"Ahhh!" Jingga memekik. Ia berusaha menambah kecepatan, tapi jalanan begitu licin. Hampir saja ia kehilangan keseimbangan.
Ia seakan-akan terjebak di dalam bola kaca yang bisa menciptakan hujan salju bila bola itu dikocok-kocok.
Terhuyung-huyung ia berlari menuruni jalan. Butir-butir gerimis menerpa dirinya dari segala arah. Seluruh lereng gunung seolah-olah bergetar dan bergoyang.
Aduh! Mana jalan aspalnya? pikir Jingga panik.
Ia kehilangan arah gara-gara hujan gerimis mulai lebat. Sementara setiap langkah sepatu botnya terbenam dalam kubangan lumpur yang dalam.
Tapi ia terus berlari. Ke bawah... pokoknya ke bawah...
Derap langkah si serigala putih terdengar semakin dekat.
Jingga menoleh ke belakang. Binatang ganas itu sudah hampir berhasil mengejarnya. Gerak langkahnya berirama. Dengan mudah melompati kubangan-kubangan lumpur di atas permukaan tanah yang gembur dan bebatuan yang menghalanginya.
Jingga tidak melihat batu-batu licin yang menyembul di tepi jalan.
Dan kakinya tersandung batu.
"Ohhh!" teriaknya ketika rasa nyeri menjalar ke seluruh kakinya. Kali ini ia benar-benar kehilangan keseimbangan.
Jingga jatuh ke depan.
Dan terempas keras.
Mulutnya megap-megap untuk menarik napas.
Kalang kabut gadis itu berusaha bangkit. Tapi terlambat. Dengan tak berdaya ia melihat si serigala putih menerjang ke arahnya.
Di luar dugaan Jingga, serigala itu berhenti beberapa langkah di hadapannya.
Binatang itu merundukkan kepala dan menatap Jingga, napasnya terengah-engah.
Jingga melihat dadanya mengembang dan mengempis di balik bulu putihnya yang tebal. Beberapa butir air hujan tampak meleleh di lidahnya.
Jingga menatapnya dengan ketakutan. Perlahan lahan ia berdiri. Ia mengusap rambutnya dan menepis butiran air hujan yang menempel di bagian depan mantelnya.
Apakah serigala itu cuma berhenti sebentar untuk mengatur napas?
Apakah ia akan menyerangku begitu aku mencoba lari?
Jingga membatin gusar.
"Pulang," ia berbisik.
Suaranya hampir tak terdengar di tengah angin yang menderu-deru.
Serigala putih itu terus menatapnya.
Jingga melangkah mundur. Ia tidak berani melepaskan pandangannya dari serigala itu.
Jingga mundur selangkah. Lalu selangkah lagi.
Serigala itu memperhatikannya, tapi tidak bergerak.
Jingga akhirnya sampai di jalan aspal. Yes! Aku berhasil menemukan jalannya, ia berseru gembira di dalam hatinya.
Jingga terus mundur teratur.
Serigala itu menegakkan kepala. Menurunkan ekornya. Menegangkan punggungnya.
Binatang itu mengawasi Jingga dengan matanya yang cokelat. Matanya bersinar seperti mata manusia.
Apa yang sedang dipikirkannya?
Kenapa dia mengejar-ngejar aku?
Apakah untuk memastikan aku benar-benar turun gunung?
Dan bukannya mendaki ke puncak?
Apakah serigala itu ditugaskan laki-laki aneh tadi untuk mengawalku sampai ke bawah?
Jingga bertanya-tanya dalam hatinya.
Gadis itu kembali mundur selangkah. Lalu selangkah lagi.
Serigala itu tidak bergerak.
Jalan yang dipenuhi kubangan lumpur membelok dan sampai di batas jalanan aspal.
Jingga terus mundur sampai serigala itu tidak kelihatan lagi.
"Fiuh!" Jingga menarik napas lega. Kemudian berbalik. Dan berjalan cepat-cepat menuju ke desa, ke rumahnya yang baru.
Setiap beberapa detik Jingga menoleh ke belakang. Tapi serigala itu tidak mengikutinya.
Hujan sudah bertambah lebat. Jingga menarik tudung mantelnya untuk menutupi kepalanya. Ia memegangnya dengan kedua tangan, dan kembali menyusuri jalan.
Ibunya pasti bingung karena gadis itu belum kembali juga. Jingga memang telah pergi jauh, lebih lama dari yang ia rencanakan.
Awan-awan rendah menghalangi matahari. Langit hampir gelap gulita.
Jingga melewati rumah-rumah di kedua sisi jalan. Beberapa rumah telah menyalakan lampu. Di salah satu rumah ia melihat api menari-nari di perapian. Asap hitam tampak mengepul-ngepul dari kawat-kawat jendela dapur masing-masing rumah.
