"Kenapa sih kalian bikin orang-orangan sawah kayak gitu?" tanya Jingga penasaran. "Tampangnya freak, maksudku, kenapa kalian mesti gambar bekas luka di mukanya?"
Dewangga dan Magenta saling melirik dengan gugup. Mereka tidak menjawab.
Akhirnya Magenta angkat bahu. "Kita juga gak tahu," ia bergumam sambil tersipu-sipu.
Apa mereka sedang berbohong? pikir Jingga. Kenapa mereka enggan menjawab pertanyaanku?
"Kamu mau ke mana, sih?" Dewa bertanya sambil mengencangkan ikatan di leher orang-orangan sawah itu.
"Cuma pengen jalan-jalan aja kok," jawab Jingga. "Kalian mau ikut? Aku mau naik ke puncak gunung."
"Jangan!" pekik Dewa. Matanya yang gelap terbelalak lebar.
"Jangan!" seru Genta nyaris bersamaan. "Jangan naik ke sana!"
"Kenapa?" Jingga menatap mereka dengan tercengang.
Ada apa sih dengan mereka?
"Kenapa aku gak boleh ke sana?" tanya Jingga dengan nada menuntut.
Kesan ngeri di wajah kedua cowok itu segera lenyap. Magenta menyibakkan rambutnya yang hitam mengkilat. Dewa berlagak sibuk dengan tudung si orang-orangan sawah.
"Sebenernya… jalan ke sana lagi ditutup karena lagi ada perbaikan," Dewa akhirnya menyahut.
"Ha ha. Lucu," dengus Magenta sembari mencibir.
"Jadi apa dong alesan yang sebenernya?" Jingga mendesak mereka.
"Ehm… ehm… kami memang gak pernah ke sana," ujar Magenta gugup sambil melirik saudaranya. Ia menunggu Dewa mengatakan sesuatu. Tapi Dewa diam saja.
"Ini semacam tradisi," Genta akhirnya melanjutkan tanpa berani menatap Jingga. "Maksudnya… ehm… pokoknya kita gak pernah ke sana."
"Soalnya terlalu dingin," Dewa menambahkan. Itu alesan yang sebenernya. Di atas sana terlalu dingin untuk manusia. Kamu bisa beku dalam waktu tiga puluh detik."
Jingga tahu mereka berbohong. Ia tahu pasti bukan itu alasan yang sebenarnya. Tapi ia memutar untuk mengalihkan pembicaraan. Mereka tiba-tiba kelihatan begitu tegang dan cemas.
"Asal kamu dari mana, sih?" tanya Dewangga. Ia menyelipkan kedua tangannya ke saku mantelnya. "Dari desa sebelah?"
"Bukan. Aku dari Jakarta," sahut Jingga. "Sebelumnya aku tinggal di apartemen deket-deket Monas."
"Terus kamu pindah ke sini?" seru Dewa. "Dari Jakarta ke Cipagenggang? Kenapa?"
"Pertanyaan bagus," gumam Jingga. "Begini, aku tinggal cuma berdua sama mamaku. Mama tiba-tiba mutusin buat pindah kemari. Jadi…" Jingga tak sanggup menyembunyikan kesedihannya.
Mereka mengobrol beberapa lama lagi. Dewa dan Magenta ternyata seumur hidup tinggal di Cipagenggang.
"Sebenernya sih lumayan enak tinggal di sini. Lama-lama kita jadi terbiasa sama suasana sepi di sini. Kita juga jadi terbiasa jarang ketemu orang," Magenta menjelaskan.
"Tempat ini lumayan asyik kalau kamu suka hujan," Dewa menimpali. "Yang ada di sini cuma hujan melulu!"
Mereka semua tertawa.
"Oke, deh. Sampai ketemu, ya," ujar Jingga. Kemudian ia berbalik untuk meneruskan perjalanan.
"Kamu gak jadi ke puncak, kan?" Dewa berseru. Tampaknya cowok itu kembali dicekam ketakutan.
"Enggak," sahut Jingga. Ia mengencangkan tudung matelnya. "Anginnya terlalu kenceng. Aku cuma mau naik sedikit lagi."
Jalan yang ia lalui terus menanjak. Jingga melewati sebuah lapangan luas penuh pohon pinus yang batangnya sekurus pensil. Pohon-pohon itu miring ke segala arah. Tak satu pun tumbuh tegak.
Jingga melihat jejak binatang di lapangan di tepi jalan. Mungkin rakun atau tupai. Hmm, rasanya bukan, pikir Jingga. Jejaknya terlalu besar. Barangkali jejak rusa. Entahlah!
Jingga menoleh ke depan—dan memekik terkejut.
Di hadapannya berdiri tegak orang-orangan sawah dengan tudung dan jubah India yang sama. Ujung kain selubung yang meliliti lehernya berkibar-kibar tertiup angin kencang. Jingga juga melihat goresan panjang bekas luka di wajahnya. Lengan rantingnya melambai-lambai seakan menyambut Jingga.
