah kayak gitu?" tanya Jingga penasaran. "Tampangnya freak, maksudku, kenapa kalian mesti gambar bekas luka di mukanya?"

Dewangga dan Magenta saling melirik dengan gugup. Mereka tidak menjawab.

Akhirnya Magenta angkat bahu. "Kita juga gak tahu," ia bergumam sambil tersipu-sipu.

Apa mereka sedang berbohong? pikir Jingga. Kenapa mereka enggan menjawab pertanyaanku?

"Kamu mau ke mana, sih?" Dewa bertanya sambil mengencangkan ikatan di leher orang-orangan sawah itu.

"Cuma pengen jalan-jalan aja kok," jawab Jingga. "Kalian mau ikut? Aku mau naik ke puncak gunung."

"Jangan!" pekik Dewa. Matanya yang gelap terbelalak lebar.

"Jangan!" seru Genta nyaris bersamaan. "Jangan naik ke sana!"

"Kenapa?" Jingga menatap mereka dengan tercengang.

Ada apa sih dengan mereka?

"Kenapa aku gak boleh ke sana?" tanya Jingga dengan nada menuntut.

Kesan ngeri di wajah kedua cowok itu segera lenyap. Magenta menyibakkan rambutnya yang hitam mengkilat. Dewa berlagak sibuk dengan tudung si orang-orangan sawah.

"Sebenernya… jalan ke sana lagi ditutup karena lagi ada perbaikan," Dewa akhirnya menyahut.

"Ha ha. Lucu," dengus Magenta sembari mencibir.

"Jadi apa dong alesan yang sebenernya?" Jingga mendesak mereka.

"Ehm… ehm… kami memang gak pernah ke sana," ujar Magenta gugup sambil melirik saudaranya. Ia menunggu Dewa mengatakan sesuatu. Tapi Dewa diam saja.

"Ini semacam tradisi," Genta akhirnya melanjutkan tanpa berani menatap Jingga. "Maksudnya… ehm… pokoknya kita gak pernah ke sana."

"Soalnya terlalu dingin," Dewa menambahkan. Itu alesan yang sebenernya. Di atas sana terlalu dingin untuk manusia. Kamu bisa beku dalam waktu tiga puluh detik."

Jingga tahu mereka berbohong. Ia tahu pasti bukan itu alasan yang sebenarnya. Tapi ia memutar untuk mengalihkan pembicaraan. Mereka tiba-tiba kelihatan begitu tegang dan cemas.

"Asal kamu dari mana, sih?" tanya Dewangga. Ia menyelipkan kedua tangannya ke saku mantelnya. "Dari desa sebelah?"

"Bukan. Aku dari Jakarta," sahut Jingga. "Sebelumnya aku tinggal di apartemen deket-deket Monas."

"Terus kamu pindah ke sini?" seru Dewa. "Dari Jakarta ke Cipagenggang? Kenapa?"

"Pertanyaan bagus," gumam Jingga. "Begini, aku tinggal cuma berdua sama mamaku. Mama tiba-tiba mutusin buat pindah kemari. Jadi…" Jingga tak sanggup menyembunyikan kesedihannya.

Mereka mengobrol beberapa lama lagi. Dewa dan Magenta ternyata seumur hidup tinggal di Cipagenggang.

"Sebenernya sih lumayan enak tinggal di sini. Lama-lama kita jadi terbiasa sama suasana sepi di sini. Kita juga jadi terbiasa jarang ketemu orang," Magenta menjelaskan.

"Tempat ini lumayan asyik kalau kamu suka hujan," Dewa menimpali. "Yang ada di sini cuma hujan melulu!"

Mereka semua tertawa.

"Oke, deh. Sampai ketemu, ya," ujar Jingga. Kemudian ia berbalik untuk meneruskan perjalanan.

"Kamu gak jadi ke puncak, kan?" Dewa berseru. Tampaknya cowok itu kembali dicekam ketakutan.

"Enggak," sahut Jingga. Ia mengencangkan tudung matelnya. "Anginnya terlalu kenceng. Aku cuma mau naik sedikit lagi."

Jalan yang ia lalui terus menanjak. Jingga melewati sebuah lapangan luas penuh pohon pinus yang batangnya sekurus pensil. Pohon-pohon itu miring ke segala arah. Tak satu pun tumbuh tegak.

Jingga melihat jejak binatang di lapangan di tepi jalan. Mungkin rakun atau tupai. Hmm, rasanya bukan, pikir Jingga. Jejaknya terlalu besar. Barangkali jejak rusa. Entahlah!

Jingga menoleh ke depan—dan memekik terkejut.