Jingga melewati orang-orangan sawah aneh dengan bekas luka di wajahnya. Kedua lengannya yang terbuat dari ranting pohon bergetar karena tertiup angin. Sepintas lalu orang-orangan sawah itu seperti melambaikan tangan pada gadis itu.
Jingga mulai berlari.
Satu lagi orang-orangan sawah yang sama menyambut Jingga ketika gadis itu melewati tikungan berikutnya.
Aku benci desa ini! ujarnya dalam hati. Tempat ini terlalu freak! Freak! Aku tak akan betah tinggal di sini. Kenapa Mama membawaku ke sini?
Lamunan gadis itu dibuyarkan oleh bunyi berdebam yang tiba-tiba terdengar di belakangnya.
Aku dibuntuti! pikir Jingga.
Si serigala?
Bukan. Bunyi langkahnya lain.
Ini bunyi langkah manusia, Jingga menyimpulkan.
Laki-laki sinting berjanggut tadi---dia membuntutiku!
"Ohhh!" Jingga mengerang ketakutan. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik untuk menghadapinya.
"Jingga---hai!"
Jingga memekik tertahan dan melihat Magenta berdiri di seberang jalan.
Cowok itu menyeberang dan menghampiri Jingga. Rambutnya yang hitam penuh butiran air hujan. "Kamu barusan aja lewat rumah kami," ia berkata sambil menunjuk ke halaman rumahnya. "Kamu gak lihat aku sama Dewa?"
Jingga memandang melewati pundak Magenta, dan melihat Dewa melambaikan tangan padanya dari depan rumah mereka.
"Nggak. Aku... ehm... hujannya mulai deres, jadi... " Jingga tergagap-gagap.
"Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Magenta.
"Ehm..." Jingga ragu-ragu untuk menjawab. "Aku abis dikejar serigala putih, " ujar gadis itu akhirnya. "Ada orang gila. Dia tinggal di deket puncak gunung. Aku dikejar serigala piaraannya dan dia..."
"Kamu ketemu Empu Brajasena?" seru Magenta.
"Hah? Empu?" Angin meniup tudung mantel Jingga hingga terlepas dari kepalanya. Ia menatap Magenta sambil memicingkan mata. "Jadi, orang itu semacam paranormal?"
Magenta mengangguk. "Dia tinggal di pondok yang dia bangun sendiri. Dia punya peliharaan serigala putih bernama Gardapati. Sebenarnya aku udah mau ngasih kamu peringatan tadi, tapi..."
"Peringatan?" Jingga menyela Magenta.
"Yah. Aku cuma mau kasih tahu, sebaiknya kamu jauh-jauh dari rumah itu. Empu Brajasena sama serigalanya, mereka sama-sama aneh."
"Bukan aneh lagi!" Jingga bergumam sambil geleng-geleng kepala. "Jadi itu sebabnya kamu sama Dewa gak pernah naik ke puncak gunung?"
Magenta menundukkan kepalanya. "Ehm... itu cuma salah satunya."
Jingga menunggu Magenta melanjutkan penjelasannya.
Tapi cowok itu diam saja. Ia terus saja menatap taburan bunga kuning dan dedaunan kering yang terhampar di bawah.
Dewa memperhatikan mereka sambil menyelipkan kedua tangan ke saku mantel.
"Jadi, kenapa Empu Brajasena itu tinggal di tempat terpencil yang jauh dari orang lain?" Jingga mendesak Magenta.
Cowok itu terlihat ragu-ragu. Dengan gugup ia menoleh ke arah saudaranya. "Gak ada yang tahu pasti," ia akhirnya menjawab. "Dia... mungkin dia anak buah si orang-orangan sawah. Maksud aku…" la terdiam.
"Hah?" seru Jingga. Ia yakin ia pasti salah dengar. "Kamu bilang apa, Magenta? Dia anak buah si orang-orangan sawah? Apa maksudnya?"
Magenta tidak menjawab. Sekali lagi, ia melirik ke arah Dewa.
"Ayo dong, Magenta. Apa maksudnya?" Jingga mendesak cowok itu. "Apa maksudnya, dia anak buah si orang orangan sawah?"
Magenta mundur selangkah dan menepis butir-butir air hujan yang menempel di rambutnya. "Aku harus masuk," katanya. "Udah hampir waktunya makan malam."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
setahu aku, empu itu sebutan utuk para penempa senjata mistis di era era kerajaan hindu di Indonesia.
2023-07-03
1
Siti Arbainah
terlalu penasaran itu gak baik jga sih aplgi smpai lngsung gak prcya coba aja dlu buat m'mahami aplgi msih orang baru
2023-06-20
0
NA_SaRi
Kok gak nyampe2 rumah neng neng
2023-01-11
0