"Kenapa orang-orang di sini suka banget bikin orang-orangan sawah yang mukanya serem kayak gitu?" tanya Jingga yang entah ditujukan pada siapa.
Ia menoleh lagi ke arah lain dan melihat orang-orangan sawah serupa di pekarangan depan sebuah rumah di seberang jalan. Lengannya sama. Selubung kepala dan jubahnya sama. Bekas lukanya sama.
Mungkin ini semacam tradisi di sini, pikir Jingga.
Lalu kenapa Dewangga dan Magenta mengelak ketika aku menanyakan soal itu?
Awan-awan kelabu menutupi matahari. Bayangan si orang-orangan sawah seakan-akan bertambah panjang, sampai akhirnya menyelubungi Jingga.
Tiba-tiba saja gadis itu merinding. Ia langsung mundur selangkah.
Dalam waktu singkat langit telah menggelap.
Jingga memandang ke arah puncak gunung. Puncaknya tidak terlihat karena terhalang kabut dan pohon-pohon pinus.
Hmm, bagaimana sekarang? pikir Jingga. Apakah lebih baik aku berbalik dan pulang, atau meneruskan perjalanan?
Jingga teringat raut wajah Dewa yang ketakutan ketika ia mendengar rencana Jingga pergi ke puncak gunung. Jingga juga ingat bagaimana Magenta memekik, "Jangan!"
Jingga menjadi makin penasaran.
Apa yang mereka takuti? pikirnya. Apa yang ada di atas sana?
Jingga memutuskan untuk mencari tahu jawabannya.
Mobil van tua di depan rumah berikutnya tertutup lapisan tebal daun-daun kering dan serpihan bunga akasia. Tampaknya van itu tidak pernah dijalankan dalam waktu yang lama.
Jingga menyusuri jalan yang membelok dan menjauhi rumah-rumah. Permukaan aspal di jalan bertambah basah dan hitam. Sepatu botnya berdebam dan berdecak mencipratkan lapisan air yang mengalir tipis di atas permukaan aspal setiap kali Jingga melangkah.
Sesaat gadis itu membayangkan dirinya sedang berjalan di planet lain, planet asing yang belum pernah dijelajahi.
Jalanan semakin terjal sekarang. Jalan aspal berakhir, berganti jalan tanah berlubang dan berlumpur. Batu-batu besar berwarna hitam menyembul dari lapisan tanah dan lumpur, juga di sepanjang sisi jalan di antara rerumputan tinggi. Pohon-pohon pinus tumbuh miring ke sana-kemari.
Di ketinggian itu sudah tidak ada rumah lagi. Jingga hanya melihat pohon-pohon dan semak-semak yang terselubung kabut dan batu-batu hitam.
Jalanan kembali membelok. Angin bertiup kencang.
Jingga menggosok pipi dan hidungnya untuk menghangatkan diri. Ia mencondongkan badan menentang angin dan meneruskan perjalanan.
Jingga berhenti ketika sebuah pondok kayu berdinding anyaman bambu beratap rumbia muncul di hadapannya. Ia mengamatinya sambil melindungi matanya. dengan sebelah tangan.
Sebuah pondok? ia bertanya-tanya dalam hatinya. Di atas sini? Siapa yang mau tinggal di tempat terpencil ini, begitu jauh dari orang lain?
Pondok itu berada di tengah lapangan yang di kelilingi pohon-pohon pinus.
Jingga tidak melihat mobil atau gerobak pengangkut padi seperti di rumah-rumah lain. Jejak kaki pun tidak ada.
Mungkin saung Kanekes, pikir Jingga.
Kanekes adalah orang-orang dari suku Baduy. Mereka biasa tinggal di tempat-tempat terpencil untuk menggarap lahan pertanian penduduk di luar Baduy sebagai tani upahan.
Perlahan-lahan Jingga menghampiri pondok itu. Jendela-jendelanya tertutup embun.
Jingga tidak bisa memastikan apakah di dalam ada lampu menyala atau tidak. Lalu ia melangkah maju sedikit lagi. Jantungnya berdegup kencang. Ia bersandar pada ambang jendela dan menempelkan hidungnya ke kaca. Tapi ia tetap tak bisa melihat ke dalam.
"Halo? Ada orang di sini?" seru Jingga.
Hening.
Angin menderu-deru di sekeliling pondok.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
adi_nata
wah .. tajir banget keluarga Jingga bisa tinggal di apartemen di sekitar Monas.
2023-11-18
0
adi_nata
kalau dibuat secara massal, kemungkinan untuk tujuan tolak bala.
aku pribadi tidak percaya klenik, tapi mitos mitos sepeti ini tetap jadi cerita seru buat aku. 😁
2023-11-18
0
MasWan
eh bener kan, daerah Gunung kencana, lokasi baduy kanekes
2023-05-27
1