Di hadapannya berdiri tegak orang-orangan sawah dengan tudung dan jubah India yang sama. Ujung kain selubung yang meliliti lehernya berkibar-kibar tertiup angin kencang. Jingga juga melihat goresan panjang bekas luka di wajahnya. Lengan rantingnya melambai-lambai seakan menyambut Jingga.

"Kenapa orang-orang di sini suka banget bikin orang-orangan sawah yang mukanya serem kayak gitu?" tanya Jingga yang entah ditujukan pada siapa.

Ia menoleh lagi ke arah lain dan melihat orang-orangan sawah serupa di pekarangan depan sebuah rumah di seberang jalan. Lengannya sama. Selubung kepala dan jubahnya sama. Bekas lukanya sama.

Mungkin ini semacam tradisi di sini, pikir Jingga.

Lalu kenapa Dewangga dan Magenta mengelak ketika aku menanyakan soal itu?

Awan-awan kelabu menutupi matahari. Bayangan si orang-orangan sawah seakan-akan bertambah panjang, sampai akhirnya menyelubungi Jingga.

Tiba-tiba saja gadis itu merinding. Ia langsung mundur selangkah.

Dalam waktu singkat langit telah menggelap.

Jingga memandang ke arah puncak gunung. Puncaknya tidak terlihat karena terhalang kabut dan pohon-pohon pinus.

Hmm, bagaimana sekarang? pikir Jingga. Apakah lebih baik aku berbalik dan pulang, atau meneruskan perjalanan?

Jingga teringat raut wajah Dewa yang ketakutan ketika ia mendengar rencana Jingga pergi ke puncak gunung. Jingga juga ingat bagaimana Magenta memekik, "Jangan!"

Jingga menjadi makin penasaran.

Apa yang mereka takuti? pikirnya. Apa yang ada di atas sana?

Jingga memutuskan untuk mencari tahu jawabannya.

Mobil van tua di depan rumah berikutnya tertutup lapisan tebal daun-daun kering dan serpihan bunga akasia. Tampaknya van itu tidak pernah dijalankan dalam waktu yang lama.

Jingga menyusuri jalan yang membelok dan menjauhi rumah-rumah. Permukaan aspal di jalan bertambah basah dan hitam. Sepatu botnya berdebam dan berdecak mencipratkan lapisan air yang mengalir tipis di atas permukaan aspal setiap kali Jingga melangkah.

Sesaat gadis itu membayangkan dirinya sedang berjalan di planet lain, planet asing yang belum pernah dijelajahi.

Jalanan semakin terjal sekarang. Jalan aspal berakhir, berganti jalan tanah berlubang dan berlumpur. Batu-batu besar berwarna hitam menyembul dari lapisan tanah dan lumpur, juga di sepanjang sisi jalan di antara rerumputan tinggi. Pohon-pohon pinus tumbuh miring ke sana-kemari.

Di ketinggian itu sudah tidak ada rumah lagi. Jingga hanya melihat pohon-pohon dan semak-semak yang terselubung kabut dan batu-batu hitam.

Jalanan kembali membelok. Angin bertiup kencang.

Jingga menggosok pipi dan hidungnya untuk menghangatkan diri. Ia mencondongkan badan menentang angin dan meneruskan perjalanan.

Jingga berhenti ketika sebuah pondok kayu berdinding anyaman bambu beratap rumbia muncul di hadapannya. Ia mengamatinya sambil melindungi matanya. dengan sebelah tangan.

Sebuah pondok? ia bertanya-tanya dalam hatinya. Di atas sini? Siapa yang mau tinggal di tempat terpencil ini, begitu jauh dari orang lain?

Pondok itu berada di tengah lapangan yang di kelilingi pohon-pohon pinus.

Jingga tidak melihat mobil atau gerobak pengangkut padi seperti di rumah-rumah lain. Jejak kaki pun tidak ada.

Mungkin saung Kanekes, pikir Jingga.

Kanekes adalah orang-orang dari suku Baduy. Mereka biasa tinggal di tempat-tempat terpencil untuk menggarap lahan pertanian penduduk di luar Baduy sebagai tani upahan.

Perlahan-lahan Jingga menghampiri pondok itu. Jendela-jendelanya tertutup embun.

Jingga tidak bisa memastikan apakah di dalam ada lampu menyala atau tidak. Lalu ia melangkah maju sedikit lagi. Jantungnya berdegup kencang. Ia bersandar pada ambang jendela dan menempelkan hidungnya ke kaca. Tapi ia tetap tak bisa melihat ke dalam.

"Halo? Ada orang di sini?" seru Jingga.

Hening.

Angin menderu-deru di sekeliling pondok.

Terpopuler

Comments

adi_nata

adi_nata

wah .. tajir banget keluarga Jingga bisa tinggal di apartemen di sekitar Monas.

2023-11-18

0

adi_nata

adi_nata

kalau dibuat secara massal, kemungkinan untuk tujuan tolak bala.

aku pribadi tidak percaya klenik, tapi mitos mitos sepeti ini tetap jadi cerita seru buat aku. 😁

2023-11-18

0

MasWan

MasWan

eh bener kan, daerah Gunung kencana, lokasi baduy kanekes

2023-05-27

1

lihat semua
Episodes
1 Chapter 1
2 Chapter 2
3 Chapter 3
4 Chapter 4
5 Chapter 5
6 Chapter 6
7 Chapter 7
8 Chapter 8
9 Chapter 9
10 Chapter 10
11 Chapter 11
12 Chapter 12
13 Chapter 13
14 Chapter 14
15 Chapter 15
16 Chapter 16
17 Chapter 17
18 Chapter 18
19 Chapter 19
20 Chapter 20
21 Chapter 21
22 Chapter 22
23 Chapter 23
24 Chapter 24
25 Chapter 25
26 Chapter 26
27 Chapter 27
28 Chapter 28
29 Chapter 29
30 Chapter 30
31 Chapter 31
32 Chapter 32
33 Chapter 33
34 Chapter 34
35 Chapter 35
36 Chapter 36
37 Chapter 37
38 Chapter 38
39 Chapter 39
40 Chapter 40
41 Chapter 41
42 Chapter 42
43 Chapter 43
44 Chapter 44
45 Chapter 45
46 Chapter 46
47 Chapter 47
48 Chapter 48
49 Chapter 49
50 Ini penting!
51 Chapter 50
52 Chapter 51
53 Chapter 52
54 Chapter 53
55 Chapter 54
56 Chapter 55
57 Chapter 56
58 Chapter 57
59 Chapter 58
60 Chapter 59
61 Chapter 60
62 Chapter 61
63 Chapter 62
64 Chapter 63
65 Chapter 64
66 Chapter 65
67 Chapter 66
68 Chapter 67
69 Chapter 68
70 Chapter 69
71 Chapter 70
72 Chapter 71
73 Chapter 72
74 Chapter 73
75 Chapter 74
76 Chapter 75
77 Chapter 76
78 Chapter 77
79 Chapter 78
80 Chapter 79
81 Chapter 80
82 Chapter 81
83 Chapter 82
84 Chapter 83
85 Chapter 84
86 Chapter 85
87 Chapter 86
88 Chapter 87
89 Chapter 88
90 Chapter 89
91 Chapter 90
92 Chapter 91
93 Chapter 92
94 Chapter 93
95 Chapter 94
96 Special Thanks!
Episodes

Updated 96 Episodes

1
Chapter 1
2
Chapter 2
3
Chapter 3
4
Chapter 4
5
Chapter 5
6
Chapter 6
7
Chapter 7
8
Chapter 8
9
Chapter 9
10
Chapter 10
11
Chapter 11
12
Chapter 12
13
Chapter 13
14
Chapter 14
15
Chapter 15
16
Chapter 16
17
Chapter 17
18
Chapter 18
19
Chapter 19
20
Chapter 20
21
Chapter 21
22
Chapter 22
23
Chapter 23
24
Chapter 24
25
Chapter 25
26
Chapter 26
27
Chapter 27
28
Chapter 28
29
Chapter 29
30
Chapter 30
31
Chapter 31
32
Chapter 32
33
Chapter 33
34
Chapter 34
35
Chapter 35
36
Chapter 36
37
Chapter 37
38
Chapter 38
39
Chapter 39
40
Chapter 40
41
Chapter 41
42
Chapter 42
43
Chapter 43
44
Chapter 44
45
Chapter 45
46
Chapter 46
47
Chapter 47
48
Chapter 48
49
Chapter 49
50
Ini penting!
51
Chapter 50
52
Chapter 51
53
Chapter 52
54
Chapter 53
55
Chapter 54
56
Chapter 55
57
Chapter 56
58
Chapter 57
59
Chapter 58
60
Chapter 59
61
Chapter 60
62
Chapter 61
63
Chapter 62
64
Chapter 63
65
Chapter 64
66
Chapter 65
67
Chapter 66
68
Chapter 67
69
Chapter 68
70
Chapter 69
71
Chapter 70
72
Chapter 71
73
Chapter 72
74
Chapter 73
75
Chapter 74
76
Chapter 75
77
Chapter 76
78
Chapter 77
79
Chapter 78
80
Chapter 79
81
Chapter 80
82
Chapter 81
83
Chapter 82
84
Chapter 83
85
Chapter 84
86
Chapter 85
87
Chapter 86
88
Chapter 87
89
Chapter 88
90
Chapter 89
91
Chapter 90
92
Chapter 91
93
Chapter 92
94
Chapter 93
95
Chapter 94
96
Special Thanks!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!